Sebagai sambungan, akan kuceritakan padamu, wahai kaum beriman, kisah manusia paling primitif dalam menemukan sesembahan. Ya, tentang Tuhan. Bagaimana ia dilahirkan dari rahim pikiran manusia. Namun percayakah kalian, kalau tuhan kita ini muncul dari tragedi pembunuhan?
Masa paling purba ditandai dengan lahirnya tuhan sebagai anak imajiner pikiran manusia. Tuhan muncul dalam sejarah, bukan di luarnya. Ia tidak pernah bersemayam di puncak tertinggi alam semesta, justeru ia berpijak di bumi dan terus menatap birunya langit di luar sana. Tuhan lahir dengan kelamin pejantan.
Dua mata, dua kaki dan beristeri banyak. Entah siapa ayah dan ibu tuhan, mungkin batu dan pepohonan yang saling bergairah dan bermesraan. Tuhan adalah nama lain dari sang ayah pejantan nan perkasa. Hidup bersama gerombolan. Ada banyak istri, anak laki-laki dan anak perempuan.
Dalam sebuah gerombolan asli purba, sang ayah pejantan dominan adalah penguasa tunggal. Para betina perempuan hanya milik eksklusif sang ayah. Ia satu-satunya pemegang hak seksual. Anak-anak lelaki sang pejantan harus puas dengan onani dan imajinasi.
Pada waktu itu, lembaga perkawinan di luar kerabat belumlah dikenal dan inses berceceran. Sang pejantan merupakan ayah bagi kelompok yang selalu melindungi dan mengayomi anak-anak dan isteri-isterinya. Orde besi dan tirani menandai lembaga sosial-politik pertama dalam sejarah umat manusia ini. Namun, keamanan dan ketertiban menjadi jaminan. Hingga suatu waktu, revolusi pecah, dan bukan disebabkan oleh pertentangan kelas, ketidakadilan atau tiadanya kebebasan berpendapat, tapi oleh sesuatu yang konyol dan primitif, yaitu kegerahan seksual.
Suatu masa, para anak lelaki sudah tumbuh dewasa. Mereka mulai iri dan benci dengan sang ayah yang memonopoli hak seksual atas para wanita dalam kelompok. Sang anak pun menggugat dan melawan. Tapi, karena melawan sendirian, sang anak pun kalah dan diusir oleh sang ayah keluar dari gerombolan. Hingga suatu waktu karena kegerahan seksual telah memuncak dan tak tertahankan, para anak lelaki lainnya berkumpul dan menyatukan kekuatan mereka.
Dibunuhlah sang bapak, kemudian dimakan beramai-ramai sebab pada zaman itu manusia masihlah kanibal. Karena pemegang hak seksual tunggal telah tumbang, para anak lelaki pun berebutan mengawini ibu, kakak, saudara atau bibi-bibi mereka. Akhirnya, terjadilah chaos dan anarki. Sesuatu yang membuat sang anak merefleksikan kembali orde di mana pada waktu itu ayah mereka memegang kuasa atas kelompok.
Ya, muncullah kerinduan terhadap sang bapak yang mampu menciptakan tata tertib dan keteraturan. Dari impuls inilah agama akan muncul, sebagai perasaan ambivalen antara membenci sang ayah dan mengaguminya. Suatu fantasi yang tak pernah terpikirkan oleh kita.
Kerinduan pada figur sang ayah membuat para anak kriminal ini berusaha merestorasi kelompok dengan menghadirkan kembali sosok sang ayah dalam kehidupan mereka. Karena tidak mungkin menghidupkan sang ayah yang telah mati, sebagai gantinya mereka memindahkan perasaan ambivalensi antara mencintai dan membenci yang mulanya ada pada sang ayah kemudian dialihkan pada wujud binatang yang menjadi objek buruan setiap hari.
Terciptalah sebuah upacara totem, ada seekor binatang yang terletak di tengah-tengah lingkaran manusia di mana mereka mengitari binatang tersebut dengan memuja-muja dan mengelu-elukannya sebagai wujud kekaguman dan kecintaan pada sang ayah kemudian mereka bunuh dan makan ramai-ramai sebagai cermin rasa kebencian pada figur sang ayah.
Dengan memakan daging binatang yang masih hangat-hangat tersebut, mereka membatinkan sosok sang ayah yang telah dipindahkan dalam wujud binatang, merasuk dalam jiwa mereka. Karena binatang yang mereka kelilingi dan mereka bunuh mewakili figur sang ayah, maka ritual ini disebut dengan agama totem atau agama lambang.
Setelah tercipta ritus yang mengandung unsur phobia di atas, yaitu memindahkan rasa benci dan cinta pada wujud binatang, dalam rangka menghindari perpecahan, para anak lelaki sepakat untuk tidak lagi mengawini para wanita yang terdiri dari ibu, saudara dan bibi-bibi dalam kelompok mereka. Dari kontrak sosial pertama inilah manusia mulai menghindari inses dan muncul eksogami, yaitu perkawinan di luar kerabat.
Apa yang bisa kita bayangkan dari organisasi sosial pertama yang diciptakan oleh manusia di atas, yaitu agama? Ya, munculnya agama memang dimulai dengan darah dan kematian. Suatu tindak kriminal ternyata merupakan impuls yang mendasari lahirnya agama totem, yaitu agama yang pertama kali muncul dalam sejarah manusia.
Maka, sungguh wajar apabila ada pendapat yang mengatakan kalau kita memeluk agama sebenarnya secara tidak sadar kita masuk menjadi anggota sebuah institusi kriminal. Konsekuensinya, perjalanan agama dalam sejarah umat manusia sering dilumuri kekerasan, darah dan kematian.
Kalau kita mengerti bagaimana tuhan bisa muncul dari peristiwa pembunuhan sang ayah purba, maka bisa dimaknai fenomena ketuhanan sebenarnya lahir dari rahim kebudayaan manusia. Ia sekedar simbol dari ayah yang ditinggikan. Kita bertuhan karena kita seperti anak-anak yang butuh perlindungan dan penjagaan dari sang ayah.
Ya, ketuhanan adalah bentuk lain dari ketergantungan. Kalau kita ingin dewasa dan mandiri, kita harus berani tidak bergantung pada sang ayah. Maka, menyingkirkan tuhan juga berarti kita berani hidup dewasa. Ketuhanan hanyalah kepercayaan bagi mereka-mereka yang takut dewasa dan tidak mau lepas dari ketergantungan.
Agama totem belum mengenal tuhan sebagai wujud tertinggi. Juga belum mengenal roh, makhluk gaib apalagi dewa-dewi. Kalau pun tuhan mereka kenal, itu adalah reperesentasi simbolik dari sang ayah yang telah mereka bunuh. Pembunuhan sang anak atas sang ayah inilah yang disebut dengan dosa asal. Kematian Yesus sebagai penebusan atas dosa asal yang dibawa oleh Adam dan Hawa itu keliru.
Tidak betul kalau dosa asal bermula dari Adam dan Hawa yang melanggar perintah tuhan pada saat keduanya di Taman Eden. Gerombolan asli dalam agama totem jauh lebih tua daripada kisah Adam dan Hawa yang hidup pada masa Peradaban Mesopotamia, di mana Taman Eden terletak di antara sungai Gihon, Pison, Eufrat dan Tigris.
Waktu itu manusia telah mengenal pengairan irigasi, bendungan, persawahan dan sudah tidak lagi nomaden. Ini berbeda dengan gerombolan asli totem yang masih nomaden, belum mengenal cocok tanam, belum menemukan api, masih kanibal dan belum terpikirkan tentang irigasi dan bendungan.
Ya, dosa asal sang anak karena membunuh bapak purba pada zaman gerombolan asli sebenarnya bisa mengurai kekusutan dua peristiwa sejarah ganjil lagi menggetarkan. Yaitu, pertama; tentang mimpi Nabi Ibrahim yang dianggapnya sebagai perintah tuhan, di mana mimpi ini menjadi sebab kenapa ia mencoba untuk menyembelih dan mengorbankan anaknya sendiri demi persembahan dan kebaktiannya pada tuhan.
Kisah yang diceritakan oleh tiga agama Semit ini ternyata mengilhami sebuah ritual terbesar dalam agama Islam, yaitu hari raya Idul Adha sebagai penghormatan terhadap teladan Ibrahim tersebut, juga upacara Ibadah Haji yang dilakukan oleh kaum muslimin sedunia tiap tahun sekali. Bagaimana sebuah tindakan gila menjadi inspirasi suci bagi milyaran umat manusia yang pernah ada?
Kemudian, peristiwa sejarah kedua yang bisa dijelaskan oleh tindak kriminal sang anak pada zaman primal horde adalah, kematian Yesus sebagai penebusan dosa asal umat manusia sebenarnya merupakan simbol balas dendam Sang Ayah atas Sang Anak karena pada zaman purba, Sang Anak telah membunuh Sang Ayah. Akan kutunjukkan satu persatu padamu kawan.
Aku kabarkan pada engkau berita terlarang yang menjadi perbincangan seru di kawah neraka terdalam. Cerita ini kuperoleh dari pengakuan Ibrahim yang menyesal, kenapa ia begitu naifnya menganggap suara pikirannya sendiri sebagai wahyu ilahi. Kekonyolan ini bermula ketika suatu malam Ibrahim bermimpi menyembelih anaknya sendiri.
Ia begitu takjub dengan mimpinya sendiri, karena terasa asing, aneh dan ganjil. Apalagi, kebudayaan yang dianutnya meyakini bahwa mimpi adalah jalan mendaki menuju langit. Sebuah perjumpaan yang agung antara hamba dan tuhannya.
Oleh karena itu, wajar sekali Ibrahim mulai berpikir tuhan sedang mengujinya, mengukur derajat takwanya. Esok harinya, ia pun menceritakan mimpi tersebut pada puteranya, apakah ia bersedia menjadi jalan bagi kesalehan seorang ayah pada tuhannya. Sang anak yang tidak memiliki dirinya sendiri hanya pasrah dan mengiyakan penglihatan delusif Sang Nabi. Akhirnya, ketika sebuah pisau tajam siap membelah daging yang begitu segarnya, Ibrahim terhentak bagaimana mungkin seorang anak disembelih oleh ayahnya sendiri demi sesuatu yang tidak begitu jelas dan samar-samar?
Ibrahim baru menyadari kalau ia sebenarnya sedang kesurupan. Ia terasuki sifat iri terhadap anaknya, yang membuat alam bawah sadarnya memerintahkan dirinya untuk menghukum Ismail (Ishaq) melalui gambaran mimpi.
Kesadaran dan keraguanlah yang membuat ia menghentikan perbuatannya ketika hampir siap menyembelih puteranya sendiri. Dan, kisah bahwa malaikat membawa domba sebagai ganti anak Ibrahim yang tidak jadi disembelih hanya rekaan belaka.
Mimpi adalah perwujudan dinamika alam bawah sadar saat kesadaran kita bekerja minimal. Mimpi merupakan konflik tersamar antara kesadaran dan alam bawah sadar. Ada semacam kegiatan psikis yang saling mendorong dan tarik-menarik, maka mimpi juga mengandung kekacauan psikologis karena terjadi konflik antar apparatus psikis. Sebenarnya, dinamika mimpi memiliki banyak persamaan dengan mekanisme gangguan psikis lainnya, seperti delusi dan halusinasi.
Dalam gambaran mimpi kita bisa melihat kegilaan kita sendiri yang sering mengambil bentuk terselubung dan tersamarkan. Mimpi menjadi kegilaan singkat di saat inderawi kita terlemahkan, dan kegilaan merupakan mimpi panjang yang menerobos keluar di saat inderawi kita terjaga.
Melalui mimpi kita bisa mengetahui motif halus yang bersembunyi dalam palung alam bawah sadar kita yang terdalam. Motif ini sering mengambil bentuk simbol yang kabur, meski tidak jarang muncul dalam bentuk gambaran yang terang. Ketika manusia tidur, kesadaran melemah dan pikiran laten yang selama ini tersembunyi dan tidak bisa dipuaskan dalam alam nyata mulai menyeruak agar bisa tersekspresikan melalui gambaran mimpi. Oleh karena itu, mimpi merupakan jalan pemuasan hasrat dan keinginan yang tidak bisa diwujudkan di dunia luar.
Ada suatu hasrat purba yang kita warisi dari nenek moyang kita ketika mereka mulai menciptakan agama totem, yaitu hasrat ambivalen untuk membenci dan mencintai. Hasrat ini sering disebut dengan Oedipus Complex, yaitu segitiga cinta dan benci, antara sang anak lelaki dan sang ayah untuk mendapatkan perhatian sang ibu atau istrinya. Namun hasrat tersebut sering tertekan dan tidak kita sadari, bergerilya dalam pikiran alam bawah sadar kita, seolah menunggu waktu untuk muncul dan dipuaskan.
Dalam setiap pikiran alam bawah sadar manusia, selalu bersemayam naluri Oedipus di atas. Naluri Oedipus dapat diwariskan secara genetis dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pewarisan genetik tidak hanya berupa material jaringan tubuh, tetapi juga pewarisan psikis.
Apa-apa yang dilakukan, dirasakan dan dialami oleh manusia purba selama hidupnya pasti akan tersimpan seluruhnya dalam kotak deposit ingatan alam bawah sadar kolektif. Setiap manusia memiliki potensi seluruh ingatan tentang nenek moyangnya melalui pewarisan psikis, meski kita tidak bisa mengingatnya secara sadar karena tersimpan dalam lumbung alam bawah sadar yang gelap.
Namun, ingatan-ingatan tentang nenek moyang kita sering muncul dan menerobos ke permukaan melalui gambaran mimpi yang aneh, bersifat simbolik dan janggal. Ingatan-ingatan yang merupakan warisan psikis dari nenek moyang kita tidak muncul di alam sadar tetapi sering menyeruak secara acak ke permukaan alam bawah sadar, salah satunya melalui gambaran mimpi, sebab mimpi itu sendiri merupakan pelepasan enersi dinamika alam bawah yang gelap dan remang-remang.
Maka, mimpi kita di malam hari kadang menjadi ekspresi atas ingatatan-ingatan primitif nenek moyang kita yang mengambil bentuk dalam gambaran-gambaran yang aneh dan tidak masuk akal.
Begitu juga dalam diri alam bawah sadar Ibrahim, di mana ia secara genetik mewarisi emosi Oedipus Complex dari nenek moyangnya terdahulu. Potensi tersebut tentu menelusup halus, ingin diekspresikan ke luar dan beliau tidak menyadarinya. Ada semacam kecemburuan tersembunyi untuk membenci sang anak karena menginginkan hak cinta istrinya atau ibu anak lelakinya. Akhirnya, motif purba tersebut berusaha mendesak muncul ke permukaan melalui sebuah mimpi penyembelihan.
Tindakan menyembelih anaknya dalam mimpi merupakan ekspresi motif laten dari agresifitas atau kebencian yang dipicu emosi Oedipus Complex dalam alam bawah sadar Ibrahim, sehingga beliau dibuat bingung oleh fenomena mimpinya sendiri. Ia, naifnya, justeru beralih pada pandangan mitologis yang menganggap mimpi merupakan ruang perjumpaan ilahi.
Yang terjadi, ia menganggap bahwa tuhan memerintahkan untuk mengurbankan anaknya sendiri, tanpa ia ketahui kalau mimpi tersebut tercipta dari dorongan agresif dalam pikiran alam bawah sadarnya sendiri.
Cerita usaha penyembelihan ibrahim atas anaknya sendiri, mencerminkan simbol balas dendam atas tragedi pembunuhan sang anak atas bapak yang terjadi pada zaman gerombolan asli. Waktu itu, para anak lelaki beramai-ramai membunuh sang ayah karena menghalangi dan mengekang hasrat seksual para anak lelaki atas para perempuan di gerombolan tersebut.
Hanya sang ayah pemegang eksklusif hak seksual dalam gerombolan itu. Hal ini menimbulkan rasa benci para anak lelaki pada sang ayah, akhirnya muncullah tragedi kriminal pembunuhan atas sang ayah. Sebagai pengingat dan restorasi komunal, dibuatlah totem hewan buruan yang melambangkan sang ayah purba dalam upacara keagamaan pertama. Lahirlah agama yang paling tua dalam sejarah kebudayaan manusia, agama totem.
Karena Ibrahim juga mewarisi psikis Oedipus Complex dalam alam bawah sadarnya, bangkitlah kembali kecemburuan sang ayah atas anaknya dalam bentuk mimpi Ibrahim menyembelih sang putera. Tapi, kali ini medan konfliknya berbeda yaitu, sang bapak berusaha membalaskan dendam atas pembunuhan yang dulu telah dilakukan para anak lelaki pada zaman gerombolan asli.
Oleh karena itu, percobaan penyembelihan atas Ishaq atau Ismail merupakan simbol balas dendam sang ayah yang dulu telah dibunuh oleh para anak lelaki. Ini juga menyiratkan bahwa mimpi memiliki kehidupannya sendiri yang bersifat kolektif dalam alam bawah sadar manusia.
Mimpi yang terasa nyata, di luar kendali manusia dan bersifat asing membuat kaum primitif hingga sekarang masih meyakini ada perjumpaan ilahiah di dalamnya. Anehnya, mimpi dan percobaan pembunuhan yang hendak dilakukan Ibrahim ini dikenang dan dirayakan oleh milyaran manusia dalam bentuk Ibadah Haji dan ritual Idul Adha yang suci dan ilahiah.
Para pemeluk Agama Semit telah terkecoh oleh tragedi pengorbanan Ibrahim ini. Tidak ada yang ilahiah dalam mimpi Ibrahim, karena ia berasal dari impuls alam bawah sadar Sang Nabi yang bersifat manipulatif. Malaikat juga tidak ada, karena ia hanya merupakan tambahan dan rekaan agar cerita kriminal ini memiliki alasan pembenaran. Orang-orang beriman tidak mengetahui motif tersembunyi yang mendasari Ibrahim kenapa melakukan pengorbanan tersebut.
Ada perangkap delusi yang merembes dalam cerita ini. Yang tabu dan suci memang mengharamkan kritisisme yang berusaha mempertanyakan dan meragukan pikiran mereka sendiri. Bahkan para agamawan membangun benteng pertahanan berlapis yang berusaha melindungi percobaan tindak kriminal sang nabi dengan bahasa simbolik yang kabur dan dipaksakan.
Ketika para saintis dan ahli budaya mengkritik cerita ini sebagai mitologi yang rumit, melumpuhkan akal-sehat dan memandulkan kewarasan, para agamawan dan pembelanya tidak bisa membantah dengan meyakinkan, justeru terkesan apologis dan menyerang balik orang yang mengkritik cerita di atas dengan dilabeli sebagai manusia kafir dan murtad.
Nabi utusan tuhan walau bagaimanapun tidak mungkin salah, para pengkritiklah yang dianggap tidak mampu memahaminya dengan bahasa iman dan kesucian. Sungguh, ini sebuah kegilaan yang dianut oleh milyaran manusia. Ketika penyakit pikiran bersekutu dengan dogma kepercayaan maka akan sia-sialah para pengkritik yang mengajukan alasan kebenaran karena hanya akan membentur tembok keras yang dibangun dari kuatnya iman dan tebalnya keyakinan.
Judul: IBLIS, SANG NABI PRIMITIF (Sebuah Novel Kesurupan)
Penulis: Ahmad Fauzi
Penerbit; Gubug Saloka
Harga: Rp. 45.000
Kalau mau mendapatkan EBOOK buku ini, silakan hubungi 082240052998.
Masa paling purba ditandai dengan lahirnya tuhan sebagai anak imajiner pikiran manusia. Tuhan muncul dalam sejarah, bukan di luarnya. Ia tidak pernah bersemayam di puncak tertinggi alam semesta, justeru ia berpijak di bumi dan terus menatap birunya langit di luar sana. Tuhan lahir dengan kelamin pejantan.
Dua mata, dua kaki dan beristeri banyak. Entah siapa ayah dan ibu tuhan, mungkin batu dan pepohonan yang saling bergairah dan bermesraan. Tuhan adalah nama lain dari sang ayah pejantan nan perkasa. Hidup bersama gerombolan. Ada banyak istri, anak laki-laki dan anak perempuan.
Dalam sebuah gerombolan asli purba, sang ayah pejantan dominan adalah penguasa tunggal. Para betina perempuan hanya milik eksklusif sang ayah. Ia satu-satunya pemegang hak seksual. Anak-anak lelaki sang pejantan harus puas dengan onani dan imajinasi.
Pada waktu itu, lembaga perkawinan di luar kerabat belumlah dikenal dan inses berceceran. Sang pejantan merupakan ayah bagi kelompok yang selalu melindungi dan mengayomi anak-anak dan isteri-isterinya. Orde besi dan tirani menandai lembaga sosial-politik pertama dalam sejarah umat manusia ini. Namun, keamanan dan ketertiban menjadi jaminan. Hingga suatu waktu, revolusi pecah, dan bukan disebabkan oleh pertentangan kelas, ketidakadilan atau tiadanya kebebasan berpendapat, tapi oleh sesuatu yang konyol dan primitif, yaitu kegerahan seksual.
Suatu masa, para anak lelaki sudah tumbuh dewasa. Mereka mulai iri dan benci dengan sang ayah yang memonopoli hak seksual atas para wanita dalam kelompok. Sang anak pun menggugat dan melawan. Tapi, karena melawan sendirian, sang anak pun kalah dan diusir oleh sang ayah keluar dari gerombolan. Hingga suatu waktu karena kegerahan seksual telah memuncak dan tak tertahankan, para anak lelaki lainnya berkumpul dan menyatukan kekuatan mereka.
Dibunuhlah sang bapak, kemudian dimakan beramai-ramai sebab pada zaman itu manusia masihlah kanibal. Karena pemegang hak seksual tunggal telah tumbang, para anak lelaki pun berebutan mengawini ibu, kakak, saudara atau bibi-bibi mereka. Akhirnya, terjadilah chaos dan anarki. Sesuatu yang membuat sang anak merefleksikan kembali orde di mana pada waktu itu ayah mereka memegang kuasa atas kelompok.
Ya, muncullah kerinduan terhadap sang bapak yang mampu menciptakan tata tertib dan keteraturan. Dari impuls inilah agama akan muncul, sebagai perasaan ambivalen antara membenci sang ayah dan mengaguminya. Suatu fantasi yang tak pernah terpikirkan oleh kita.
Kerinduan pada figur sang ayah membuat para anak kriminal ini berusaha merestorasi kelompok dengan menghadirkan kembali sosok sang ayah dalam kehidupan mereka. Karena tidak mungkin menghidupkan sang ayah yang telah mati, sebagai gantinya mereka memindahkan perasaan ambivalensi antara mencintai dan membenci yang mulanya ada pada sang ayah kemudian dialihkan pada wujud binatang yang menjadi objek buruan setiap hari.
Terciptalah sebuah upacara totem, ada seekor binatang yang terletak di tengah-tengah lingkaran manusia di mana mereka mengitari binatang tersebut dengan memuja-muja dan mengelu-elukannya sebagai wujud kekaguman dan kecintaan pada sang ayah kemudian mereka bunuh dan makan ramai-ramai sebagai cermin rasa kebencian pada figur sang ayah.
Dengan memakan daging binatang yang masih hangat-hangat tersebut, mereka membatinkan sosok sang ayah yang telah dipindahkan dalam wujud binatang, merasuk dalam jiwa mereka. Karena binatang yang mereka kelilingi dan mereka bunuh mewakili figur sang ayah, maka ritual ini disebut dengan agama totem atau agama lambang.
Setelah tercipta ritus yang mengandung unsur phobia di atas, yaitu memindahkan rasa benci dan cinta pada wujud binatang, dalam rangka menghindari perpecahan, para anak lelaki sepakat untuk tidak lagi mengawini para wanita yang terdiri dari ibu, saudara dan bibi-bibi dalam kelompok mereka. Dari kontrak sosial pertama inilah manusia mulai menghindari inses dan muncul eksogami, yaitu perkawinan di luar kerabat.
Apa yang bisa kita bayangkan dari organisasi sosial pertama yang diciptakan oleh manusia di atas, yaitu agama? Ya, munculnya agama memang dimulai dengan darah dan kematian. Suatu tindak kriminal ternyata merupakan impuls yang mendasari lahirnya agama totem, yaitu agama yang pertama kali muncul dalam sejarah manusia.
Maka, sungguh wajar apabila ada pendapat yang mengatakan kalau kita memeluk agama sebenarnya secara tidak sadar kita masuk menjadi anggota sebuah institusi kriminal. Konsekuensinya, perjalanan agama dalam sejarah umat manusia sering dilumuri kekerasan, darah dan kematian.
Kalau kita mengerti bagaimana tuhan bisa muncul dari peristiwa pembunuhan sang ayah purba, maka bisa dimaknai fenomena ketuhanan sebenarnya lahir dari rahim kebudayaan manusia. Ia sekedar simbol dari ayah yang ditinggikan. Kita bertuhan karena kita seperti anak-anak yang butuh perlindungan dan penjagaan dari sang ayah.
Ya, ketuhanan adalah bentuk lain dari ketergantungan. Kalau kita ingin dewasa dan mandiri, kita harus berani tidak bergantung pada sang ayah. Maka, menyingkirkan tuhan juga berarti kita berani hidup dewasa. Ketuhanan hanyalah kepercayaan bagi mereka-mereka yang takut dewasa dan tidak mau lepas dari ketergantungan.
Agama totem belum mengenal tuhan sebagai wujud tertinggi. Juga belum mengenal roh, makhluk gaib apalagi dewa-dewi. Kalau pun tuhan mereka kenal, itu adalah reperesentasi simbolik dari sang ayah yang telah mereka bunuh. Pembunuhan sang anak atas sang ayah inilah yang disebut dengan dosa asal. Kematian Yesus sebagai penebusan atas dosa asal yang dibawa oleh Adam dan Hawa itu keliru.
Tidak betul kalau dosa asal bermula dari Adam dan Hawa yang melanggar perintah tuhan pada saat keduanya di Taman Eden. Gerombolan asli dalam agama totem jauh lebih tua daripada kisah Adam dan Hawa yang hidup pada masa Peradaban Mesopotamia, di mana Taman Eden terletak di antara sungai Gihon, Pison, Eufrat dan Tigris.
Waktu itu manusia telah mengenal pengairan irigasi, bendungan, persawahan dan sudah tidak lagi nomaden. Ini berbeda dengan gerombolan asli totem yang masih nomaden, belum mengenal cocok tanam, belum menemukan api, masih kanibal dan belum terpikirkan tentang irigasi dan bendungan.
Ya, dosa asal sang anak karena membunuh bapak purba pada zaman gerombolan asli sebenarnya bisa mengurai kekusutan dua peristiwa sejarah ganjil lagi menggetarkan. Yaitu, pertama; tentang mimpi Nabi Ibrahim yang dianggapnya sebagai perintah tuhan, di mana mimpi ini menjadi sebab kenapa ia mencoba untuk menyembelih dan mengorbankan anaknya sendiri demi persembahan dan kebaktiannya pada tuhan.
Kisah yang diceritakan oleh tiga agama Semit ini ternyata mengilhami sebuah ritual terbesar dalam agama Islam, yaitu hari raya Idul Adha sebagai penghormatan terhadap teladan Ibrahim tersebut, juga upacara Ibadah Haji yang dilakukan oleh kaum muslimin sedunia tiap tahun sekali. Bagaimana sebuah tindakan gila menjadi inspirasi suci bagi milyaran umat manusia yang pernah ada?
Kemudian, peristiwa sejarah kedua yang bisa dijelaskan oleh tindak kriminal sang anak pada zaman primal horde adalah, kematian Yesus sebagai penebusan dosa asal umat manusia sebenarnya merupakan simbol balas dendam Sang Ayah atas Sang Anak karena pada zaman purba, Sang Anak telah membunuh Sang Ayah. Akan kutunjukkan satu persatu padamu kawan.
Aku kabarkan pada engkau berita terlarang yang menjadi perbincangan seru di kawah neraka terdalam. Cerita ini kuperoleh dari pengakuan Ibrahim yang menyesal, kenapa ia begitu naifnya menganggap suara pikirannya sendiri sebagai wahyu ilahi. Kekonyolan ini bermula ketika suatu malam Ibrahim bermimpi menyembelih anaknya sendiri.
Ia begitu takjub dengan mimpinya sendiri, karena terasa asing, aneh dan ganjil. Apalagi, kebudayaan yang dianutnya meyakini bahwa mimpi adalah jalan mendaki menuju langit. Sebuah perjumpaan yang agung antara hamba dan tuhannya.
Oleh karena itu, wajar sekali Ibrahim mulai berpikir tuhan sedang mengujinya, mengukur derajat takwanya. Esok harinya, ia pun menceritakan mimpi tersebut pada puteranya, apakah ia bersedia menjadi jalan bagi kesalehan seorang ayah pada tuhannya. Sang anak yang tidak memiliki dirinya sendiri hanya pasrah dan mengiyakan penglihatan delusif Sang Nabi. Akhirnya, ketika sebuah pisau tajam siap membelah daging yang begitu segarnya, Ibrahim terhentak bagaimana mungkin seorang anak disembelih oleh ayahnya sendiri demi sesuatu yang tidak begitu jelas dan samar-samar?
Ibrahim baru menyadari kalau ia sebenarnya sedang kesurupan. Ia terasuki sifat iri terhadap anaknya, yang membuat alam bawah sadarnya memerintahkan dirinya untuk menghukum Ismail (Ishaq) melalui gambaran mimpi.
Kesadaran dan keraguanlah yang membuat ia menghentikan perbuatannya ketika hampir siap menyembelih puteranya sendiri. Dan, kisah bahwa malaikat membawa domba sebagai ganti anak Ibrahim yang tidak jadi disembelih hanya rekaan belaka.
Mimpi adalah perwujudan dinamika alam bawah sadar saat kesadaran kita bekerja minimal. Mimpi merupakan konflik tersamar antara kesadaran dan alam bawah sadar. Ada semacam kegiatan psikis yang saling mendorong dan tarik-menarik, maka mimpi juga mengandung kekacauan psikologis karena terjadi konflik antar apparatus psikis. Sebenarnya, dinamika mimpi memiliki banyak persamaan dengan mekanisme gangguan psikis lainnya, seperti delusi dan halusinasi.
Dalam gambaran mimpi kita bisa melihat kegilaan kita sendiri yang sering mengambil bentuk terselubung dan tersamarkan. Mimpi menjadi kegilaan singkat di saat inderawi kita terlemahkan, dan kegilaan merupakan mimpi panjang yang menerobos keluar di saat inderawi kita terjaga.
Melalui mimpi kita bisa mengetahui motif halus yang bersembunyi dalam palung alam bawah sadar kita yang terdalam. Motif ini sering mengambil bentuk simbol yang kabur, meski tidak jarang muncul dalam bentuk gambaran yang terang. Ketika manusia tidur, kesadaran melemah dan pikiran laten yang selama ini tersembunyi dan tidak bisa dipuaskan dalam alam nyata mulai menyeruak agar bisa tersekspresikan melalui gambaran mimpi. Oleh karena itu, mimpi merupakan jalan pemuasan hasrat dan keinginan yang tidak bisa diwujudkan di dunia luar.
Ada suatu hasrat purba yang kita warisi dari nenek moyang kita ketika mereka mulai menciptakan agama totem, yaitu hasrat ambivalen untuk membenci dan mencintai. Hasrat ini sering disebut dengan Oedipus Complex, yaitu segitiga cinta dan benci, antara sang anak lelaki dan sang ayah untuk mendapatkan perhatian sang ibu atau istrinya. Namun hasrat tersebut sering tertekan dan tidak kita sadari, bergerilya dalam pikiran alam bawah sadar kita, seolah menunggu waktu untuk muncul dan dipuaskan.
Dalam setiap pikiran alam bawah sadar manusia, selalu bersemayam naluri Oedipus di atas. Naluri Oedipus dapat diwariskan secara genetis dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pewarisan genetik tidak hanya berupa material jaringan tubuh, tetapi juga pewarisan psikis.
Apa-apa yang dilakukan, dirasakan dan dialami oleh manusia purba selama hidupnya pasti akan tersimpan seluruhnya dalam kotak deposit ingatan alam bawah sadar kolektif. Setiap manusia memiliki potensi seluruh ingatan tentang nenek moyangnya melalui pewarisan psikis, meski kita tidak bisa mengingatnya secara sadar karena tersimpan dalam lumbung alam bawah sadar yang gelap.
Namun, ingatan-ingatan tentang nenek moyang kita sering muncul dan menerobos ke permukaan melalui gambaran mimpi yang aneh, bersifat simbolik dan janggal. Ingatan-ingatan yang merupakan warisan psikis dari nenek moyang kita tidak muncul di alam sadar tetapi sering menyeruak secara acak ke permukaan alam bawah sadar, salah satunya melalui gambaran mimpi, sebab mimpi itu sendiri merupakan pelepasan enersi dinamika alam bawah yang gelap dan remang-remang.
Maka, mimpi kita di malam hari kadang menjadi ekspresi atas ingatatan-ingatan primitif nenek moyang kita yang mengambil bentuk dalam gambaran-gambaran yang aneh dan tidak masuk akal.
Begitu juga dalam diri alam bawah sadar Ibrahim, di mana ia secara genetik mewarisi emosi Oedipus Complex dari nenek moyangnya terdahulu. Potensi tersebut tentu menelusup halus, ingin diekspresikan ke luar dan beliau tidak menyadarinya. Ada semacam kecemburuan tersembunyi untuk membenci sang anak karena menginginkan hak cinta istrinya atau ibu anak lelakinya. Akhirnya, motif purba tersebut berusaha mendesak muncul ke permukaan melalui sebuah mimpi penyembelihan.
Tindakan menyembelih anaknya dalam mimpi merupakan ekspresi motif laten dari agresifitas atau kebencian yang dipicu emosi Oedipus Complex dalam alam bawah sadar Ibrahim, sehingga beliau dibuat bingung oleh fenomena mimpinya sendiri. Ia, naifnya, justeru beralih pada pandangan mitologis yang menganggap mimpi merupakan ruang perjumpaan ilahi.
Yang terjadi, ia menganggap bahwa tuhan memerintahkan untuk mengurbankan anaknya sendiri, tanpa ia ketahui kalau mimpi tersebut tercipta dari dorongan agresif dalam pikiran alam bawah sadarnya sendiri.
Cerita usaha penyembelihan ibrahim atas anaknya sendiri, mencerminkan simbol balas dendam atas tragedi pembunuhan sang anak atas bapak yang terjadi pada zaman gerombolan asli. Waktu itu, para anak lelaki beramai-ramai membunuh sang ayah karena menghalangi dan mengekang hasrat seksual para anak lelaki atas para perempuan di gerombolan tersebut.
Hanya sang ayah pemegang eksklusif hak seksual dalam gerombolan itu. Hal ini menimbulkan rasa benci para anak lelaki pada sang ayah, akhirnya muncullah tragedi kriminal pembunuhan atas sang ayah. Sebagai pengingat dan restorasi komunal, dibuatlah totem hewan buruan yang melambangkan sang ayah purba dalam upacara keagamaan pertama. Lahirlah agama yang paling tua dalam sejarah kebudayaan manusia, agama totem.
Karena Ibrahim juga mewarisi psikis Oedipus Complex dalam alam bawah sadarnya, bangkitlah kembali kecemburuan sang ayah atas anaknya dalam bentuk mimpi Ibrahim menyembelih sang putera. Tapi, kali ini medan konfliknya berbeda yaitu, sang bapak berusaha membalaskan dendam atas pembunuhan yang dulu telah dilakukan para anak lelaki pada zaman gerombolan asli.
Oleh karena itu, percobaan penyembelihan atas Ishaq atau Ismail merupakan simbol balas dendam sang ayah yang dulu telah dibunuh oleh para anak lelaki. Ini juga menyiratkan bahwa mimpi memiliki kehidupannya sendiri yang bersifat kolektif dalam alam bawah sadar manusia.
Mimpi yang terasa nyata, di luar kendali manusia dan bersifat asing membuat kaum primitif hingga sekarang masih meyakini ada perjumpaan ilahiah di dalamnya. Anehnya, mimpi dan percobaan pembunuhan yang hendak dilakukan Ibrahim ini dikenang dan dirayakan oleh milyaran manusia dalam bentuk Ibadah Haji dan ritual Idul Adha yang suci dan ilahiah.
Para pemeluk Agama Semit telah terkecoh oleh tragedi pengorbanan Ibrahim ini. Tidak ada yang ilahiah dalam mimpi Ibrahim, karena ia berasal dari impuls alam bawah sadar Sang Nabi yang bersifat manipulatif. Malaikat juga tidak ada, karena ia hanya merupakan tambahan dan rekaan agar cerita kriminal ini memiliki alasan pembenaran. Orang-orang beriman tidak mengetahui motif tersembunyi yang mendasari Ibrahim kenapa melakukan pengorbanan tersebut.
Ada perangkap delusi yang merembes dalam cerita ini. Yang tabu dan suci memang mengharamkan kritisisme yang berusaha mempertanyakan dan meragukan pikiran mereka sendiri. Bahkan para agamawan membangun benteng pertahanan berlapis yang berusaha melindungi percobaan tindak kriminal sang nabi dengan bahasa simbolik yang kabur dan dipaksakan.
Ketika para saintis dan ahli budaya mengkritik cerita ini sebagai mitologi yang rumit, melumpuhkan akal-sehat dan memandulkan kewarasan, para agamawan dan pembelanya tidak bisa membantah dengan meyakinkan, justeru terkesan apologis dan menyerang balik orang yang mengkritik cerita di atas dengan dilabeli sebagai manusia kafir dan murtad.
Nabi utusan tuhan walau bagaimanapun tidak mungkin salah, para pengkritiklah yang dianggap tidak mampu memahaminya dengan bahasa iman dan kesucian. Sungguh, ini sebuah kegilaan yang dianut oleh milyaran manusia. Ketika penyakit pikiran bersekutu dengan dogma kepercayaan maka akan sia-sialah para pengkritik yang mengajukan alasan kebenaran karena hanya akan membentur tembok keras yang dibangun dari kuatnya iman dan tebalnya keyakinan.
Judul: IBLIS, SANG NABI PRIMITIF (Sebuah Novel Kesurupan)
Penulis: Ahmad Fauzi
Penerbit; Gubug Saloka
Harga: Rp. 45.000
Kalau mau mendapatkan EBOOK buku ini, silakan hubungi 082240052998.
Tambahkan Komentar