KH. Nashiruddin Qodir |
Baca juga: Mengenal Muchammad Nabil Haroen, Ketua Pagar Nusa Periode 2017-2022
Ulama, menurut Imam Ghazali, adalah Dokter Spiritual. Kalau dokter medis bertugas mengobati penyakit-penyakit fisik, maka Ulama bertugas mengobati penyakit-penyakit hati. Ulama juga melakukan diagnosa terhadap penyakit-penyakit kemasyarakatan dan berusaha mengobatinya.
Kenyataannya, jika telah mencapai derajad kearifan yang tinggi, ulama siap menampung segala tumpahan permasalahan masyarakat serta siap pula memberikan keteduhan pada mereka. Ulama, bagi masyarakat, ibarat air telaga yang tenang dan menenangkan.
Seperti halnya dokter klinis, tidak akan dapat menjalankan tugasnya dengan baik jika dia sendiri sakit. Begitu pula Ulama. Jika masih mengidap penyakit hati, dia akan mengalami kesulitan untuk mengobati penyakit hati masyarakatnya dengan maksimal. Penyakit itu akan bertahan lama di masyarakat, dan semakin lama mungkin semakin parah.
Dengan demikian, seorang ulama harus memiliki hati yang relatif bersih. Dia mesti melakukan mujahadah dan riyadhah (olah spiritual) guna mencapai ketenangan jiwa (an-nafsul muthmainnah), sehingga dia sanggup membimbing masyarakat dan dapat menampung keluh kesah mereka. Dalam kata-kata sufi, “Dia ibarat awan yang menaungi semua benda dibawahnya, tanpa pandang bulu. Dia adalah air hujan yang membasahi siapapun, baik yang jahat maupun yang baik.”
Umumnya, terutama di kalangan NU, seorang Kiai memiliki pesantren atau lembaga pendidikan, tempat ia menularkan ilmunya. Ulama atau kiai banyak ragamnya. Dilihat dari kiprahnya di dalam masyarakat, ada Kiai yang melibatkan diri dalam organisasi kemasyarakatan (NU misalnya) atau organisasi politik, ada juga kiai yang mengambil jarak dengan namanya organisasi.
Namun, yang pasti peran ulama’ atau kiai (harus bisa) menjadi panutan atau teladan masyarakatnya. Kiai menjadi tempat bertanya, tempat mengadu, juga menjadi personifikasi ajaran islam, tempat masyarakat bercermin. Demikianlah figur seorang ulama’ sejati.
KH. Nashiruddin
Kiai Nashiruddin adalah sosok kiai yang memiliki peran ganda. Selain aktif di Organisasi Nahdlatul ‘Ulama (PWNU Jawa Timur), beliau juga aktif menekuni pengajian di pesantrennya sendiri, pengajian rutin kitab ihya’ ulumuddin di beberapa masjid jami’ di beberapa kota Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan istiqomah sebagai Muballigh yang berkarakter ahlussunnah wal jama’ah.
Meskipun sudah puluhan tahun aktif di NU, beliau adalah sosok yang mengubur keberadaan dirinya di dalam bumi khumul (ketidak-terkenalan), bukan pula sosok yang suka memberi komentar di depan wartawan mengenai isu-isu yang berkembang. Semenjak muda, potensi beliau dikenal sebagai sosok macan podium di ajang bahtsul masa’il diniyyah baik di tingkat lokal maupun nasional. Namun, sejatinya beliau adalah sosok yang lebih mementingkan pembinaan para santri di pondoknya serta pembinaan masyarakat pada umumnya.
Kiai Nashiruddin cukup unik, sebenarnya beliau tergolong seorang ilmuwan agama yang ilmunya luas dan dalam, terutama di bidang ilmu alat, fiqih, hadits, Tasawuf dan syi’ir. Tapi kepakaran beliau ini terselubung oleh sifat khumul (suka dengan ketidak-terkenalan). Meski begitu, banyak santri dan masyarakat yang antusias mengaji kepadanya. Pengajian yang selalu dijadikan wiridan selama berpuluh-puluh tahun adalah Kitab ihya’ ulumuddin karya Imam Ghazali (setelah jama’ah subuh) di ndalem beliau.
Pengajian masyarakat (majelis ta’lim) rutin setiap malam selasa dan malam jum’at digelar di pondoknya, dengan kitab Tafsir Jalalain dan Kitab Al Mukhtar fi Kalamil Akhyar Dihadiri ratusan orang yang meluber hingga di serambi musala. Meski tidak ada fasilitas apa-apa, masyarakat tetap setia datang mengaji karena tujuan mereka, terutama, adalah mengambil barokah dari beliau.
Kiai Nashiruddin juga ibarat buku yang terbuka yang bisa dibaca oleh siapa saja karena corak tasawuf yang dianutnya adalah tasawuf Ghazalian, seperti yang dianut umumnya kaum sunni. Bukan tasawuf falsafi, yang dalam penampakan lahir di mata awam, orangnya tidak lumrah. Kiai Nashir juga bukan seorang Majdzub (kiai yang berkelakuan ganjil) dan dalam sehari-hari beliau menjalani syari’at secara penuh. Cara hidupnya pun normal belaka. Tak ada yang aneh. Pakaiannya pun cukup necis dan rapi.
Masa Kecil KH. Nashiruddin
Kiai Nashiruddin dilahirkan tepatnya di Desa Tanggir, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. bertepatan dengan agresi militer Belanda ke-2. Beliau lahir di sebuah rumah yang menyerupai gudang, ketika ibunya sedang mengungsi akibat agresi belanda.
Setelah beliau lahir, dan kondisi aman. Barulah kembali ke daerah asalnya, yaitu Desa Sendang, Kecamatan Senori, Kabupaten Tuban. Beliau dibesarkan oleh orang tuanya di sebuah rumah kuno yang terletak persis di sebelah sungai/ dam buatan belanda.
Sebuah rumah berukuran besar – sekitar 10 x 40 meter – dan tinggi sekitar 4 meter lebih. Dindingnya terbuat dari papan kayu yang tebal, begitu pula pilarnya. Sedang pintunya, yang tingginya mencapai 3 meter, terbuat dari kayu pilihan yang matang dan tebal. Semua dari kayu pilihan.
Kiai Nashiruddin lahir kira-kira pada tahun 1950 M. ini berarti beliau lahir ketika pemerintah Kolonial Belanda melakukan Agresi Militer ke-2 yang dibantu oleh Pasukan Sekutu. Orang tua beliau adalah H. Abdul Qodir dan Hj. Suwaedah. Seorang petani desa yang sederhana tekun dan selalu mendidik dan mengarahkan anak-anaknya untuk selalu mencintai dan menimba ilmu agama dari para kiai dan ulama’.
Kehidupan beliau sangat sederhana bahkan bisa dikatakan sering dalam kondisi kekurangan. Jumlah saudaranya pun 12 orang. Terdiri dari : Ibu Unsiyah, Ibu Ny. Raihanah (Karas, Sedan), Abdussyukur (wafat waktu masih kecil), Rofi’ah (Hj. Maghfiroh), Hj. Siti Azizah (Kebonharjo, Jatirogo), Khoirul Huda, Masyhudi (wafat waktu masih kecil), Abdul Mun’im, Alifatun (wafat waktu masih kecil), Mahfudz, Mustamid (Bojonegoro), dan Siti Chalimah (wafat waktu masih kecil). 4 orang wafat ketika masih kecil. Namanya waktu kecil bukan Nashiruddin, tapi Mun’im, Mun’im tumbuh sebagai anak yang cerdas dan lincah. “nakalnya luar biasa”,tutur Hj. Maghfiroh, Kakak beliau.
Mun’im kecil bukanlah anak manis, yang sehari-hari diam di dalam rumah. Tidak, Mun’im kecil adalah anak extrovert, lebih banyak bermain di luar rumah, bermain layang-layang, tawu (mencari ikan), mandi (beluron, red) di sungai sebelah rumahnya, bermain kasti, jirek (kemiri), gendan, keh-kehan, tembak-tembakan (bedil-bedilan), gobag sodor dan permainan tradisional lainnya. Alhasil, masa kecilnya betul-betul dinikmati dengan penuh kegembiraan a la anak desa.
Sebenarnya masa kecil Mun’im tidak hanya digunakan untuk bermain.
Dia juga mengaji, yang pertama kepada ayahnya sendiri, lalu kepada KH. Ahmad Shiddiq (Pamannya), Kiai Kharomain (Kakak iparnya), KH. Abdul Fattah dan Kiai sepuh lainnya di desanya. Pendidikannya waktu itu murni didapatkan dari sentuhan para kiai dan ulama’.
Selain itu, orang tuanya sering memotivasi anak-anaknya untuk mengumpulkan jagung dan kerikil, kemudian Mun’im dan saudaranya berlomba-lomba untuk membaca surah al ikhlas dengan hitungan jagung dan kerikil tadi. Kemudian melaporkan kepada orang tuanya.
Ketika musim panen tiba. Sekeluarga bersiap-siap pergi untuk bersilaturrahmi (sowan) ke ndalem beberapa Ulama’ sepuh untuk ngalap barokah, pertama kali sowan ke Mbah Ma’shum (lasem) menginap beberapa hari, kemudian ke mbah Baidlowi (Ayahnya mbah Hamid Baidlowi), Mbah Fathur (Lasem), Mbah Maftuchin.
Setelah dari Lasem, tujuan selanjutnya yaitu sowan-sowan ke ‘Ulama di Sarang seperti Mbah Ahmad bin Syu’aib, Mbah Imam, Mbah Zubair, Mbah Ali, Gus Maemun Zubair (waktu masih muda) . di Senori yang disowani adalah Mbah Juned, Mbah Maliki, Mbah Fadhol. Tujuannya adalah menghaturkan sebagian hasil panen berupa emping (beberapa kuintal), dibuat dari beras ketan yang masih muda, lalu ditumbuk, kemudian dikukus dan diberi campuran parutan kelapa. “Rasanya benar-benar spesial dan gurih sekali”, kata beliau.
Mun’im semasa kecilnya sudah mulai terlihat potensi kecerdasannya. Hal ini di lihat oleh H. Ashari yang kemudian menjadi mertuanya. H. Ashari merupakan putra dari KH. Abdussyakur (Ulama’ dan tokoh pejuang di masyarakat). H. Ashari terkenal sebagai seorang pemuda yang pemberani, dermawan, memiliki usaha tembakau dan rokok yang cukup besar, penampilannya stylish dan memiliki teman dari berbagai kalangan.
Walau pun wataknya terkenal keras, namun hatinya sangat tawadlu’ terhadap kiai dan ‘ulama. Hingga akhir hayatnya pun ketika bersilaturrahmi di rumah seorang kiai. Mun’im akhirnya dijodohkan dengan putri beliau bernama Siti Khoiriyah, yang waktu itu masih berusia 13 tahun, sebelum berangkat menimba ilmu di Makkah Al Mukarromah.
Kehidupan di Pesantren
Ketika orang tuanya mengantarkan kakaknya, Khoirul Huda, yang mondok di Sarang. Mun’im kecil yang waktu itu berusia 10 tahun ikut serta. Entah karena faktor apa, tiba-tiba dia tertarik ingin mondok di Sarang. Niat ini disampaikan kepada bapaknya. Mendengar hal itu, sebenarnya hati kecil orang tuanya sangat khawatir, mengingat usianya yang masih terlalu kecil untuk tinggal di pondok.
Alhasil, keinginan untuk mondok di Pesantren Sarang pun dikabulkan oleh orang tuanya. Tentunya dengan tanpa persiapan dan bekal seadanya. Padahal semenjak dari rumah, Mun’im sudah menaruh pakaiannya didalam karung beras milik kakaknya, tapi tidak diketahui oleh siapapun.
Pesantren Sarang ketika itu terkenal dengan para ‘ulamanya yang ‘Alim dan ‘allamah. Seperti Mbah Zubair Dahlan, Mbah Imam, Mbah Mat, dan Gus Maemun Zubair dan Kyai sepuh lainnya. Kyai-kyai ini diibaratkan sebagai tempat untuk menyepuhkan ilmu bagi para santri yang sebelumnya pernah mondok dari berbagai daerah di Indonesia. Pertama kali, Mun’im mondok di pesantren MIS (Ma’had ‘ilmi As Syar’iyyah) selama sepuluh (10) tahun, kemudian ikut mendirikan Pesantren Al Anwar (sebagai panitia pembangunan) yang diasuh oleh Al Mukkarrom KH. Maemun Zubair.
Di Al Anwar kurang lebih selama empat (4) tahun, ketika berusia 17 tahun, Mun’im sudah menjadi guru (ustadz) di Madrasah Sarang. Setiap bulan mendapatkan bisyaroh untuk membiayai biaya hidupnya, saat itu merupakan titik tolaknya menjadi seorang remaja (santri) yang mandiri. setelah itu melanjutkan mondok di Makkah Al Mukarromah selama lima (5) tahun lebih.
Sebelum berangkat ke Makkah, Mun’im sempat beberapa kali mengikuti pengajian kilatan dan pasanan dua kali di Mranggen (Demak) oleh Kyai Muslich dengan Kitab Mizanul Kubro, Sya’roni dan Muhadzab. Kemudian ikut khataman kitab Shohih Muslim, di bulan Jumadil Akhir, di Pesantren Poncol yang diasuh Kyai Ahmad Asy’ari. Semangat mengaji beliau tumbuh semenjak dari kecil karena buah dari didikan orang tuanya untuk selalu mencintai dan memuliakan Kiai/Ulama.
Cobaan besar yang dihadapi oleh Mun’im sebelum ke Makkah adalah kondisi ibunya yang sakit cukup parah. Mun’im dengan sabar dan telaten merawat dan melayani ibundanya yang sedang sakit. Hatinya benar-benar terasa berat untuk pergi meninggalkan ibunya.
Namun, pikiran Mun’im terbaca oleh ibunya. “Kamu harus tetap berangkat ke Mekkah” tutur ibunya. Dengan niat dan tekad yang bulat, Mun’im berangkat ke Makkah dengan bekal seadanya, dan tanpa adanya motivasi dari saudara-saudaranya. Hatinya tetap tegar walaupun terkadang merasa kecil hati. Hanya niat “li I’la’I kalimatillah” yang menjadikan tetap bertahan.
Ketika pesawat bersiap-siap lepas landas, ada kabar bahwa ibundanya, Hj. Suwaidah telah berpulang ke rahmatulloh. “innalillahi wa inna ilaihi roji’un”, hatinya benar-benar menjerit sejadi-jadinya, tangisannya pun tidak bisa dibendung. Tiada kata lain yang dipegang, sesuai amanah ibundanya, “harus tetap ke Makkah”.
Setelah tiba di Makkah, kesedihannya masih menyelimuti, walaupun ditutup-tutupi. Guru beliau Sayyid Muhammad Al Alawi Al Maliki, bisa melihat guratan kesedihan di wajahnya. “saya melihat walaupun jasadmu ada di Makkah, tapi Jiwamu tidak berada disini (di jawa, Indonesia),” Kata Sayyid Muhammad. Mun’im pun berterus terang bahwa ibundanya baru saja wafat ketika dia akan berangkat ke Makkah. Kemudian Sayyid memotivasi Mun’im dan berusaha menghiburnya.
Masalah Nama
Sejak kecil hingga remaja, Kiai Nashiruddin mengalami perubahan nama ketika di Makkah. Yaitu dari yang sebelumnya bernama Abdul Mun’im kemudian diganti oleh Sayyid Muhammad dengan nama Muhammad Nashiruddin. Pergantian nama tersebut mulai berlaku ketika beliau di Makkah hingga saat ini.
Sayyid Muhammad Al Alawi pun terkadang sering memanggil beliau dengan julukan “ya Kyai”, padahal dihatinya tidak terbesit maksud sedikitpun kelak untuk menjadi seorang Kiai. Hanya niat belajar ilmu nya Alloh yang menjadi motivasinya. Namun Allah SWT menakdirkan lain. Mun’im anak petani desa yang telah berubah nama Nashiruddin ditakdirkan menjadi seorang Kiai yang berkhidmat untuk melayani umat.
Memulai dari Keluarga
Setelah pulang dari Makkah, Kiai Nashiruddin memulai hidup barunya dengan istri yang telah setia menunggunya selama 5 tahun. Aktivitasnya pun dijalani dengan apa adanya. Sebagai petani ya ikut menggarap sawah, kebun dan tentunya sambil mengajar ngaji di rumah mertuanya. Semuanya dijalani tanpa ada rasa canggung, malu atau gengsi. Meskipun basic pendidikannya tidak mengarahkan untuk bekerja seperti itu.
Sekitar dua bulan setelah pulang dari Makkah, Mertua beliau, H. Azhari, yang selalu memberikan perhatian dan motivasi berpulang ke rahmatulloh. Tak ayal lagi, kesedihan demi kesedihan pun terus menyelimuti kehidupannya. Adik iparnya yang masih kecil-kecil (yatim) berjumlah 7 (tujuh) orang dirawat dan dibesarkan hingga menjadi dewasa dan berkeluarga.
Pada pertengahan tahun 1980-an, lahirlah putra pertamanya, diberikan nama Ahmad Husam, dua tahun kemudian lahir lagi putri diberikan nama Laela, dua tahun kemudian lahir putra diberikan nama Muhammad Hilmi. Disusul Hamnah, Ita Salwa, Tutya Manal Robbiya dan Muhammad Hullah Maemun.
Ketujuh putra beliau selalu diarahkan untuk taat kepada kedua orang tua, kepada guru,belajar ilmu agama di pesantren, memuliakan para ulama’, membesarkan pendidikan islam (pesantren). Saat ini empat putra beliau masih menyelesaikan pendidikannya di Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang.
Putra Pertama, Agus Ahmad Husam ZF menikah dengan Ning Nurul Hesti Makhotmi (Magelang) dikaruniai 2 orang Putri, Nilna Anfasal Hila dan Naseem Al Shoba, putri kedua beliau, Ning Laila menikah dengan KH. Abdulloh Hasyim, Lc, S.Pdi (Pamotan, Rembang), memiliki Putra/i : Muhammad Nawwaf, Arwa Inas Sarkha, Kareen Ayati Izzati, dan Muhammad Naquib. Putra ketiga Muhammad Hilmi Badruttamam menikah dengan Hj. Nailul Marom (Surabaya) dikaruniai seorang putra bernama Muhammad Imdad Bardja Soqrowi. Menikmati kehidupan dimasa tua bersama anak dan momong cucu adalah kenikmatan tersendiri bagi Syaikhina KH. Nashiruddin Qodir.
Kiprah di Organisasi
Ketika masih muda, Kiai Nashir aktif di berbagai macam organisasi, ketika di Makkah, beliau aktif di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Saudi Arabia dan Korps Mahasiswa Nahdlatul Ulama’ (KMNU) Saudi Arabia. Di Indonesia beliau aktif di Lajnah Bahtsul Masa’il.
Kiprah beliau dimulai dari tingkat kecamatan, regional hingga nasional, kemudian menjadi Rais Syuriyah PCNU Senori-Bangilan, Kabupaten Tuban, Wakil Ra’is Syuriyah PWNU Jawa Timur (1985-1986), Menjadi Tim 9 (sembilan) NU Perumus “Tajdid Nahdliyyah” bersama KH. Sahal Mahfudz dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1986-an.
Pada tahun 1997 hingga 2009 beliau aktif tiga periode sebagai anggota legislatif di DPRD Kabupaten Tuban. Saat ini beliau masih aktif sebagai A’wan di PWNU Jawa Timur dan Ketua Majelis Syari’at DPW PPP Jawa Timur. Kesibukan organisasi beliau tidak mengurangi peran beliau sebagai Pengasuh di Yayasan Pondok Pesantren Daruttauhid Al Hasaniyyah, Sendang Senori Tuban. (*)
Tambahkan Komentar