Selama ini, kaum muslimin secara umum masih susah menerima pandangan bahwa Al-Qur’an merupakan salah satu kitab susastra yang mengandung unsur puisi. Hal tersebut disebabkan Al-Qur’an sendiri tidak mau disebut sebagai kata-kata syair atau pun puisi (Al-Haqqah; 40-43), ia adalah kalam ilahi yang suci dan abadi.
Baca juga: Terjemah Nadzom Alfiah Ibnu Malik Terlengkap 81 Bab dan 1000 Bait
Namun ada beberapa ulama klasik, semisal Abdullah Ibn Abbas, Muqotil Ibn Sulaiman, Al-Jahiz, Ibn Qutaybah, Al-Jurjani, Abdul Jabbar, Al-Farra’, Ar-Rummani, Al-Jinni, Al-Baqillani, dan sebagainya, menganggap dan memperlakukan Al-Qur’an sebagai kitab sastra yang paling unggul.
Mereka menafsirkan Al-Qur’an dalam perspektif bahasa, seni dan sastra Arab, salah satunya menurut Ibn Abbas, banyak pengertian, kata dan kalimat Al-Qur’an hanya bisa dipahami dengan baik apabila kita merujuk khazanah puisi-puisi Arab Pra-Islam.
Oleh karena itulah puisi-pusi Pra-Islam disebut sebagai Diwanul Arob, yaitu lumbung bahasa yang menentukan kejelasan dan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an. Kemukjizatan Al-Qur’an yang berpengaruh ke dalam jiwa manusia juga bekerja melalui ranah bahasa dan sastra Arab. Namun, akan muncul pertanyaan; apabila Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas (An-Nahl; 103), tapi kenapa para ulama dan ahli tafsir sampai kini masih kebingungan dan saling berdebat dengan pengertian-pengertian, makna dan kosakata dalam Al-Qur’an yang terkesan ganjil, samar-samar dan tidak jelas?
Di abad modern juga muncul Thaha Husein, Amin Al-Khuli, ‘Aisyah Abdurrahman, Muhammad Khalafallah, Nasr Zayd, dan lain-lainnya, di mana mereka meneliti, menganalisa dan memuja Al-Quran sebagai kitab sastra terbesar.
Tapi, kalau Al-Qur’an itu disebut kitab sastra karena banyak ayat-ayatnya yang indah, mengandung perumpamaan, kiasan dan majaz, lalu bagaimana dengan ayat-ayat lainnya yang bertele-tele, menjemukan dan tidak memiliki unsur majaz dan perumpamaan? Kenapa Al-Quran disebut sebagai kitab sastra? Bukankah Al-Quran tidak mau dilabeli sebagai kitab yang mengandung puisi atau sastra? Penulis tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara mendetail, karena sudah banyak ahli agama yang membahas dan mengulasnya.
Berikut dua alasan kenapa masyarakat Mekkah memasukkan Al-Qur’an dalam kategori sastra dan puisi. Pertama, orang-orang Arab menganggap Al-Qur’an mengandung puisi karena wahyu Al-Quran muncul dalam diri Nabi melalui keadaan-keadaan psikologis yang sama persis dengan keadaan psikis yang dialami para penyair Arab ketika mereka kesurupan, sehingga lahirlah Saj, puisi magis pra-Islam. Kedua, orang-orang Arab melihat bentuk ayat-ayat Al-Quran ternyata memiliki rima akhiran yang sama dan biasa digunakan dalam sajak-sajak puisi primitif, terutama ayat-ayat awal Makkiyyah yang suram, gelap, memiliki intonasi meledak-ledak bagaikan letupan gunung vulkanis dan ayat-ayat lainnya yang penuh dengan ritme degup jantung yang kembang kempis.
Di sini penulis hendak sedikit menawarkan sebuah cara baru dalam membaca Al-Quran sebagai konsekuensi Al-Quran ternyata mengandung unsur-unsur puisi dan sastra. Di halaman berikut telah tertulis bunyi Surat Al-Zalzalah dan Al-Qoori’ah dalam abjad Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, wahyu muncul dalam diri Nabi melalui keadaan keadaan psikologis yang menegangkan dan mengandung unsur paranoia, sehingga pada saat pewahyuan tubuh Nabi menggigil kedinginan karena ketakutan, psikis tergoncang, muka menghitam, mengucurkan keringat dingin, menggelepar di tanah seperti onta yang disembelih, atau kondisi kejang seperti mengalami ayan dan epilepsi. Kondisi-kondisi tersebut sama persis dengan yang dialami oleh para penyair dan majnun ketika sedang kesurupan.
Psikiatri mendiagnosa kondisi pewahyuan di atas sebagai gejala skizofrenia-paranoid yang mengandung unsur kejeniusan dan wawasan kreatif. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang muncul pada saat paranoid sering mengekspresikan kegelapan, ketakutan mencekam, menggemparkan, dan penuh ancaman. Hal ini merupakan koherensi dan simetri, karena muncul dalam jiwa yang paranoid, tentu isi dan ekspresi ayat-ayat Al-Quran menyesuaikan dengan jiwa tersebut.
Contoh, Surat Al-Zalzalah dan Al-Qoori’ah yang memberitakan tentang goncangan hari kiamat yang menakutkan, mencekam, menggemparkan dan penuh dengan kedahsyatan, sangat sesuai dengan keadaan skizofrenia-paranoid yang dialami Nabi. Karena skizofrenia-paranoid adalah sebuah keadaan jiwa yang mengandung ketakutan mencekam, unsur gelap, tersirat ancaman dan pribadi penuh keputusasaan.
Dengan begitu, ketika kita membaca Surat Al-Zalzalah dan Al-Qoori’ah, bukannya dengan suara feminin yang halus dan indah tetapi harus sesuai dengan ekspresi skizofrenia Nabi yang menghentak seperti kesurupan, mencekam, menggemparkan, dibunyikan melalui suara teriakan keras layaknya letupan-letupan kaki kuda yang saling berkejaran susul menyusul, dan penuh ketegangan. Hal ini simetris dan cocok dengan isi surat tersebut yang mengabarkan hari kiamat yang dahsyat dan menakutkan.
Ini yang kami sebut cara baru membaca Al-Quran, sesuai dengan jiwa paranoia Nabi ketika muncul pewahyuan dan koheren dengan isi ayat tersebut yang beritme meledakkan pikiran, menggemparkan dan menggoncangkan.
PUISI PARANOIA
AL-ZALZALAH (KEGONCANGAN)
Idzaa zulzilatil ardhu zilzaalahaa
Wa akhrojatil ardhu atsqoolahaa
Wa qoolal insaanu maalahaa
Yawma idzin tuhadditsu akhbaarohaa
Bianna robbaka awkhaalahaa
Yawma idziy yashdurunnaasu asytaatalliyurow a’maalahum
Famay ya’mal mitsqoola dzarrotin khoyroyyaroh
Wamay ya’mal mitsqoola dzarrotin syarroyyaroh
AL-QOORI’AH (HARI KIAMAT)
Al qoori’ah
Mal qoori’ah
Wa maa adrooka mal qoori’ah
Yawma yakuwnunnaasu kal faroosyil mabtsuuts
Wa takuwnul jibaalu kal’ihnil manfuusysy
Fa ammaa man tsaqulat mawaaziynuh
Fahuwa fii ‘iysyaturroodiyah
Wa ammaa man khoffat mawaaziynuh
Fa ummuhuu haawiyah
Wa maa adrooka maahiyah
Naarun khaamiyah
*Tulisan ini merupakan salah satu intisari dari buku Kesurupan Tuhan karya Ahmad Fauzi
Judul buku: KESURUPAN TUHAN
Penulis: AHMAD FAUZI
Penerbit: GUBUG SALOKA
Harga: Rp.70.000
Kalau mau mendapatkan EBOOK buku ini, silakan hubungi 085740145329
Baca juga: Terjemah Nadzom Alfiah Ibnu Malik Terlengkap 81 Bab dan 1000 Bait
Namun ada beberapa ulama klasik, semisal Abdullah Ibn Abbas, Muqotil Ibn Sulaiman, Al-Jahiz, Ibn Qutaybah, Al-Jurjani, Abdul Jabbar, Al-Farra’, Ar-Rummani, Al-Jinni, Al-Baqillani, dan sebagainya, menganggap dan memperlakukan Al-Qur’an sebagai kitab sastra yang paling unggul.
Mereka menafsirkan Al-Qur’an dalam perspektif bahasa, seni dan sastra Arab, salah satunya menurut Ibn Abbas, banyak pengertian, kata dan kalimat Al-Qur’an hanya bisa dipahami dengan baik apabila kita merujuk khazanah puisi-puisi Arab Pra-Islam.
Oleh karena itulah puisi-pusi Pra-Islam disebut sebagai Diwanul Arob, yaitu lumbung bahasa yang menentukan kejelasan dan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an. Kemukjizatan Al-Qur’an yang berpengaruh ke dalam jiwa manusia juga bekerja melalui ranah bahasa dan sastra Arab. Namun, akan muncul pertanyaan; apabila Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas (An-Nahl; 103), tapi kenapa para ulama dan ahli tafsir sampai kini masih kebingungan dan saling berdebat dengan pengertian-pengertian, makna dan kosakata dalam Al-Qur’an yang terkesan ganjil, samar-samar dan tidak jelas?
Di abad modern juga muncul Thaha Husein, Amin Al-Khuli, ‘Aisyah Abdurrahman, Muhammad Khalafallah, Nasr Zayd, dan lain-lainnya, di mana mereka meneliti, menganalisa dan memuja Al-Quran sebagai kitab sastra terbesar.
Tapi, kalau Al-Qur’an itu disebut kitab sastra karena banyak ayat-ayatnya yang indah, mengandung perumpamaan, kiasan dan majaz, lalu bagaimana dengan ayat-ayat lainnya yang bertele-tele, menjemukan dan tidak memiliki unsur majaz dan perumpamaan? Kenapa Al-Quran disebut sebagai kitab sastra? Bukankah Al-Quran tidak mau dilabeli sebagai kitab yang mengandung puisi atau sastra? Penulis tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara mendetail, karena sudah banyak ahli agama yang membahas dan mengulasnya.
Berikut dua alasan kenapa masyarakat Mekkah memasukkan Al-Qur’an dalam kategori sastra dan puisi. Pertama, orang-orang Arab menganggap Al-Qur’an mengandung puisi karena wahyu Al-Quran muncul dalam diri Nabi melalui keadaan-keadaan psikologis yang sama persis dengan keadaan psikis yang dialami para penyair Arab ketika mereka kesurupan, sehingga lahirlah Saj, puisi magis pra-Islam. Kedua, orang-orang Arab melihat bentuk ayat-ayat Al-Quran ternyata memiliki rima akhiran yang sama dan biasa digunakan dalam sajak-sajak puisi primitif, terutama ayat-ayat awal Makkiyyah yang suram, gelap, memiliki intonasi meledak-ledak bagaikan letupan gunung vulkanis dan ayat-ayat lainnya yang penuh dengan ritme degup jantung yang kembang kempis.
Di sini penulis hendak sedikit menawarkan sebuah cara baru dalam membaca Al-Quran sebagai konsekuensi Al-Quran ternyata mengandung unsur-unsur puisi dan sastra. Di halaman berikut telah tertulis bunyi Surat Al-Zalzalah dan Al-Qoori’ah dalam abjad Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, wahyu muncul dalam diri Nabi melalui keadaan keadaan psikologis yang menegangkan dan mengandung unsur paranoia, sehingga pada saat pewahyuan tubuh Nabi menggigil kedinginan karena ketakutan, psikis tergoncang, muka menghitam, mengucurkan keringat dingin, menggelepar di tanah seperti onta yang disembelih, atau kondisi kejang seperti mengalami ayan dan epilepsi. Kondisi-kondisi tersebut sama persis dengan yang dialami oleh para penyair dan majnun ketika sedang kesurupan.
Psikiatri mendiagnosa kondisi pewahyuan di atas sebagai gejala skizofrenia-paranoid yang mengandung unsur kejeniusan dan wawasan kreatif. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang muncul pada saat paranoid sering mengekspresikan kegelapan, ketakutan mencekam, menggemparkan, dan penuh ancaman. Hal ini merupakan koherensi dan simetri, karena muncul dalam jiwa yang paranoid, tentu isi dan ekspresi ayat-ayat Al-Quran menyesuaikan dengan jiwa tersebut.
Contoh, Surat Al-Zalzalah dan Al-Qoori’ah yang memberitakan tentang goncangan hari kiamat yang menakutkan, mencekam, menggemparkan dan penuh dengan kedahsyatan, sangat sesuai dengan keadaan skizofrenia-paranoid yang dialami Nabi. Karena skizofrenia-paranoid adalah sebuah keadaan jiwa yang mengandung ketakutan mencekam, unsur gelap, tersirat ancaman dan pribadi penuh keputusasaan.
Dengan begitu, ketika kita membaca Surat Al-Zalzalah dan Al-Qoori’ah, bukannya dengan suara feminin yang halus dan indah tetapi harus sesuai dengan ekspresi skizofrenia Nabi yang menghentak seperti kesurupan, mencekam, menggemparkan, dibunyikan melalui suara teriakan keras layaknya letupan-letupan kaki kuda yang saling berkejaran susul menyusul, dan penuh ketegangan. Hal ini simetris dan cocok dengan isi surat tersebut yang mengabarkan hari kiamat yang dahsyat dan menakutkan.
Ini yang kami sebut cara baru membaca Al-Quran, sesuai dengan jiwa paranoia Nabi ketika muncul pewahyuan dan koheren dengan isi ayat tersebut yang beritme meledakkan pikiran, menggemparkan dan menggoncangkan.
PUISI PARANOIA
AL-ZALZALAH (KEGONCANGAN)
Idzaa zulzilatil ardhu zilzaalahaa
Wa akhrojatil ardhu atsqoolahaa
Wa qoolal insaanu maalahaa
Yawma idzin tuhadditsu akhbaarohaa
Bianna robbaka awkhaalahaa
Yawma idziy yashdurunnaasu asytaatalliyurow a’maalahum
Famay ya’mal mitsqoola dzarrotin khoyroyyaroh
Wamay ya’mal mitsqoola dzarrotin syarroyyaroh
AL-QOORI’AH (HARI KIAMAT)
Al qoori’ah
Mal qoori’ah
Wa maa adrooka mal qoori’ah
Yawma yakuwnunnaasu kal faroosyil mabtsuuts
Wa takuwnul jibaalu kal’ihnil manfuusysy
Fa ammaa man tsaqulat mawaaziynuh
Fahuwa fii ‘iysyaturroodiyah
Wa ammaa man khoffat mawaaziynuh
Fa ummuhuu haawiyah
Wa maa adrooka maahiyah
Naarun khaamiyah
*Tulisan ini merupakan salah satu intisari dari buku Kesurupan Tuhan karya Ahmad Fauzi
Judul buku: KESURUPAN TUHAN
Penulis: AHMAD FAUZI
Penerbit: GUBUG SALOKA
Harga: Rp.70.000
Kalau mau mendapatkan EBOOK buku ini, silakan hubungi 085740145329
Tambahkan Komentar