Ilustrasi foto: Youtube |
Alam raya tidak pernah selesai untuk dijelaskan. Ia tersusun dari untaian banyak perspektif dan pikiran. Belum pernah ada persamaan tunggal sederhana yang mampu mencakup keseluruhan. “Teori Tentang Segalanya” yang dianggap cawan suci dalam fisika dan matematika lebih mirip mitos yang diilmiahkan. Selalu saja ada hal baru yang luput dari perhatian. Maka pengetahuan alam senantiasa mengundang tanya jawab tak berkesudahan. Menyisakan tugas luhur bagi generasi mendatang.
Yuk Miliki Buku Ahmad Fauzi: Cara Pesan dan Membeli Buku Agama Skizofrenia, Tragedi Incest Adam dan Hawa & Nabi Kriminal.
Dunia material dari waktu ke waktu memproduksi dan mendaur ulang dirinya terus menerus. Penciptaan tidak pernah selesai dan masih berlangsung. Lubang kosong dan kerkahan tak berhenti untuk diisi. Yang patah akan disambungkan dan yang rusak akan diperbaiki. Alam ini senantiasa memperbarui diri. Tidak ada kata selesai dalam proses yang abadi.
Dinding jagad raya memang teranyam dari banyak persamaan. Maka, banyak cara untuk memaparkan. Ceruk atom terkecil menjadi tidak bersifat materi lagi apabila dibagi-bagi. Ia lebih mirip tersusun dari multi-jagad pikiran yang centang perenang. Semakin terjawab, semakin banyak pertanyaan harus diajukan. Pengetahuan hanyalah seujung kuku api di tengah samudera gelapnya misteri. Namun, ia dapat menjadi jalan hidup dan pandangan dunia yang meyakinkan. Bisikan nalar tidak pernah berhenti menyuarakan ke dalam hati manusia bahwa peradaban dan kebudayaan adalah keniscayaan.
Karena memahami yang hidup dengan pikiran mati, agama dirasa hanya mengurusi hal-hal beku yang tidak dapat diubah. Agama harus disegarkan dengan basuhan air ragu dan sentakan pertanyaan ilmu pengetahuan. Agama yang tidak mau belajar dari realitas dan pengetahuan hanya menyisakan dogma-mekanis yang ritualistik, rigid dan kaku. Kini kita merasakan bagaimana pengetahuan dengan gagah berani menjawab banyak tantangan hidup, menyongsong masa depan dengan optimis, tapi di sisi lain agama justeru bergerak mundur sekedar sibuk mengurusi hal mati dan nampak lelah meladeni serangan dan pertanyaan manusia modern yang berpikiran terbuka. Bahkan lebih buruk lagi, agama sudah memfosil menjadi beban dan penyakit kemanusiaan yang mengganggu proses pendewasaan manusia dalam pembangunan kebudayaan dan peradaban.
Kita tidak pernah berhenti dipermainkan nasib. Langit tidak ada bosan-bosannya menimpakan ujian dan mentertawakan kita. Apa betul langit dengan seenaknya memberi kita bacaan wahyu lalu kita harus mentaati dan melaksanakan isinya tanpa sangsi dan ragu? Apa resep kitab wahyu dapat digunakan sepanjang waktu dan menyelesaikan segala permasalahan? Nampaknya, pikiran kita terkurung dan dipenjara oleh teks wahyu yang mendakwahkan dirinya sebagai yang kekal dan abadi. Inilah awal mula dari gagalnya agama-agama para nabi di kehidupan modern kini.
Kegagalan agama-agama dalam menjawab tantangan zaman dan ujian kemanusiaan telah menciptakan kepanikan epistemologis yang sangat dalam. Masyarakat kehilangan pijakan dasar ketika memandang realitas dan bagaimana cara menghadapi hidup yang sudah begitu bengis dan ganjilnya. Krisis ini menjadi fermentasi bagi gerakan-gerakan yang berusaha menjawab tantangan zaman di atas, salah satunya melalui pintu spiritualisme dan humanisme. Karena, keduanya membicarakan tentang masalah makna dan dasar-dasar kehidupan yang sulit diselesaikan oleh sains dan ilmu pengetahuan. Lalu, apakah agama akan kita tinggalkan begitu saja, memfosil di sudut-sudut gelap peradaban? Atau masih adakah harapan bagi agama untuk kita perbarui dan revitalisasi kembali, diganti dasar-dasarnya dengan paradigma dan landasan baru. Bagaikan musim jamur, banyak pengharapan dan messianisme muncul menawarkan pemuas dahaga tak berkesudahan. New Age, Agama tanpa Tuhan, Ateisme, Spiritualisme Baru, Humanisme dan Scientologi menjadi contoh percikan-percikan yang berusaha menjawab tantangan dan krisis bagi gagalnya agama-agama yang telah ada.
Dalam tiga agama Abrahamik, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam, manusia yang menyampaikan kabar penyelamatan dan penghiburan dari tuhan disebut nabi. Para nabi menjadi penghibur, pembawa kabar gembira dan penyelamat bagi orang-orang yang nasibnya terkalahkan di dunia. Mereka meyakini seorang nabi menjadi solusi atas penderitaan yang selama ini tidak tertanggungkan. Apalagi para nabi mendakwahkan diri sebagai perantara umatnya dengan tuhan. Mereka memiliki kelebihan untuk dapat berhubungan secara langsung dengan tuhan.
Seorang nabi mempunyai kemampuan khusus dan misterius yang tidak dimiliki manusia biasa. Ia adalah makhluk istimewa yang telah diramalkan oleh zaman. Dianugerahi mukjizat supranatural dan penglihatan gaib yang dapat menerawang masa depan hingga ke dunia seberang. Apa-apa yang diperoleh seorang nabi dari tuhannya dinamakan wahyu. Semacam penglihatan dan pendengaran misterius yang aneh dan gaib tapi meyakinkan, bisikan halus dan inspirasi mengambang, dan yang ilahi dianggap sebagai sumber yang mengintervensi. Penglihatan dan pendengaran ini kemudian diolah, dibahasakan dan disampaikan kepada umatnya sebagai bukti bahwa dirinya adalah seorang utusan tuhan.
Wahyu yang diperoleh seorang nabi secara misterius dan gaib dari tuhan dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan abadi, tidak mungkin salah dan selalu sesuai dengan kenyataan sampai kapan pun dan di mana pun. Manusia dianggap tidak beriman dan patuh pada tuhan apabila tidak meyakini kebenaran wahyu yang dibawa oleh para nabi. Iman ditentukan sejauh mana kita mematuhi tuhan yang diwakili oleh wahyu yang dibawa seorang nabi. Patuh kepada sang nabi berarti patuh kepada tuhan. Tunduk kepada nabi sama dengan tunduk kepada tuhan. Dan sebaliknya, apabila kita melawan nabi dan ajarannya berarti kita melawan tuhan. Oleh karena itu, wahyu menjadi legitimasi mutlak atas seorang lelaki yang membawa risalah kenabian dengan mengatas namakan kebenaran dari tuhan.
Kenabian, Kesurupan dan Perdukunan
Kesurupan dan perdukunan mempunyai sejarah yang jauh lebih tua dari pada kenabian. Dialektika kuasa memperlihatkan bahwa kenabian bukan saja melanjutkan sejarah kesurupan dan perdukunan, tetapi perebutan pengaruh dan monopoli ideologis. Ada semacam pertarungan dan pengambil kekuasaan antara kesurupan dan kenabian. Kenabian muncul dengan mengambil alih peran perdukunan dan berusaha menghancurkannya meskipun sebenarnya kenabian memiliki asal-usul yang sejenis dengan perdukunan dan kesurupan.
Zaman primitif memperlihatkan bahwa fenomena kesurupan dan perdukunan memiliki keterkaitan dengan dunia di balik benda, yaitu alam roh dan makhluk halus. Para dukun pada zaman dahulu memperoleh pengetahuan visionernya melalui hubungan gaib dengan makhluk halus yang merasuk ke dalam jiwanya. Makhluk ini menguasai jiwa sang dukun, mengambil alih kesadarannya dan menghunjamkan inspirasi dan perkataan sambil meracau. Akibat dari kerasukan ini, sang dukun seolah-olah memiliki kepribadian selain kepribadian ketika ia sadar dan tidak dirasuki. Ia berkata dan meracau mengatas namakan diri yang lain. Fenomena ini oleh ilmu budaya dan antropologi (E.B. Tylor; Primitive Culture) dinamakan kesurupan (possession).
Sebagai kelanjutan dari para dukun yang memeroleh pengetahuannya melalui kesurupan, ternyata kenabian juga masih sama dengan fenomena perdukunan. Yaitu, pengetahuan gaibnya atau pewahyuan muncul bersamaan dengan keadaan kesurupan. Bedanya, roh yang merasuk dalam perdukunan itu belum memiliki kepribadian dan masih bersifat impersonal, sedangkan dalam kenabian, pewahyuan muncul dengan merasuknya roh halus yang telah memiliki nama personal, seperti malaikat Jibril yang diangapnya diutus secara gaib oleh tuhan. Anehnya, kenapa kenabian tidak mau disamakan dengan perdukunan, padahal sama bentuknya dalam memeroleh pengetahuan gaib dan pewahyuannya.
Menurut alam pikiran modern, kesurupan dan pewahyuan sama-sama merupakan fenomena invasi alam bawah sadar dan bukan hasil kerja dari roh-roh halus atau pun malaikat. Dengan kata lain, wahyu yang diperoleh para nabi itu berasal dari gejala aktivasi dunia alam bawah sadar. Maka wajar bila aktualisasi pewahyuan mengandung agresi dan khayali yang dituliskan dalam kitab suci, karena keduanya mengakar dalam psikis alam bawah sadar. Agresi dan khayali merupakan kuman yang menjangkiti kemanusiaan dan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, agama pewahyuan sering bertindak di luar kemanusiaan dan kerepotan dalam mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan, atau tidak jarang malah memusuhinya. Adalah berbahaya bila di zaman ini kita masih beragama dengan menopangkan moralitas pada kitab suci yang memiliki asal-usul dalam dunia kesurupan. Kita harus menggeser pondasi keberagamaan yang selama ini bersumber dalam dunia alam bawah sadar (unconsciousness) menuju kesadaran (consciousness).
Kesadaran merupakan fakultas jiwa yang terbuka dengan kenyataan dan menjadi aktualisasi diri manusia dalam bentuk nilai-nilai kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Dengan begitu kenabian dan agama masa depan bukan lagi berdasarkan pewahyuan yang dianggap berasal dari tuhan tetapi fakultas kesadaran dalam diri manusia itu sendiri yang menopang keutamaan moral dan ilmu pengetahuan.
Abad ini adalah era ilmu pengetahuan, di mana ia bisa salah dan mengalami perubahan. Agama pewahyuan sudah tidak sesuai dengan selera peradaban yang terus mengalami revisi dan falsifikasi. Agama yang tidak mau berubah dan tidak bisa disalahkan adalah agama otoritarian. Mari kita sambut masa depan dengan agama yang ditopangkan pada kesadaran (consciousness) dan para nabinya yang membawa obor ilmu pengetahuan yang terus berubah sepanjang zaman. (*)
-Ahmad Fauzi merupakan penulis buku Agama Skizofrenia: Kegilaan, Wahyu, dan Kenabian, serta buku Tragedi Incest Adam dan Hawa dan Nabi Kriminal.
Tambahkan Komentar