Tabayuna.com - Ada beberapa poin ini disampaikan dalam seminar kebangsaan yang dilaksanakan oleh PAC IPNU-IPPNU Simokerto Surabaya. Ahad, 20 Agustus 2017 di Kantor Kecamatan Simokerto oleh Rijal Mumazziq Z.
Baca juga: Ayo Ikut Lomba Essay Hari Santri (HASAN) 2017 Berhadiah Total 30 Juta, Mau?
Pertama, semakin sepuh para kiai NU, biasanya semakin rajin memupuk rasa cinta tanah air kepada para generasi muda. Beliau-beliau menjadi penggerak utama mencintai Indonesia. KH. Maimoen Zubair, Abuya Muhtadi, Habib Lutfi bin Yahya, dan sebagainya, paling bersemangat menjadi teladan dalam mencintai merah putih dan Indonesia.
Kedua, di antara perbedaan NU dengan ormas lain adalah merunut akar pandangan terhadap Bung Karno. Ini penting. Di ormas lain, pandangan terhadap Bung Karno sumir, nyinyir, menuduhnya sebagai sekuler, pembunuh partai Islam, pengkhianat Islam karena menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta hingga tuduhan kasar lainnya. Bagi NU, dengan beberapa kekurangan yang dipunyai, Bung Karno adalah salah satu putra terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Jadi nggak heran kalau yang meng-hauli Bung Karno ya orang NU (haul BK diselenggarakan di Blitar) sekaligus mendoakan para syuhada' Indonesia. Perbedaan cara pandang ini sekaligus juga mempengaruhi pola pikir kebangsaan. Apakah memandang Indonesia sebagai sebuah negara yang lahir dari konspirasi yang meminggirkan kelompok Islam, atau melihat bahwa Indonesia adalah ruang terbuka tempat kompromi kebangsaan dijalankan oleh banyak pihak, antara lain kubu Nasionalis-Sekuler maupun Nasionalis-Relijius di awal pendirian republik ini?
Ketiga, menjadi muslim yang baik sekaligus warga negara yang baik bisa dilakukan di Indonesia. Di negara lain belum tentu, sebab mengharmoniskan keislaman dan kebangsaan terkadang menjadi langkah berat. Libya misalnya. Di sana kubu nasionalis dan kalangan Islamis tidak bisa bertemu mencari jalan tengah kebangsaan. Akhirnya masing-masing punya pemerintahan tersendiri dan ibukota sendiri. Di Indonesia, setelah mengalami pergulatan cukup intens, masing-masing kubu bisa direkatkan dengan Pancasila.
Keempat, satu rumah sederhana yang nyata bernama Indonesia lebih baik daripada rumah mewah bernama khilafah yang masih dalam angan-angan.
Kelima, Indonesia memang bukan negara ideal, tapi ini realistis, dan butuh proses menjadi lebih baik. Tidak perlu mengganti sistem ketatanegaraan, sebab fondasi yang dibangun oleh para founding fathers sudah kukuh dan bisa diterima semua pemeluk agama dan kelompok. Kalau diubah menjadi bentuk lain, misalnya, juga belum menjadi jaminan bahwa sistem terbaru bisa membawa kemaslahatan. Solusinya? Diperbaiki perlahan-lahan, butuh proses panjang. Caranya? Yang paling sederhana: nggak usah menambah masalah dengan menyebar hoax. Ini langkah awal menjadi generasi muda NU yang baik.
Keenam, para rekanita IPPNU harus bersyukur bisa hidup di Indonesia. Menikmati akses pendidikan lebih baik. Kalau hidup di Afganistan, Somalia dan Nigeria, akses pendidikan kaum perempuan dihambat. Nggak boleh sekolah. Kalaupun bisa bersekolah, ancaman penculikan dan pengeboman menghantui setiap waktu. Penembakan Malala Yousafzai, penyerbuan madrasah yang dilakukan Taliban dan penculikan para gadis yang dikomando Boko Haram adalah bukti bahwa kepandiran atas nama agama akan menghambat tumbuhnya peradaban.
Ketujuh, banyak orang mengira dirinya bisa mengubah Indonesia, tapi sayang dia lupa (belum) mengubah dirinya terlebih dulu. (Tb4).
Baca juga: Ayo Ikut Lomba Essay Hari Santri (HASAN) 2017 Berhadiah Total 30 Juta, Mau?
Kedua, di antara perbedaan NU dengan ormas lain adalah merunut akar pandangan terhadap Bung Karno. Ini penting. Di ormas lain, pandangan terhadap Bung Karno sumir, nyinyir, menuduhnya sebagai sekuler, pembunuh partai Islam, pengkhianat Islam karena menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta hingga tuduhan kasar lainnya. Bagi NU, dengan beberapa kekurangan yang dipunyai, Bung Karno adalah salah satu putra terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Jadi nggak heran kalau yang meng-hauli Bung Karno ya orang NU (haul BK diselenggarakan di Blitar) sekaligus mendoakan para syuhada' Indonesia. Perbedaan cara pandang ini sekaligus juga mempengaruhi pola pikir kebangsaan. Apakah memandang Indonesia sebagai sebuah negara yang lahir dari konspirasi yang meminggirkan kelompok Islam, atau melihat bahwa Indonesia adalah ruang terbuka tempat kompromi kebangsaan dijalankan oleh banyak pihak, antara lain kubu Nasionalis-Sekuler maupun Nasionalis-Relijius di awal pendirian republik ini?
Ketiga, menjadi muslim yang baik sekaligus warga negara yang baik bisa dilakukan di Indonesia. Di negara lain belum tentu, sebab mengharmoniskan keislaman dan kebangsaan terkadang menjadi langkah berat. Libya misalnya. Di sana kubu nasionalis dan kalangan Islamis tidak bisa bertemu mencari jalan tengah kebangsaan. Akhirnya masing-masing punya pemerintahan tersendiri dan ibukota sendiri. Di Indonesia, setelah mengalami pergulatan cukup intens, masing-masing kubu bisa direkatkan dengan Pancasila.
Keempat, satu rumah sederhana yang nyata bernama Indonesia lebih baik daripada rumah mewah bernama khilafah yang masih dalam angan-angan.
Kelima, Indonesia memang bukan negara ideal, tapi ini realistis, dan butuh proses menjadi lebih baik. Tidak perlu mengganti sistem ketatanegaraan, sebab fondasi yang dibangun oleh para founding fathers sudah kukuh dan bisa diterima semua pemeluk agama dan kelompok. Kalau diubah menjadi bentuk lain, misalnya, juga belum menjadi jaminan bahwa sistem terbaru bisa membawa kemaslahatan. Solusinya? Diperbaiki perlahan-lahan, butuh proses panjang. Caranya? Yang paling sederhana: nggak usah menambah masalah dengan menyebar hoax. Ini langkah awal menjadi generasi muda NU yang baik.
Keenam, para rekanita IPPNU harus bersyukur bisa hidup di Indonesia. Menikmati akses pendidikan lebih baik. Kalau hidup di Afganistan, Somalia dan Nigeria, akses pendidikan kaum perempuan dihambat. Nggak boleh sekolah. Kalaupun bisa bersekolah, ancaman penculikan dan pengeboman menghantui setiap waktu. Penembakan Malala Yousafzai, penyerbuan madrasah yang dilakukan Taliban dan penculikan para gadis yang dikomando Boko Haram adalah bukti bahwa kepandiran atas nama agama akan menghambat tumbuhnya peradaban.
Ketujuh, banyak orang mengira dirinya bisa mengubah Indonesia, tapi sayang dia lupa (belum) mengubah dirinya terlebih dulu. (Tb4).
Tambahkan Komentar