Nusantara Centre |
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Inilah warisan terdestruktif dari kolonialisme: mental kolonial. Apa itu mental kolonial? Adalah pikiran, ucapan dan tindakan yang mereplikasi kolonialisme di Indonesia. Suatu mental yang dibentuk, dikondisikan dan dijinakkan oleh kolonialisme.
Awalnya adalah bangsa yang punya harga diri lalu menjadi bangsa penurut, layaknya kerbau yang dicucuk hidungnya. Sebagaimana gambaran Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa, “Orang-orang harus membungkuk dan merangkak di hadapan mereka, menyembah dan dan diperintah untuk menyenangkan hati mereka. Dan mereka belum tentu lebih terpelajar daripada orang yang diperintahnya.”
Disematkannya mental kolonial pada bangsa Indonesia saling terkait dengan penindasan penjajah atas bangsa Indonesai. Syed Hussein Alatas dalam bukunya, Mitos Pribumi Malas menerangkan bahwa stigma kemalasan orang Jawa baru muncul ketika diberlakukannya culturstelsel.
Belanda ingin melegitimasi tindakan eksploitatif mereka atas pribumi, sehingga klaim malas disematkan pada pribumi. Dengan adanya stigma pribumi malas, membuat tindakan pemaksaan (tanam paksa) menjadi sah ditujukan pada mereka.
Karena diskurus yang dibentuk kolonial inilah muncul mental-mental kolonial. Peter Berger dalam buku Piramida Kurban Manusia: Etika Politik dan Perubahan Sosial menuliskan bahwa kata-kata merupakan kenyataan dalam kehidupan manusia, dan juga mempunyai kekuatan menciptakan dan membentuk kenyataan.
Kata-kata kaum kuat memiliki bobot yang lebih besar dari pada kata-kata kaum lemah. Dan memang, kaum lemah sangat sering menggambarkan diri mereka dalam kata-kata yang diciptakan oleh kaum kuat.
Maka, dengan kata-kata yang berasal dari penjajah, kaum terjajah menyandarkan diri mereka. Pada akhirnya, bagaimana dan seperti apa ‘yang terjajah’ merupakan bentukan dari ‘sang penjajah.’
Apa yang bukan kolonial kawan? Bahkan cara makan, bercinta, berdemokrasi, berekonomi dan berpakaian kitapun warisan kolonial. Apa lagi yang belum disebutkan?
Dalam konteks mental, kami melakukan riset yang hasilnya mengejutkan. Selama setahun, kami coba mewawancarai tiga profesi (PNS, sopir plus mahasiswa/i) dan masing-masing profesi diwakili oleh 200 responden.
Pertanyaan dan wawancara seputar mental dan tabiat warganegara Indonesia. Saat ditanya apa sifat, sikap dan tabiat yang paling dikenal dari warga hari ini, mereka menjawab: menipu, melupa dan menyogok.
Ketika ditanya bagaimana sikap mereka terhadap tiga mental itu, mereka menjawab: memaklumi, memaafkan dan membiarkan. Lalu, saat ditanya apa respon mereka terhadap orang yang bermental sebaliknya, mereka menjawab bahwa orang-orang tersebut: naif, culun dan sok suci.
Saat disodorkan pertanyaan apakah mereka butuh manusia yang sidik, amanah, tablig dan fatanah? Mereka menjawab: sudah tak ada, tak butuh dan terserah. Terakhir ketika ditanyakan bagaimana cara membuat masyarakat kembali berpegang teguh pada idealisme? Mereka menjawab: tidak mungkin, dengan uang dan tunggu takdir.
Singkatnya, mereka yang diwawancara menyimpulkan bahwa kini adalah era kebolak-balik. Yang salah jadi benar dan sebaliknya. Yang idealis jadi oportunis dan sebaliknya. Yang berjuang, kalah dan sebaliknya.
Sampai hari ini, menurut riset yang kami lakukan, ditemukan ada 35 mental kolonial sebagai penghambat kemajuan Indonesia. Tetapi dari 35 mental tersebut ada lima besar yang akan kita bahas.
Pertama, mental inlander. Yaitu sikap takut, memuja, takjub dan minder terhadap bangsa asing. Inilah induk dari mentalitas kolonial yang menjangkiti hampir semua elite kita. Sikap inilah yang membuat UU kita sering berpihak ke asing daripada warga sendiri. Berbagai tindakan pejabat pemerintah kita lebih memihak penjajah dan orang lain tergambar jelas di mana saja.
Kedua, mental instan. Akibat langsung dari inlanderisme ini manusia indonesia mengembangkan kelakuan instan. Yang penting hasil sambil melupakan proses. Impor dalam segala hal, menyontek, pergi ke dukun, korupsi, nyogok dan money politic adalah bukti tak terbantahkan menjamurnya karakter instan. Bahkan makanan terlaris di republik indonesia juga bernama instan: mie instan dll.
Ketiga, mental mendendam. Mental ini lahir karena keinginan cepat kaya, cepat berkuasa dan cepat terkenal tak mudah didapatkan maka ketika dapat, ia mendendam dari masa ketika miskin, tuna kuasa dan tidak dikenal. Balas dendam itu dikerjakan dengan menumpuk harta, memegang kekuasaan dengan segala cara (nepotisme). Tak ada perkaderan dalam karirnya, tak ada pemerataan dalam ekonominya. Maka, yang terjadi adalah gaji tinggi tapi minim prestasi.
Keempat, mental melupa. Tentu saja, siapa punya tingkah dendam akan lupa. Proses melupa ini khas warga negara postkolonial. Karena itu problem negara-negara postkolonial adalah "membariskan ingatan melawan lupa." Warga negara poskolonial mengidap pendek ingatan dan menjadi kawanan penjejer luka dan lupa. Sebelum berkuasa, ia berjanji apa saja. Begitu berkuasa, ia bekerja melupakan janji-janjinya.
Kelima, mental miopik atau rabun. Ia tak mampu melihat "sejarah masa lalu dan strategi masa depan." Yang ada dalam pikirannya: kalau bisa diperlambat kenapa dipercepat; kalau bisa impor kenapa harus berproduksi.
Karena rabun, ia tak kuat iman. Sebab iman adalah soal jauh di akherat. Karena rabun, ia tak takut dosa. Sebab dosa adalah soal eskatologis. Ciri utama rabun adalah tak terima perdebatan-perdebatan sehat, jadi fundamentalis dalam segala hal.
Mendapati lima mental kolonial dan menghancurkannya kini menjadi tugas kita bersama. Begitulah. Siang malam kita harus selalu mencari-Nya. Karena Allah membagi-bagi rizki buat hambanya antara subuh dan terbitnya matahari demi lahirnya mental petarung.
Kini, kerakyatan dan keindonesiaan (demokrasi politik dan ekonomi) boleh dipimpin oleh para penipu; boleh diisi oleh orang lugu; boleh dikerjakan oleh para pelupa; boleh dikembangkan oleh para penyogok. Merekalah kini yang menjadikan Indonesia ajang avonturisme kepentingan perseorangan dan keluarga. Merekalah kini yang sedang mengenyangkan perutnya sendiri.
Mereka melupakan konsensus kepemimpinan oleh hikmah (kearifan yang mencerahkan, memartabatkan dan membebaskan). Mereka mencampakkan mental kebijaksanaan (kepantasan, kenalaran, keadilan dan pertanggungjawaban). Mereka menghancurkan karakter permusyawaratan dan perwakilan (keseriusan, keterwakilan, keterpilihan dan keseluruhan).
Dengan hancurnya mental dan karakter hikmah-kebijaksanaan, maka seluruh arsitektur mental demokrasi ekopol Pancasila kini kita makin menjauh dari cita-cita berbangsa dan bernegara Indonesia.
Inilah arsitektur mental kolonial yang sedang dijalankan kita semua. Tentu saja tidak sesuai dengan kondisi sosial-budaya dan falsafah bangsa kita. Akibatnya kita paria dan panen ketidakadilan di mana-mana. Jumbuh penderitaan rakyat yang tak tahu kapan selesainya.
Kini saatnya mengumpulkan sepuluh senjata, seratus peluru. Satu senjata dan sepuluh peluru digunakan untuk membunuh musuh asing-aseng. Yang sembilan senjata dan sembilanpuluh peluru kita gunakan untuk membunuh pengkhianat. Yaitu mereka yang mentradisikan mental kolonial di segala tempat dan waktu. Jika masih kurang, mari kita rakit nuklir saja.
Sungguh, saat lengah dan sakit, kita harus selalu menyebut nama-Nya. Karena Allah menunggu doa para hamba yang mencari cinta di sepanjang usia demi lahirnya mental bijaksana. Dan, saat berkuasa atau menang, kita harus selalu meyakinkan diri bersujud menangis. Karena Allah menyusun nasib hambanya antara kebahagiaan dan kesusahan demi lahirnya mental juara.(*)
Tambahkan Komentar