Oleh M.S Fitriansyah
Mahasiswa di Yogyakarta
Sebuah diskusi menarik Senin kemarin digelar di Togamas
Affandi. Bertajuk “Diskusi dan Bedah Buku Perubahan Sosial di Yogyakarta,”
ketika saya tiba sekitar pukul 7 peserta sudah lumayan ramai. Walau diskusi
benar-benar baru dimulai menjelang pukul 8.
“Perubahan Sosial di Yogyakarta” adalah buku yang ditulis
Selo Sumardjan yang dikenal sebagai bapak Sosiologi Indonesia. Namanya pun tak
asing bagi masyarakat Yogya sebab ia pernah dipercaya sebagai pegawai
Kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Elanto Wijoyono (Warga Berdaya Yogyakarta) pertama dari
ketiga pembicara mencoba ‘membaca’ buku Selo dengan realitas yang ada di Yogya
saat ini. Elanto menghubungkan situasi di mana ruang-ruang diskusi di Yogya kini
semakin dipersempit. Menurutnya hal tersebut sangat kontradiktif dengan
predikat yang ada di Yogya.
Elanto mengambil sebuah contoh belum lama ini pernah ada
diskusi pameran yang merespon isu Kulon Progo, kemudian tiba-tiba diminta untuk
dihentikan. Sebabnya “sepele” walaupun untuk konteks kita menjadi sangat serius
karena diskusi itu akan ditengarai isu-isu masalah yang tidak pro dengan
pembangunan.
Menurut Elanto, buku ini mencoba mengungkap atau membaca
bagaimana perubahan dari era-era yang berbeda dari masa kolonial Hindia
Belanda, revolusi, sempat ada Jepang disitu masuk. Kemudian ketika Indonesia
yang masih muda mencoba untuk hidup dan secara khusus apa yang terjadi di Yogya
ini.
Lebih lanjut, Elanto mengungkapkan bahwa untuk
menjustifikiasi apakah sudah terjadi perubahan sosial atau tidak bisa
membacanya dengan dua pendekatan yaitu pendekatan sosiologi perkotaan dan
sosiologi pedesaan. “Ketika kita menggunkan contoh kasus dua pendekatan
tersebut kita nanti pasti akan bertemu dengan diskursus yang selama ini juga
cukup mengemuka tentang ekonomi antara desa dan kota,” ungkapnya.
**
Antusiasme diungkapkan Anna Marsiana (Stube Hemat).
Melihat peserta yang notabene masih relatif muda menumbuhkan harapan baru
ketika ruang-ruang berdiskusi di Yogya semakin sempit. Diskusi malam kemarin
seperti memberikan darah segar kepada Anna. “Meskipun saya sepakat dengan mas
Elanto bahwa kita mesti siap-siap, karena ruang itu kalau menurut pengamatan
saya 4-5 tahun terakhir ini makin nyesek,” ungkapnya.
Berbicara Yogya tempo dulu, Anna mencoba menghadirkan
buku yang ia pegang. Buku “Kota Yogyakarta Tempo Dulu” yang melakukan riset
pada 1880-1930. ” Ketika membaca buku ini saya disuatu sisi diajak menelusuri
lorong-lorong kota Yogya. Nah, kota ini nanti kita sedikit perluas bukan
sebagai satu kawasan administrasi yang dibatasi dengan berbagai tatanannya,
tetapi lebih ke sebuah proses dinamis pertemuan antar berbagai aspek elemen,
komunitas dan juga lembaga,” ungkapnya.
Anna mengatakan menelusri lorong-lorong tersebut ia
seperti bercermin bagaimana Yogya diakhir abad 19 masuk ke abad 20 itu telah
menumbuhkan akar-akar tentang semangat pembaruan yg luar biasa. Namun, kata
Anna, 4-5 tahun terakhir ruang seperti ini mulai nyesek. rasanya lebih nyesek
lagi bahwa itu ada di Yogya.
Ketika kembali pada pembahasan buku Selo Sumardjan, Anna
mengungkapkan tiga aspek yang perlu diperhatikan ketika membaca buku ini. Pertama, membacanya dari aspek sejarah. Menariknya
menurut pengakuannya ia tidak bahkan membenci sejarah, ”Karena mengajarnya ya
gitu-gitu saja tentang tahun-tahun, angka-angka, peristiwa apa yg terjadi saya
tidak menemukan makna. ”Namun Anna mengakui penyesalannya baru memahami apa
arti sejarah ketika sudah selesai kuliah, lalu bertemu langsung dengan
masyarakat. Pada aspek ini Anna mencoba menegaskan bahwa membaca buku ini
penting dari persefektif sejarah untuk bercermin dari masa lalu dan melihat
perjalanan apakah masa sekarang ini kita mengalami kemajuan atau justru
kemunduran.
Kedua, menemukan sejarah itu dalam peta pergerakan yang ada dan
bagaimana masyarakat berinteraksi. ”Bagaimana elemen-elemen yang ada disebuah
kota ada pemerintahan, kampus, lembaga pendidikan, orang-orang sosial dan
individu-individu itu berinteraksi merespon dinamika yang cukup cepat kalau di
dalam dikotomi desa dan kota,” tuturnya.
Ketiga, apabila peta sudah terbaca, menurut Anna mau tidak mau
kita mesti melihat peran masing-masing elemen tersebut. Anna menganggap penting
untuk bisa menemukan kristal-kristal yang luar biasa di buku yang dibaca, “sehingga
bukan hanya menjadi sebuah bacaan oh ini kan masa lalu.”
**
Sedangkan Eko Prasetyo (Social Movement Institute) yang
sebelumnya terlambat langsung merespon buku ini dengan lebih spesifik. Menurut
Eko pula buku ini menjadi sangat penting karena Yogya itu berada dalam
landscape yang sangat vital pada proses kebangsaan. Yogya pernah menjadi
Ibukota negara ketika Soekarno-Hatta
pindah ke Yogya dan ketika agresi itu masuk ke Yogya. Menurut Eko hal tersebut
membuat ide-ide politik radikal sebenarnya tumbuh di kota Yogya dan membuat
kota ini agak menarik seperti digambarkan dalam buku Selo tersebut.
Menurut Eko buku ini juga begitu unik. Salah satunya
adalah pembahasan tentang PKI yang dimuat cukup panjang. Artinya Selo sangat
antusias menulis tentang keberadaan PKI di Yogya. “Salah satu yang disasar pak
Selo adalah kenapa PKI bisa kuat di Yogya? Karena memang ide-ide revolusi
sosial itu diminati dan menjadi salah satu landscape ketika kota ini menjadi
pusat Ibukota. Bahkan di Yogya dikatakan ada yang namanya lembaga pendidikan
Marx,” ungkapnya. Bahkan kata Eko di Yogya baik kota maupun provinsi separuh
kursi dewan itu dikuasai PKI.
Hal menarik lainnya yang dikemukakan Eko adalah posisi
Sultan saat itu—ketika gagasan radikal begitu subur di kota yang secara
subkultur begitu feodal. Sultan HB IX di halaman 157 itu mengatakan bahwa,
“kesejahteraan rakyat Yogya adalah urusan pribadiku”. Itu artinya kata Eko,
kemiskinan itu urusannnya Sultan. Bukan urusan pemerintah daerah ini menjadi
urusan yang sangat pribadi.
Untuk menyiasati masalah perekonomian rakyatnya, Sultan
HB IX pada masa itu membangun perusahaan tembakau dan Pabrik Gula Madukismo dengan konsep koperasi.
Begitu pun perihal tanah yang selama ini menjadi konflik. “Tanah itu diberikan
rakyat kepada sultan bukan sultan mendapatkan tanah dari rakyat. Konsepnya
seperti itu,” ungkap Eko.
Tanah itu diberikan kepada kerajaan agar menjadi tanggung
jawab kerajaan untuk mengolah semuanya. Kata Eko filosofi tersebut artinya raja
itu pelayan rakyat, bukan raja pelindung rakyat. Secara tidak langsung relasi
antara sultan dan rakyat kala itu sangat harmonis. “Di buku ini sultan (HB IX)
digambarakan sebagai seorang pribadi yang hangat, baik dan mudah ditemui,” kata
Eko.
Saat termin, ada satu pertanyaan menarik yang terlontar
dari seorang peserta. Ia mempertanyakan siapa yg memegang kedaulatan atau
memegang daya politis untuk mengubah
sosial politik di Yogya itu sendiri, “apakah kita masih punya kedaulatan untuk
mengubah secara sosial poitis di Yogya?
**
Namun tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sekitar
pukul 9 diskusi harus segera berakhir. Togamas mengode dengan lampu lantai
dasar yang satu per satu mulai padam. Apa yang dibicarakan pembicara tadi bahwa
ruang-ruang dialektika memang terbukti semakin nyesek bukan hanya karena sering
dibubarkan, tetapi juga karena waktu pemakaian tempat yang dibatasi. “nanti
kalau ruang dialog itu nggak ada maka kemajemukan itu menjadi terbatas. Rakyat
pun hilang,” ungkap Eka. Hal terpenting menurut Eko adalah mendengungkan bahwa
kita butuh ruang itu!
Tambahkan Komentar