Suasana Kopi Darat (Kopdar) Majelis Cyber Duta Islam (MaCDI) ke 1 di Pondok Pesantren Putra Putri Al-Asror, Jalan Kauman 1 Patemon, Gunungpati, Kota Semarang, Minggu malam (3/9/2017). |
Baca juga: Mentakabburi Orang Wahabi Itu Sedekah yang Banyak Pahalanya!
Selain itu, banyak pula di antara mereka yang mengaku-ngaku sebagai penganut faham Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja), namun amaliyah dan cara berpikirnya adalah wahabi.
“Kalau teman-teman sering menyebutnya ASRABI, yaitu Aswaja Rasa Wahabi,” beber Abdull Badri pengelola penanggungjawab kegiatan Kopi Darat (Kopdar) Majelis Cyber Duta Islam (MaCDI) ke 1 di Pondok Pesantren Putra Putri Al-Asror, Jalan Kauman 1 Patemon, Gunungpati, Kota Semarang, Minggu malam (3/9/2017).
Ia menjelaskan, ada beberapa cira-ciri ASRABI. Salah satunya adalah selalu ingin mengubah Indonesia yang sudah Pancasila menjadi negara Islam atau khilafah. Selanjutnya, mereka antitradisi, seperti tahlilan, yasinan, mauludan dan lainnya.
Media Dikuasi Wahabi
Sementara itu, Mohamad Syafi' Ali (Savic Ali) Direktur NU Online, menegaskan bahwa media online Islam, saat ini didominasi oleh media-media wahabi yang selalu mengampanyekan klaim benar sendiri, antitradisi dan tidak menonjolkan Islam yang ramah.
Aktivis reformasi 1998 ini juga menjelaskan, bahwa kebanyakan, media-media online Islam yang pro NU masih kalah dengan media milik wahabi. Sebab, menurut Savic Ali, saat ini peringat 10 besar media online Islam dikuasai Wahabi.
Bahkan, di internal NU, khusus situs resmi PBNU yakni NU Online menjadi satu-satunya media Islam non-wahabi yang berada di 10 besar, namun maksimal berada di ranking keempat.
Penggagas Islami.co ini juga membeberkan, dalam lima tahun lalu NU Online belum masuk dalam 20 besar. Akan tetapi dengan konsistensi, akhirnya masuk dalam 20 besar dan kini masuk 10 besar
“Orang Indonesia, terutama Jawa, itu ramah dan tidak suka konflik. Kalau orang Jawa mengatakan ngono ya ngono ning ojo ngono,” beber Savic Ali yang lahir di Pati itu.
Baca juga: NU Garis Lurus itu ASRABI (Aswaja Rasa Wahabi)
Santri yang pernah menimba ilmu di Kajen, Pati ini juga membeberkan beberapa kasus politik yang menyeret isu SARA. "Contoh kasus kecil saja, di Pilkada DKI Jakarta yang bertikai itu rata-rata saat ini menarik diri dan kembali ke zona aman," beber dia.
Kiai-kiai NU yang paling konservatif saja masih nasionalis. "Bukan tenggelam dalam Asrabi itu, Aswaja Rasa Wahabi," beber dia. (TB55/HI).
Tambahkan Komentar