Judul : Nostalgi dan Melankoli
(Puisi-puisi Niam At-majha)
Penulis : Niam At-Majha
Penyunting : Puji Pistols
Cetakan : I, 2018
Tebal: 12 x 18 cm, xxi + 83 Halaman
Penerbit: CV. Pilar Nusantara
ISBN: 978-602-50465-8-2
Harga: Rp.30.000 (belum termasuk ongkir)
CP: 08562674799 / 085740145329
Prolog
Puisi-puisi yang (Selalu) Menemukan Cintanya Sendiri
Cep Subhan KM
TAHUN 1981, Budi Darma menulis sebuah esai berjudul “Milik Kita: Sastra
Sepintas Lalu”. Esai itu pertama-tama dimuat dalam Kompas edisi 9 Nopember 1981
dan kemudian dibukukan bersama 16 esainya yang lain dalam Solilokui:
Kumpulan Esai Sastra (Gramedia, 1983). Di dalam esai tersebut, sastrawan
sekaligus kritikus sastra kita itu membahas pandangannya seputar banyaknya
penulis yang melahirkan karya sastra, kemudian pergi, kadang kembali lagi, lalu
pergi lagi. Dengan kata lain: hanya mampir, atau dalam istilah Budi Darma,
“keterlibatan mereka dalam sastra hanyalah sepintas-lalu”. Dengan “hanya
mampir” itu maka mereka “bermain ala kadarnya, tanpa berusaha keras untuk
memperbaiki mutu permainannya”.
Antologi puisi Nostalgi dan Melankoli ini adalah antologi puisi
tunggal Niam At-Majha yang pertama. Bahwa penganggitnya bisa kita harapkan
bukanlah penyastra sepintas-lalu maka itu pertama-tama bisa kita lihat dari
rekam jejaknya di dunia sastra yang sudahlumayan panjang. Sebelumnya,
karya-karyanya sudah termaktub dalam lima antologi bersama. Tahun ketika Nostalgi
dan Melankoli ini terbit adalah tahun ketika sang penulis merupakan Ketua
Komite Sastra Dewan Kesenian Pati yang dia jabat sejak tahun 2015.
Antologi puisi ini menampung 51 puisi anggitan Niam At-Majha yang
dibagi ke dalam tiga tajuk besar: Risalah—16 puisi, Cerita Cinta—15 puisi, dan
Ayat Kopi—20 puisi. Jika melihat dari tarikh yang terkadang dicantumkan di
akhir puisi, baik berupa tahun ataupun bersama dengan bulan, maka nampaknya
kelima puluh satu puisi itu ditulis dalam rentang 2014-2017. Meski demikian,
ada juga kita temukan banyak puisi yang tak memiliki penanda tarikh sehingga
mungkin saja proses kreatif sang penyair sebenarnya sudah bermula jauh sebelum
tahun 2014: lihat misalnya dalam biodata singkat penulis dicantumkan bahwa
puisi-puisinya ada yang sudah termuat dalam antologi bersama rilisan Dewan
Kesenian Kudus, Dari Dam Sengon Ke
Jembatan Panengel yang terbit
tahun 2013.
Sementara itu, penyusunan puisi-puisinya sendiri tak didasarkan pada
urutan kronologis, sebuah metode yang akan menyulitkan penelaahannya akan
tetapi di sisi lain memudahkan penikmatan puisi-puisi itu sendiri. Pembagian
ketiga tema—atau katakanlah tajuk—berupa judul besar yang merangkum sejumlah
puisi sendiri bukanlah sesuatu yang baru, kita bisa menemukannya sebagai
sesuatu yang juga sudah dilakukan beberapa penyair kita sepanjang waktu,
misalnya pada antologi Buku Puisi-nya Hartojo Andangdjaya yang terbit
tahun 1973, Notasi Pendosa-nya Acep Iwan Saidi yang terbit tahun 2007,
ataupun Pleidoi Malin Kundang Indrian Koto yang terbit tahun 2017.
Penikmatan sebuah puisi, apa boleh buat, memang tak selalu bisa sejalan
dengan penelaahan puisi-puisi tersebut. Sementara penikmatan sebuah puisi
adalah hal yang mungkin dilakukan semua orang ketika membaca puisi, maka
penelaahan idealnya dilakukan oleh seorang kritikus sastra. Sebuah puisi,
dengan demikian, bisa saja memukau dalam sesi penikmatan sementara dalam sesi
penelaahannya nilainya rendah: ada banyak syarat-syarat sebuah puisi bisa
memikat kita, dan itu tak selalu berarti bahwa puisi itu dari sudut pandang
kritik sastra merupakan puisi yang bagus.
Pada momen kita menyinggung perihal bagus dan tidaknya puisi, maka
wilayah baru telaah teks sastra langsung menyergap kita. Tak ada kesepahaman,
atau ijmak, tentang hal itu. Pada akhirnya kita pertama-tama musti menjelaskan
berdasarkan paradigma apakah kita memutuskan menilai puisi yang bersangkutan,
karena setiap paradigma memiliki penilaiannya sendiri-sendiri tentang bagus
tidaknya sebuah puisi. Sebuah puisi mungkin saja dinilai bagus berdasarkan satu
paradigma akan tetapi ia dinilai buruk berdasarkan paradigma yang lain.
Tulisan ini, sebagaimana ilaharnya sebuah pengantar, sama sekali tak
ditulis dengan pretensi sebuah kritik sastra. Ia hanyalah resepsi sepintas
seorang pembaca yang dalam pembacaannya mungkin sesekali mampir ke teori sastra
yang terlintas dalam benaknya. Ia, dengan kata lain, hanyalah sebuah coba-coba
mengenal lebih dekat apa yang mungkin ditawarkan sebuah teks sastra. Kita tahu
bahwa sebuah teks yang baik selalu menawarkan sesuatu, selalu memberikan
sesuatu.
Setiap puisi merupakan eksperimen penyairnya untuk mempraktekkan
kemampuannya menulis puisi, demikian pulalah puisi-puisi dalam antologi ini.
Nampak bahwa sang penyair tak berpretensi menulis puisi-puisinya dengan aturan
rima yang ketat. Puisi-puisinya cenderung merupakan puisi-puisi bebas (free
verse), atau lebih tepatnya puisi-puisi awarima. Meski demikian, bisa juga
kita temukan terkadang beberapa rima ketat pada bait-bait puisi tertentu,
misalnya pada bait awal puisi Plukaran misalnya yang berima aabb.
Pembarisan atau pelarikan (lineation) puisi-puisi dalam antologi
ini juga cenderung tak menggunakan aturan umum. Maka kita temukan misalnya
huruf-huruf awal perbarisnya tidak menggunakan huruf kapital kecuali ketika
kata paling awal adalah nama. Ini merupakan teknik yang umum pada puisi-puisi
yang menggunakan baris-baris sambung, enjambemen, terutama ketika aspek tanda
baca pun tidak digunakan dengan ketat: kita misalnya hanya menemukan beberapa
saja tanda petik, titik dua, koma, titik, ataupun tanda tanya pada posisi yang
memang sangat membutuhkan tanda-tanda tersebut. Teknik seperti ini memberi kebebasan
pada pembaca untuk mengambil jeda sendiri yang kadang tak bisa mengandalkan
pemenggalan per baris.
Ada banyak juga ragam gaya bahasa dan bahasa figuratif yang digunakan
penyair dalam puisi-puisinya. Kita bisa menemukan banyak penggunaan kilatan
atau alusi, misalnya dalam puisi Kau, aku lirik yang “mencari”
kekasihnya digambarkan sebagai si “majnun mengendarai rocinante”. Majnun yang
dimaksud adalah tokoh fiktif Don Quixote yang kudanya memang bernama Rocinante
dalam awakarya dunia rekaan Cervantes. Alusi tersebut berguna memperkuat
penggambaran kegilaan si aku.
Alusi-alusi yang lain juga bisa ditemukan misalnya Selma dalam Kesedihan
Selma, sebagai Selma Karamy (Salma Karamah) dalam Al-Ajnihah
al-Mutakassirah (Sayap-sayap Patah) karangan penyair Khalil Jibran.
Dalam puisi Suluk Burung, kita bahkan bisa menemukan tiga alusi
sekaligus: Attar, Rumi, dan Arabi. Dua yang awal adalah penyair sufistik
Persia, sedangkan yang terakhir, Ibnu Arabi, adalah seorang tokoh sufistik
kelahiran Spanyol yang digelari Syaikh al-Akbar. Masih dalam puisi yang
sama, kita juga bisa menemukan penggunaan Epizeuksis, pengulangan bagian yang
dianggap paling penting yang dalam kasus puisi ini adalah frasa “ada yang
terbang”.
Sebuah alusi digunakan dengan mengandaikan pembaca mengenal apa yang
dirujuk oleh alusi tersebut. Tanpa adanya pengenalan tersebut maka alusi
bukannya memberikan efek memperkuat subjek yang dibicarakan, sebaliknya ia akan
membuat puisi tersebut membingungkan. Niam At-Majha dalam hal ini nampaknya
mengambil alusi yang memang mudah dikenal sehingga akan memudahkan pembacanya
pula untuk memahaminya.Terkadang dia juga memberikan petunjuk: dalam puisi Kesedihan
Selma misalnya, dia bahkan mencantumkan epigraf berupa nama penyair Khalil
Jibran.
Selain alusi, kita juga banyak menemukan penggunaan simile terutama
ditandai dengan penggunaan kata seperti, misalnya cahaya bulan
mengapung/di langit/seperti warna surga (Subuh), terkadang ada juga
penggunaan metafora seperti pada baris aku adalah daun-daun (Risalah
Rumah), polisindeton pada Sajak Buat Kurniawan Junaidi, dan anafora pada
Sajak Untuk Palestina.
Kelima puluh puisi yang ada dalam antologi ini dibagi penyairnya
menjadi tiga tajuk, Risalah, Cerita Cinta, Ayat Kopi. Tajuk-tajuk tersebut
nampaknya digunakan penyair untuk mengelompokkan puisinya. Hal itu bisa
membantu kita melihat konteks keseluruhan puisi-puisi dalam antologi ini. Meski
demikian, hal itu bukannya tak berisiko, karena mengelompokkan puisi ke sebuah
tajuk seringkali tak mudah.
Tajuk pertama, Risalah, mungkin dimaksudkan mencakup puisi-puisi
yang ditulis dengan tujuan membicarakan berbagai tema yang mungkin saja satu
sama lain berbeda, komentar atau kesan sang penulis tentang sesuatu. Tentu
tajuk itu juga bisa kita sangkutkan pada empat judul puisi terawal dalam
antologi ini, Risalah Rumah, Risalah Dapur, Risalah Perahu,
Risalah Anak.
Sementara puisi komentar penyair tentang peristiwa misalnya bisa kita
temukan dalam Sajak untuk Palestina, Gaza, Gaza 2 dan Kabar
dari Petani Kapulaga. Kesan tentang tempat tertentu bisa kita temukan dalam
puisi Plukaran, Pantai Suweru, dan Pantai Benteng Portugis.
Kesan tentang momen tertentu bisa kita temukan dalam Satu Gelas Jahe Panas dan
Secangkir Kopi, sedangkan tentang sosok bisa kita temukan dalam sajak Ibu
dan Sajak Buat Kurniawan Junaidi.
Cukup menarik juga untuk meninjau puisi terakhir di bawah tajuk ini,
judulnya Secangkir Kopi. Bahkan dari judul sebenarnya puisi ini lebih
cocok dimasukkan ke tema ketiga, Ayat Kopi, tapi mari kita tinjau
baris-baris selengkapnya terlebih dahulu sebagai berikut:
secangkir kopi
dibaca diam-diam
dari tangan bau tanah
dan kaki masih basah
setelah sehari
berkhidmat di sawah
secangkir kopi
di dalam aromanya
kita bersua
Dalam puisi ini kita temukan frasa secangkir kopi sebagai baris
pertama. Frasa tersebut kemudian disangkutkan dengan verba dibaca pada
baris kedua sehingga langsung mengangkatnya ke tataran metafor sebagai sebuah
hipalase: kopi yang sudah diseduh—dalam cangkir—biasanya dikaitkan dengan verba
diminum atau padanannya.
Baris pertama secangkir kopi itu diulang pada baris ketujuh
diikuti dua baris penutup yang merupakan keterangan untuk baris ketujuh
tersebut. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa pada dasarnya puisi ini
terdiri dari dua kalimat: baris pertama sampai keenam merupakan baris-baris
enjambemen yang menyusun satu kalimat, sementara baris ketujuh sampai
kesembilan adalah baris-baris enjambemen yang menyusun kalimat selanjutnya.
Dengan demikian, verba dibaca itu menjadi lebih mudah dipahami
sebagai upaya memadankan secangkir kopi dengan sebuah kisah. Kisah
tersebut tersajikan melalui aroma yang disebarkannya, dan di dalamnya “kita”
bersua. Relasi dua orang penyusun “kita” ini berdasarkan citraan-citraan yang
kita temukan sepanjang puisi akan mudah kita tebak sebagai relasi dua orang pecinta.
Karena itulah, andaikata puisi ini tidak ditempatkan di bawah tajuk Ayat Kopi
pun maka ia akan lebih cocok untuk ditempatkan di bawah tajuk kedua, Cerita
Cinta.
|
Perahu berlayar
mengarungi lautan
anak istri
bertatap-setatap
di rumah tuanya
ia sempat berucap
“kang, besok sepetang
kau sudah ada tangkapan ikan,
pulanglah”
ada kabar yang memar
tentang nasib nelayan
dalam telisik keramba
sore itu
tak pernah istrinya
menemukan suami pulang
Puisi ini adalah puisi naratif. Di dalamnya kita menemukan tiga tokoh:
nelayan, istrinya, dan anaknya. Latar tempat ditunjukkan pada judul: pantai
Juwana. Diksi “rumah tua” menunjukkan kemungkinan bahwa kehidupan mereka secara
ekonomi tidaklah bagus. “Kabar yang memar” bisa mengisyaratkan dua kemungkinan,
pertama, kabar sedih bagi istri si nelayan, kedua, kabar sedih dalam pandangan
si pengarang. Atau mungkin bagi kedua-duanya: pesan si istri pada bait keempat
ketika sang suami hendak berangkat mungkin menunjukkan firasat buruk akan kabar
sedih yang akan tiba, dan itulah yang kemudian menjadi kabar sedih bagi si
pengarang ketika misalnya dia membayangkan penantian seorang istri akan
suaminya yang pergi melaut tapi kemudian yang terjadi adalah dia tak pernah “menemukan
suami pulang”.
Dalam 15 baris puisi yang pendek-pendek, variasi dua dan tiga kata per
baris, meski ada juga yang menggunakan empat dan lima baris, nada sedih bisa
lahir dalam puisi ini. Penggunaan diksi-diksi pada akhir beberapa baris, layar
dan memar, dua kata yang berakhiran mengambang –ar menyaran
pada ketidakpastian kabar dari lautan, sementara setatap dan berucap,
dua kata yang berakhir mengatup –ap justru menyaran pada kondisi mulut
terkatup, lawan dari keriangan dan tawa. Diksi lautan, ikan, dan nelayan
juga mengisyaratkan pertautan antar diksi yang sangat pas. Lewat puisi ini, kita bisa menemukan bahwa
cinta ternyata bisa ditarik ke spektrum yang sangat luas, termasuk kisah cinta
suami istri nelayan yang berujung sedih.
Tentu saja puisi cinta adalah jenis puisi yang hampir selalu ditulis
penyair mana pun. Ada rujukan ke ungkapan Plato dalam Symposium-nya
bahwa “dalam sentuhan cinta, setiap orang menjadi penyair”. Meski kita bisa
menemukan kebanyakan puisi di bawah tajuk ini memang puisi cinta—dalam maknanya
yang luas, akan tetapi kita hanya bisa menemukan satu nama perempuan yang
dijadikan epigraf di bawah tajuk ini: afiz (Cinta Pertama), kita
justru menemukan dua nama dua perempuan yang dijadikan epigraf justru pada
puisi yang berada di bawah tajuk pertama, nidha ulfa (Pantai Benteng
Portugis) dan munawwaroh (Cerita Dari Ujung Desa), ataupun pada tajuk
ketiga, yakni khoirunnisa (Pasar Malam) dan muna (Nyanyian
Hujan).
Tajuk ketiga dalam antologi ini, Ayat Kopi, serta-merta mengingatkan
pada Ayat-ayat Api penyair Sapardi, meski mungkin pula sama sekali tak
ada hubungannya. Akan sangat menarik seandainya sang penyair bisa menarik
puisi-puisinya di bawah tajuk ini ke arah kritik sosial alih-alih ke kisah
cinta. Hal semacam itulah yang dilakukan oleh Gol A Gong dengan antologi
puisinya Air Mata Kopi (Gramedia, 2014). Dalam antologi itu termaktub 49
puisi bertemakan kopi dengan muatan yang sarat kritik sosial. Apa yang
dilakukan Niam At-Majha lebih mendekati apa yang dilakukan oleh penyair Agus R.
Sardjono dengan puisi-puisinya tentang kopi dalam antologi Kopi, Kretek,
Cinta (Komodo Books, 2013).
Lihat misalnya puisi Pemetik Kopi, baris awalnya berbunyi: “sebentar, sayangku, aku pamit memetik kopi”, atau puisi Kopi dan Bahasa Cinta
baris-baris pembukanya seperti ini: dik, secangkir kopi darimu pagi ini/meredakan
dingin begitu gegas/seperti seretan udara panas pada tungku/yang
berapi-api dalam cintanya/dan cintaku memasak bijih kopi. Jika ingin
disimpulkan, adalah benar kata-kata sang penyair dalam pengantarnya bahwa
puisi-puisinya dalam antologi ini—dan bukan hanya puisi-puisinya yang
ditempatkan di bawah tajuk Cerita Cinta—memang merupakan puisi-puisi cinta
dalam makna yang seluas-luasnya.
Di bawah tajuk ketiga inilah kita temukan puisi yang bisa kita duga
merupakan sumber judul antologi: Nostalgi. Sementara separuh yang lain, Melankoli,
secara literal tak ada dalam antologi ini. Kita bisa menduga bahwa kata itu
mungkin dihasilkan dari penyimpulan atmosfer puisi-puisi tertentu yang termuat
di dalamnya. Sebagaimana tadi sudah ditunjukkan bahwa ada beberapa puisi yang
kadang nampak kurang pas di bawah tajuk pertama dan kedua, maka pada tajuk
ketiga ini pun puisi Nostalgi nampak sebagai anomali. Begini
baris-barisnya selengkapnya:
kemarau panjang mengerkahkan
ladang tebu penuh kembang
aku memetik setangkai
merangkainya kerontang
dan kupasang di gerai rambutmu
“aih, kau kelihatan cantik sekali”
sebuah nostalgi
memaksa kita untuk setia
pada masa lalu
memperkenangkan kembang tebu
memperkenangkan dirimu
yang takkan bisa layu di hadapanku
Akan sukar untuk menyangkutkan puisi ini dengan tema besar Ayat Kopi.
Citraan yang ada sebagai latar adalah ladang tebu, sementara kontennya
sendiri lebih mudah ditarik ke Cerita Cinta. Puisi ini termasuk salah
satu puisi yang berhasil dan enak dibaca: atmosfer yang pas disusun melalui
diksi yang berima antara panjang, kembang, dan kerontang,
jeda yang membuat baris-baris enjambemen tidak terasa dipaksakan, ataupun
anafora pada bait terakhir: memperkenangkan. Memang masih kita temukan
citraan-citraan yang maknanya sukar diimajinasikan seperti baris merangkainya
kerontang, apakah yang dimaksud “kembang tebu yang kering kerontang”?
Karena kalau sesuai sintaksis diksi kerontang menjadi adverbia merangkainya,
baris tersebut menjadi aneh.
sebuah nostalgi
memaksa kita untuk setia
pada masa lalu
Rangkaian kembang tebu kerontang itu bagian dari nostalgi, kenangan masa lalu, dan kenangan tak pernah menua. “Kita” dalam baris tersebut bisa saja diarahkan untuk menyapa pembaca yang dibayangkan, artinya ungkapan itu merupakan ungkapan umum, akan tetapi bisa juga si subjek lirik dengan “kau” yang disebut dalam baris kelima. Bahwa kenangan tak pernah menua maka hal itu tersirat dari perbandingan kembang tebu yang di musim kemarau panjang pun tetap membuat si “kau” cantik sekali dengan “dirimu yang takkan pernah layu”: sebagaimana “kembang tebu” yang tak tersentuh musim, maka demikian juga “dirimu”.
*
Sebuah pengantar yang ditulis seorang penyair untuk buku puisinya
sendiri biasanya dimaksudkan atas satu dari dua kemungkinan tujuan, atau
mungkin kedua-duanya, meski tak menutup kemungkinan pula adanya tujuan lain
yang lebih personal. Tujuan pertama, memberikan sekadar ucapan terima kasih
atau persembahan kepada mereka yang berperan banyak dalam proses lahirnya
antologi itu, atau puisi-puisi di dalamnya. Pengantar itu bisa juga ditujukan
untuk memberi penjelasan seputar teknis penerbitan antologi itu, misalnya
ketika antologi tersebut berisi sepilihan puisi dari beberapa antologi lain
yang pernah terbit. Untuk yang satu ini kita bisa mencontohkan pengantar Agus
R. Sardjono untuk antologi Kopi, Kretek, Cinta (Komodo Books, 2013),
pengantar Gol A Gong untuk antologi Air Mata Kopi (Gramedia, 2014),
ataupun pengantar Acep Zamzam Noor untuk antologi Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo,
2004).
Tujuan kedua, memberikan semacam kredo kepenulisan puisi sebagaimana
dipahami sang penyair. Untuk yang kedua ini kita bisa mencontohkan yang paling
mudah: pengantar Sutardji Calzoum Bachri untuk kumpulan sajak O yang
diterbitkan dalam satu buku dengan Amuk dan Kapak (Sinar Harapan,
1981) yang kemudian dimuat juga dalam buku kumpulan esainya, Isyarat (Indonesiatera,
2007).
Pengantar yang ditulis oleh Niam At-Majha untuk antologi puisinya ini
lebih pas jika dimasukkan ke dalam kategori yang kedua. Hal itu nampak dari
pernyataan-pernyataan dalam kata pengantarnya yang menyinggung pandangan
dirinya sebagai penyair tentang puisi. Sebelum kita masuk ke sana, mari membaca
sebuah puisi karya penyair lain yang mencantumkan pasase sebagaimana disajikan
terjemahannya di bawah ini:
“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah putra putri kerinduan Kehidupan akan dirinya sendiri.
Mereka datang melaluimu tetapi bukan darimu,
Dan meskipun mereka bersamamu tetapi mereka bukan milikmu.
Kamu boleh memberikan cintamu pada mereka tetapi tidak pemikiran-pemikiranmu,
Karena mereka memiliki pemikiran-pemikiran mereka sendiri,
Kamu boleh memberikan naungan raga-raga mereka tetapi tidak jiwa-jiwa
mereka,
Karena jiwa-jiwa mereka adalah penghuni rumah hari esok,
Yang tak bisa kau kunjungi, bahkan dalam mimpi-mimpimu.”
Puisi di atas adalah petikan dua bait awal puisi Khalil Jibran On
Children yang merupakan bagian kecil dari satu wadah besar berjudul The
Prophet, dipublikasikan pertama kali tahun 1923.
Mari kita anggap bahwa puisi manapun adalah anak sang penyair, lalu
terapkan pendapat Jibran dalam puisi di atas, maka akan kita temukan kesesuaian
dengan pendapat hubungan antara pemaknaan puisi dengan sang penyairnya sebagai
hubungan yang pecah setelah puisi itu ditulis dan dipublikasikan. Dalam dunia
kritik sastra TS Eliot seringkali disebut sebagai sosok yang mengemukakan
penjagaan jarak antara penyair dengan puisi yang ditulisnya, hal yang kemudian
diperluas pada ranah pemaknaan puisi bahwa sebuah puisi idealnya dimaknai tanpa
menyangkutkannya dengan sang penulis.
Atau dalam istilah Barthes: “kematian pengarang”. Dalam satu esai
singkat yang menyodorkan contoh telaah Sarrasine-nya Balzac, dia
memberikan kalimat penutup yang masyhur dan sangat sering dikutip ini: “untuk
mengembalikan posisi tulisan bagi masa depan, kita harus membalik mitos:
kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian sang pengarang”.
Dengan kata lain: makna sebuah teks sastra adalah milik pembaca, bukan
pengarang. Seorang pembaca teks drama Waiting for Godot misalnya
boleh-boleh saja ketika berdasarkan segala kapasitasnya sebagai pembaca,
termasuk pemahaman religiusnya, memaknai teks tersebut sebagai sebuah upaya
penantian akan messiah di sebuah zaman yang kelak.
Tentu saja pembacaan sebuah teks sastra tidaklah hanya ada satu
paradigma. Ada banyak klasifikasi yang bisa kita temukan, salah satu yang
masyhur adalah klasifikasi Abrams yang mendasarkannya pada bagaimana teks
tersebut dikaitakan dengan dunia luar, pengarangnya, pembaca, atau teks itu
sendiri. Dari pembagian itu lahir empat cara pembacaan: mimetik, ekspresif,
objektif, dan pragmatik. Keempatnya melingkupi empat aspek yang berkaitan
dengan teks karya sastra: mimetik-dunia luar, ekspresif-pengarang,
objektif-teks, pragmatik-pembaca. Setiap teori sastra pada dasarnya bisa
diklasifikasikan ke dalam salah satu dari keempat cara pembacaan ini.
“Pada mulanya puisi ditulis tidak jauh dari biografi penulisnya”,
demikian Niam At-Majha menulis dalam pengantarnya. Dengan mudah kita bisa
menemukan posisinya dalam deretan penulis yang memandang teks sastra
pertama-tama sebagai luapan perasaan sang penulis, ekspresif, atau dalam
istilah penyair Wordsworth dalam Preface to Lyrical Ballads-nya yang
termasyhur: “luapan spontan perasaan-perasaan yang kuat”.
Meski demikian, Wordsworth tak memaksudkan bahwa sebuah puisi adalah
sesuatu yang apa adanya, sekadar kegundahan jiwa yang asal dicetuskan, sebab
dalam proses penciptaannya sebuah puisi tetap tak bisa menghindari konvensi
sastrawi untuk mendapatkan apa yang ia sebut sebagai “kedalaman” (the depth).
Konvensi sastrawi inilah yang membuat karya sastra berada pada tataranperlokusi,
bukan lokusi. Ia menekankan kesan, bukan pesan. Kesan, terutama dalam bentuk
komunikasi tulisan, adalah sesuatu yang ada di luar pengendalian. Kemungkinan
“salah paham” antara komunikator dan komunikan pun pada akhirnya ada pada
levelnya yang paling tinggi. Ironisnya, “kemungkinan salah paham” itulah yang
membuat sebuah puisi abadi, yang membuat kita kini tetap membaca puisi-puisi
Homer yang penciptaannya terpisah oleh waktu dua ribu lima ratus tahun lebih.
ebuah puisi mungkin saja pertama-tama ditulis berdasarkan pengalaman
pribadi penyairnya, akan tetapi dalam istilah kritikus sastra Rene Wellek dan
Austin Warren dalam awakarya mereka Theory of Literature, “meskipun ada
karya yang erat kaitannya dengan kehidupan pengarangnya, ini bukan bukti bahwa
karya sastra merupakan fotokopi kehidupan”. Dengan demikian, pun ketika sebuah
puisi ditulis oleh si penyair pertama-tama untuk seseorang—kekasih, ibu, istri,
idola, anak, kawan—akan tetapi ketika puisi itu sudah dipublikasikan untuk
umum, sisi personalnya hilang. Bukanlah urusan kita menyelidiki dan mengetahui
siapakah Ida dan Mirat dalam puisi-puisinya Chairil sebagaimana siapakah
misalnya Nidha Ulfa dan Munawwaroh pada puisi di dalam antologi ini, melainkan
bagaimana kita menarik sisi universal dari puisi tersebut yang memberikan arti
pada kehidupan kita kini.
Maka mempublikasikan sebuah puisi yang ditulis pertama-tama secara
khusus untuk seseorang memberikan konsekuensi puisi tersebut kehilangan
privasinya. Dalam kaitannya dengan pemahaman, sebuah puisi selalu memiliki dua
dimensi. Pertama, puisi ketika ia ditulis dan dipahami oleh penyairnya. Kedua,
puisi ketika ia dipublis dan dipahami oleh pembacanya. Mungkin ada momen ketika
antara kedua puisi tersebut terjadi kesamaan, akan tetapi lebih sering tak ada
garis lurus antara keduanya. Garis lurus tersebut, apa boleh buat, bukanlah hal
yang bisa dipaksakan, terutama karena memaksakannya hanya berpretensi bahwa puisi
tersebut hanya bernilai bagi penulisnya dan kemungkinan tidak berguna sama
sekali bagi pembacanya.
Bahwa sebuah puisi bertolak dari biografi penulisnya, maka itu memang
benar, tapi sebuah puisi yang baik pada akhirnya adalah puisi yang berangkat
dari sisi personal ke sisi universal. Dengan kata lain, puisi yang bergerak
dari makna pengarang ke makna pembaca. Pada tataran inilah kita bisa memahami
kenapa kita mengakui William Wordsworth, Samuel Taylor Coleridge, Dante
Alighieri, TS Eliot, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Federico Garcia Lorca, Pablo
Neruda, dan deret nama lainnya sebagai para penyair besar dunia: puisi-puisi
mereka meski lahir dari sisi personal tapi tersajikan dengan peluang ditarik ke
arah universal.
Merunut puisi sebagai sumber informasi kehidupan penyair mungkin
berguna hanya pada saat kita akan menulis biografi penyairnya, atau dalam
istilah Wellek: roman biografi. Hal itu pun musti diimbangi oleh penelitian
tentang seberapa jauh validitas puisinya dengan dunia nyata. Tanpa tujuan semacam
itu, maka tak ada gunanya merekonstruksi—mengutip Wellek—“air mata dan perasaan
penciptanya” yang sudah lenyap. Justru tanpa merekonstruksi keduanya itulah
sebuah puisi tetap hidup tak ikut lenyap, sebab ketika sebuah puisi maknanya
dikekang oleh makna penulisnya dan taruhlah hal tersebut bisa kita dapatkan,
maka puisi itu pun tuntas sebagai puisi: ia tak berpretensi lagi memukau kita.
Menarik bahwa sang penyair dalam pengantar antologi ini mengutip Lorca.
Ada suatu masa ketika penyair Spanyol itu mulai populer dalam kesusasteraan
kita, yakni ketika penyair sekaligus kritikus sastra Subagio Sastrowardoyo
merilis esai panjang dalam Budaja Djaja edisi Januari 1974 berjudul “Kerancuan
Pribadi Rendra-Lorca”. Esai tersebut kemudian dimuat pula dalam antologi
esainya Sosok Pribadi dalam Sajak (Pustaka Jaya, 1980) dan juga dalam Membaca
Kepenyairan Rendra (Kepel Press, 2005). Dalam esai itu Subagio menelisik
adanya pengaruh Lorca terhadap proses kreatif Rendra. Selain beberapa citraan
yang digunakan, pengaruh itu juga lahir pada bentuk yang setelahnya mulai
banyak ditulis para penyair kita: balada.
Federico Garcia Lorca bukanlah penyair yang puisi-puisinya banyak
sampai kepada kita dalam bahasa Indonesia, pun dalam bahasa Inggris. Ada memang
beberapa puisinya dalam terjemahan bahasa Indonesia bisa kita akses dengan
gratis di internet, sebagaimana juga dalam bahasa Inggris. Saya kutipkan satu
pasase terjemahan dari versi terjemahan Inggris A.S. Kline yang buku
elektroniknya bisa diakses gratis di internet, di bawah ini:
Maka kubawa dia kesungai
Berpikir bahwa dia adalah seorang perawan,
Tetapi nampaknya diam emiliki suami.
Saat itu adalah malam Santo Iago,
Dan hampir merupakan malam bertugas.
Lampu mati,
Jangkrik pun berbunyi.
Di dekat pojokan jalan terakhir
Kusentuh dua susunya yang terlelap,
Dan keduanya mendadak membuka
Seperti dedaunan bunga bakung.
Kanji
Rok dalamnya bergemerisik
Di telingaku seperti potongan-potongan
sutra
Yang dicabik-cabik sepuluh belati.
Puisi Lorca di atas bertajuk “Seorang Istri yang tak Setia”. Puisi itu
mungkin memiliki makna sendiri yang dipahami Lorca saat dia menulisnya: ia
mungkin ditulis berdasarkan pengalamannya sendiri berkencan dengan seorang
wanita bernama fulanah dan suaminya bernama fulan, meski bisa juga tidak dan
seluruhnya hanya berdasar imajinasinya saja. Taruhlah kita bisa mendapatkan
bukti bahwa si aku dalam puisi itu benar-benar Lorca, bahwa kisah dalam puisi
itu terjadi pada malam Santo Iago tahun sekian dan adegan dalam puisi itu
terjadi di pojokan jalan anu dekat sungai una, lalu apa gunanya bagi kita?
Andaipun pemaknaan semacam itu berguna bagi kita, bukankah pada saat ketika
kita memahaminya maka puisi itu pun berhenti memukau kita karena kita sudah
tahu maknanya dan tak ada lagi guna membacanya ulang, memaknainya, karena toh maknanya
hanya satu, yakni “itu”?
Maka “aku” yang merupakan salah satu pertanda puisi lirik pun pada
dasarnya bukanlah “aku-penyair”, ia adalah “aku lirik”, tokoh dalam puisi
tersebut yang bisa siapa saja, termasuk kita sang pembaca. Dengan pemahaman
seperti itulah maka kita sebagai pembaca bisa menarik makna dari puisi tersebut
yang mungkin saja berbeda dengan makna seorang pembaca lain yang juga membaca
puisi yang sama. Makna puisi yang ditulis Lorca bukan lagi milik Lorca, karena
tepat ketika puisi itu menemukan pembacanya, makna puisi tersebut sudah menjadi
milik pembacanya. Ketika pembaca bisa menemukan makna puisi tersebut bagi
dirinya, maka pada momen itulah Lorca dikatakan sudah berhasil memberikan
keuniversalan puisi tersebut meski—misalnya—puisi itu sebermula dimuat olehnya
berdasarkan pengalaman personalnya.
Lagipula, bukankah dengan membatasi makna sebagai sesuatu yang mutlak
dipegang penyair, pembaca tak memiliki peran apapun selain menyesuaikan
pemahamannya dengan niatan sang penyair ketika menulis puisi itu, atau dalam
istilah Khoirun Niam: “puisi itu dapat dipahami oleh penyairnya sendiri”?
Mungkin memang ada pembaca yang menyetujui perannya sebagai hanya
seperti itu, akan tetapi akan ada lebih banyak pembaca yang tidak menyetujuinya
dan sebaliknya menuntut kebebasan mereka menciptakan makna. Sebagaimana sudah
dikatakan di awal risalah ini, kita sebagai pembaca selalu memiliki pilihan
yang lain untuk memaknai sebuah teks sastra melalui perspektif lain, bukan
dengan niatan menaruh sang pencipta teks di posisi rendah tanpa diakui sama
sekali, melainkan semata supaya teks ciptaannya tetap memberikan makna bagi
kita, kapan pun ia dibaca, supaya karyanya tetap hidup dan dengan demikian nama
penciptanya pun tetap hidup.
Begitulah laiknya puisi-puisi Niam At-Majha ini idealnya dipandang,
menurut saya: puisi-puisi yang lahir dengan bimbingan ketat sang ayah akan
tetapi kemudian membangkang dan pergi dari rumah. Pada akhirnya mau tak mau
sang ayah musti merelakan bahwa sang anak memiliki hidup dan cintanya sendiri
yang tak terkungkung oleh sebentuk rumah yang disediakannya, ia bukanlah “milik
sendiri” sang ayah. Justru karena itulah hidupnya bisa memiliki ragam makna tak
terbatas yang bahkan hanya dalam mimpi-mimpi sang ayah pun mungkin tak pernah
ada.
“Sastra Indonesia mempunyai jumlah penulis yang bukan main banyaknya.
Tapi kebanyakan mereka hanya melongok sastra sebentar, kemudian pensiun.”
Demikian kata Budi Darma dalam esainya yang sudah disinggung di awal risalah
ini. Antologi Nostalgi dan Melankoli ini adalah antologi puisi tunggal
pertama Niam At-Majha. Dengan kata lain, ia adalah bagian dari sebuah awal.
Kita bisa membacanya dan menghasilkan kesan kita masing-masing yang membawa
pesan sesuai pemahaman masing-masing pula. Setelahnya kita hanya bisa berharap
bahwa kehadiran dia dalam dunia puisi bukanlah kehadiran sepintas-lalu,
melainkan suatu kehadiran yang berkelanjutan, dengan “permainan” yang terus dia
kembangkan dalam antologi-antologi puisinya terkemudian. Semoga.
Yogyakarta, Agustus 2017.
Tambahkan Komentar