Oleh Muhammad Dimas Saputro
-Peresensi adalah mahasiswa Udinus dan aktivis Forum Muda Cendekia Jawa Tengah
Buku memberi tamparan keras terhadap dunia pendidikan kita. Sebab, banyak penjajahan dan pergeseran nilai terjadi, sehingga penulis menyebut Indonesia kini kriris guru dan ulama yang bisa benar-benar digugu dan ditiru.
Ketika imperialisme dan kolonialisme menjajah Indonesia, penduduk negeri ini tidak tinggal diam untuk melakukan perlawanan. Umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia memiliki peran penting dalam perjuangan me¬lawan penjajahan. Pada mulanya perlawanan di¬lakukan oleh para penguasa raja, ke¬mudian disambung dengan perlawanan rakyat yang dipimpin oleh para ulama hampir di seluruh wilayah Indo¬nesia.
Begitu pula pada saat kemerdekaan diproklamirkan, mayoritas masyarakat Indonesia sedang dalam keadaan perut kosong, mengingat pada saat bulan puasa. Dan tentulah mereka dalam keadaan tirakat. Sehingga se-bahagia apapun mereka tidak merayakan hasil perjuangan dengan foya-foya (hlm. 41).
Pada saat itu Bumi Putera masih menyimpan banyak heroik yang dalam kepala mereka hanyalah berjuang untuk kebenaran. Mereka tidak takut dari gesingan dan terjangan peluru yang sewaktu-waktu dapat menembus dada mereka. Jangankan terluka, nyawa pun mereka rela demi kemuliaan. Jargon yang mereka pakai hanyalah “hidup mulia atau mati dalam keadaan syahid”.
Ulama, sebagai informal leader yang merakyat, dekat dengan rakyat, ditampil¬kan oleh umat Islam sebagai pemimpin¬nya dalam perang melawan penjajahan. Selain itu, semangat perang sabil se¬ba¬gai penggerak umat untuk berani me¬lawan penjajah yang zhalim juga menjadi salah satu faktor gencarnya perlawanan rakyat.
Para penjajah seperti Thomas S. Raffles, letnan gubernur EIC, yang memerintah tahun 1811-1816 di Indonesia, mereka mengakui eksistensi ulama dan berkata, “Karena mereka be¬gitu dihormati, tidak sulit bagi mereka un¬tuk menghasut rakyat agar memberon¬tak, dan mereka menjadi alat paling ber¬ba¬haya di tangan penguasa pribumi yang menentang kepentingan pemerin¬tah kolonial” (hlm. 42).
Terkikisnya Ulama
Pada dasarnya, ulama adalah orang-orang yang memiliki intelektual tinggi dan moralitas baik dalam pandangan masyarakat. Sejak masa penjajahan, melalui fatwa, ceramah dan rundingan menimbulkan pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat. Sebagian mereka seperti KH Hasyim As’ari, pangeran Diponegoro, Sosrokartono, dan lain-lain.
Mereka adalah tokoh agama dan juga pahlawan negara yang tidak pernah getir melawan kemungkaran meskipun harus dengan peperangan. Namun, jika dibandingkan dengan saat ini, saat yang sudah tidak lagi membutuhkan peperangan, para ulama justru semakin terkikis.
Ulama yang diidentikkan dengan tokoh yang memiliki pengetahuan ilmu agama, sekarang semakin jarang kita ketemukan. Mereka terkikis seiring perkembangan zaman. Sehingga, seolah eksistensi ulama ikut hanyut beserta lenyapnya penjajahan (hlm. 43). Dan, kini semakin sulit kita menemukan ulama yang benar-benar tokoh pejuang.
Jika ditilik lebih jauh, eksistensi ulama memiliki peran urgen dalam kehidupan. Terlebih, dalam menegakkan persatuan NKRI ini. Bagaimanapun telah diakui dalam sila pertama yang menyebutkan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Dari butir sila itulah sebenarnya tersirat makna kedudukan orang-orang beragama. Dan Indonesia sebagai negara yang sangat membutuhkan orang-orang agamawan.
Ironisnya, saat peran besar tersebut hanya sebagai falsafah yang telah hilang rasa manisnya. Atau hanya menjadi formalitas yang dijadikan ujung tombak untuk memerangi polemik bersama. Tetapi, eksistensi sebenarnya tidak ada. Yang ada hanyalah bingiksan-bingkisan ketuhanan yang tak bermutu.
Pernyataan tersebut dapat kita lihat dari sumpah-sumpah para pejabat kita yang di bawah naungan kitab suci mereka. Secara keagamaan, setelah bersumpah di bawah kitab suci, mereka tidak akan lagi berani berbuat mungkar, atau durhaka terhadap aturan Tuhan. Namun nyatanya, yang terjadi justru berbalik. Formalitas sumpah tersebut dijadikan sebagai alat untuk mengelabuhi masyarakat dari sistemik rencana jahat.
Betapa tidak bobrok. Ulama hanya menjadi simbolik. Atau hanya sebagai sebutan agamawan yang hanya cakap berdiri di atas mimbar. Tetapi, sisi intelektual mereka tidak memprioritaskan kualitas ulama. Bahkan sebaliknya, orang-orang agamawan yang cakap intelektual, namun krisis moral. Dengan rentan mereka ikut tergerus dalam kenakalan seperti yang dilakoni mayoritas pejabat negara kita.
Budaya koruptor seringkali menyeret nama tokoh-tokoh agama, karena mereka adalah aktor dibalik semua itu. Gaya hidup metralistis dan hedonis membuat para ulama lupa dengan sebutan mereka yang pernah meneteskan tinta emas dalam sejarah republik ini. Demikian terbalik dengan kiprah ulama saat masa BPUPKI, seperti Natsir dari Masyumi, dan Abdul Mukti dari Muhamadiyah. Mereka adalah sebagian ulama sekaligus berkiprah dengan jabatan, tetapi tetap heroik dan tidak koruptor.
Sejak tahun 1975 meskipun telah dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), wadah para intelektual tersebut tidak menjamin para ulama tetap eksis dan memperjuangkan titah mereka. Yang ada justru kabar buruk terkait instansi yang tidak tahan dengan godaan. Ironisnya, wadah tersebut rentan dijadikan sebagai mediator popularitas. Tidak heran jika dalam lembaga MUI pun, konspirasi orang-orang pintar pun terjadi polemik moral, seperti penggelapan uang. Singkat kata, ulama sekarang kemungkinan besar disorientasi ketika memegang jabatan, dan nyaris hilang ke-ulamaannya jika ikut hanyut pada arus politik.
Itu disebabkan karena keberadaan mereka mudah berhadapan dengan proyek yang menguntungkan. Atau garapan yang mendapatkan uang. Sehingga instansi yang berada dalam lembaga tersebut ada yang ditemukan memiliki rekening gendut. Kecelakaan moral yang melibatkan agamawan seperti itu yang menyebabkan orang memandang sebelah mata terhadap fungsi agama. Ditambah lagi keuntungan materi yang tidak jelas, menyebabkan generasi-generasi semakin surut untuk memperdalam ilmu agama (hlm. 44-46).
Buku ini sangat cocok dibaca semua kalangan. Mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dosen, santri, kiai dan ulama serta masyarakat luas agar bisa menelanjangi kondisi pendidikan di Tanah Air ini.
Data Buku:
Judul: Potret Pendidikan Indonesia
Penulis: Khoirul Anwar Afa
Editor: Nor Ifa Fashihah
Penerbit: Formaci
ISBN: 978-602-61554-0-5
Cetakan, Kedua 2017 (Edisi Revisi)
Tebal: vi + 150 Halaman
-Peresensi adalah mahasiswa Udinus dan aktivis Forum Muda Cendekia Jawa Tengah
Buku memberi tamparan keras terhadap dunia pendidikan kita. Sebab, banyak penjajahan dan pergeseran nilai terjadi, sehingga penulis menyebut Indonesia kini kriris guru dan ulama yang bisa benar-benar digugu dan ditiru.
Ketika imperialisme dan kolonialisme menjajah Indonesia, penduduk negeri ini tidak tinggal diam untuk melakukan perlawanan. Umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia memiliki peran penting dalam perjuangan me¬lawan penjajahan. Pada mulanya perlawanan di¬lakukan oleh para penguasa raja, ke¬mudian disambung dengan perlawanan rakyat yang dipimpin oleh para ulama hampir di seluruh wilayah Indo¬nesia.
Begitu pula pada saat kemerdekaan diproklamirkan, mayoritas masyarakat Indonesia sedang dalam keadaan perut kosong, mengingat pada saat bulan puasa. Dan tentulah mereka dalam keadaan tirakat. Sehingga se-bahagia apapun mereka tidak merayakan hasil perjuangan dengan foya-foya (hlm. 41).
Pada saat itu Bumi Putera masih menyimpan banyak heroik yang dalam kepala mereka hanyalah berjuang untuk kebenaran. Mereka tidak takut dari gesingan dan terjangan peluru yang sewaktu-waktu dapat menembus dada mereka. Jangankan terluka, nyawa pun mereka rela demi kemuliaan. Jargon yang mereka pakai hanyalah “hidup mulia atau mati dalam keadaan syahid”.
Ulama, sebagai informal leader yang merakyat, dekat dengan rakyat, ditampil¬kan oleh umat Islam sebagai pemimpin¬nya dalam perang melawan penjajahan. Selain itu, semangat perang sabil se¬ba¬gai penggerak umat untuk berani me¬lawan penjajah yang zhalim juga menjadi salah satu faktor gencarnya perlawanan rakyat.
Para penjajah seperti Thomas S. Raffles, letnan gubernur EIC, yang memerintah tahun 1811-1816 di Indonesia, mereka mengakui eksistensi ulama dan berkata, “Karena mereka be¬gitu dihormati, tidak sulit bagi mereka un¬tuk menghasut rakyat agar memberon¬tak, dan mereka menjadi alat paling ber¬ba¬haya di tangan penguasa pribumi yang menentang kepentingan pemerin¬tah kolonial” (hlm. 42).
Terkikisnya Ulama
Pada dasarnya, ulama adalah orang-orang yang memiliki intelektual tinggi dan moralitas baik dalam pandangan masyarakat. Sejak masa penjajahan, melalui fatwa, ceramah dan rundingan menimbulkan pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat. Sebagian mereka seperti KH Hasyim As’ari, pangeran Diponegoro, Sosrokartono, dan lain-lain.
Mereka adalah tokoh agama dan juga pahlawan negara yang tidak pernah getir melawan kemungkaran meskipun harus dengan peperangan. Namun, jika dibandingkan dengan saat ini, saat yang sudah tidak lagi membutuhkan peperangan, para ulama justru semakin terkikis.
Ulama yang diidentikkan dengan tokoh yang memiliki pengetahuan ilmu agama, sekarang semakin jarang kita ketemukan. Mereka terkikis seiring perkembangan zaman. Sehingga, seolah eksistensi ulama ikut hanyut beserta lenyapnya penjajahan (hlm. 43). Dan, kini semakin sulit kita menemukan ulama yang benar-benar tokoh pejuang.
Jika ditilik lebih jauh, eksistensi ulama memiliki peran urgen dalam kehidupan. Terlebih, dalam menegakkan persatuan NKRI ini. Bagaimanapun telah diakui dalam sila pertama yang menyebutkan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Dari butir sila itulah sebenarnya tersirat makna kedudukan orang-orang beragama. Dan Indonesia sebagai negara yang sangat membutuhkan orang-orang agamawan.
Ironisnya, saat peran besar tersebut hanya sebagai falsafah yang telah hilang rasa manisnya. Atau hanya menjadi formalitas yang dijadikan ujung tombak untuk memerangi polemik bersama. Tetapi, eksistensi sebenarnya tidak ada. Yang ada hanyalah bingiksan-bingkisan ketuhanan yang tak bermutu.
Pernyataan tersebut dapat kita lihat dari sumpah-sumpah para pejabat kita yang di bawah naungan kitab suci mereka. Secara keagamaan, setelah bersumpah di bawah kitab suci, mereka tidak akan lagi berani berbuat mungkar, atau durhaka terhadap aturan Tuhan. Namun nyatanya, yang terjadi justru berbalik. Formalitas sumpah tersebut dijadikan sebagai alat untuk mengelabuhi masyarakat dari sistemik rencana jahat.
Betapa tidak bobrok. Ulama hanya menjadi simbolik. Atau hanya sebagai sebutan agamawan yang hanya cakap berdiri di atas mimbar. Tetapi, sisi intelektual mereka tidak memprioritaskan kualitas ulama. Bahkan sebaliknya, orang-orang agamawan yang cakap intelektual, namun krisis moral. Dengan rentan mereka ikut tergerus dalam kenakalan seperti yang dilakoni mayoritas pejabat negara kita.
Budaya koruptor seringkali menyeret nama tokoh-tokoh agama, karena mereka adalah aktor dibalik semua itu. Gaya hidup metralistis dan hedonis membuat para ulama lupa dengan sebutan mereka yang pernah meneteskan tinta emas dalam sejarah republik ini. Demikian terbalik dengan kiprah ulama saat masa BPUPKI, seperti Natsir dari Masyumi, dan Abdul Mukti dari Muhamadiyah. Mereka adalah sebagian ulama sekaligus berkiprah dengan jabatan, tetapi tetap heroik dan tidak koruptor.
Sejak tahun 1975 meskipun telah dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), wadah para intelektual tersebut tidak menjamin para ulama tetap eksis dan memperjuangkan titah mereka. Yang ada justru kabar buruk terkait instansi yang tidak tahan dengan godaan. Ironisnya, wadah tersebut rentan dijadikan sebagai mediator popularitas. Tidak heran jika dalam lembaga MUI pun, konspirasi orang-orang pintar pun terjadi polemik moral, seperti penggelapan uang. Singkat kata, ulama sekarang kemungkinan besar disorientasi ketika memegang jabatan, dan nyaris hilang ke-ulamaannya jika ikut hanyut pada arus politik.
Itu disebabkan karena keberadaan mereka mudah berhadapan dengan proyek yang menguntungkan. Atau garapan yang mendapatkan uang. Sehingga instansi yang berada dalam lembaga tersebut ada yang ditemukan memiliki rekening gendut. Kecelakaan moral yang melibatkan agamawan seperti itu yang menyebabkan orang memandang sebelah mata terhadap fungsi agama. Ditambah lagi keuntungan materi yang tidak jelas, menyebabkan generasi-generasi semakin surut untuk memperdalam ilmu agama (hlm. 44-46).
Buku ini sangat cocok dibaca semua kalangan. Mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dosen, santri, kiai dan ulama serta masyarakat luas agar bisa menelanjangi kondisi pendidikan di Tanah Air ini.
Data Buku:
Judul: Potret Pendidikan Indonesia
Penulis: Khoirul Anwar Afa
Editor: Nor Ifa Fashihah
Penerbit: Formaci
ISBN: 978-602-61554-0-5
Cetakan, Kedua 2017 (Edisi Revisi)
Tebal: vi + 150 Halaman
Harga: Rp. 30.000
Tambahkan Komentar