Oleh Ahmad Fauzi
Penulis buku "Tragedi Incest Adam dan Hawa & Nabi Kriminal"
Ibrahim; Nabi Delusional
Ia adalah nenek moyang tiga Agama Besar Dunia. Para nabi dalam tradisi Yahudi, Kristen dan Islam merupakan anak cucu keturunannya. Ibrahim, Bapak Kaum Beriman yang ditakdirkan untuk dikenang akan kebesaran dan kemuliaannya. Yang selalu diwiridkan dalam upacara-upacara keagamaan, dan namanya dilagukan dalam bait-bait pujian. Sungguh mulia, engkau Ibrahim, salam takdhim bagimu dari segala penjuru.
Baca: Review Buku Tragedi Incest Adam dan Hawa dan Nabi Kriminal
Namun, di tengah nyenyaknya tidur dogmatis kaum beriman, muncul suara kecil yang berusaha berkata lain, dan membangunkan para agamawan dari lelap mimpi panjang. Ada sesuatu yang hendak dikabarkan dengan lirih bahwa kemanusiaan tidak bisa begitu saja dipermainkan oleh kata-kata suci dari sabda para nabi. Dengan penuh keraguan manusiawi, penulis tidak mau seperti mereka, kebanyakan orang beragama yang menganggap bahwa Ibrahim sepantasnya dielu-elukan seolah umat manusia berhutang budi padanya.
Sungguh tidak bermaksud untuk merendahkan martabat agung Sang Bapak Tiga Agama ini, namun demi syahadat pengetahuan dan keyakinan kalau kemanusiaan itu layak diperjuangkan di tengah-tengah muramnya akal-budi. Sejatinya, wahyu primitif yang dimandikan oleh delusi dan halusinasi mampu menenggelamkan kewarasan hati. Iman telah menutupi mata pikiran kita untuk memandang bahwa kemanusiaan tidak bisa menjadi tumbal bagi wahyu ketuhanan. Tidak ada satu pun pembenaran gaib dan suara langit yang berhak memotong daging tubuh manusia hanya demi sebuah persembahan.
Sesungguhnya, Ibrahim adalah nabi kriminal, nabi yang dipermainkan oleh kekuatan magis mimpi sehingga dengan imannya yang berapi-api, khusyuk dan khidmat berusaha menyembelih puteranya sendiri. Bukankah kalau begitu wahyu telah menjadi impuls bagi percobaan tindak kriminal yang mengatasnamakan ibadah suci? Apakah salah jika penulis menjuluki Ibrahim bapak para nabi, dengan sebutan nabi delusional murni? Alasan apakah yang membuat Ibrahim sampai layak mendapatkan gelar ini?
Dan pikiran apa yang mendorong Ibrahim untuk berusaha mengorbankan nyawa anaknya sendiri, hanya untuk membuktikan ia rela mempersembahkan sesuatu yang sangat dicintainya demi ketaatannya pada tuhan yang maha tinggi? Benarkah yang memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri adalah tuhan sejati? Tuhan macam apa yang dengan sadisnya menuntut ketaatan hambanya dengan cara membunuh puteranya sendiri? Mari kita telusuri sekelumit rahasia pikiran tersembunyi bapak dari para nabi ini.
Kisah ini bermula dari sebuah mimpi yang dialami Ibrahim ketika tidur, di mana dalam mimpi tersebut Ibrahim sedang menyembelih Ismail (versi Taurat yang disembelih adalah Ishaq, dan beberapa ulama Islam juga ada yang mengatakan karena nama Ismail tidak pernah secara literal disebut dalam Al-Qur’an ketika disembelih Ibrahim, maka yang disembelih itu sebenarnya adalah Ishaq). Keesokan paginya ia memberitakan mimpi tersebut kepada anaknya, bahwa ia merasa telah diperintahkan untuk menyembelih Ismail sebagai wujud ketaatannya pada tuhan. Kemudian mereka berdua pun segera menyiapkan bekal perjalanan dan pergi menuju sebuah bukit dengan membawa beberapa kayu bakar yang biasa digunakan untuk api persembahan. Setelah mengikat Ismail, dan siap untuk menyembelihnya dengan pisau yang tajam, tiba-tiba muncul malaikat yang membawakan seekor domba yang dimaksudkan sebagai ganti Ismail yang akan disembelih. Oleh karena ujian kecintaan dan ketaatan Ibrahim pada tuhan telah terbukti, meski harus dengan membunuh dan mengorbankan anaknya sendiri, Taurat dan Al-Qur’an mengabadikan Ibrahim dengan penuh kata-kata mulia dan pujian setinggi-tingginya. Bahkan peristiwa penyembelihan Ismail oleh Ibrahim menjadi inspirasi dalam salah satu ritual ibadah haji dan meletakkan hari raya Idul Adha, atau hari raya pengorbanan sebagai hari terbesar umat Islam, di mana asal usulnya tentu merujuk pada simbol penyembelihan Ibrahim atas anaknya.
Bagaimanakah kecurigaan kita menelusuri ritual yang sebenarnya memiliki akar-akar kekacauan psikologis tapi berubah menjadi sesuatu yang dituhankan atau memiliki unsur ilahiah dan dimuliakan oleh para penganut agama? Kita bisa mulai dari mimpi Ibrahim yang di dalamnya muncul gambaran ia menyembelih Ismail, di mana Ibrahim menganggap mimpi tersebut merupakan perintah tuhan yang harus dilakukan. Dari mana asalnya Ibrahim menafsirkan mimpi yang dialaminya sebagai sesuatu yang berasal dari tuhan dan menganggap mimpinya itu semacam pewahyuan dari langit yang hinggap pada dirinya? Bukankah mekanisme kerja mimpi semua manusia itu sama dan universal, apa yang membedakan mimpi manusia biasa dengan mimpi seorang nabi? Psikoanalisa sekuat mungkin akan berusaha menjelaskannya.
Syarat pertama yang harus kita sepakati, bahwa mimpi merupakan kegiatan dari kekuatan-kekuatan alam bawah sadar. Gambaran mimpi diciptakan sendiri oleh orang yang mengimpikannya, tidak ada peran serta dewa, setan atau pun tuhan, di mana bahan-bahannya diperoleh dari pengalaman empiris dan dunia nyata yang ada di luar, oleh karena itu dalam mimpi tidak ada yang disebut pengalaman gaib yang bisa menembus alam metafisik seolah terbang memasuki dunia lain. Memang mimpi menciptakan perasaan asing dan janggal bagi orang yang mengalaminya, tapi sebenarnya asal-usul perasaan tersebut bisa dijelaskan tanpa harus menyertakan kegaiban dan ketuhanan. Layaknya simbol-simbol kabur dalam cerita-cerita mitologis, mimpi juga memilikinya, meski kadang tampil secara jelas tanpa perumpamaan. Yang paling utama, mimpi merupakan produk manusia yang sedang mengasingkan diri, yang kemudian mengakibatkan pemimpi tidak sadar bahwa gambaran mimpinya tersebut merupakan hasil kreasinya sendiri. Hasrat dan naluri yang tertekan dalam alam bawah sadar menjadi unsur penting yang membentuk logika mimpi.
Mimpi bertujuan untuk memuaskan hasrat tersembunyi yang sering tidak mampu direalisasikan dalam dunia nyata. Hasrat dan keinginan yang akan dipuaskan dalam gambaran mimpi bersarang secara laten dalam pikiran alam bawah sadar kita. Mimpi juga sering disebut sebagai perwujudan sebuah konflik psikis, inilah kalimat kunci kita. Yaitu, konflik antara dorongan-dorongan keinginan dan hasrat yang coba dipuaskan dalam gambaran mimpi, dan kekuatan yang berusaha menghalangi dan menekan dorongan hasrat dan keinginan tadi agar tidak seenaknya muncul dalam gambaran mimpi. Dorongan-dorongan hasrat di atas disebut dengan id, lumbung alam bawah sadar yang berisikan endapan-endapan pikiran penuh nafsu dan keinginan, semisal dorongan seksual dan naluri agresivitas. Id tidak mengenal ruang dan waktu, ia hanya ingin pemuasan segera atas dorongan-dorongan yang muncul dari psikis alam bawah sadar agar terwujud dalam kenyataan. Id sering menunaikan sebuah prinsip yang dinamakan, pleasure principle atau prinsip kesenangan, karena yang dipikirkan hanya pemuasan hasrat dan keinginannya semata tanpa mengenal kenyataan. Sedangkan dorongan yang berusaha menghalangi hasrat dan kesenangan agar tidak semaunya dipuaskan dalam kenyataan disebut ego atau prinsip kenyataan (reality principle). Ego berusaha memuaskan, menunda atau mengekang keinginan atau dorongan id secara adil, id akan dipuaskan oleh ego selama ia sesuai dan diijinkan oleh kenyataan, apabila ia menyalahi norma atau aturan tertentu dorongan id akan diusir dan ditekan kembali dalam lumbung alam bawah sadar manusia.
Lalu, konflik psikis apakah yang dialami oleh Ibrahim sehingga merembes dalam bentuk gambaran mimpi ia menyembelih puteranya sendiri? Konflik psikis ini pastilah berhubungan dengan perasaannya pada Ismail, anak lelakinya, karena dalam gambaran mimpi ia berusaha untuk membunuhnya. Motif apakah yang menyebabkan Ibrahim berusaha membunuh anaknya sendiri? Tentu ini sebuah motif tersembunyi, bergerilya dalam alam bawah sadarnya dan coba untuk selalu ditekan sehingga akhirnya muncul dalam gambaran mimpi..
Sebagai bagian dari individu manusia yang mewarisi kebudayaan dan pikiran kaum sebelumnya, sebagaimana yang ada dan hidup dalam masa primitif, tentu Ibrahim juga merasakan hubungan dengan anak dan istrinya sebagai Segitiga Oedipus Complex. Hubungan Oedipus Complex itu sangat tua, purba dan universal. Setiap orang dalam kurun masa waktu kapan pun bisa merasakannya secara halus, dari generasi ke generasi berikutnya, dari bangsa satu ke bangsa lainnya, terjadi pewarisan dan perpindahan melalui genetika psikis, atau alam bawah sadar kolektif manusia. Setiap orang memiliki kadar tertentu akan gambaran Oedipus yang tersimpan dalam gudang gelap alam bawah sadarnya. Dalam kisah ini, Oedipus Complex yang bermula dari masa primitif Primal Horde, dihidupkan kembali secara tidak sadar oleh Ibrahim melalui proses jalan yang agak rumit, tapi secara alamiah Ibrahim telah memiliki potensi untuk mengaktualkannya kembali dibantu pengingatannya melalui proses persembahan hewan kepada tuhan (persembahan totemik sering dilakukan oleh Ibrahim sebelum terjadi percobaan penyembelihan pada anaknya; lihat Taurat) dan bentuk-bentuk ibadah atau kepercayaan lainnya yang mungkin bersifat mitologis. Dengan begitu, pranata totemik yang masih dilakukan Ibrahim dengan mempersembahkan hewan membantu mengingatkan peristiwa Oedipus yang telah tua, tapi mengendap dalam alam bawah sadarnya yang gelap dan tersembunyi.
Segitiga Oedipus Complex yang dimaksud adalah sebuah konflik halus antara sang anak yang menginginkan untuk mendapatkan hak cinta dari sang ibu dengan membenci dan menyingkirkan sang ayah yang dianggap sebagai saingannya dalam mendapatkan cinta sang ibu tersebut. Dalam hubungan segitiga ini, Ibrahim tentu menjadi musuh Ismail dan ada dalam posisi melakukan tekanan terhadap Ismail untuk jangan coba-coba menampakkan hasrat demi memperoleh ibunya dan membenci dirinya. Sikap permusuhan tersamar Ibrahim atas anaknya digerakkan oleh naluri thanatos atau agresivitas yang muncul dari alam bawah sadarnya karena dipicu oleh konflik halus dalam Oedipus Complex dengan memusuhi dan menekan anaknya. Oedipus Complex-lah yang membuat Ibrahim terprovokasi dan terintimidasi. Petanya menjadi sebuah medan konflik antara Ibrahim dan Ismail yang masing-masing berseteru secara halus, di mana Ismail secara tidak sadar ingin menyingkirkan sang ayah, dan demikin juga Ibrahim, dalam alam bawah sadarnya yang gelap dan tersembunyi, ia merasa cemburu dengan hasrat anaknya untuk memperoleh cinta dari istrinya sendiri, Hajar, dengan kata lain Ibrahim juga memusuhi Ismail. Rasa permusuhan Ibrahim dimanifestasikan melalui naluri thanatos atau agresivitas, yang menerobos dan mengalahkan kesadaran ketika tidur, dan hasilnya terbentuklah gambaran mimpi ia sedang menyembelih Ismail.
Dalam tidur, naluri Oedipus Complex Ibrahim yang mengendap dalam alam bawah sadar berhasil dibuka pintunya oleh ingatan akan persembahan totemik. Sisa-sisa warisan primitif yang tertancap dalam psikis alam bawah sadar akan memberi jalan dan menghubungkan dengan warisan primitif lainnya (Oedipus Complex) yang secara potensial sudah ada dalam jiwa Ibrahim. Kemudian, naluri yang berisi dengan rasa permusuhan dengan anaknya mulai menggeliat, keluar dari sarangnya dan merangsek masuk dalam alam kesadaran untuk bisa dipuaskan dalam mimpi. Tidur memang membuat kesadaran (ego) melemah dan aktif secara minimal tetapi bukan berarti tidak ada, karena ego dalam mimpi berusaha menahan dan menekan serbuan naluri agresif dari id, maka terjadilah konflik antara id atau naluri alam bawah sadar yang agresif memusuhi Ismail dan ego yang berusaha menekan dan menghalangi dengan menyadarkan Ibrahim bahwa Ismail itu anaknya yang harus dicintai dan dijaga sesuai aturan dan norma yang dibatinkan dari ide-moral masyarakat. Karena kalah kuat, akhirnya ego sebagai benteng penekan id jebol, dan naluri agresif berhasil menguasai kendali dan memuaskan diri melalui gambaran mimpi, yaitu dalam bentuk Ibrahim menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Sebagai dampak perlawanan terakhir ego untuk menekan id, mimpi Ibrahim yang sedang menyembelih Ismail diikuti dengan terbangunnya Ibrahim dari tidur secara mengejutkan.
Inilah mimpi penuh konflik psikis yang bermula dari pewarisan psikologi Oedipus Complex, di mana melalui jalan yang rumit ia dihidupkan kembali oleh kenangan persembahan totemik untuk bisa direalisasikan dalam gambaran visual mimpi. Namun dalam diri Ibrahim tidak sepenuhnya ia memusuhi Ismail, ada kekuatan dan perasaan lain yang coba untuk menyuarakan agar ia berhenti menekan dan memusuhi Ismail, yaitu kesadaran (ego).
Kesadaran ini yang nantinya berhasil mencegah Ibrahim dengan mengurungkan niatnya ketika hampir saja menyembelih Ismail. Domba hanya menjadi ganti dari objek perasaan ambivalen Ibrahim yang awalnya dirahkan pada Ismail, kemudian dipindahkan ke objek lain, yaitu binatang domba. Proses penggantian objek perasaan yang ambivalen tersebut oleh Psikoanalisa dinamai displacement.
Kesadaran atau egolah yang berusaha menghadang dan menekan kembali serbuan naluri agresivitas dari alam bawah sadar (manifestasi dari rasa benci dalam Oedipus complex) atau id, yang hasilnya berakhir sementara dengan kemenangan naluri agresif yang penuh rasa permusuhan. Mimpi ini merefleksikan sebuah gambaran konflik halus yang asing dan ganjil antara dorongan untuk membenci dan mencintai, antara naluri id yang memusuhi dan ego yang berusaha menyadarkan kembali.
Oleh karena itu, sebagai hasil perwujudan konflik Ibrahim dengan Ismail, muncul dalam gambaran mimpi, ia menyembelih Ismail, dan gambaran ini merupakan rembesan pikiran alam bawah sadarnya yang selalu ia tekan, yaitu rasa benci untuk menyingkirkan anaknya, dengan simbol menyembelihnya. Mimpi dalam tidur menjadi ekspresi manusia akan keinginan dan hasrat alam bawah sadarnya sendiri, yang sering si pemimpinya tidak menyadari dan mengakui bahwa gambaran mimpi tersebut adalah hasil dari pikiran latennya yang tersembunyi, apalagi gambaran mimpi tersebut memunculkan perasaan asing penuh misteri. Tragisnya, simbol mimpi menyembelih Ismail tidak dapat disadari dan tidak mau diakui oleh Ibrahim bahwa gambaran mimpi di atas merupakan pewujudan pikiran latennya sendiri yang tersembunyi dan tertekan, di mana ia ingin menyingkirkan puteranya dalam kancah konflik yang halus di atas. Bukannya mengakui kalau itu adalah hasrat kebenciannya, Ibrahim justeru dengan naifnya menisbahkan dan mencantelkan mimpi tersebut sebagai wujud intervensi ilahiah atau dengan kata lain, wahyu tuhan sedang datang kepadanya. Bagaimana Ibrahim bisa sampai menta’wil mimpinya sebagai kabar wahyu dari tuhan? Bukankah dengan begitu Ibrahim mengangkat kualitas mimpinya dari sebuah konflik Oedipus Complex yang ambivalen dan penuh kekacauan psikologis menjadi sesuatu yang ilahiah, terang dan bercahaya? Delusi macam apa yang mengakibatkan manusia mentransendensikan kekacauan psikologis dalam dirinya menjadi cahaya terang yang berasal dari tuhan?
Fenomena mimpi yang dianggap memiliki unsur ketuhanan dan kegaiban sebenarnya sudah muncul semenjak zaman primitif, dan diduga kebudayaan animitisk lahir karena penafsiran-penafsiran manusia atas mimpinya sendiri di malam hari. Kepercayaan akan adanya roh, setan, hantu, dewa-dewa bahkan tuhan lahir dalam kebudayaan yang disebabkan oleh tafsir mimpi manusia yang penuh citraan imajiner dan misteri. Tesis ini dinyatakan oleh E. B. Tylor (1832-1917) dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture. Penulis akan mengulasnya secara sederhana dan singkat.
Dalam teori animisme, orang-orang primitif yakin bahwa keberadaan jiwa manusia sebagai wujud spiritual berasal dari pemahamannya yang begitu sederhana terhadap kehidupan ganda yang biasa dijalani, yaitu kehidupan psikis saat terjaga dan saat tidur. Orang-orang primitif meyakini gambaran-gambaran yang ada dalam pikirannya sama penting dalam waktu terjaga maupun pada waktu bermimpi. Mereka mengobjektifkan gambaran-gambaran yang ada pada dua keadaan di atas sebagai kenyataan yang riil. Maka ketika mereka bermimpi mengunjungi sebuah negeri yang jauh, mereka percaya bahwa mereka betul-betul telah pergi ke sana. Tapi, mereka bisa pergi ke sana jika ada dua tubuh pada diri mereka; satu tubuhnya yang lelap di atas tempat tidur yang akan didapati dalam posisi yang sama ketika bangun dan tubuhnya yang satu lagi yang bergerak melintasi ruang dan waktu pada saat bermimpi. Dari pengulangan-pengulangan pengalaman dalam mimpilah, sedikit demi sedikit memunculkan ide bahwa kegandaan dirinya pada saat bermimpi adalah betul-betul riil dan objektif.
Kegandaan ini melandasi seluruh ciri dasariah setiap makhluk yang kasat mata. Dalam hal tertentu, tubuh yang ada dalam mimpi berbeda dengan tubuh yang bergerak ketika terjaga. Dia lebih aktif karena bisa melintasi jarak yang sangat jauh dalam waktu sekejap. Dia lebih lunak dan lentur karena untuk meninggalkan tubuh kasar tentu harus bisa melewati rongg-rongga tubuh, terutama hidung dan mulut. Tubuh yang lunak ini diyakini tercipta dari suatu materi tertentu, tapi materi ini lebih halus dan ringan ketimbang materi-materi yang kita kenal secara empiris. Tubuh yang lunak ini disebut dengan jiwa. Tak dapat diragukan lagi bahwa jiwa dipandang sebagai citraan tubuh kasar. Bahkan ia dianggap dapat menanggung cacat seperti cacat yang diakibatkan oleh luka atau mutilasi. Sebagian suku-suku di Australia mempercayai bahwa memotong jari jempol kanan musuhnya setelah mereka bunuh akan mengakibatkan jiwa lepas dari tubuh musuhnya sehingga tidak bisa lagi melemparkan tombak dan melakukan balas dendam pada dirinya. Orang-orang prmitif percaya walaupun jiwa meneyerupai badan, ada sesuatu yang semi-spritual padanya. Mereka yakin bahwa jiwa merupakan bagian badan yang tidak memiliki tulang ataupun urat saraf, ia menyerupai badan yang sudah disucikan.
Namun, jiwa bukanlah roh. Jiwa hanya bisa ditambatkan pada satu tubuh dan saat ia tidak ada, ia tidak dapat dijadikan objek pemujaan. Sebaliknya, walaupun roh itu biasanya menjadikan hal-hal tertentu sebagai tempat berdiamnya, ia bisa saja meninggalkannya sewaktu-waktu dan manusia hanya bisa berhubungan dengannya jika telah melaksanakan ritual-ritual pemanggilan. Jiwa bisa berubah menjadi roh jika ia merubah dirinya melalui proses kematian. Bagi masyarakat primitif yang berpikir dengan sederhana, kematian tidak jauh berbeda dengan keadaan pingsan atau tidur yang lama, karena dalam kematian terdapat semua sifat keadaan ini. Kematian menjadi sebuah peristiwa terpisahnya jiwa dengan tubuh, sama dengan keterpisahan pada saat bermimpi, tapi karena orang primitif tidak melihat tubuh bisa bertahan, maka mereka menerima ide tentang keterpisahan mutlak. Ketika tubuh telah hancur, keterpisahan itu dipandang sebagai sesuatu yang final. Maka jiwa terpisah dari tubuh dan menjadi roh yang melayang-layang bebas di udara.
Dengan cara ini, satu populasi roh-roh terbentuk di sekeliling manusia yang masih hidup dan jumlahnya terus bertambah. Karena jiwa-jiwa manusia memiliki keinginan dan nafsu seperti manusia yang hidup, maka roh-roh pun demikian. Roh-roh kemudian berusaha untuk terlibat lagi dengan kehidupan teman dan sesama manusia yang masih hidup dengan membantu atau mencelakakan mereka, tergantung perasaan yang masih dimiliki roh-roh ketika mereka masih hidup. Kehidupan roh-roh ini bisa membuat mereka menjadi teman manusia yang baik atau malah musuh yang sangat kejam. Dengan memuja kehalusannya, bisa membuat roh-roh merasuki tubuh manusia dengan membuatnya rusak atau sebaliknya bisa meningkatkan kemampuan sang pemilik tubuh tersebut. Inilah awal mula kepercayaan tentang kesurupan. Maka orang-orang primitif terbiasa menganggap semua kejadian yang tidak bisa mereka jelaskan pasti ada kaitannya dengan roh-roh. Dengan cara inilah mereka membuat kerangka sebab akibat yang sering tidak bisa diuraikan dengan pikiran biasa. Akhirnya konsepsi roh menjadikan manusia primitif terperangkap dalam dunia imajiner, walaupun pelaku dan pencipta dunia ini adalah mereka sendiri.
Manusia primitif menjadi pengikut kekuatan-kekuatan spiritual yang mereka ciptakan dan di dalam citraannya sendiri. Cara membentuk citraan inilah yang memiliki kesamaan dengan mekanisme pembentukan delusi dan halusinasi. Karena roh-roh ini terlalu banyak ikut campur tangan dalam kehidupan manusia, seperti mengurusi kesehatan atau penyakit dan baik-buruknya sesuatu, semisal kondisi tanaman dan hasil panen, maka yang muncul adalah keinginan untuk menyenangkan roh-roh tersebut atau membujuk mereka ketika sedang marah dengan bentuk persembahan, pemanggilan roh dengan doa-doa, penyerahan korban, dan seluruh piranti peribadatan religius lainnya.
Sampai di sini, jiwa telah berubah menjadi roh dengan mengalami transformasi yaitu lewat realitas kematian. Namun, roh-roh yang jahat tersebut masih terus bisa berubah menjadi setan atau jin-jin setelah mereka mendapatkan personalisasi yang disesuaikan dengan sifat-sifat manusia. Masih belum berhenti di sini, oleh evolusi pemikiran manusia, setan dan jin dipandang tidak cukup untuk menjelaskan banyak hal tentang alam semesta yang lebih besar dan luas cakupannya, meningkatlah transformasi roh-roh menjadi dewa-dewa alam yang tentunya memiliki sifat-sifat dan kepribadian seperti manusia juga. Akhirnya, rasionalitas manusia yang telah maju dalam menjelaskan alam dan berbagai hal yang bersifat natural menganggap ide tentang dewa-dewa alam sudah tidak relevan dan mencukupi, maka terbukalah ide tentang tuhan.
Ini yang disebut fenomena mimpi, yang awalnya bersifat remeh dan sepele ternyata dari situ terlahir pemikiran dan kepercayaan adanya jiwa, roh, jin-jin, setan, dewa-dewa dan tuhan. Oleh karena itu, wajar kenapa masih banyak orang yang menganggap bahwa mimpi mengandung unsur roh, kegaiban dan peristiwa perjumpaan dengan yang ilahi, di mana kepercayaan ini tidak sedikit yang menganutnya bahkan hampir sebagian besar umat manusia mengimani delusi tersebut. Kalau begitu, warisan primitif bisa dikatakan masih menggentayangi dan menghantui pemikiran manusia di abad yang sangat modern sekarang, dan menunjukkan kemenangan ilmu pengetahuan dan sains atas mitologi belumlah tuntas. Bagaimana bisa di abad revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggelegar, kita masih meyakini eksistensi roh dan dewa-dewa serta ketuhanan yang pada mulanya adalah produk ide imajiner kaum primitif yang delusional dan halusinatif ini? Sekarang mari kita tengok fenomena misteri mimpi kaitannya dengan dunia gaib dan ketuhanan berdasarkan pemikiran agama.
Taurat memberitakan bahwa wahyu yang diterima para nabi-nabi, semisal Nuh, Ibrahim, Musa, dan nabi-nabi lainnya, selalu muncul dalam bentuk mimpi. Ada kebenaran dan hakikat kenyataan dalam mimpi. Ini mengisyaratkan kalau mimpi memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan ajaran-ajaran para Nabi Perjanjian Lama. Mereka meyakini tuhan menampakkan diri dan menyapa melalui mimpi, di mana di dalamnya terdapat kabar suci dan pengetahuan yang bisa menjadi tanda perintah tuhan dan ramalan tentang masa depan. Oleh karena itu, mimpi mengandung unsur keilahian dan kegaiban, ia menjadi sarana komunikasi antara dunia manusia dengan alam ketuhanan.
Hal yang sama bisa kita dapatkan dalam agama Islam, jelas sekali terdapat banyak informasi yang mengabarkan kalau mimpi mengandung unsur ketuhanan dan kegaiban. Beberapa Hadis menyatakan Nabi Muhammad menerima wahyu melalui mimpi, atau wahyu muncul melalui mimpi yang tak sadar. Mimpi menjadi perantara antara nabi dan tuhan. Tentu kenabian Muhammad dibentuk oleh pengalaman-pengalaman spiritual beliau yang dalam mimpi-mimpinya seolah mengabarkan berita gaib dan warta ilahi yang penuh misteri. Para wali dan syeikh pun memiliki pengetahuan ma’rifat yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman mimpinya. Bahkan tidak jarang, mimpi dipercaya bisa memberikan pengetahuan tentang masa depan. Ini salah satu delusi yang diidap oleh Nabi Khidir. Karena merasa ada ketuhanan dalam cara berpikir delusifnya, maka ia begitu yakinnya membunuh seorang anak dengan alasan pengetahuan masa depan yang ia peroleh, menunjukkan anak yang dibunuhnya akan menjadi musuh bagi kedua orang tuanya yang saleh. Jadilah Khidir, sang Nabi Kriminal, karena ia diracuni delusi suci. Bukannya menyesal karena telah membunuh seorang anak, ia malah bangga dan merasa benar. Sungguh, ini penyakit psikis yang ditahbiskan oleh kegaiban dan ketuhanan. Penyakit psikis yang menghasilkan tidak kriminal, tapi oleh agama diberkati. Musuh kemanusiaan dan kewarasan. Sangat mengerikan. Bahkan oleh sebagian para sufi ekstrim, jenis delusi ini telah mewujud menjadi epistemologi pengetahuan, yang disebut dengan ladunni. Bagaimana peradaban akan maju kalau dibangun dari jenis pengetahuan semacam itu? Pengetahuan gila apa ini?
Peradaban dibangun dari kesehatan mental dan kewarasan, bukan dicapai melalui waham mistik dan kegilaan. Epistemologi pengetahuan seperti yang dimiliki oleh Khidir dan para sufi delusif lainnya jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kebudayaan dan peradaban. Sebuah kemunduran yang niscaya. Penulis akan mengulas di masa yang akan datang, dalam satu buku khusus hanya berisi tentang Nabi Khidir dan jenis pengetahuannya, yang tentu analisanya akan sangat berkaitan dengan epistemologi dalam pemikiran Islam, di samping banyak kelompok sufi dan filsuf yang menganut cara pandang yang sama dengan Nabi Khidir ini.
Menurut doktrin tasawuf dan filsafat Islam, mimpi menjadi tabir yang bisa diungkap di dalamnya pengetahuan-pengetahuan transendental, yaitu pengetahuan mistik yang bersumber dari dunia Platonik. Pengetahuan ini diperoleh melalui pengalaman-pengalaman intuitif yang bersifat kuasi-mimpi, seolah pengetahuan telah ada dan muncul lebih dulu di dunia sana, kita hanya mengaktualkannya kembali. Al-Qur’an sebagai sumber moral umat Islam yang berlaku sepanjang zaman dipercayai telah dipahat huruf-hurufnya sebesar deretan gunung-gunung di Lauh Mahfudz, semacam dunia Platonik versi Islam. Ia mengada sebelum alam ini diciptakan bahkan ia bagian dari tuhan, atau yang sering disebut kalamullah.
Oleh karena itu dalam keyakinan Islam, mimpi beserta cakupannya memiliki peran sentral bagi lahirnya kepercayaan terhadap tuhan, kenabian, sumber moral, hukum, sastra dan pengetahuan mistik. Maka, apabila kita mampu menafsirkan, menjelaskan dan menelusuri sifat dan karakteristik mimpi yang menjadi pondasi wahyu dan ketuhanan, tentu kita dapat memahami hakikat sebenarnya dari misteri kenabian dalam agama-agama Abrahamik.
Sebelumnya, penulis telah menggambarkan secara singkat Teori Animisme E.B. Tylor, di mana kegiatan mimpi yang selama ini kita anggap remeh dan sepele ternyata menjadi impuls bagi lahirnya citraan imajiner roh-roh yang kemudian setelah mengalami evolusi kebudayaan dan penghalusan akal-budi terbentuklah makhluk-makhluk spiritual, seperti jin, setan, malaikat dan sejenisnya, yang akhirnya sebagai puncak evolusi muncullah dewa-dewa dan tuhan. Teori ini bisa dikategorikan sebagai analisa psikologi primitif, yang tentu data-datanya diambil dari kepingan-kepingan informasi para etnografer dan cerita-cerita kerakyatan yang diklasifikasikan dan diolah melalui analisa yang cermat. Dalam derajat yang tinggi, Psikoanalisa sebagai disiplin ilmu psikis alam bawah sadar dan teknik penyembuhan penyakit neurotik sangat mendukung teori yang dikemukakan oleh E.B. Tylor tersebut. Freud bahkan dalam bukunya Totem and Taboo, banyak memanfaatkan temuan-temuan Teori Animisme untuk dijadikan pijakan dan pintu masuk bagi terobosan baru dan formulasi teorinya sendiri. Ada semacam kedekatan yang sangat erat antara Psikoanalisa dan Teori Animisme yang didasarkan pada tafsir mimpi. Sebagai kelanjutannya, berikut penulis akan mengutarakan debat antara Freud dan Jung mengenai pengalaman mimpi dan psikologi alam bawah sadar yang menjadi dasar-dasar agama pewahyuan.
Menurut tesis Carl Jung, sumber dan asal-usul agama-agama dunia, termasuk di dalamnya Islam, adalah fakta alam bawah sadar. Jenis agama ini mempunyai ciri bahwa wahyu yang menjadi batang tubuh agama-agama dunia muncul lewat saluran mimpi, delusi, halusinasi, kesurupan, ekstase dan bahkan kegilaan. Para nabi besar agama-agama dunia mendapatkan wahyu melalui saluran-saluran alam bawah sadar tersebut. Bagi Jung, keadaan-keadaan yang dikuasai oleh dunia alam bawah sadar merupakan fenomena keagamaan yang mendasar karena pada saat itu akal fikiran dan psikis dikuasai oleh kekuatan yang berada di luar kontrol kita. Apa yang dinamakan dengan mimpi, delusi dan halusinasi itu merupakan ekspresi keadaan psikis yang dikuasai oleh kekuatan-kekuatan asing yang berasal dari luar diri kita sendiri. Kekuatan-kekuatan asing yang berasal dari luar ini sering diterjemahkan sebagai intervensi kegaiban atau tuhan. Jung menganggap bahwa keadaan-keadaan psikis manusia yang dikuasai oleh dinamika alam bawah sadar memiliki kualitas ilahiah dan bersifat religius sehingga ia sampai pada kesimpulan bahwa agama yang bersumber dari kekuatan alam bawah sadar adalah fakta atau fenomena.
Penggolongan psikis alam bawah sadar sebagai sesuatu yang luhur dan ilahiah mendapatkan tantangan yang serius dari tokoh pendiri Psikoanalisa, yaitu Sigmund Freud (1856-1939). Freud memasukkan kategori alam bawah sadar yang di dalamnya meliputi; mimpi, delusi, halusinasi, gejala psikotik dan neurotik, mitologi, phobia, animisme, naturisme, totemisme dan magi adalah mekanisme psikologi yang patologis dan abnormal. Bagi Freud, ketidaksadaran atau alam bawah sadar adalah bagian psikis manusia yang irrasional. Hal ini mengantar pada penilaian yang berbeda antara Jung yang memuji alam bawah sadar dan Freud yang berhati-hati atas dinamika alam bawah yang memiliki potensi distortif dan manipulatif.. Lalu, bagaimanakah nasib agama-agama dunia yang terang-terangan mendasarkan pada wahyu yang berasal dari psikis alam bawah sadar, semisal Islam yang mendasarkan wahyu pada proses mimpi dan halusinasi suara lonceng? Pada titik inilah Jung ternyata tidak bisa menjawab secara meyakinkan. Justeru, Freud yang selama ini dianggap sebagai tokoh anti-agama mampu menunjukkan celah yang tidak disadari oleh pengetahuan kita.
Dalam susunan kepribadian, Freud menamakan lumbung alam bawah sadar dengan Id dan kesadaran dengan nama Ego. Bagi Freud, wilayah psikis manusia lebih didominasi oleh aparatus alam bawah sadar (id), dan kesadaran (ego) kita berkembang dewasa secara terlambat setelah lebih dahulu muncul alam bawah sadar (id). Perlu kita ketahui bahwa Id adalah sumber kehidupan bagi berfungsinya psikodinamika manusia. Kesadaran (ego) memperoleh kehidupannya dari enersi yang berasal Id sehingga kesadaran (ego) tidak akan bisa sepenuhnya terlepas dari kuasa alam bawah sadar (id).
Psikoanalisa memberikan ciri alam bawah sadar (id) sebagai aparatus psikis yang dominan dalam diri manusia tetapi irrasional, agresif, penuh dengan kesenangan dan naluri primitif, mengaburkan realitas, dan bersifat subversif, sehingga apabila agama mendasarkan dirinya pada alam bawah sadar, tentunya ia memiliki potensi yang patologis dan abnormal. Maka, nilai-nilai moral yang dicita-citakan oleh umat manusia, seperti kebenaran, kemanusiaan, keadilan, dan persamaan, akan menjadi absurd jika ia ditopang oleh fakta alam bawah sadar. Apabila kita memandang Islam yang mendasarkan nilai-nilai moralnya pada wahyu yang muncul lewat saluran mimpi, delusi, dan halusinasi suara lonceng di mana keduanya termasuk dalam kategori kekuatan alam bawah sadar (id), hal ini akan memunculkan tesis bahwa Islam dari segi asal-usulnya memiliki akar-akar kekacauan psikologis. Mungkinkah Islam menghindar dari kenyataan ini?
Jung adalah murid Sigmund Freud yang reaksioner. Dia berusaha menunjukkan kepada kita bahwa agama yang bersumber pada alam bawah sadar adalah fakta. Ia menganggap kebenaran adalah fakta dan bukan keputusan pernyataan atau proposisi. Berdasar pada premis ini, seekor gajah adalah benar jika ia ada atau eksis. Akan tetapi berdasarkan kritik Freud, Jung lupa bahwa kebenaran juga selalu mengacu kepada suatu penilaian dan bukan sekedar deskripsi fenomen yang dipersepsi oleh alat indera kita. Jung mengatakan bahwa suatu ide adalah benar secara psikologis sejauh ia ada dan eksis, tak peduli ia berupa khayalan atau pun berkaitan dengan gejala psikis abnormal. Bagi Jung, agama pastilah benar meskipun ia berasal dari dinamika psikis yang abnormal. Jung mendasarkan tesisnya pada realitas kelahiran agama-agama besar selama ini, yaitu contohnya kemunculan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, di mana para pendirinya mendapatkan wahyu melalui saluran-saluran alam bawah sadar atau ketidaksadaran, semisal lewat mimpi, delusi, dan halusinasi penglihatan (vision). Hal inilah yang hendak diluruskan oleh Freud walaupun ia sering dituduh sebagai orang murtad dan anti-agama.
Bagi Freud, agama bukan sekedar fakta alam bawah sadar tetapi merupakan proposisi penilaian agar ia tidak terjebak oleh distorsi dan manipulasi alam bawah sadar. Bagi Freud, konsepsi dan formulasi agama adalah “apa yang seharusnya” bukan sekedar fakta “apa yang ada” sebagaimana dikonsepsikan oleh Jung. Dengan belajar pada Psikoanalisa, justeru kita bisa melihat bagaimana Freud menunjukkan sisi gelap dari alam bawah sadar yang menjadi sumber lahirnya agama-agama dunia. Setelah mengetahui sisi gelap dari agama yang mempunyai potensi patologis maka kita bisa memformulasikan kembali bagaimana bentuk agama yang lebih sehat dan mampu menopang nilai-nilai moral secara adekuat. Agama yang diformulasikan dari tesis Freud adalah bentuk agama “yang seharusnya” sehingga bisa menghindar dari distorsi dan manipulasi alam bawah sadar yang selama ini dianggap sebagai “fakta” dan sumber kelahiran agama-agama dunia termasuk di dalamnya, Islam, Kristen, dan Yahudi.
Kalau memang selama ini agama-agama mendasarkan diri pada fakta alam bawah sadar karena ia merupakan media bahkan sumber asal-usul munculnya wahyu, maka kita harus bisa memformulasikan bagaimanakah bentuk agama baru yang tentunya membedakan diri dengan bentuk agama-agama dunia yang ada. Freud adalah seorang ateis dalam artian ia tidak mengakui Tuhan menurut cara pandang agama Jung, tetapi ia mengimani nilai-nilai universal yang hendak disampaikan oleh semua agama, seperti; kebenaran, kebaikan, keadilan, kasih sayang, kemurahan hati, pengetahuan, kebebasan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang lain. Freud menolak agama yang dilandaskan pada alam bawah sadar karena jenis agama ini dianggap tidak mampu menunaikan tugas yang sebenarnya. Agama yang ditopang oleh alam bawah sadar berpotensi mengaburkan manusia dari realitas, membunuh daya kritik, dan menyuburkan delusi. Jadi, seharusnya kita berterimakasih kepada Freud yang telah menunjukkan sisi gelap agama sehingga memungkinkan bagi kita untuk membangun kembali formula agama baru yang terbebas dari unsur patologi dan kekacauan psikologis.
Konsep alam bawah sadar (unconscious mind) yang menjadi titik sentral dalam buku ini mengacu pada psikodinamika yang telah dirumuskan oleh Sigmund Freud. Dalam ajaran Freud, alam bawah sadar (id) dipertentangkan dengan konsep kesadaran (ego). Id adalah sumber energi psikis. Ego memperoleh tenaga psikisnya dari id dan tugas psikis ego adalah mengendalikan naluri id agar bisa dipuaskan sesuai dengan tuntutan kultural dan kenyataan. Id adalah timbunan psikis yang merefleksikan prinsip kesenangan (pleasure principle), sedangkan ego mencerminkan prinsip kenyataan (reality principle). Karena id bersifat impulsif, ia selalu mendesakkan naluri kesenangannya agar dapat dipuaskan oleh ego dalam kenyataan. Wilayah kekuasaan id dalam psikodinamika manusia bisa dikatakan tidak terbatas. Freud memandang bahwa manusia cenderung dikuasai oleh kekuatan-kekuatan ketidaksadaran (id). Freud bisa dikategorikan sebagai seorang filsuf anti-rasional yang berpendapat bahwa kekuatan kesadaran manusia begitu lemahnya dalam menghadapi gempuran-gempuran ketidaksadaran (id). Ia begitu pesimis karena manusia lebih cenderung merusak, menumpahkan darah dan suka memperturutkan kesenangannya daripada menahan, menunda atau memuaskannya dalam kenyataan secara lebih adil dan dewasa.
Manusia lebih condong untuk dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan irrasional yang berasal dari kawasan id. Dan hal yang paling berbahaya dari id adalah sifat subversif dan latennya yang mampu mengecoh kesadaran manusia. Id mampu menyamarkan dan memalsukan dirinya di hadapan ego sehingga secara tidak sadar manusia menganggapnya sebagai kenyataan. Dalam hal ini, ego telah dikorupsi oleh id. Contoh dari usaha id yang mampu mengelabuhi ego adalah proses psikis mimpi, halusinasi dan delusi serta bentuk ideologi yang dibangun dari psikis manusia.
Proses psikis mimpi bisa meyakinkan kepada kita bahwa gambaran visual dalam mimpi adalah kenyataan, dan kita baru sadar bahwa gambaran visual itu adalah ilusi setelah kita terbangun dari tidur. Yang mengerikan adalah ketika mimpi biasa yang kita alami setiap malam ternyata oleh para nabi dianggap sebagai bagian dari pewahyuan, padahal wahyu merupakan sumber ajaran para nabi-nabi. Bukankah ini merupakan tindak kegilaan terselubung, karena mimpi yang mengandung patologi abnormal dan memiliki kekacauan psikologis justru ditransendensikan dan dianggap sebagai kalam tuhan.
Selain mimpi, pengalaman penyatuan dalam mistisisme (mystical union) dan fundamentalisme kekerasan agama adalah contoh suatu bentuk tindakan yang memperlihatkan bahwa id (eros dan agresi) mampu menyamarkan diri di hadapan ego, sehingga ego tidak menyadari bahwa dirinya telah termanipulasi, tertipu dan terkorupsi oleh eros dan agresi. Penulis akan memberi ruang yang lebih leluasa tentang penyatuan wujud dan fundamentalisme agama dalam lembaran-lembaran buku baru yang akan datang, tentu dengan analisa yang unik dan orisinil.
Meskipun Freud adalah seorang filsuf anti-rasional yang pesimis terhadap kecenderungan manusia yang mudah memperturutkan sisi irrasional, agresi, kesenangan, dan naluri primitifnya, ia tidak kalah optimisnya untuk menasehati manusia bahwa alam telah menganugerahi mereka kekuatan kesadaran (ego) yang mampu bertindak otonom, dewasa, dan independen sehingga mampu mengarahkan naluri primitifnya agar sesuai dengan pembangunan kembali masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan. Namun, kesadaran (ego) bukanlah sesuatu yang sudah jadi tanpa ada proses yang mendahuluinya. Ego manusia tumbuh seiring dengan usaha untuk terus mengekang, menunda dan menahan pemuasan id dalam dirinya. Pengekangan, penundaan dan penahanan terhadap dorongan id bisa memunculkan kegerahan dan rasa sakit pada individu, tetapi justru rasa sakit inilah yang pada gilirannya menciptakan kedewasaan dan kematangan kepribadian manusia.
Secara lebih umum ego berjalan melintasi sejarah dalam wujud evolusi manusia. Evolusi manusia melaju seiring dengan kekuatan ego untuk terus mengekang dan menahan dorongan id-nya. Kunci keberhasilan manusia dalam melakukan evolusi sehingga bisa terhindar dari kepunahan terletak pada usaha ego untuk selalu mengekang naluri kesenangannya, usaha inilah yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk hidup lainnya. Manusia harus terus berjuang untuk meyelami kembali bakat-bakat potensial dari kesadaran ego-nya agar bisa membangun mekanisme pertahanan diri yang layak dan lepas dari pengaruh ilusi id. Dibutuhkan waktu yang panjang, latihan yang disiplin, dan pembelajaran yang terus menerus bagi ego untuk dapat memperoleh bentuk kepribadian yang matang dan dewasa.
Di sini, etika agama berkepentingan untuk melatih kepribadian manusia dalam memperkuat, mendewasakan dan mematangkan ego sehingga mampu menahan gempuran dari naluri id yang agresif, penuh dengan kesenangan, dan bersifat delusif. Memang kekuatan kesadaran (ego) jauh lebih lemah dibandingkan dengan alam bawah sadar (id), bahkan tenaga psikis ego berasal dari naluri id, namun bukan suatu hal yang mustahil kelak dalam sejarah, manusia mampu menundukkan kecenderungan irrasional, agresi, kesenangan, dan naluri primitif dalam dirinya sehingga manusia sampai pada puncak garis evolusinya. Inilah puncak tertinggi kemenangan manusia terhadap dirinya sendiri. (*)
Penulis buku "Tragedi Incest Adam dan Hawa & Nabi Kriminal"
Ibrahim; Nabi Delusional
Ia adalah nenek moyang tiga Agama Besar Dunia. Para nabi dalam tradisi Yahudi, Kristen dan Islam merupakan anak cucu keturunannya. Ibrahim, Bapak Kaum Beriman yang ditakdirkan untuk dikenang akan kebesaran dan kemuliaannya. Yang selalu diwiridkan dalam upacara-upacara keagamaan, dan namanya dilagukan dalam bait-bait pujian. Sungguh mulia, engkau Ibrahim, salam takdhim bagimu dari segala penjuru.
Baca: Review Buku Tragedi Incest Adam dan Hawa dan Nabi Kriminal
Namun, di tengah nyenyaknya tidur dogmatis kaum beriman, muncul suara kecil yang berusaha berkata lain, dan membangunkan para agamawan dari lelap mimpi panjang. Ada sesuatu yang hendak dikabarkan dengan lirih bahwa kemanusiaan tidak bisa begitu saja dipermainkan oleh kata-kata suci dari sabda para nabi. Dengan penuh keraguan manusiawi, penulis tidak mau seperti mereka, kebanyakan orang beragama yang menganggap bahwa Ibrahim sepantasnya dielu-elukan seolah umat manusia berhutang budi padanya.
Sungguh tidak bermaksud untuk merendahkan martabat agung Sang Bapak Tiga Agama ini, namun demi syahadat pengetahuan dan keyakinan kalau kemanusiaan itu layak diperjuangkan di tengah-tengah muramnya akal-budi. Sejatinya, wahyu primitif yang dimandikan oleh delusi dan halusinasi mampu menenggelamkan kewarasan hati. Iman telah menutupi mata pikiran kita untuk memandang bahwa kemanusiaan tidak bisa menjadi tumbal bagi wahyu ketuhanan. Tidak ada satu pun pembenaran gaib dan suara langit yang berhak memotong daging tubuh manusia hanya demi sebuah persembahan.
Sesungguhnya, Ibrahim adalah nabi kriminal, nabi yang dipermainkan oleh kekuatan magis mimpi sehingga dengan imannya yang berapi-api, khusyuk dan khidmat berusaha menyembelih puteranya sendiri. Bukankah kalau begitu wahyu telah menjadi impuls bagi percobaan tindak kriminal yang mengatasnamakan ibadah suci? Apakah salah jika penulis menjuluki Ibrahim bapak para nabi, dengan sebutan nabi delusional murni? Alasan apakah yang membuat Ibrahim sampai layak mendapatkan gelar ini?
Dan pikiran apa yang mendorong Ibrahim untuk berusaha mengorbankan nyawa anaknya sendiri, hanya untuk membuktikan ia rela mempersembahkan sesuatu yang sangat dicintainya demi ketaatannya pada tuhan yang maha tinggi? Benarkah yang memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri adalah tuhan sejati? Tuhan macam apa yang dengan sadisnya menuntut ketaatan hambanya dengan cara membunuh puteranya sendiri? Mari kita telusuri sekelumit rahasia pikiran tersembunyi bapak dari para nabi ini.
Kisah ini bermula dari sebuah mimpi yang dialami Ibrahim ketika tidur, di mana dalam mimpi tersebut Ibrahim sedang menyembelih Ismail (versi Taurat yang disembelih adalah Ishaq, dan beberapa ulama Islam juga ada yang mengatakan karena nama Ismail tidak pernah secara literal disebut dalam Al-Qur’an ketika disembelih Ibrahim, maka yang disembelih itu sebenarnya adalah Ishaq). Keesokan paginya ia memberitakan mimpi tersebut kepada anaknya, bahwa ia merasa telah diperintahkan untuk menyembelih Ismail sebagai wujud ketaatannya pada tuhan. Kemudian mereka berdua pun segera menyiapkan bekal perjalanan dan pergi menuju sebuah bukit dengan membawa beberapa kayu bakar yang biasa digunakan untuk api persembahan. Setelah mengikat Ismail, dan siap untuk menyembelihnya dengan pisau yang tajam, tiba-tiba muncul malaikat yang membawakan seekor domba yang dimaksudkan sebagai ganti Ismail yang akan disembelih. Oleh karena ujian kecintaan dan ketaatan Ibrahim pada tuhan telah terbukti, meski harus dengan membunuh dan mengorbankan anaknya sendiri, Taurat dan Al-Qur’an mengabadikan Ibrahim dengan penuh kata-kata mulia dan pujian setinggi-tingginya. Bahkan peristiwa penyembelihan Ismail oleh Ibrahim menjadi inspirasi dalam salah satu ritual ibadah haji dan meletakkan hari raya Idul Adha, atau hari raya pengorbanan sebagai hari terbesar umat Islam, di mana asal usulnya tentu merujuk pada simbol penyembelihan Ibrahim atas anaknya.
Bagaimanakah kecurigaan kita menelusuri ritual yang sebenarnya memiliki akar-akar kekacauan psikologis tapi berubah menjadi sesuatu yang dituhankan atau memiliki unsur ilahiah dan dimuliakan oleh para penganut agama? Kita bisa mulai dari mimpi Ibrahim yang di dalamnya muncul gambaran ia menyembelih Ismail, di mana Ibrahim menganggap mimpi tersebut merupakan perintah tuhan yang harus dilakukan. Dari mana asalnya Ibrahim menafsirkan mimpi yang dialaminya sebagai sesuatu yang berasal dari tuhan dan menganggap mimpinya itu semacam pewahyuan dari langit yang hinggap pada dirinya? Bukankah mekanisme kerja mimpi semua manusia itu sama dan universal, apa yang membedakan mimpi manusia biasa dengan mimpi seorang nabi? Psikoanalisa sekuat mungkin akan berusaha menjelaskannya.
Syarat pertama yang harus kita sepakati, bahwa mimpi merupakan kegiatan dari kekuatan-kekuatan alam bawah sadar. Gambaran mimpi diciptakan sendiri oleh orang yang mengimpikannya, tidak ada peran serta dewa, setan atau pun tuhan, di mana bahan-bahannya diperoleh dari pengalaman empiris dan dunia nyata yang ada di luar, oleh karena itu dalam mimpi tidak ada yang disebut pengalaman gaib yang bisa menembus alam metafisik seolah terbang memasuki dunia lain. Memang mimpi menciptakan perasaan asing dan janggal bagi orang yang mengalaminya, tapi sebenarnya asal-usul perasaan tersebut bisa dijelaskan tanpa harus menyertakan kegaiban dan ketuhanan. Layaknya simbol-simbol kabur dalam cerita-cerita mitologis, mimpi juga memilikinya, meski kadang tampil secara jelas tanpa perumpamaan. Yang paling utama, mimpi merupakan produk manusia yang sedang mengasingkan diri, yang kemudian mengakibatkan pemimpi tidak sadar bahwa gambaran mimpinya tersebut merupakan hasil kreasinya sendiri. Hasrat dan naluri yang tertekan dalam alam bawah sadar menjadi unsur penting yang membentuk logika mimpi.
Mimpi bertujuan untuk memuaskan hasrat tersembunyi yang sering tidak mampu direalisasikan dalam dunia nyata. Hasrat dan keinginan yang akan dipuaskan dalam gambaran mimpi bersarang secara laten dalam pikiran alam bawah sadar kita. Mimpi juga sering disebut sebagai perwujudan sebuah konflik psikis, inilah kalimat kunci kita. Yaitu, konflik antara dorongan-dorongan keinginan dan hasrat yang coba dipuaskan dalam gambaran mimpi, dan kekuatan yang berusaha menghalangi dan menekan dorongan hasrat dan keinginan tadi agar tidak seenaknya muncul dalam gambaran mimpi. Dorongan-dorongan hasrat di atas disebut dengan id, lumbung alam bawah sadar yang berisikan endapan-endapan pikiran penuh nafsu dan keinginan, semisal dorongan seksual dan naluri agresivitas. Id tidak mengenal ruang dan waktu, ia hanya ingin pemuasan segera atas dorongan-dorongan yang muncul dari psikis alam bawah sadar agar terwujud dalam kenyataan. Id sering menunaikan sebuah prinsip yang dinamakan, pleasure principle atau prinsip kesenangan, karena yang dipikirkan hanya pemuasan hasrat dan keinginannya semata tanpa mengenal kenyataan. Sedangkan dorongan yang berusaha menghalangi hasrat dan kesenangan agar tidak semaunya dipuaskan dalam kenyataan disebut ego atau prinsip kenyataan (reality principle). Ego berusaha memuaskan, menunda atau mengekang keinginan atau dorongan id secara adil, id akan dipuaskan oleh ego selama ia sesuai dan diijinkan oleh kenyataan, apabila ia menyalahi norma atau aturan tertentu dorongan id akan diusir dan ditekan kembali dalam lumbung alam bawah sadar manusia.
Lalu, konflik psikis apakah yang dialami oleh Ibrahim sehingga merembes dalam bentuk gambaran mimpi ia menyembelih puteranya sendiri? Konflik psikis ini pastilah berhubungan dengan perasaannya pada Ismail, anak lelakinya, karena dalam gambaran mimpi ia berusaha untuk membunuhnya. Motif apakah yang menyebabkan Ibrahim berusaha membunuh anaknya sendiri? Tentu ini sebuah motif tersembunyi, bergerilya dalam alam bawah sadarnya dan coba untuk selalu ditekan sehingga akhirnya muncul dalam gambaran mimpi..
Sebagai bagian dari individu manusia yang mewarisi kebudayaan dan pikiran kaum sebelumnya, sebagaimana yang ada dan hidup dalam masa primitif, tentu Ibrahim juga merasakan hubungan dengan anak dan istrinya sebagai Segitiga Oedipus Complex. Hubungan Oedipus Complex itu sangat tua, purba dan universal. Setiap orang dalam kurun masa waktu kapan pun bisa merasakannya secara halus, dari generasi ke generasi berikutnya, dari bangsa satu ke bangsa lainnya, terjadi pewarisan dan perpindahan melalui genetika psikis, atau alam bawah sadar kolektif manusia. Setiap orang memiliki kadar tertentu akan gambaran Oedipus yang tersimpan dalam gudang gelap alam bawah sadarnya. Dalam kisah ini, Oedipus Complex yang bermula dari masa primitif Primal Horde, dihidupkan kembali secara tidak sadar oleh Ibrahim melalui proses jalan yang agak rumit, tapi secara alamiah Ibrahim telah memiliki potensi untuk mengaktualkannya kembali dibantu pengingatannya melalui proses persembahan hewan kepada tuhan (persembahan totemik sering dilakukan oleh Ibrahim sebelum terjadi percobaan penyembelihan pada anaknya; lihat Taurat) dan bentuk-bentuk ibadah atau kepercayaan lainnya yang mungkin bersifat mitologis. Dengan begitu, pranata totemik yang masih dilakukan Ibrahim dengan mempersembahkan hewan membantu mengingatkan peristiwa Oedipus yang telah tua, tapi mengendap dalam alam bawah sadarnya yang gelap dan tersembunyi.
Segitiga Oedipus Complex yang dimaksud adalah sebuah konflik halus antara sang anak yang menginginkan untuk mendapatkan hak cinta dari sang ibu dengan membenci dan menyingkirkan sang ayah yang dianggap sebagai saingannya dalam mendapatkan cinta sang ibu tersebut. Dalam hubungan segitiga ini, Ibrahim tentu menjadi musuh Ismail dan ada dalam posisi melakukan tekanan terhadap Ismail untuk jangan coba-coba menampakkan hasrat demi memperoleh ibunya dan membenci dirinya. Sikap permusuhan tersamar Ibrahim atas anaknya digerakkan oleh naluri thanatos atau agresivitas yang muncul dari alam bawah sadarnya karena dipicu oleh konflik halus dalam Oedipus Complex dengan memusuhi dan menekan anaknya. Oedipus Complex-lah yang membuat Ibrahim terprovokasi dan terintimidasi. Petanya menjadi sebuah medan konflik antara Ibrahim dan Ismail yang masing-masing berseteru secara halus, di mana Ismail secara tidak sadar ingin menyingkirkan sang ayah, dan demikin juga Ibrahim, dalam alam bawah sadarnya yang gelap dan tersembunyi, ia merasa cemburu dengan hasrat anaknya untuk memperoleh cinta dari istrinya sendiri, Hajar, dengan kata lain Ibrahim juga memusuhi Ismail. Rasa permusuhan Ibrahim dimanifestasikan melalui naluri thanatos atau agresivitas, yang menerobos dan mengalahkan kesadaran ketika tidur, dan hasilnya terbentuklah gambaran mimpi ia sedang menyembelih Ismail.
Dalam tidur, naluri Oedipus Complex Ibrahim yang mengendap dalam alam bawah sadar berhasil dibuka pintunya oleh ingatan akan persembahan totemik. Sisa-sisa warisan primitif yang tertancap dalam psikis alam bawah sadar akan memberi jalan dan menghubungkan dengan warisan primitif lainnya (Oedipus Complex) yang secara potensial sudah ada dalam jiwa Ibrahim. Kemudian, naluri yang berisi dengan rasa permusuhan dengan anaknya mulai menggeliat, keluar dari sarangnya dan merangsek masuk dalam alam kesadaran untuk bisa dipuaskan dalam mimpi. Tidur memang membuat kesadaran (ego) melemah dan aktif secara minimal tetapi bukan berarti tidak ada, karena ego dalam mimpi berusaha menahan dan menekan serbuan naluri agresif dari id, maka terjadilah konflik antara id atau naluri alam bawah sadar yang agresif memusuhi Ismail dan ego yang berusaha menekan dan menghalangi dengan menyadarkan Ibrahim bahwa Ismail itu anaknya yang harus dicintai dan dijaga sesuai aturan dan norma yang dibatinkan dari ide-moral masyarakat. Karena kalah kuat, akhirnya ego sebagai benteng penekan id jebol, dan naluri agresif berhasil menguasai kendali dan memuaskan diri melalui gambaran mimpi, yaitu dalam bentuk Ibrahim menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Sebagai dampak perlawanan terakhir ego untuk menekan id, mimpi Ibrahim yang sedang menyembelih Ismail diikuti dengan terbangunnya Ibrahim dari tidur secara mengejutkan.
Inilah mimpi penuh konflik psikis yang bermula dari pewarisan psikologi Oedipus Complex, di mana melalui jalan yang rumit ia dihidupkan kembali oleh kenangan persembahan totemik untuk bisa direalisasikan dalam gambaran visual mimpi. Namun dalam diri Ibrahim tidak sepenuhnya ia memusuhi Ismail, ada kekuatan dan perasaan lain yang coba untuk menyuarakan agar ia berhenti menekan dan memusuhi Ismail, yaitu kesadaran (ego).
Kesadaran ini yang nantinya berhasil mencegah Ibrahim dengan mengurungkan niatnya ketika hampir saja menyembelih Ismail. Domba hanya menjadi ganti dari objek perasaan ambivalen Ibrahim yang awalnya dirahkan pada Ismail, kemudian dipindahkan ke objek lain, yaitu binatang domba. Proses penggantian objek perasaan yang ambivalen tersebut oleh Psikoanalisa dinamai displacement.
Kesadaran atau egolah yang berusaha menghadang dan menekan kembali serbuan naluri agresivitas dari alam bawah sadar (manifestasi dari rasa benci dalam Oedipus complex) atau id, yang hasilnya berakhir sementara dengan kemenangan naluri agresif yang penuh rasa permusuhan. Mimpi ini merefleksikan sebuah gambaran konflik halus yang asing dan ganjil antara dorongan untuk membenci dan mencintai, antara naluri id yang memusuhi dan ego yang berusaha menyadarkan kembali.
Oleh karena itu, sebagai hasil perwujudan konflik Ibrahim dengan Ismail, muncul dalam gambaran mimpi, ia menyembelih Ismail, dan gambaran ini merupakan rembesan pikiran alam bawah sadarnya yang selalu ia tekan, yaitu rasa benci untuk menyingkirkan anaknya, dengan simbol menyembelihnya. Mimpi dalam tidur menjadi ekspresi manusia akan keinginan dan hasrat alam bawah sadarnya sendiri, yang sering si pemimpinya tidak menyadari dan mengakui bahwa gambaran mimpi tersebut adalah hasil dari pikiran latennya yang tersembunyi, apalagi gambaran mimpi tersebut memunculkan perasaan asing penuh misteri. Tragisnya, simbol mimpi menyembelih Ismail tidak dapat disadari dan tidak mau diakui oleh Ibrahim bahwa gambaran mimpi di atas merupakan pewujudan pikiran latennya sendiri yang tersembunyi dan tertekan, di mana ia ingin menyingkirkan puteranya dalam kancah konflik yang halus di atas. Bukannya mengakui kalau itu adalah hasrat kebenciannya, Ibrahim justeru dengan naifnya menisbahkan dan mencantelkan mimpi tersebut sebagai wujud intervensi ilahiah atau dengan kata lain, wahyu tuhan sedang datang kepadanya. Bagaimana Ibrahim bisa sampai menta’wil mimpinya sebagai kabar wahyu dari tuhan? Bukankah dengan begitu Ibrahim mengangkat kualitas mimpinya dari sebuah konflik Oedipus Complex yang ambivalen dan penuh kekacauan psikologis menjadi sesuatu yang ilahiah, terang dan bercahaya? Delusi macam apa yang mengakibatkan manusia mentransendensikan kekacauan psikologis dalam dirinya menjadi cahaya terang yang berasal dari tuhan?
Fenomena mimpi yang dianggap memiliki unsur ketuhanan dan kegaiban sebenarnya sudah muncul semenjak zaman primitif, dan diduga kebudayaan animitisk lahir karena penafsiran-penafsiran manusia atas mimpinya sendiri di malam hari. Kepercayaan akan adanya roh, setan, hantu, dewa-dewa bahkan tuhan lahir dalam kebudayaan yang disebabkan oleh tafsir mimpi manusia yang penuh citraan imajiner dan misteri. Tesis ini dinyatakan oleh E. B. Tylor (1832-1917) dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture. Penulis akan mengulasnya secara sederhana dan singkat.
Dalam teori animisme, orang-orang primitif yakin bahwa keberadaan jiwa manusia sebagai wujud spiritual berasal dari pemahamannya yang begitu sederhana terhadap kehidupan ganda yang biasa dijalani, yaitu kehidupan psikis saat terjaga dan saat tidur. Orang-orang primitif meyakini gambaran-gambaran yang ada dalam pikirannya sama penting dalam waktu terjaga maupun pada waktu bermimpi. Mereka mengobjektifkan gambaran-gambaran yang ada pada dua keadaan di atas sebagai kenyataan yang riil. Maka ketika mereka bermimpi mengunjungi sebuah negeri yang jauh, mereka percaya bahwa mereka betul-betul telah pergi ke sana. Tapi, mereka bisa pergi ke sana jika ada dua tubuh pada diri mereka; satu tubuhnya yang lelap di atas tempat tidur yang akan didapati dalam posisi yang sama ketika bangun dan tubuhnya yang satu lagi yang bergerak melintasi ruang dan waktu pada saat bermimpi. Dari pengulangan-pengulangan pengalaman dalam mimpilah, sedikit demi sedikit memunculkan ide bahwa kegandaan dirinya pada saat bermimpi adalah betul-betul riil dan objektif.
Kegandaan ini melandasi seluruh ciri dasariah setiap makhluk yang kasat mata. Dalam hal tertentu, tubuh yang ada dalam mimpi berbeda dengan tubuh yang bergerak ketika terjaga. Dia lebih aktif karena bisa melintasi jarak yang sangat jauh dalam waktu sekejap. Dia lebih lunak dan lentur karena untuk meninggalkan tubuh kasar tentu harus bisa melewati rongg-rongga tubuh, terutama hidung dan mulut. Tubuh yang lunak ini diyakini tercipta dari suatu materi tertentu, tapi materi ini lebih halus dan ringan ketimbang materi-materi yang kita kenal secara empiris. Tubuh yang lunak ini disebut dengan jiwa. Tak dapat diragukan lagi bahwa jiwa dipandang sebagai citraan tubuh kasar. Bahkan ia dianggap dapat menanggung cacat seperti cacat yang diakibatkan oleh luka atau mutilasi. Sebagian suku-suku di Australia mempercayai bahwa memotong jari jempol kanan musuhnya setelah mereka bunuh akan mengakibatkan jiwa lepas dari tubuh musuhnya sehingga tidak bisa lagi melemparkan tombak dan melakukan balas dendam pada dirinya. Orang-orang prmitif percaya walaupun jiwa meneyerupai badan, ada sesuatu yang semi-spritual padanya. Mereka yakin bahwa jiwa merupakan bagian badan yang tidak memiliki tulang ataupun urat saraf, ia menyerupai badan yang sudah disucikan.
Namun, jiwa bukanlah roh. Jiwa hanya bisa ditambatkan pada satu tubuh dan saat ia tidak ada, ia tidak dapat dijadikan objek pemujaan. Sebaliknya, walaupun roh itu biasanya menjadikan hal-hal tertentu sebagai tempat berdiamnya, ia bisa saja meninggalkannya sewaktu-waktu dan manusia hanya bisa berhubungan dengannya jika telah melaksanakan ritual-ritual pemanggilan. Jiwa bisa berubah menjadi roh jika ia merubah dirinya melalui proses kematian. Bagi masyarakat primitif yang berpikir dengan sederhana, kematian tidak jauh berbeda dengan keadaan pingsan atau tidur yang lama, karena dalam kematian terdapat semua sifat keadaan ini. Kematian menjadi sebuah peristiwa terpisahnya jiwa dengan tubuh, sama dengan keterpisahan pada saat bermimpi, tapi karena orang primitif tidak melihat tubuh bisa bertahan, maka mereka menerima ide tentang keterpisahan mutlak. Ketika tubuh telah hancur, keterpisahan itu dipandang sebagai sesuatu yang final. Maka jiwa terpisah dari tubuh dan menjadi roh yang melayang-layang bebas di udara.
Dengan cara ini, satu populasi roh-roh terbentuk di sekeliling manusia yang masih hidup dan jumlahnya terus bertambah. Karena jiwa-jiwa manusia memiliki keinginan dan nafsu seperti manusia yang hidup, maka roh-roh pun demikian. Roh-roh kemudian berusaha untuk terlibat lagi dengan kehidupan teman dan sesama manusia yang masih hidup dengan membantu atau mencelakakan mereka, tergantung perasaan yang masih dimiliki roh-roh ketika mereka masih hidup. Kehidupan roh-roh ini bisa membuat mereka menjadi teman manusia yang baik atau malah musuh yang sangat kejam. Dengan memuja kehalusannya, bisa membuat roh-roh merasuki tubuh manusia dengan membuatnya rusak atau sebaliknya bisa meningkatkan kemampuan sang pemilik tubuh tersebut. Inilah awal mula kepercayaan tentang kesurupan. Maka orang-orang primitif terbiasa menganggap semua kejadian yang tidak bisa mereka jelaskan pasti ada kaitannya dengan roh-roh. Dengan cara inilah mereka membuat kerangka sebab akibat yang sering tidak bisa diuraikan dengan pikiran biasa. Akhirnya konsepsi roh menjadikan manusia primitif terperangkap dalam dunia imajiner, walaupun pelaku dan pencipta dunia ini adalah mereka sendiri.
Manusia primitif menjadi pengikut kekuatan-kekuatan spiritual yang mereka ciptakan dan di dalam citraannya sendiri. Cara membentuk citraan inilah yang memiliki kesamaan dengan mekanisme pembentukan delusi dan halusinasi. Karena roh-roh ini terlalu banyak ikut campur tangan dalam kehidupan manusia, seperti mengurusi kesehatan atau penyakit dan baik-buruknya sesuatu, semisal kondisi tanaman dan hasil panen, maka yang muncul adalah keinginan untuk menyenangkan roh-roh tersebut atau membujuk mereka ketika sedang marah dengan bentuk persembahan, pemanggilan roh dengan doa-doa, penyerahan korban, dan seluruh piranti peribadatan religius lainnya.
Sampai di sini, jiwa telah berubah menjadi roh dengan mengalami transformasi yaitu lewat realitas kematian. Namun, roh-roh yang jahat tersebut masih terus bisa berubah menjadi setan atau jin-jin setelah mereka mendapatkan personalisasi yang disesuaikan dengan sifat-sifat manusia. Masih belum berhenti di sini, oleh evolusi pemikiran manusia, setan dan jin dipandang tidak cukup untuk menjelaskan banyak hal tentang alam semesta yang lebih besar dan luas cakupannya, meningkatlah transformasi roh-roh menjadi dewa-dewa alam yang tentunya memiliki sifat-sifat dan kepribadian seperti manusia juga. Akhirnya, rasionalitas manusia yang telah maju dalam menjelaskan alam dan berbagai hal yang bersifat natural menganggap ide tentang dewa-dewa alam sudah tidak relevan dan mencukupi, maka terbukalah ide tentang tuhan.
Ini yang disebut fenomena mimpi, yang awalnya bersifat remeh dan sepele ternyata dari situ terlahir pemikiran dan kepercayaan adanya jiwa, roh, jin-jin, setan, dewa-dewa dan tuhan. Oleh karena itu, wajar kenapa masih banyak orang yang menganggap bahwa mimpi mengandung unsur roh, kegaiban dan peristiwa perjumpaan dengan yang ilahi, di mana kepercayaan ini tidak sedikit yang menganutnya bahkan hampir sebagian besar umat manusia mengimani delusi tersebut. Kalau begitu, warisan primitif bisa dikatakan masih menggentayangi dan menghantui pemikiran manusia di abad yang sangat modern sekarang, dan menunjukkan kemenangan ilmu pengetahuan dan sains atas mitologi belumlah tuntas. Bagaimana bisa di abad revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggelegar, kita masih meyakini eksistensi roh dan dewa-dewa serta ketuhanan yang pada mulanya adalah produk ide imajiner kaum primitif yang delusional dan halusinatif ini? Sekarang mari kita tengok fenomena misteri mimpi kaitannya dengan dunia gaib dan ketuhanan berdasarkan pemikiran agama.
Taurat memberitakan bahwa wahyu yang diterima para nabi-nabi, semisal Nuh, Ibrahim, Musa, dan nabi-nabi lainnya, selalu muncul dalam bentuk mimpi. Ada kebenaran dan hakikat kenyataan dalam mimpi. Ini mengisyaratkan kalau mimpi memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan ajaran-ajaran para Nabi Perjanjian Lama. Mereka meyakini tuhan menampakkan diri dan menyapa melalui mimpi, di mana di dalamnya terdapat kabar suci dan pengetahuan yang bisa menjadi tanda perintah tuhan dan ramalan tentang masa depan. Oleh karena itu, mimpi mengandung unsur keilahian dan kegaiban, ia menjadi sarana komunikasi antara dunia manusia dengan alam ketuhanan.
Hal yang sama bisa kita dapatkan dalam agama Islam, jelas sekali terdapat banyak informasi yang mengabarkan kalau mimpi mengandung unsur ketuhanan dan kegaiban. Beberapa Hadis menyatakan Nabi Muhammad menerima wahyu melalui mimpi, atau wahyu muncul melalui mimpi yang tak sadar. Mimpi menjadi perantara antara nabi dan tuhan. Tentu kenabian Muhammad dibentuk oleh pengalaman-pengalaman spiritual beliau yang dalam mimpi-mimpinya seolah mengabarkan berita gaib dan warta ilahi yang penuh misteri. Para wali dan syeikh pun memiliki pengetahuan ma’rifat yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman mimpinya. Bahkan tidak jarang, mimpi dipercaya bisa memberikan pengetahuan tentang masa depan. Ini salah satu delusi yang diidap oleh Nabi Khidir. Karena merasa ada ketuhanan dalam cara berpikir delusifnya, maka ia begitu yakinnya membunuh seorang anak dengan alasan pengetahuan masa depan yang ia peroleh, menunjukkan anak yang dibunuhnya akan menjadi musuh bagi kedua orang tuanya yang saleh. Jadilah Khidir, sang Nabi Kriminal, karena ia diracuni delusi suci. Bukannya menyesal karena telah membunuh seorang anak, ia malah bangga dan merasa benar. Sungguh, ini penyakit psikis yang ditahbiskan oleh kegaiban dan ketuhanan. Penyakit psikis yang menghasilkan tidak kriminal, tapi oleh agama diberkati. Musuh kemanusiaan dan kewarasan. Sangat mengerikan. Bahkan oleh sebagian para sufi ekstrim, jenis delusi ini telah mewujud menjadi epistemologi pengetahuan, yang disebut dengan ladunni. Bagaimana peradaban akan maju kalau dibangun dari jenis pengetahuan semacam itu? Pengetahuan gila apa ini?
Peradaban dibangun dari kesehatan mental dan kewarasan, bukan dicapai melalui waham mistik dan kegilaan. Epistemologi pengetahuan seperti yang dimiliki oleh Khidir dan para sufi delusif lainnya jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kebudayaan dan peradaban. Sebuah kemunduran yang niscaya. Penulis akan mengulas di masa yang akan datang, dalam satu buku khusus hanya berisi tentang Nabi Khidir dan jenis pengetahuannya, yang tentu analisanya akan sangat berkaitan dengan epistemologi dalam pemikiran Islam, di samping banyak kelompok sufi dan filsuf yang menganut cara pandang yang sama dengan Nabi Khidir ini.
Menurut doktrin tasawuf dan filsafat Islam, mimpi menjadi tabir yang bisa diungkap di dalamnya pengetahuan-pengetahuan transendental, yaitu pengetahuan mistik yang bersumber dari dunia Platonik. Pengetahuan ini diperoleh melalui pengalaman-pengalaman intuitif yang bersifat kuasi-mimpi, seolah pengetahuan telah ada dan muncul lebih dulu di dunia sana, kita hanya mengaktualkannya kembali. Al-Qur’an sebagai sumber moral umat Islam yang berlaku sepanjang zaman dipercayai telah dipahat huruf-hurufnya sebesar deretan gunung-gunung di Lauh Mahfudz, semacam dunia Platonik versi Islam. Ia mengada sebelum alam ini diciptakan bahkan ia bagian dari tuhan, atau yang sering disebut kalamullah.
Oleh karena itu dalam keyakinan Islam, mimpi beserta cakupannya memiliki peran sentral bagi lahirnya kepercayaan terhadap tuhan, kenabian, sumber moral, hukum, sastra dan pengetahuan mistik. Maka, apabila kita mampu menafsirkan, menjelaskan dan menelusuri sifat dan karakteristik mimpi yang menjadi pondasi wahyu dan ketuhanan, tentu kita dapat memahami hakikat sebenarnya dari misteri kenabian dalam agama-agama Abrahamik.
Sebelumnya, penulis telah menggambarkan secara singkat Teori Animisme E.B. Tylor, di mana kegiatan mimpi yang selama ini kita anggap remeh dan sepele ternyata menjadi impuls bagi lahirnya citraan imajiner roh-roh yang kemudian setelah mengalami evolusi kebudayaan dan penghalusan akal-budi terbentuklah makhluk-makhluk spiritual, seperti jin, setan, malaikat dan sejenisnya, yang akhirnya sebagai puncak evolusi muncullah dewa-dewa dan tuhan. Teori ini bisa dikategorikan sebagai analisa psikologi primitif, yang tentu data-datanya diambil dari kepingan-kepingan informasi para etnografer dan cerita-cerita kerakyatan yang diklasifikasikan dan diolah melalui analisa yang cermat. Dalam derajat yang tinggi, Psikoanalisa sebagai disiplin ilmu psikis alam bawah sadar dan teknik penyembuhan penyakit neurotik sangat mendukung teori yang dikemukakan oleh E.B. Tylor tersebut. Freud bahkan dalam bukunya Totem and Taboo, banyak memanfaatkan temuan-temuan Teori Animisme untuk dijadikan pijakan dan pintu masuk bagi terobosan baru dan formulasi teorinya sendiri. Ada semacam kedekatan yang sangat erat antara Psikoanalisa dan Teori Animisme yang didasarkan pada tafsir mimpi. Sebagai kelanjutannya, berikut penulis akan mengutarakan debat antara Freud dan Jung mengenai pengalaman mimpi dan psikologi alam bawah sadar yang menjadi dasar-dasar agama pewahyuan.
Menurut tesis Carl Jung, sumber dan asal-usul agama-agama dunia, termasuk di dalamnya Islam, adalah fakta alam bawah sadar. Jenis agama ini mempunyai ciri bahwa wahyu yang menjadi batang tubuh agama-agama dunia muncul lewat saluran mimpi, delusi, halusinasi, kesurupan, ekstase dan bahkan kegilaan. Para nabi besar agama-agama dunia mendapatkan wahyu melalui saluran-saluran alam bawah sadar tersebut. Bagi Jung, keadaan-keadaan yang dikuasai oleh dunia alam bawah sadar merupakan fenomena keagamaan yang mendasar karena pada saat itu akal fikiran dan psikis dikuasai oleh kekuatan yang berada di luar kontrol kita. Apa yang dinamakan dengan mimpi, delusi dan halusinasi itu merupakan ekspresi keadaan psikis yang dikuasai oleh kekuatan-kekuatan asing yang berasal dari luar diri kita sendiri. Kekuatan-kekuatan asing yang berasal dari luar ini sering diterjemahkan sebagai intervensi kegaiban atau tuhan. Jung menganggap bahwa keadaan-keadaan psikis manusia yang dikuasai oleh dinamika alam bawah sadar memiliki kualitas ilahiah dan bersifat religius sehingga ia sampai pada kesimpulan bahwa agama yang bersumber dari kekuatan alam bawah sadar adalah fakta atau fenomena.
Penggolongan psikis alam bawah sadar sebagai sesuatu yang luhur dan ilahiah mendapatkan tantangan yang serius dari tokoh pendiri Psikoanalisa, yaitu Sigmund Freud (1856-1939). Freud memasukkan kategori alam bawah sadar yang di dalamnya meliputi; mimpi, delusi, halusinasi, gejala psikotik dan neurotik, mitologi, phobia, animisme, naturisme, totemisme dan magi adalah mekanisme psikologi yang patologis dan abnormal. Bagi Freud, ketidaksadaran atau alam bawah sadar adalah bagian psikis manusia yang irrasional. Hal ini mengantar pada penilaian yang berbeda antara Jung yang memuji alam bawah sadar dan Freud yang berhati-hati atas dinamika alam bawah yang memiliki potensi distortif dan manipulatif.. Lalu, bagaimanakah nasib agama-agama dunia yang terang-terangan mendasarkan pada wahyu yang berasal dari psikis alam bawah sadar, semisal Islam yang mendasarkan wahyu pada proses mimpi dan halusinasi suara lonceng? Pada titik inilah Jung ternyata tidak bisa menjawab secara meyakinkan. Justeru, Freud yang selama ini dianggap sebagai tokoh anti-agama mampu menunjukkan celah yang tidak disadari oleh pengetahuan kita.
Dalam susunan kepribadian, Freud menamakan lumbung alam bawah sadar dengan Id dan kesadaran dengan nama Ego. Bagi Freud, wilayah psikis manusia lebih didominasi oleh aparatus alam bawah sadar (id), dan kesadaran (ego) kita berkembang dewasa secara terlambat setelah lebih dahulu muncul alam bawah sadar (id). Perlu kita ketahui bahwa Id adalah sumber kehidupan bagi berfungsinya psikodinamika manusia. Kesadaran (ego) memperoleh kehidupannya dari enersi yang berasal Id sehingga kesadaran (ego) tidak akan bisa sepenuhnya terlepas dari kuasa alam bawah sadar (id).
Psikoanalisa memberikan ciri alam bawah sadar (id) sebagai aparatus psikis yang dominan dalam diri manusia tetapi irrasional, agresif, penuh dengan kesenangan dan naluri primitif, mengaburkan realitas, dan bersifat subversif, sehingga apabila agama mendasarkan dirinya pada alam bawah sadar, tentunya ia memiliki potensi yang patologis dan abnormal. Maka, nilai-nilai moral yang dicita-citakan oleh umat manusia, seperti kebenaran, kemanusiaan, keadilan, dan persamaan, akan menjadi absurd jika ia ditopang oleh fakta alam bawah sadar. Apabila kita memandang Islam yang mendasarkan nilai-nilai moralnya pada wahyu yang muncul lewat saluran mimpi, delusi, dan halusinasi suara lonceng di mana keduanya termasuk dalam kategori kekuatan alam bawah sadar (id), hal ini akan memunculkan tesis bahwa Islam dari segi asal-usulnya memiliki akar-akar kekacauan psikologis. Mungkinkah Islam menghindar dari kenyataan ini?
Jung adalah murid Sigmund Freud yang reaksioner. Dia berusaha menunjukkan kepada kita bahwa agama yang bersumber pada alam bawah sadar adalah fakta. Ia menganggap kebenaran adalah fakta dan bukan keputusan pernyataan atau proposisi. Berdasar pada premis ini, seekor gajah adalah benar jika ia ada atau eksis. Akan tetapi berdasarkan kritik Freud, Jung lupa bahwa kebenaran juga selalu mengacu kepada suatu penilaian dan bukan sekedar deskripsi fenomen yang dipersepsi oleh alat indera kita. Jung mengatakan bahwa suatu ide adalah benar secara psikologis sejauh ia ada dan eksis, tak peduli ia berupa khayalan atau pun berkaitan dengan gejala psikis abnormal. Bagi Jung, agama pastilah benar meskipun ia berasal dari dinamika psikis yang abnormal. Jung mendasarkan tesisnya pada realitas kelahiran agama-agama besar selama ini, yaitu contohnya kemunculan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, di mana para pendirinya mendapatkan wahyu melalui saluran-saluran alam bawah sadar atau ketidaksadaran, semisal lewat mimpi, delusi, dan halusinasi penglihatan (vision). Hal inilah yang hendak diluruskan oleh Freud walaupun ia sering dituduh sebagai orang murtad dan anti-agama.
Bagi Freud, agama bukan sekedar fakta alam bawah sadar tetapi merupakan proposisi penilaian agar ia tidak terjebak oleh distorsi dan manipulasi alam bawah sadar. Bagi Freud, konsepsi dan formulasi agama adalah “apa yang seharusnya” bukan sekedar fakta “apa yang ada” sebagaimana dikonsepsikan oleh Jung. Dengan belajar pada Psikoanalisa, justeru kita bisa melihat bagaimana Freud menunjukkan sisi gelap dari alam bawah sadar yang menjadi sumber lahirnya agama-agama dunia. Setelah mengetahui sisi gelap dari agama yang mempunyai potensi patologis maka kita bisa memformulasikan kembali bagaimana bentuk agama yang lebih sehat dan mampu menopang nilai-nilai moral secara adekuat. Agama yang diformulasikan dari tesis Freud adalah bentuk agama “yang seharusnya” sehingga bisa menghindar dari distorsi dan manipulasi alam bawah sadar yang selama ini dianggap sebagai “fakta” dan sumber kelahiran agama-agama dunia termasuk di dalamnya, Islam, Kristen, dan Yahudi.
Kalau memang selama ini agama-agama mendasarkan diri pada fakta alam bawah sadar karena ia merupakan media bahkan sumber asal-usul munculnya wahyu, maka kita harus bisa memformulasikan bagaimanakah bentuk agama baru yang tentunya membedakan diri dengan bentuk agama-agama dunia yang ada. Freud adalah seorang ateis dalam artian ia tidak mengakui Tuhan menurut cara pandang agama Jung, tetapi ia mengimani nilai-nilai universal yang hendak disampaikan oleh semua agama, seperti; kebenaran, kebaikan, keadilan, kasih sayang, kemurahan hati, pengetahuan, kebebasan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang lain. Freud menolak agama yang dilandaskan pada alam bawah sadar karena jenis agama ini dianggap tidak mampu menunaikan tugas yang sebenarnya. Agama yang ditopang oleh alam bawah sadar berpotensi mengaburkan manusia dari realitas, membunuh daya kritik, dan menyuburkan delusi. Jadi, seharusnya kita berterimakasih kepada Freud yang telah menunjukkan sisi gelap agama sehingga memungkinkan bagi kita untuk membangun kembali formula agama baru yang terbebas dari unsur patologi dan kekacauan psikologis.
Konsep alam bawah sadar (unconscious mind) yang menjadi titik sentral dalam buku ini mengacu pada psikodinamika yang telah dirumuskan oleh Sigmund Freud. Dalam ajaran Freud, alam bawah sadar (id) dipertentangkan dengan konsep kesadaran (ego). Id adalah sumber energi psikis. Ego memperoleh tenaga psikisnya dari id dan tugas psikis ego adalah mengendalikan naluri id agar bisa dipuaskan sesuai dengan tuntutan kultural dan kenyataan. Id adalah timbunan psikis yang merefleksikan prinsip kesenangan (pleasure principle), sedangkan ego mencerminkan prinsip kenyataan (reality principle). Karena id bersifat impulsif, ia selalu mendesakkan naluri kesenangannya agar dapat dipuaskan oleh ego dalam kenyataan. Wilayah kekuasaan id dalam psikodinamika manusia bisa dikatakan tidak terbatas. Freud memandang bahwa manusia cenderung dikuasai oleh kekuatan-kekuatan ketidaksadaran (id). Freud bisa dikategorikan sebagai seorang filsuf anti-rasional yang berpendapat bahwa kekuatan kesadaran manusia begitu lemahnya dalam menghadapi gempuran-gempuran ketidaksadaran (id). Ia begitu pesimis karena manusia lebih cenderung merusak, menumpahkan darah dan suka memperturutkan kesenangannya daripada menahan, menunda atau memuaskannya dalam kenyataan secara lebih adil dan dewasa.
Manusia lebih condong untuk dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan irrasional yang berasal dari kawasan id. Dan hal yang paling berbahaya dari id adalah sifat subversif dan latennya yang mampu mengecoh kesadaran manusia. Id mampu menyamarkan dan memalsukan dirinya di hadapan ego sehingga secara tidak sadar manusia menganggapnya sebagai kenyataan. Dalam hal ini, ego telah dikorupsi oleh id. Contoh dari usaha id yang mampu mengelabuhi ego adalah proses psikis mimpi, halusinasi dan delusi serta bentuk ideologi yang dibangun dari psikis manusia.
Proses psikis mimpi bisa meyakinkan kepada kita bahwa gambaran visual dalam mimpi adalah kenyataan, dan kita baru sadar bahwa gambaran visual itu adalah ilusi setelah kita terbangun dari tidur. Yang mengerikan adalah ketika mimpi biasa yang kita alami setiap malam ternyata oleh para nabi dianggap sebagai bagian dari pewahyuan, padahal wahyu merupakan sumber ajaran para nabi-nabi. Bukankah ini merupakan tindak kegilaan terselubung, karena mimpi yang mengandung patologi abnormal dan memiliki kekacauan psikologis justru ditransendensikan dan dianggap sebagai kalam tuhan.
Selain mimpi, pengalaman penyatuan dalam mistisisme (mystical union) dan fundamentalisme kekerasan agama adalah contoh suatu bentuk tindakan yang memperlihatkan bahwa id (eros dan agresi) mampu menyamarkan diri di hadapan ego, sehingga ego tidak menyadari bahwa dirinya telah termanipulasi, tertipu dan terkorupsi oleh eros dan agresi. Penulis akan memberi ruang yang lebih leluasa tentang penyatuan wujud dan fundamentalisme agama dalam lembaran-lembaran buku baru yang akan datang, tentu dengan analisa yang unik dan orisinil.
Meskipun Freud adalah seorang filsuf anti-rasional yang pesimis terhadap kecenderungan manusia yang mudah memperturutkan sisi irrasional, agresi, kesenangan, dan naluri primitifnya, ia tidak kalah optimisnya untuk menasehati manusia bahwa alam telah menganugerahi mereka kekuatan kesadaran (ego) yang mampu bertindak otonom, dewasa, dan independen sehingga mampu mengarahkan naluri primitifnya agar sesuai dengan pembangunan kembali masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan. Namun, kesadaran (ego) bukanlah sesuatu yang sudah jadi tanpa ada proses yang mendahuluinya. Ego manusia tumbuh seiring dengan usaha untuk terus mengekang, menunda dan menahan pemuasan id dalam dirinya. Pengekangan, penundaan dan penahanan terhadap dorongan id bisa memunculkan kegerahan dan rasa sakit pada individu, tetapi justru rasa sakit inilah yang pada gilirannya menciptakan kedewasaan dan kematangan kepribadian manusia.
Secara lebih umum ego berjalan melintasi sejarah dalam wujud evolusi manusia. Evolusi manusia melaju seiring dengan kekuatan ego untuk terus mengekang dan menahan dorongan id-nya. Kunci keberhasilan manusia dalam melakukan evolusi sehingga bisa terhindar dari kepunahan terletak pada usaha ego untuk selalu mengekang naluri kesenangannya, usaha inilah yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk hidup lainnya. Manusia harus terus berjuang untuk meyelami kembali bakat-bakat potensial dari kesadaran ego-nya agar bisa membangun mekanisme pertahanan diri yang layak dan lepas dari pengaruh ilusi id. Dibutuhkan waktu yang panjang, latihan yang disiplin, dan pembelajaran yang terus menerus bagi ego untuk dapat memperoleh bentuk kepribadian yang matang dan dewasa.
Di sini, etika agama berkepentingan untuk melatih kepribadian manusia dalam memperkuat, mendewasakan dan mematangkan ego sehingga mampu menahan gempuran dari naluri id yang agresif, penuh dengan kesenangan, dan bersifat delusif. Memang kekuatan kesadaran (ego) jauh lebih lemah dibandingkan dengan alam bawah sadar (id), bahkan tenaga psikis ego berasal dari naluri id, namun bukan suatu hal yang mustahil kelak dalam sejarah, manusia mampu menundukkan kecenderungan irrasional, agresi, kesenangan, dan naluri primitif dalam dirinya sehingga manusia sampai pada puncak garis evolusinya. Inilah puncak tertinggi kemenangan manusia terhadap dirinya sendiri. (*)
Tambahkan Komentar