Oleh: Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
Penulis adalah budayawan
Kami 15 bersaudara dan dari yang sulung hingga yang bontot selalu gagal menjadi Lurah di desa kami. Dulu Buyut kami, dari jalur Ibu, menjadi Lurah. Turun-temurun. Kakek kami juga Lurah. Malah berganti ke beberapa adiknya juga menjadi Lurah. Tapi sejak Bapak kami, tak ada lagi Lurah dari keluarga kami sampai hari ini.
Bapak kami gagal menjadi Lurah karena pada saat-saat menjelang Kakek akan sèlèh alias lèngsèr, sejumlah keluarga besar dan kuat mulai menunjukkan sikap permusuhan kepada Bapak kami. Tanda-tanda permusuhannya adalah sikap sehari-harinya yang berubah. Menyebarkan rerasanan atau isu ke seantero desa tentang keluarga kami. Sampai tingkat fitnah, karangan dan khayal-khayal yang lucu.
Baca juga: Benarkah Tuduhan NU Dapat 1,5 Triliun Oleh Cak Nun Itu Hoax?
Baca juga: Benarkah Tuduhan NU Dapat 1,5 Triliun Oleh Cak Nun Itu Hoax?
Bapak kami cukup cerdas untuk mengerti bahwa publik mulai menghirup atmosfer demokrasi. Kelurahan jangan bersifat monarki, jangan selalu pemimpin desa dari keluarga yang itu-itu saja. Bapak juga cukup peka bahwa sejumlah keluarga memiliki aspirasi untuk menyongsong era demokratisasi kepemimpinan desa. Jangan simpulkan bahwa sejumlah tokoh desa berambisi untuk mendirikan monarki baru. Ini adalah awal dari keindahan demokrasi.
Bapak mengemukakan kepada 15 putra-putrinya bahwa tidak indah kalau keluarga kita terus-menerus menjadi petinggi desa. Generasi kita harus mulai belajar menjadi rakyat. Di samping itu, secara khusus Bapak kami juga mengemukakan dengan suara pelan bahwa ia tidak mampu menjadi Lurah.
“Lho, kenapa Pak?”, kakak sulung kami bertanya.
“Daripada kita menjadi pemimpin desa tapi kehilangan persaudaraan dengan beliau-beliau yang berambisi menjadi Lurah, saya memilih mendekati mereka untuk memastikan persaudaraan dan merawat silaturahmi antara keluarga mereka dengan keluarga kita. Kita tidak menjadi apa-apa tidak masalah, daripada kita menjadi apa-apa tapi ongkosnya adalah permusuhan dan kebencian dengan orang lain”
Kakak kami terus mendesak. “Kan sudah turun-temurun sejak Kik Ronopati semua masyarakat sudah membuktikan bahwa keluarga kita yang paling mampu memimpin mereka. Dan rakyat dari generasi ke generasi juga sudah terbiasa dengan cara keluarga kita memimpin”
Bapak kami mempertahankan pendapatnya. “Zaman sudah berubah, Nak. Hutan rimba sudah mulai menjadi taman dan kebun. Urusannya sekarang bukan nasab atau genealogi, melainkan kredibilitas dan profesionalitas…”
“Saya yakin kita juga menang dengan kriteria itu”, Kakak kami terus membantah, “Kita lebih berpengalaman, kita lebih rajin belajar, kita sudah menetapkan seluruh hidup kita adalah untuk pengabdian. Silahkan kita dipertandingkan di depan seluruh rakyat, terserah bagaimana cara bertandingnya. Tapi saya yakin kita sangat unggul”
Bapak tertawa. “Di situlah letak ketidakmampuan saya.”
“Maksudnya?”, Kakak mengejar.
“Saya tidak tega untuk berdiri lebih tinggi dari orang lain, lebih hebat, lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih matang, mungkin juga lebih punya ilmu dan keluasan pengetahuan dibanding orang lain”
“Ah, Bapak cengeng…”, kata Kakak.
Bapak mencoba menjelaskan lebih jauh. “Hati Bapakmu ini lemah. Tidak punya kekuatan mental untuk menjadi pemimpin. Bapak terlalu didominasi oleh rasa bersalah. Khalifah Umar bin Khattab dulu mendengar ada onta terpeleset di tempat yang jauh tapi masih dalam lingkup kekhalifahannya. Beliau langsung frustrasi dan membenturkan kepalanya di tembok…”
“Sangat bisa dipahami”, kata Kakak.
Bapak meneruskan: “Kalau zaman tidak serusak sekarang, masih mungkin Bapak berpikir menjadi Lurah. Tapi dengan komplikasi penyakit zaman seperti sekarang ini, kalau Bapak jadi Lurah, berapa kali Bapak membenturkan kepala Bapak ke dinding. Segala macam jenis penyakit merajalela, semakin menghancurkan manusia dan masyarakat. Sakit mental, sakit akal, sakit ilmu, sakit tatanan, sakit logika, sakit ketimpangan, sakit ketidakseimbangan, sakit egosentrisme, sakit sok hebat, sakit tidak tahu malu, sakit tidak tahu diri. Bukan hanya soal ekonomi desa dan kesejahteraan penduduk yang harus Bapak pertanggungjawabkan di hadapan rakyat, anak cucu dan Tuhan. Tapi juga martabat masyarakat dan manusia, keamanan nyawa mereka, kelestarian alam dan seluruh aset-aset desa yang dititipkan oleh Allah. Bapak belum tentu sanggup mengatasi semua. Ngelihat satu pengemis saja di tepi jalan, hati Bapak remuk dan muncul satu retakan di kepala Bapak. Tak sampai sebulan menjadi Khalifah, Bapak pasti pecah dan remuk kepala Bapak…”
Baca juga: Cak Nun Dan Tuduhan 1,5 T Bagi NU
Alhasil akhirnya Bapak berhasil meyakinkan kami semua kenapa ia tidak mau menjadi Lurah. Pada kenyataannya, Lurah kami yang baru menjadi bersikap baik kepada Bapak dan kami semua, karena sudah terbukti bahwa Bapak bukan kompetitornya.
Baca juga: Cak Nun Dan Tuduhan 1,5 T Bagi NU
Alhasil akhirnya Bapak berhasil meyakinkan kami semua kenapa ia tidak mau menjadi Lurah. Pada kenyataannya, Lurah kami yang baru menjadi bersikap baik kepada Bapak dan kami semua, karena sudah terbukti bahwa Bapak bukan kompetitornya.
Entah kenapa Bapak selalu menghindar untuk bertemu dengan Pak Lurah. Tetapi Bapak memberi banyak fasilitas untuk rakyatnya. Bapak kasih tanah untuk lapangan sepakbola, membelikan alat berbagai jenis olahraga. Membikinkan Perpustakaan, Koperasi Sembako, bikin kelompok-kelompok dengan menyediakan alat-alatnya, berlangganan majalah dan koran-koran untuk umum, dan banyak lagi.
Setiap Hari Besar, Bapak sembelih sapi, kerbau atau kambing-kambing, untuk kenduri massal bersama penduduk desa.
Bapak gagal jadi Lurah. Generasi sesudah Bapak juga gagal. Kakak-kakak saya, sampai adik bungsu saya, selalu dicalonkan oleh banyak penduduk untuk menjadi Lurah. Dan gagal sampai hari ini. Maksud saya, kami semua berhasil untuk tidak menjadi Lurah.
Yogya 31 Juli 2017.
Sumber: www.caknun.com
Tambahkan Komentar