Ilustrasi |
Oleh: Khoirul Anwar Afa
Tentu bisa dibandingkan bahwa persoalan umat bukan seperti persoalan ujian untuk anak sekolah. Persoalan umat membutuhkan jawaban yang lugas, tegas dan tidak bias. Sebab dalam wilayah ini menyangkut banyak tantangan, di antaranya rawan memantik permusuhan yang bisa memecah belah persatuan. Ini bukan hal yang gampang.
Namun bagi Kiai Sahal, tantangan untuk memberikan jawaban tersebut diterjang dengan akrobat yang relevan dan taktis yang humanis. Sehingga ujungnya, Kiai Sahal tetap mengajak masyarakat pesantren untuk menindaklanjuti pemahaman atas fiqh dengan kerja-kerja sosial di masyarakat. Bagi Kiai Sahal yang pernah belajar Fiqh dengan Kiai Zubair, ayah dari Kiai Maimun Zubar Sarang, Rembang ini, mereka yang merasa cukup dengan mengajarkan fiqh di Madrasah dan Pesantren hanya akan menambah daftar orang-orang yang menurunkan derajat Fiqh, yang seharusnya menjadi panduan praktis umat Islam.
Meski demikian, Kiai Sahal tampak berbeda dengan tokoh-tokoh lain yang menyuarakan untuk penafsiran ulang atas sumber hukum Islam. Sebab menurutnya, bahwa produk hukum fiqh yang dilahirkan oleh para ulama salaf dan juga metodologi pengambilan hukum fiqh (baca: Ushul Fiqh) masih relevan untuk diaplikasikan di alam masyarakat modern. Yang perlu dilakukan sekarang adalah kontekstualisasi fiqh, dengan melibatkan ilmu lain sebagai instrumen, (FISI, 2015:155).
Maka untuk mewujudkan kemaslahatan umat (baca: Maqashid as-Syariah), yang harus bisa menjadi payung hukum dan pijakan utama dalam proses kombinasi antara illat (sebab hukum) dan hikmah yang harus ada pada produk hukum, sehingga cita kemaslahatan dan keadilan hukum dapat dirasakan oleh umat.
Kiai Sahal tidak hanya memberikan sorotan pada permasalahan yang pelik seperti praktik prostitusi yang baginya harus dipertimbangkan justifikasi “keharamannya.” ia juga memberikan jawaban untuk permasalahan ringan seperti merayakan ulang tahun. Baginya, perayaan ulang tahun boleh dilakukan. Karena Islam mengajarkan umatnya untuk bersyukur ketika mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan yang manifestasinya dengan cara memperbanyak amalan-amalan kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Meski terlihat nyentrik, Kiai Sahal dalam berfatwa tetap mengedepankan etika tawadlu’ yang ini menjadi ciri khas beliau sebagai “Kiai Pesantren Tulen”. Baginya, yang disebut dengan istimbath al-Ahkam atau menggali hukum-hukum di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan as-Sunnah. Bukan seperti yang diteriakkan mereka saat ini kembali pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Akan tetapi penggalian hukum itu dengan mentathbiq-kan atau mempraktikkan secara dinamis nash-nash para ulama salaf, (Mahfudh, 1994:28).
Kiai Sahal bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, lahir pada 15 Februari 1934 dan wafat pada hari jumat tanggal 23 Januari tahun 2014 di Kajen Margoyoso Pati. Ia dimakamkan di makam kakeknya, Ahmad Mutamakkin. (adm).
Tambahkan Komentar