Oleh Yeni Ervina
Mahasiswi Semester VI Prodi PAI Jurusan Tarbiyah STAINU Temanggung
Perdebatan penggunaan cadar bagi mahasiswi di kampus menjadi sorotan menarik. Cadar selama ini dinilai sebagai ajaran Islam, padahal sebenarnya hanya budaya Arab bahkan sebelum Islam itu datang ke Arab. Kita harus membedakan “ajaran Islam” dengan “budaya Arab”. Ibarat makan kacang, ajaran Islam yang begitu luas tak boleh ditelan mentah-mentah karena harus dikupas dan dibuang kulitnya dulu.
Baca: Peluang Bisnis "Mainan Seks" Syar'i
Banyaknya kampus yang melarang mahasiswi bahkan dosen perempuan memakai cadar menjadi bukti bahwa cadar belum tepat diterapkan di Indonesia. Mengapa? Karena yang ditonjolkan dalam Islam seharusnya nilai-nilai, substansi, amal saleh, bukan pada formalitas atau bungkusnya.
Kita tak boleh terjebak pada bungkus atau cassing saja. Yang bercadar belum tentu Islami, yang tidak bercadar belum tentu tidak lebih Islami. Pasalnya Islam atau tidak bukan pada cadar atau sarungnya, namun lebih pada cara berpikir, amal saleh dan kejujuran hatinya. Di sinilah poin substansi dalam beragama yang harus ditonjolkan.
Pelarangan Cadar
Beberapa kampus di Indonesia melarang mahasiswi menggunakan cadar dengan berbagai alasan. Pada April 2017, IAIN Jember membuat aturan larangan bercadar, dengan alasan bahwa cadar dinilai tidak mencerminkan Islam yang ramah dan menyejukkan (Kiblat.net, 22/10/17). Dengan memakai cadar di kampus, dinilai akan mengurangi Ukhuwah Islamiyah, sehingga interaksi sosial antarmahasiswa terganggu.
Pada 7 Agustus 2017, Universitas Pamulang juga mengeluarkan kebijakan serupa, yaitu pelarangan cadar, karena dinilai mengganggu proses belajar-mengajar seperti sulitnya mengidentifikasi mahasiswi. Begitu pula dengan kampus-kampus lain seperti UIN Walisongo, Unlam, STIKIM Jakarta dan lainnya yang secara tegas menolak cadar masuk kampus.
Apakah itu hanya di Indonesia? Ternyata tidak. Pimpinan Al-Azhar memerintahkan para mahasiswi melepas cadar selama berada di kampus, dan membuat larangan resmi pemakaian cadar di sekolah-sekolah (Nu.or.id, 22/10/17). Di kampus itu, cadar dinilai sebagai sebuah tradisi dan tidak ada hubungannya dengan Islam.
Berbagai pendapat menjelaskan cadar bukan ajaran Islam, melainkan hanya budaya perempuan Arab. Al-Qurtuby (2017) menjelaskan cadar justru budaya Yahudi. Cadar merupakan sehelai kain penutup wajah bagi perempuan khususnya, karena ada cadar yang dikenakan bagi kaum lelaki seperti kelompok Suku Thawareq di Afrika Utara.
Praktik cadar ini sudah dilakukan ribuan tahun sebelum Islam lahir di kawasan Arab, khususnya sejak zaman Imperium Assyria kuno di kawasan Mesopotamia. Tradisi cadar ini dilanjutkan di zaman Byzantium dan dipopulerkan di masa Imprerium Persia. Ketika para laskar Islam menaklukkan Byzantium and Persia, diadopsi tradisi cadar itu ke masyarakat muslim Arab dan Timur Tengah pada umumnya.
Dulu, perempuan-perempuan Yunani memakai cadar seperti yang dipakai perempuan-perempuan Arab sekarang. Pengikut Yesus pun memakai cadar hingga Abad 13 Masehi untuk melindungi wajah mereka dari panas dan debu, sebab suhu di daerah Timur sangat ekstrem karena mencapai 50ยบ C.
Kemudian perempuan muslimah masa Rasulullah memakai cadar termasuk istri Rasulullah. Akan tetapi istri para sahabat Rasulullah tidak memakai cadar. Seandainya bercadar ajaran Islam dan merupakan sebuah kewajiban, tentu Rasulullah memerintahkan para istri sahabat untuk memakainya.
Namun, terbukti tidak dan Rasulullah hanya memerintahkan memakai hijab yang dapat menutup aurat yaitu seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dari sini, terungkap cadar bukan ajaran Islam meskipun Raulullah tidak melarang wanita bercadar. Jadi, intinya cadar adalah budaya menutup wajah yang sudah hadir sebelum Islam datang.
Berislam Substansial
Di era milenial ini, banyak orang yang ingin religius tetapi hanya dengan menggunakan sebuah simbol. Tentu, kita harus bisa membedakan mana cadar, jilbab dan hijab. Jilbab yang dulu merupakan mahkota bagi kaum hawa sekarang sudah berubah menjadi tren atau gaya hidup. Dulu, jilbab hanya dikenakan oleh kaum religius yang dianggap mumpuni dalam bidang agama dan menduduki stratifikasi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak berjilbab.
Seiring berjalannya waktu, jilbab kini sudah marak dikenakan terutama di kalangan generasi muda, tak terkecuali mahasiswa. Kini, jilbab dianggap sebagai tren busana yang popular di kalangan muslimah. Tak ingin terlihat jadul dengan berjilbab maka muncullah fenomena jilbob yang menjadi simbol seorang muslimah tetapi tetap dapat berpenampilan trendy dan memamerkan keelokan tubuh.
Jilbab tidak hanya sebagai penutup rambut, tetapi juga menutup bagian-bagian sensualitas seperti yang telah dijelaskan Rasulullah Saw, bahwa ada beberapa kriteria pakaian seorang muslimah. Pertama, harus menutup aurat bagi wanita seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Kedua, tidak ketat dan menampakkan bentuk tubuh. Ketiga tidak tembus pandang. Keempat tidak menyerupai pakaian laki-laki dan sebaliknya.
Jika pemakaian cadar dianggap sebagai salah satu upaya penyelamatan diri dari fenomena-fenomena hijab masa kini, maka perlu digarisbawahi bahwa wajah bukan aurat seorang muslimah. Meskipun dalam surah An-Nur ayat 31 seorang muslimah harus menjaga pandangan dengan lawan jenis tetapi itu tidak berarti muslimah harus menutupi wajahnya dengan cadar.
Di kampus, mahasiswi yang bercadar cenderung introver, dan membatasi pergaulannya terutama dengan lawan jenis. Maka perlu pemahaman mendasar bahwa cadar bukan ajaran Islam. Mahasiswi harus memaknai ajaran dan sejarah Islam secara kafah dan tidak boleh sepenggal. Berislam atau tidak, bermoral atau tidak, alim atau tidak, sekali lagi bukan pada cadarnya, melainkan pada jernihnya hati, sucinya pikiran dan perbuatan yang dilandasi dengan amal saleh. (tb3).
Mahasiswi Semester VI Prodi PAI Jurusan Tarbiyah STAINU Temanggung
Perdebatan penggunaan cadar bagi mahasiswi di kampus menjadi sorotan menarik. Cadar selama ini dinilai sebagai ajaran Islam, padahal sebenarnya hanya budaya Arab bahkan sebelum Islam itu datang ke Arab. Kita harus membedakan “ajaran Islam” dengan “budaya Arab”. Ibarat makan kacang, ajaran Islam yang begitu luas tak boleh ditelan mentah-mentah karena harus dikupas dan dibuang kulitnya dulu.
Baca: Peluang Bisnis "Mainan Seks" Syar'i
Banyaknya kampus yang melarang mahasiswi bahkan dosen perempuan memakai cadar menjadi bukti bahwa cadar belum tepat diterapkan di Indonesia. Mengapa? Karena yang ditonjolkan dalam Islam seharusnya nilai-nilai, substansi, amal saleh, bukan pada formalitas atau bungkusnya.
Kita tak boleh terjebak pada bungkus atau cassing saja. Yang bercadar belum tentu Islami, yang tidak bercadar belum tentu tidak lebih Islami. Pasalnya Islam atau tidak bukan pada cadar atau sarungnya, namun lebih pada cara berpikir, amal saleh dan kejujuran hatinya. Di sinilah poin substansi dalam beragama yang harus ditonjolkan.
Pelarangan Cadar
Beberapa kampus di Indonesia melarang mahasiswi menggunakan cadar dengan berbagai alasan. Pada April 2017, IAIN Jember membuat aturan larangan bercadar, dengan alasan bahwa cadar dinilai tidak mencerminkan Islam yang ramah dan menyejukkan (Kiblat.net, 22/10/17). Dengan memakai cadar di kampus, dinilai akan mengurangi Ukhuwah Islamiyah, sehingga interaksi sosial antarmahasiswa terganggu.
Pada 7 Agustus 2017, Universitas Pamulang juga mengeluarkan kebijakan serupa, yaitu pelarangan cadar, karena dinilai mengganggu proses belajar-mengajar seperti sulitnya mengidentifikasi mahasiswi. Begitu pula dengan kampus-kampus lain seperti UIN Walisongo, Unlam, STIKIM Jakarta dan lainnya yang secara tegas menolak cadar masuk kampus.
Apakah itu hanya di Indonesia? Ternyata tidak. Pimpinan Al-Azhar memerintahkan para mahasiswi melepas cadar selama berada di kampus, dan membuat larangan resmi pemakaian cadar di sekolah-sekolah (Nu.or.id, 22/10/17). Di kampus itu, cadar dinilai sebagai sebuah tradisi dan tidak ada hubungannya dengan Islam.
Berbagai pendapat menjelaskan cadar bukan ajaran Islam, melainkan hanya budaya perempuan Arab. Al-Qurtuby (2017) menjelaskan cadar justru budaya Yahudi. Cadar merupakan sehelai kain penutup wajah bagi perempuan khususnya, karena ada cadar yang dikenakan bagi kaum lelaki seperti kelompok Suku Thawareq di Afrika Utara.
Praktik cadar ini sudah dilakukan ribuan tahun sebelum Islam lahir di kawasan Arab, khususnya sejak zaman Imperium Assyria kuno di kawasan Mesopotamia. Tradisi cadar ini dilanjutkan di zaman Byzantium dan dipopulerkan di masa Imprerium Persia. Ketika para laskar Islam menaklukkan Byzantium and Persia, diadopsi tradisi cadar itu ke masyarakat muslim Arab dan Timur Tengah pada umumnya.
Dulu, perempuan-perempuan Yunani memakai cadar seperti yang dipakai perempuan-perempuan Arab sekarang. Pengikut Yesus pun memakai cadar hingga Abad 13 Masehi untuk melindungi wajah mereka dari panas dan debu, sebab suhu di daerah Timur sangat ekstrem karena mencapai 50ยบ C.
Kemudian perempuan muslimah masa Rasulullah memakai cadar termasuk istri Rasulullah. Akan tetapi istri para sahabat Rasulullah tidak memakai cadar. Seandainya bercadar ajaran Islam dan merupakan sebuah kewajiban, tentu Rasulullah memerintahkan para istri sahabat untuk memakainya.
Namun, terbukti tidak dan Rasulullah hanya memerintahkan memakai hijab yang dapat menutup aurat yaitu seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dari sini, terungkap cadar bukan ajaran Islam meskipun Raulullah tidak melarang wanita bercadar. Jadi, intinya cadar adalah budaya menutup wajah yang sudah hadir sebelum Islam datang.
Berislam Substansial
Di era milenial ini, banyak orang yang ingin religius tetapi hanya dengan menggunakan sebuah simbol. Tentu, kita harus bisa membedakan mana cadar, jilbab dan hijab. Jilbab yang dulu merupakan mahkota bagi kaum hawa sekarang sudah berubah menjadi tren atau gaya hidup. Dulu, jilbab hanya dikenakan oleh kaum religius yang dianggap mumpuni dalam bidang agama dan menduduki stratifikasi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak berjilbab.
Seiring berjalannya waktu, jilbab kini sudah marak dikenakan terutama di kalangan generasi muda, tak terkecuali mahasiswa. Kini, jilbab dianggap sebagai tren busana yang popular di kalangan muslimah. Tak ingin terlihat jadul dengan berjilbab maka muncullah fenomena jilbob yang menjadi simbol seorang muslimah tetapi tetap dapat berpenampilan trendy dan memamerkan keelokan tubuh.
Jilbab tidak hanya sebagai penutup rambut, tetapi juga menutup bagian-bagian sensualitas seperti yang telah dijelaskan Rasulullah Saw, bahwa ada beberapa kriteria pakaian seorang muslimah. Pertama, harus menutup aurat bagi wanita seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Kedua, tidak ketat dan menampakkan bentuk tubuh. Ketiga tidak tembus pandang. Keempat tidak menyerupai pakaian laki-laki dan sebaliknya.
Jika pemakaian cadar dianggap sebagai salah satu upaya penyelamatan diri dari fenomena-fenomena hijab masa kini, maka perlu digarisbawahi bahwa wajah bukan aurat seorang muslimah. Meskipun dalam surah An-Nur ayat 31 seorang muslimah harus menjaga pandangan dengan lawan jenis tetapi itu tidak berarti muslimah harus menutupi wajahnya dengan cadar.
Di kampus, mahasiswi yang bercadar cenderung introver, dan membatasi pergaulannya terutama dengan lawan jenis. Maka perlu pemahaman mendasar bahwa cadar bukan ajaran Islam. Mahasiswi harus memaknai ajaran dan sejarah Islam secara kafah dan tidak boleh sepenggal. Berislam atau tidak, bermoral atau tidak, alim atau tidak, sekali lagi bukan pada cadarnya, melainkan pada jernihnya hati, sucinya pikiran dan perbuatan yang dilandasi dengan amal saleh. (tb3).
Tambahkan Komentar