Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Sari Buku Nusantara Studies
Demi masa depan. Masa lalu yang menjeniuskan masa kini. Masa kini yang memartabatifkan masa depan. Ini adalah sejarah yang tak dikisahkan. Inilah kunci-kunci yang telat disampaikan. Masa depan yang gemilang adalah visi yang harus diperjuangkan. Masa depan adalah manifestasi dari usaha kita di masa lalu dan masa kini. Masa lalu adalah hikmah yang menyuburkan masa kini. Sedangkan masa kini adalah ikhitiar untuk mewujudkan masa depan yang bermartabat dan gemilang.
Oleh karena itu, tindakan-kindakan di masa lalu dan sekarang adalah penentu untuk merajut masa depan. Langkah dan tindakan yang perlu ditempuh untuk mewujudkan masa depan yang bermartabat adalah dengan laku intelektual dan kerja kejeniusan. Dus, membaca, meneliti, menuliskan dan membuatnya sebagai kurikulum adalah keniscayaan. Tentu saja, ini merupakan tindakan subversif ilmu pengetahuan dan revolusi sains yang menantang dan menggiurkan. Maka, hanya para jenius lah yang berani melakukannya.
Dari masa lalu yang penuh petuah, telah tercatat dalam berbagai manuskrip bagaimana Nusantara purba telah berjaya. Sebagaimana dituturkan oleh Plato dalam “Temaeus” dan “Critias”; dikaji dan ditulis oleh ilmuan S. Oppenheimer dalam buku “Eden of The East”; juga oleh Arysio Santos dalam “Atlantis - The Lost Continent Finally Found”; serta deskripsi dari Samantho di buku “Peradaban Atlantis Nusantara.” Manuskrip itu mengisahkan bahwa pada puncaknya, Atlantis adalah peradaban zaman keemasan yang mulia, dengan tentara dan armada yang kuat. Tentara yang membela rakyatnya: bukan centeng oligarkis apalagi kolonial. Peradaban yang kaya akan sumber daya alam dan kaya dari perdagangan bangsa-bangsa di dunia.
Telah dikisahkan begitu mulia dan makmurnya peradaban tersebut. Atlantis adalah peradaban kesederajatan yang berada di antara sungai dan pegunungan; disemai dalam kepercayaan pada hal ghaib; dimodernkan oleh spiritual dan percaya pada kejuangan; dipenuhi keanekaragaman hayati; dicukupkan dengan keberlimpahan moral dan akhlak memberi.
Secara geografis, Atlantis adalah yang tempat sempurna yang memberikan alam dan suasana yang memungkinkan untuk berkembangnya suatu peradaban besar. Seperti yang diceritakan oleh Plato dalam naskah Teameus dan Critias, Atlantis berada dalam benua yang penuh tumbuhan, materi, sinar mentari, udara yang bersahabat, dan malam yang romantis, mereka membangun peradaban yang berkembang pesat. Integrasi tempat tinggalnya mereplikasi theo-antro-eco centris (hubungan saling menguatkan antara tuhan-manusia-alam secara sinergis). Mereka juga menemukan dan menggunakan ilmu-ilmu yang berkembang canggih dan mempertinggi kemanusiaan.
Penemuan budaya leluhur dan filosofinya pada akhirnya memperkaya manusia Atlantis menjadi manusia spiritualis yang menyebarkannya ke seluruh dunia. Inilah benua asal-muasal agama dan kebudayaan. Atlantis adalah sumber dari berbagai sistem nilai dan spiritual yang tersebar di berbagai belahan dunia. Peradaban yang menjadi induk dari semua peradaban dunia.
Manuskrip tersebut mengisahkan soal penting. Soal surga di timur (Eden of the East) yang beriklim tropis penuh dengan segala jenis keindahan dan kekayaan: daratan-daratan yang luas dan ladang-ladang yang indah, lembah dan gunung-gunung; batu-batu permata dan logam dari berbagai jenis; kayu-kayu wangi, wewangian, dan bahan celup yang sangat tinggi nilainya; sungai-sungai, danau-danau, dan irigasi yang melimpah; pertanian yang paling produktif; istana-istana bertabur emas, tembok perak, dan benteng; gajah dan segala jenis binatang buas yang sangat beragam.
Walaupun telah mencapai puncak peradaban, Atlantis kini telah musnah dan hilang. Benua ini hilang karena bencana alam dan dekadensi moral penghuninya. Seperti yang ditulis Plato dalam manuskrip Timaeus: “But afterwards there occurred violent earthquakes and floods; and in a single day and night of misfortune all your warlike men in a body sank into the earth, and the island of Atlantis in like manner disappeared in the depths of the sea.” (Namun, setelah banjir dan gempa bumi yang dahsyat; dalam sehari semalam yang malang itu, semua manusia yang suka berperang tersebut terbenam ke dasar bumi, dan pulau Atlantis dengan cara yang sama tenggelam ke dalam lautan).
Benua tersebut mewariskan prototipe makhluk manusia sempurna yang seluruh hidupnya memanusiakan sekitarnya. Atlantis adalah masa lalu, namun hikmahnya bisa kita ambil sebagai pelajaran untuk menulai masa depan. Apakah ajaran utama dari peradaban Atlantis? Jika dikristalisasi dan diringkas, dari peradaban unggul tersebut terdapat ‘lima wawasan dalam lima kejuangan’ yang bisa menjadi roadmap kemajuan Indonesia kini.
Pertama, wawasan keberlimpahan energi. Ini lahir dari trilyunan kekayaan rempah, herbal, emas dan nuklir.
Kedua, wawasan keberlimpahan spiritual. Ini lahir dari milyaran kejadian bencana alam yang menaklukkan mereka.
Ketiga, wawasan keberlimpahan persatuan. Ini lahir dari jutaan peristiwa kehancuran masa lalu akibat konflik yang tak berujung pada kebaikan bersama.
Keempat, wawasan keberlimpahan kepemimpinan musyawarah. Ini lahir dari ratusan peristiwa berdarah yang melelapkan para penguasa atas godaan tahta, harta dan lawan jenis.
Kelima, wawasan keberlimpahan keadilan sosial. Ini lahir dari puluhan peristiwa pemberontakan sesama akibat tindakan semena-mena.
Kelima nilai tersebut adalah sari pati dari peradaban Atlantis. Sebuah sistem moral yang mampu menjadi pondasi atas berdirinya peradaban terbesar. Sebagai masa lalu, nilai-nilai terebut adalah sejarah. Namun sebagai sejarah, nilai-nilai itu bisa menjadi pelajaran untuk Indonesia kini. Hikmat yang bisa menjadi landasan berdirinya peradaban baru yang maju, negara yang berdaulat, masyarakat madani yang sejahtera, dan individu yang merdeka.
Mereka merumuskan nilai-nilai itu setelah menyadari dan mengalami sendiri bahwa peradabannya tidak hidup di semesta material saja, tetapi juga di semesta energi yang dinamis plus rangkaian ujian alam serta kerakusan agensi yang tidak tak terpikirkan. Yang abadi hanya dia dan peristiwa. Yang lainnya fana dan punah.
Demikian pula sejarah Atlantis, secara artefak. Dari maknanya, ia berasal dari bahasa Sanskrit: Atala yang berarti surga yang suci. Sorga yang hilang, kesucian yang terbang.
Akankah kita akan mereplikasi nilai-nilainya demi masa depan yang berkeadaban? Kitalah subjeknya.(*)
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Sari Buku Nusantara Studies
Demi masa depan. Masa lalu yang menjeniuskan masa kini. Masa kini yang memartabatifkan masa depan. Ini adalah sejarah yang tak dikisahkan. Inilah kunci-kunci yang telat disampaikan. Masa depan yang gemilang adalah visi yang harus diperjuangkan. Masa depan adalah manifestasi dari usaha kita di masa lalu dan masa kini. Masa lalu adalah hikmah yang menyuburkan masa kini. Sedangkan masa kini adalah ikhitiar untuk mewujudkan masa depan yang bermartabat dan gemilang.
Oleh karena itu, tindakan-kindakan di masa lalu dan sekarang adalah penentu untuk merajut masa depan. Langkah dan tindakan yang perlu ditempuh untuk mewujudkan masa depan yang bermartabat adalah dengan laku intelektual dan kerja kejeniusan. Dus, membaca, meneliti, menuliskan dan membuatnya sebagai kurikulum adalah keniscayaan. Tentu saja, ini merupakan tindakan subversif ilmu pengetahuan dan revolusi sains yang menantang dan menggiurkan. Maka, hanya para jenius lah yang berani melakukannya.
Dari masa lalu yang penuh petuah, telah tercatat dalam berbagai manuskrip bagaimana Nusantara purba telah berjaya. Sebagaimana dituturkan oleh Plato dalam “Temaeus” dan “Critias”; dikaji dan ditulis oleh ilmuan S. Oppenheimer dalam buku “Eden of The East”; juga oleh Arysio Santos dalam “Atlantis - The Lost Continent Finally Found”; serta deskripsi dari Samantho di buku “Peradaban Atlantis Nusantara.” Manuskrip itu mengisahkan bahwa pada puncaknya, Atlantis adalah peradaban zaman keemasan yang mulia, dengan tentara dan armada yang kuat. Tentara yang membela rakyatnya: bukan centeng oligarkis apalagi kolonial. Peradaban yang kaya akan sumber daya alam dan kaya dari perdagangan bangsa-bangsa di dunia.
Telah dikisahkan begitu mulia dan makmurnya peradaban tersebut. Atlantis adalah peradaban kesederajatan yang berada di antara sungai dan pegunungan; disemai dalam kepercayaan pada hal ghaib; dimodernkan oleh spiritual dan percaya pada kejuangan; dipenuhi keanekaragaman hayati; dicukupkan dengan keberlimpahan moral dan akhlak memberi.
Secara geografis, Atlantis adalah yang tempat sempurna yang memberikan alam dan suasana yang memungkinkan untuk berkembangnya suatu peradaban besar. Seperti yang diceritakan oleh Plato dalam naskah Teameus dan Critias, Atlantis berada dalam benua yang penuh tumbuhan, materi, sinar mentari, udara yang bersahabat, dan malam yang romantis, mereka membangun peradaban yang berkembang pesat. Integrasi tempat tinggalnya mereplikasi theo-antro-eco centris (hubungan saling menguatkan antara tuhan-manusia-alam secara sinergis). Mereka juga menemukan dan menggunakan ilmu-ilmu yang berkembang canggih dan mempertinggi kemanusiaan.
Penemuan budaya leluhur dan filosofinya pada akhirnya memperkaya manusia Atlantis menjadi manusia spiritualis yang menyebarkannya ke seluruh dunia. Inilah benua asal-muasal agama dan kebudayaan. Atlantis adalah sumber dari berbagai sistem nilai dan spiritual yang tersebar di berbagai belahan dunia. Peradaban yang menjadi induk dari semua peradaban dunia.
Manuskrip tersebut mengisahkan soal penting. Soal surga di timur (Eden of the East) yang beriklim tropis penuh dengan segala jenis keindahan dan kekayaan: daratan-daratan yang luas dan ladang-ladang yang indah, lembah dan gunung-gunung; batu-batu permata dan logam dari berbagai jenis; kayu-kayu wangi, wewangian, dan bahan celup yang sangat tinggi nilainya; sungai-sungai, danau-danau, dan irigasi yang melimpah; pertanian yang paling produktif; istana-istana bertabur emas, tembok perak, dan benteng; gajah dan segala jenis binatang buas yang sangat beragam.
Walaupun telah mencapai puncak peradaban, Atlantis kini telah musnah dan hilang. Benua ini hilang karena bencana alam dan dekadensi moral penghuninya. Seperti yang ditulis Plato dalam manuskrip Timaeus: “But afterwards there occurred violent earthquakes and floods; and in a single day and night of misfortune all your warlike men in a body sank into the earth, and the island of Atlantis in like manner disappeared in the depths of the sea.” (Namun, setelah banjir dan gempa bumi yang dahsyat; dalam sehari semalam yang malang itu, semua manusia yang suka berperang tersebut terbenam ke dasar bumi, dan pulau Atlantis dengan cara yang sama tenggelam ke dalam lautan).
Benua tersebut mewariskan prototipe makhluk manusia sempurna yang seluruh hidupnya memanusiakan sekitarnya. Atlantis adalah masa lalu, namun hikmahnya bisa kita ambil sebagai pelajaran untuk menulai masa depan. Apakah ajaran utama dari peradaban Atlantis? Jika dikristalisasi dan diringkas, dari peradaban unggul tersebut terdapat ‘lima wawasan dalam lima kejuangan’ yang bisa menjadi roadmap kemajuan Indonesia kini.
Pertama, wawasan keberlimpahan energi. Ini lahir dari trilyunan kekayaan rempah, herbal, emas dan nuklir.
Kedua, wawasan keberlimpahan spiritual. Ini lahir dari milyaran kejadian bencana alam yang menaklukkan mereka.
Ketiga, wawasan keberlimpahan persatuan. Ini lahir dari jutaan peristiwa kehancuran masa lalu akibat konflik yang tak berujung pada kebaikan bersama.
Keempat, wawasan keberlimpahan kepemimpinan musyawarah. Ini lahir dari ratusan peristiwa berdarah yang melelapkan para penguasa atas godaan tahta, harta dan lawan jenis.
Kelima, wawasan keberlimpahan keadilan sosial. Ini lahir dari puluhan peristiwa pemberontakan sesama akibat tindakan semena-mena.
Kelima nilai tersebut adalah sari pati dari peradaban Atlantis. Sebuah sistem moral yang mampu menjadi pondasi atas berdirinya peradaban terbesar. Sebagai masa lalu, nilai-nilai terebut adalah sejarah. Namun sebagai sejarah, nilai-nilai itu bisa menjadi pelajaran untuk Indonesia kini. Hikmat yang bisa menjadi landasan berdirinya peradaban baru yang maju, negara yang berdaulat, masyarakat madani yang sejahtera, dan individu yang merdeka.
Mereka merumuskan nilai-nilai itu setelah menyadari dan mengalami sendiri bahwa peradabannya tidak hidup di semesta material saja, tetapi juga di semesta energi yang dinamis plus rangkaian ujian alam serta kerakusan agensi yang tidak tak terpikirkan. Yang abadi hanya dia dan peristiwa. Yang lainnya fana dan punah.
Demikian pula sejarah Atlantis, secara artefak. Dari maknanya, ia berasal dari bahasa Sanskrit: Atala yang berarti surga yang suci. Sorga yang hilang, kesucian yang terbang.
Akankah kita akan mereplikasi nilai-nilainya demi masa depan yang berkeadaban? Kitalah subjeknya.(*)
Tambahkan Komentar