Judul Buku: Tragedi Incest Adam dan Hawa & Nabi Kriminal
Penulis: Ahmad Fauzi
Penerbit: Gubug Saloka
Tebal: 170 Halaman
ISBN: 978-602-72345-0-5
Harga: Rp. 100.000 (belum termasuk ongkir)
Cp: 085740145329
Simpulan
Percobaan penyembelihan Ismail oleh Ibrahim menunjukkan adanya pengulangan dan simbol balas dendam atas tragedi totemik pada zaman Primal Horde yang diisyaratkan oleh Darwin dan kemudian mempengaruhi Freud. Menurut cerita Primal Horde, sang ayah berhasil dibunuh oleh sang anak karena terdapat rasa permusuhan antara sang anak dan sang ayah demi memperebutkan cinta sang ibu.
Baca juga: Benarkah Ibrahim itu Nabi Delusional?
Tragedi ini diperingati dan dihidupkan kembali dalam wujud persembahan totemik yang menjadi salah satu ritual agama totem, yaitu agama yang paling tua dalam sejarah manusia. Dan, dalam kisah Ibrahim yang berusaha menyembelih anaknya, Ismail, terjadi kembali pengulangan peristiwa totemik di atas, bedanya kini sang ayah dalam posisi ingin melakukan balas dendam dengan berusaha membunuh sang anak, melalui legitimasi pewahyuan, sebagai ganti atas perbuatan sang anak ketika zaman Primal Horde membunuh sang ayah.
Hal yang sama dengan cerita Primal Horde, peristiwa tragedi percobaan sang ayah untuk membunuh sang anak ini kemudian diperingati dan dihayati dalam ritus Haji, di mana salah satunya terdapat prosesi penyembelihan hewan kurban yang menyimbolkan tragedi penyembelihan Ismail oleh Ibrahim. Berarti ibadah haji merupakan prasasti yang mengingatkan kita pada sebuah tindak kriminal yang dilakukan oleh seorang nabi.
Setelah kita membuka kedok di balik mimpi ilahiah Ibrahim, ternyata ada pikiran tersembunyi yang menjadi motif sebenarnya kenapa Ibrahim sampai bermimpi menyembelih anaknya sendiri, yaitu ia terhasut oleh provokasi naluri Oedipus Complex yang mengendap dalam alam bawah sadarnya.
Gambaran mimpi Ibrahim yang menyembelih anaknya sendiri sebenarnya adalah hasil perwujudan rasa permusuhan terselubung terhadap anaknya yang secara tidak ia sadari mengendap dalam alam bawah sadar. Ia memusuhi Ismail karena dalam pikirannya yang tersembunyi terdapat anggapan bahwa Ismail berusaha menyingkirkannya demi memperoleh hak cinta atas ibu Ismail, Hajar. Ada persaingan dan kecemburuan halus antara Ibrahim dan Ismail untuk memperoleh hak cinta eksklusif atas Hajar.
Baca juga: Meramal Nabi Masa Depan, Bisakah?
Rasa permusuhan yang diakibatkan dari persaingan ini kemudian mengirim pesan dalam bentuk gambaran mimpi berupa Ibrahim menyembelih Ismail, yang ternyata Ibrahim sendiri tidak menyadari bagaimana mimpi tersebut bisa terbentuk, dan dengan naifnya ia justru menganggap mimpinya sebagai wahyu ilahi. Di sinilah letak kegilaan Ibrahim, ia mengangkat kualitas mimpi yang mengandung akar-akar kekacauan psikologi Oedipus Complex menjadi sesuatu yang ilahiah, terang dan bercahaya. Tentu ini merupakan cara berpikir yang berbahaya, sebuah kontradiksi dan anomali yang harusnya disingkirkan tetapi oleh Ibrahim malah ditinggikan.
Harus kita ketahui bahwa dalam mimpi sebenarnya tidak ada unsur kegaiban dan ketuhanan. Keyakinan yang memandang mimpi memiliki aura ketuhanan dan pengetahuan tentang masa depan, sebenarnya adalah bagian dari citraan pemikiran manusia primitif yang delusional dan imajiner. Akan sangat berbahaya apabila agama-agama justru mendasarkan diri pada wahyu yang bersumber dari pengalaman mimpi, karena dengan begitu agama menjadi institusi yang mensucikan pikiran kacau yang penuh kontradiksi dan anomali.
Agama jenis ini tentu berpotensi menjadi ancaman bagi kewarasan dan kemanusiaan. Agama seperti ini bisa menjadi preseden buruk yang memberi contoh bagi motif pengrusakan dan pembunuhan atas nama iman dan ketuhanan.
Telah kita pahami, yang disebut dengan mimpi itu merupakan dinamika alam bawah sadar yang mengandung patologi dan kekacauan psikologis, ia bisa memanipulasi dan mempermainkan kesadaran kita. Tindakan Ibrahim yang hendak menyembelih anaknya sendiri karena merasa diperintahkan dan merupakan bukti kecintaannya pada tuhan dapat dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. Tafsir mimpinya yang delusif telah membunuh kewarasan dan akal-sehatnya. Kalau banyak orang menyebut Ibrahim layak mendapat gelar bapak orang beriman, tapi bagi penulis ia lebih cocok disebut musuh kemanusiaan.
Oleh karena itu, apabila kita ingin beragama dengan sehat dan dewasa, tentu dasar-dasar agama wahyu yang bersumber dari pengalaman mimpi dan delusi harus dijauhi dan ditinggalkan. Kita perlu memperbarui kembali dasar-dasar agama kita yang membedakan dirinya dengan agama-agama pewahyuan. Agama yang dapat membuka mata kewarasan dan akal sehat. Agama yang memperhalus watak dan akal-budi manusia, sehingga dengan itu meletakkan kemanusiaan dan pengetahuan sebagai fundamen yang paling mendasar.
Agama yang membebaskan kekuatan kreatif dalam diri manusia, yang dengan itu ia mampu mengaktualisasikan potensi-potensi alamiahnya yang terdalam. Agama yang menyadari bahwa ia bisa salah dan memiliki kelemahan, yang oleh karena itu, ia akan selalu memperbaiki diri dan membuka kritik agar lebih makin dewasa dan mengembang secara dialektis.
Ia tidak mengklaim dirinya sebagai yang mutlak dan absolut, tetapi sebagai proses mendarah dagingkan kemanusiaan dalam kenyataan. Agama ini menginsafi kalau dirinya hanya menjadi bagian dari fase panjang evolusi sejarah umat manusia. Maka, saatnya menyambut agama tanpa wahyu, agama kemanusiaan, agama kebudayaan, dan mari kita gali kubangan sedalam-dalamnya untuk kuburan agama pewahyuan. Kewarasan adalah keniscayaan. Dan, biarkan pengetahuan yang akan membebaskan.
Teori dan metodologi yang digunakan penulis untuk menganalisa dan menjelaskan berbagai masalah dalam buku ini memang bersifat “mencurigai.” Psikoanalisa, oleh karena itu, dianggap sebagai alat demistifikasi yang curiga dengan sesuatu yang pada penampakannya bersifat terang tapi setelah diteliti secara mendalam ternyata menyembunyikan remang-remang. Sigmund Freud, bersama Karl Marx dan Friedrich Nietzsche, oleh Paul Ricoeur digolongkan dalam sebuah mazhab yang sering disebut dengan School of Suspicion atau Mazhab Kecurigaan, yang pandangan-pandangannya sering berlawanan dengan tafsiran kaum Fenomenologi Agama.
Ada satu pintu masuk kenapa Psikoanalisa sangat tepat digunakan untuk menjelaskan Ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu karena adanya kata teknis Ta’wil dalam Al-Qur’an itu sendiri. Psikoanalisa dan Ta’wil adalah piranti yang sama-sama meneliti tentang mimpi. Mungkin ini alasan kenapa At- Thabari menamai kitabnya; “Jam’iul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an” dan bukannya ‘an Tafsiril Qur’an.
Ta’wil dapat dikatakan lebih tepat digunakan untuk menjelaskan Al-Qur’an dibandingkan istilah teknis Tafsir, di samping kata Ta’wil lebih banyak disebut dalam Al-Qur’an ketimbang kata teknis Tafsir, karena Al-Quran sebagian besar memuat ayat-ayat yang bersifat tasybih, tamtsil, kinayah dan isti’arah, yaitu ayat-ayat kabur yang mengandung simbolisme dan perumpamaan.
Ini mengisyaratkan bahwa Ta’wil bukanlah bagian dari Tafsir, justeru sebaliknya Tafsir adalah bagian dari Ta’wil. Di sini, tentu kita berhutang budi pada aliran Mu’tazilah yang telah berjasa besar mengembangkan konsep Ta’wil dalam menerangkan Ayat-Ayat Majazi, meski mereka terkesan dipojokkan dan dipinggirkan oleh golongan ortodoksi dalam Islam.
Yang membedakan Psikoanalisa dengan Ta’wil adalah Psikoanalisa sudah diperlengkapi dengan metode pengetahuan untuk menjelaskan bagaimana pencipta teks itu (mimpi) mengasingkan dirinya dalam ciptaannya sendiri. Mimpi, mitologi, magi, delusi, gejala neurotik dan psikotik, animisme, phobia, totemisme, seni sastra, dan hasil pikiran alam bawah sadar lainnya, telah banyak dijelaskan struktur dan dinamikanya oleh Psikoanalisa, meski tidak semuanya sempurna dan terlalu over-determination.
Psikoanalisa bukan hanya sekedar mengembalikan makna pada yang diperumpamakan atau hakikat realitas, tapi lebih dari itu, ia menelusuri lorong-lorong gelap yang penuh hambatan dan resistensi demi mencari pikiran tersembunyi yang menjadi motif sebenarnya dalam menciptakan teks yang asing tersebut. Penjelasan akan dinamika dan misteri alam bawah sadar menjadi temuan penting Psikoanalisa.
Sedangkan Ta’wil, karena belum banyak pemikir muslim yang mengembangkannya berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan dan juga karena ada semacam tabu dosa di dalamnya, ternyata masih berkutat pada pengandaian teks yang normal dan wajar, tanpa ada wawasan bahwa sang pencipta teks tersebut mengasingkan diri dalam teks buatannya. Wilayah yang diteliti Ta’wil masih ada dalam dimensi kesadaran, belum merambah pada dunia alam bawah sadar dan belum memperlengkapi diri dengan alat-alat yang dibutuhkan untuk menganalisa dunia alam bawah sadar.
Padahal telah kita pahami bersama, Al-Qur’an sebagai wahyu yang muncul lewat mimpi, tentu sangatlah kental dengan nuansa pikiran alam bawah sadar, maka mau tidak mau kita harus memiliki alat-alat pengetahuan yang cukup dan memadai mengenai dinamika alam bawah sadar sebagai syarat pertama untuk berhasil mengerti dengan lebih baik mengenai maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Qu’an. Ini yang harus diperhatikan secara serius bagi pemikir muslim yang ingin mengembangkan konsep teknis Ta’wil terhadap kitab sucinya.
Penulis sempat membaca tulisan Nasr Hamid Abu Zayd dalam bukunya Mafhum an-Nash yang mencoba mengembangkan mekanisme Ta’wil dalam dimensi mistik (contohya konsep ma’rifat), namun penulis tidak menemukan unsur pengetahuan baru yang bersifat paradigmatik dalam mengembangkan konsep Ta’wil. Tetapi sebagai usaha untuk melepaskan Ta’wil dari penjara tabu, ini merupakan sebuah usaha yang luar biasa.
Psikoanalisa oleh Jurgen Habermas dikategorikan sebagai jenis pengetahauan yang bersifat kritis-emansipatoris, yaitu pengetahuan yang berusaha membebaskan individu manusia dari cengkeraman ideologi yang sering memanipulasi dan mendistorsi kesadaran kita. Dalam hal ini, ideologi menghasilkan kekacauan berpikir dan menciptakan keterasingan.
Psikoanalisa dianggap sebagai Hermeneutika-Dalam (Depth-Hermeneutic) dalam buku Habermas yang berjudul Knowledge dan Human Interest, karena ia tidak sekedar berhadapan dengan teks yang normal dan biasa, seperti hermeneutika dan filologi pada umumnya, tetapi berhadapan dengan teks yang penuh kejanggalan dan penipuan diri di mana sang pencipta teks merasa asing dengan hasil ciptaannya dan mengasingkan diri dalam teks buatannya.
Dengan begitu, Psikoanalisa memang sesuai untuk digunakan dalam menjelaskan Al-Qur’an. Bukankah Al-Qur’an itu muncul lewat mimpi yang tak sadar, di mana yang mengalami mimpi tersebut menganggap hasil mimpinya bukanlah ciptaannya, tapi karya tuhan. Berarti, Nabi sebagai pencipta teks mimpinya, ia tidak sadar dan asing akan hasil karyanya sendiri serta mengasingkan diri dalam ciptaannya. Oleh karena itu, berdasarkan perspektif Psikoanalisa, bisa disebut Al-Qur’an itu adalah sebuah produk keterasingan. (*)
Penulis: Ahmad Fauzi
Penerbit: Gubug Saloka
Tebal: 170 Halaman
ISBN: 978-602-72345-0-5
Harga: Rp. 100.000 (belum termasuk ongkir)
Cp: 085740145329
Simpulan
Percobaan penyembelihan Ismail oleh Ibrahim menunjukkan adanya pengulangan dan simbol balas dendam atas tragedi totemik pada zaman Primal Horde yang diisyaratkan oleh Darwin dan kemudian mempengaruhi Freud. Menurut cerita Primal Horde, sang ayah berhasil dibunuh oleh sang anak karena terdapat rasa permusuhan antara sang anak dan sang ayah demi memperebutkan cinta sang ibu.
Baca juga: Benarkah Ibrahim itu Nabi Delusional?
Tragedi ini diperingati dan dihidupkan kembali dalam wujud persembahan totemik yang menjadi salah satu ritual agama totem, yaitu agama yang paling tua dalam sejarah manusia. Dan, dalam kisah Ibrahim yang berusaha menyembelih anaknya, Ismail, terjadi kembali pengulangan peristiwa totemik di atas, bedanya kini sang ayah dalam posisi ingin melakukan balas dendam dengan berusaha membunuh sang anak, melalui legitimasi pewahyuan, sebagai ganti atas perbuatan sang anak ketika zaman Primal Horde membunuh sang ayah.
Hal yang sama dengan cerita Primal Horde, peristiwa tragedi percobaan sang ayah untuk membunuh sang anak ini kemudian diperingati dan dihayati dalam ritus Haji, di mana salah satunya terdapat prosesi penyembelihan hewan kurban yang menyimbolkan tragedi penyembelihan Ismail oleh Ibrahim. Berarti ibadah haji merupakan prasasti yang mengingatkan kita pada sebuah tindak kriminal yang dilakukan oleh seorang nabi.
Setelah kita membuka kedok di balik mimpi ilahiah Ibrahim, ternyata ada pikiran tersembunyi yang menjadi motif sebenarnya kenapa Ibrahim sampai bermimpi menyembelih anaknya sendiri, yaitu ia terhasut oleh provokasi naluri Oedipus Complex yang mengendap dalam alam bawah sadarnya.
Gambaran mimpi Ibrahim yang menyembelih anaknya sendiri sebenarnya adalah hasil perwujudan rasa permusuhan terselubung terhadap anaknya yang secara tidak ia sadari mengendap dalam alam bawah sadar. Ia memusuhi Ismail karena dalam pikirannya yang tersembunyi terdapat anggapan bahwa Ismail berusaha menyingkirkannya demi memperoleh hak cinta atas ibu Ismail, Hajar. Ada persaingan dan kecemburuan halus antara Ibrahim dan Ismail untuk memperoleh hak cinta eksklusif atas Hajar.
Baca juga: Meramal Nabi Masa Depan, Bisakah?
Rasa permusuhan yang diakibatkan dari persaingan ini kemudian mengirim pesan dalam bentuk gambaran mimpi berupa Ibrahim menyembelih Ismail, yang ternyata Ibrahim sendiri tidak menyadari bagaimana mimpi tersebut bisa terbentuk, dan dengan naifnya ia justru menganggap mimpinya sebagai wahyu ilahi. Di sinilah letak kegilaan Ibrahim, ia mengangkat kualitas mimpi yang mengandung akar-akar kekacauan psikologi Oedipus Complex menjadi sesuatu yang ilahiah, terang dan bercahaya. Tentu ini merupakan cara berpikir yang berbahaya, sebuah kontradiksi dan anomali yang harusnya disingkirkan tetapi oleh Ibrahim malah ditinggikan.
Harus kita ketahui bahwa dalam mimpi sebenarnya tidak ada unsur kegaiban dan ketuhanan. Keyakinan yang memandang mimpi memiliki aura ketuhanan dan pengetahuan tentang masa depan, sebenarnya adalah bagian dari citraan pemikiran manusia primitif yang delusional dan imajiner. Akan sangat berbahaya apabila agama-agama justru mendasarkan diri pada wahyu yang bersumber dari pengalaman mimpi, karena dengan begitu agama menjadi institusi yang mensucikan pikiran kacau yang penuh kontradiksi dan anomali.
Agama jenis ini tentu berpotensi menjadi ancaman bagi kewarasan dan kemanusiaan. Agama seperti ini bisa menjadi preseden buruk yang memberi contoh bagi motif pengrusakan dan pembunuhan atas nama iman dan ketuhanan.
Telah kita pahami, yang disebut dengan mimpi itu merupakan dinamika alam bawah sadar yang mengandung patologi dan kekacauan psikologis, ia bisa memanipulasi dan mempermainkan kesadaran kita. Tindakan Ibrahim yang hendak menyembelih anaknya sendiri karena merasa diperintahkan dan merupakan bukti kecintaannya pada tuhan dapat dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. Tafsir mimpinya yang delusif telah membunuh kewarasan dan akal-sehatnya. Kalau banyak orang menyebut Ibrahim layak mendapat gelar bapak orang beriman, tapi bagi penulis ia lebih cocok disebut musuh kemanusiaan.
Oleh karena itu, apabila kita ingin beragama dengan sehat dan dewasa, tentu dasar-dasar agama wahyu yang bersumber dari pengalaman mimpi dan delusi harus dijauhi dan ditinggalkan. Kita perlu memperbarui kembali dasar-dasar agama kita yang membedakan dirinya dengan agama-agama pewahyuan. Agama yang dapat membuka mata kewarasan dan akal sehat. Agama yang memperhalus watak dan akal-budi manusia, sehingga dengan itu meletakkan kemanusiaan dan pengetahuan sebagai fundamen yang paling mendasar.
Agama yang membebaskan kekuatan kreatif dalam diri manusia, yang dengan itu ia mampu mengaktualisasikan potensi-potensi alamiahnya yang terdalam. Agama yang menyadari bahwa ia bisa salah dan memiliki kelemahan, yang oleh karena itu, ia akan selalu memperbaiki diri dan membuka kritik agar lebih makin dewasa dan mengembang secara dialektis.
Ia tidak mengklaim dirinya sebagai yang mutlak dan absolut, tetapi sebagai proses mendarah dagingkan kemanusiaan dalam kenyataan. Agama ini menginsafi kalau dirinya hanya menjadi bagian dari fase panjang evolusi sejarah umat manusia. Maka, saatnya menyambut agama tanpa wahyu, agama kemanusiaan, agama kebudayaan, dan mari kita gali kubangan sedalam-dalamnya untuk kuburan agama pewahyuan. Kewarasan adalah keniscayaan. Dan, biarkan pengetahuan yang akan membebaskan.
Teori dan metodologi yang digunakan penulis untuk menganalisa dan menjelaskan berbagai masalah dalam buku ini memang bersifat “mencurigai.” Psikoanalisa, oleh karena itu, dianggap sebagai alat demistifikasi yang curiga dengan sesuatu yang pada penampakannya bersifat terang tapi setelah diteliti secara mendalam ternyata menyembunyikan remang-remang. Sigmund Freud, bersama Karl Marx dan Friedrich Nietzsche, oleh Paul Ricoeur digolongkan dalam sebuah mazhab yang sering disebut dengan School of Suspicion atau Mazhab Kecurigaan, yang pandangan-pandangannya sering berlawanan dengan tafsiran kaum Fenomenologi Agama.
Ada satu pintu masuk kenapa Psikoanalisa sangat tepat digunakan untuk menjelaskan Ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu karena adanya kata teknis Ta’wil dalam Al-Qur’an itu sendiri. Psikoanalisa dan Ta’wil adalah piranti yang sama-sama meneliti tentang mimpi. Mungkin ini alasan kenapa At- Thabari menamai kitabnya; “Jam’iul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an” dan bukannya ‘an Tafsiril Qur’an.
Ta’wil dapat dikatakan lebih tepat digunakan untuk menjelaskan Al-Qur’an dibandingkan istilah teknis Tafsir, di samping kata Ta’wil lebih banyak disebut dalam Al-Qur’an ketimbang kata teknis Tafsir, karena Al-Quran sebagian besar memuat ayat-ayat yang bersifat tasybih, tamtsil, kinayah dan isti’arah, yaitu ayat-ayat kabur yang mengandung simbolisme dan perumpamaan.
Ini mengisyaratkan bahwa Ta’wil bukanlah bagian dari Tafsir, justeru sebaliknya Tafsir adalah bagian dari Ta’wil. Di sini, tentu kita berhutang budi pada aliran Mu’tazilah yang telah berjasa besar mengembangkan konsep Ta’wil dalam menerangkan Ayat-Ayat Majazi, meski mereka terkesan dipojokkan dan dipinggirkan oleh golongan ortodoksi dalam Islam.
Yang membedakan Psikoanalisa dengan Ta’wil adalah Psikoanalisa sudah diperlengkapi dengan metode pengetahuan untuk menjelaskan bagaimana pencipta teks itu (mimpi) mengasingkan dirinya dalam ciptaannya sendiri. Mimpi, mitologi, magi, delusi, gejala neurotik dan psikotik, animisme, phobia, totemisme, seni sastra, dan hasil pikiran alam bawah sadar lainnya, telah banyak dijelaskan struktur dan dinamikanya oleh Psikoanalisa, meski tidak semuanya sempurna dan terlalu over-determination.
Psikoanalisa bukan hanya sekedar mengembalikan makna pada yang diperumpamakan atau hakikat realitas, tapi lebih dari itu, ia menelusuri lorong-lorong gelap yang penuh hambatan dan resistensi demi mencari pikiran tersembunyi yang menjadi motif sebenarnya dalam menciptakan teks yang asing tersebut. Penjelasan akan dinamika dan misteri alam bawah sadar menjadi temuan penting Psikoanalisa.
Sedangkan Ta’wil, karena belum banyak pemikir muslim yang mengembangkannya berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan dan juga karena ada semacam tabu dosa di dalamnya, ternyata masih berkutat pada pengandaian teks yang normal dan wajar, tanpa ada wawasan bahwa sang pencipta teks tersebut mengasingkan diri dalam teks buatannya. Wilayah yang diteliti Ta’wil masih ada dalam dimensi kesadaran, belum merambah pada dunia alam bawah sadar dan belum memperlengkapi diri dengan alat-alat yang dibutuhkan untuk menganalisa dunia alam bawah sadar.
Padahal telah kita pahami bersama, Al-Qur’an sebagai wahyu yang muncul lewat mimpi, tentu sangatlah kental dengan nuansa pikiran alam bawah sadar, maka mau tidak mau kita harus memiliki alat-alat pengetahuan yang cukup dan memadai mengenai dinamika alam bawah sadar sebagai syarat pertama untuk berhasil mengerti dengan lebih baik mengenai maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Qu’an. Ini yang harus diperhatikan secara serius bagi pemikir muslim yang ingin mengembangkan konsep teknis Ta’wil terhadap kitab sucinya.
Penulis sempat membaca tulisan Nasr Hamid Abu Zayd dalam bukunya Mafhum an-Nash yang mencoba mengembangkan mekanisme Ta’wil dalam dimensi mistik (contohya konsep ma’rifat), namun penulis tidak menemukan unsur pengetahuan baru yang bersifat paradigmatik dalam mengembangkan konsep Ta’wil. Tetapi sebagai usaha untuk melepaskan Ta’wil dari penjara tabu, ini merupakan sebuah usaha yang luar biasa.
Psikoanalisa oleh Jurgen Habermas dikategorikan sebagai jenis pengetahauan yang bersifat kritis-emansipatoris, yaitu pengetahuan yang berusaha membebaskan individu manusia dari cengkeraman ideologi yang sering memanipulasi dan mendistorsi kesadaran kita. Dalam hal ini, ideologi menghasilkan kekacauan berpikir dan menciptakan keterasingan.
Psikoanalisa dianggap sebagai Hermeneutika-Dalam (Depth-Hermeneutic) dalam buku Habermas yang berjudul Knowledge dan Human Interest, karena ia tidak sekedar berhadapan dengan teks yang normal dan biasa, seperti hermeneutika dan filologi pada umumnya, tetapi berhadapan dengan teks yang penuh kejanggalan dan penipuan diri di mana sang pencipta teks merasa asing dengan hasil ciptaannya dan mengasingkan diri dalam teks buatannya.
Dengan begitu, Psikoanalisa memang sesuai untuk digunakan dalam menjelaskan Al-Qur’an. Bukankah Al-Qur’an itu muncul lewat mimpi yang tak sadar, di mana yang mengalami mimpi tersebut menganggap hasil mimpinya bukanlah ciptaannya, tapi karya tuhan. Berarti, Nabi sebagai pencipta teks mimpinya, ia tidak sadar dan asing akan hasil karyanya sendiri serta mengasingkan diri dalam ciptaannya. Oleh karena itu, berdasarkan perspektif Psikoanalisa, bisa disebut Al-Qur’an itu adalah sebuah produk keterasingan. (*)
Tambahkan Komentar