- Oleh Shilvia Aninndhita Pristianingrum
- Penulis Merupakan Mahasiswi PAI 2015 UIN Malang
Dalam Kitab Fiqhu As-Sunnah, disebutkan bahwasanya pada masa
Jahiliyah terdahulu bangsa Arab hanya memberikan warisan kepada kaum laki-laki
saja dan mengabaikan kaum wanita. Mereka mengabaikan anak kecil dan hanya
memberikan warisan kepada orang yang sudah besar. Kemudian setelah datangnya
agama Islam, Islam telah memberikan hukum faraidh. Sesuai dengan firman Allah
SWT QS. An-Nisa’ ayat 11 tentang pembagian harta warisan.
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S An-Nisa’ ayat 11).
Faraidh merupakan jamak dari kata faridhah yang berarti
diwajibkan atau ditentukan. Sedangkan menurut syari’at, faraidh berarti bagian
yang telah ditentukan bagi ahli waris. Seseorang yang mendapatkan bagian dari
harta warisan yang telah ditentukan disebut Ashabul Furud.
Ashabul Furud ini terdapat 12 orang, Empat dari kaum laki-laki:
yaitu Ayah, kakek, saudara laki-laki dari ibu, dan suami. Sedangkan delapan
lainnya adalah dari kaum perempuan, yaitu: istri, anak perempuan, saudara
perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, anak
perempuan dari anak laki-laki, ibu dan nenek.
Jika kemudian terdapat kasus ayah meninggal dengan meninggalkan
istrinya yang sedang hamil, bagaimana hukum warisan kepada anak yang masih
dalam kandungan? Apakah mendapatkan hak waris?
Dari arti ayat Al-Qur’an yang tertera diatas, tidak dijelaskan
bahwa anak yang mendapatkan harta warisan ialah yang anak yang hidup ataupun
yang masih didalam kandungan. Dalam hal
ini, Dalam Buku Fiqih Wanita karya Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah dijelaskan,
antara lain bahwa:
Pertama, jika dilahirkan dalam keadaan hidup , maka dia mendapatkan
warisan dan juga memberikan warisan, sebagaimana Rosulullah SAW bersabda:
إ ذ ا ستهل المولود
ورث
“Jika anak yang dilahirkan itu menangis maka diberikan warisan.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Kedua, jika dilahirkan dalam keadaan mati bukan karena penyiksaan,
maka anak tersebut berhak mendapatkan warisan dan dapat memberikan warisan.
Ketiga, jika dilahirkan dalam keadaan mati karena penyiksaan
terhadap ibunya, Menurut Imam As-Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Malik mengatakan
bahwa maka kondisi seperti itu si anak tidak berhak mendapatkan warisan.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah anak tersebut berhak atas harta warisan.
Wallahu A’lam.
Tambahkan Komentar