Oleh: Mohd Aoun (Mesir)
Dalam filsafat Peripatetik Islam (al-Farabi dan kemudian dirumuskan lebih jauh oleh Ibn Sina dalam al-Isyarat wa at-Tanbihat), seorang pemimpin seharusnya adalah seorang filsuf yang dalam dirinya telah menggabungkan kesempurnaan ilmu teoritis dan amal praksis. Tetapi dalam prakteknya –menurut Grand Syaikh al-Azhar– seorang pemimpin mempunyai dua tipikal yang dominan.
Meminjam istilah filsafat yang dibumikannya ke dalam realitas aktual, seorang pemimpin ada yang bertipikal sebagai Intelektus Agens dan ada yang bertipikal sebagai Produktif atau Poelitis Agens. Intelektus Agens adalah pemimpin yang ‘mulham’ dan ‘mulhim’ –dalam terma sufistiknya– , mendapatkan ilham dari Allah Ta’ala dan bisa menginspirasi orang-orang yang dipimpinnya untuk bergerak mencapai kebaikan absolut yang menjadi tujuan bersama. Adapula pemimpin bertipikal Poelitis Agens yang pada prakteknya adalah manajer dan pekerja lapangan yang tidak mempunyai visi yang mandiri. Grand Syaikh al-Azhar berasumsi bahwa Kang Said termasuk tipikal yang pertama, Intelektus Agens.
Karena itu, setelah mengetahui dan meyakini kesamaan platform antara NU dan al-Azhar sebagai dua institusi Islam besar yang berakidah Asy’ari, bermadzhab sesuai madzhab yang empat dan bertasawwuf mengikuti teladan Imam al-Junaid dan Hujjatul Islam al-Ghazali, kemudian secara aktual ingin menampilkan wajah Islam moderat yang ramah dan menebar kedamaian. Maka tidak heran kalau beliau mengajak NU untuk bersinergi.
“Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama) adalah nama sebuah nama yang bagus, tetapi kebangkitan ulama yang sejati baru bisa dikatakan terwujud nyata, atau dalam kata lain: menjadi NU Sejati, kalau kebaikan dan kedamaian yang menjadi misi semua ulama Islam tersebar di seluruh penjuru bumi”, ucap Grand Syaikh al-Azhar.
Dawuh beliau ini menyiratkan harapan agar NU bukan hanya organisasi yang mempunyai akar yang kuat dalam diri 91 juta anggotanya di Indonesia, melainkan juga tumbuh tinggi bercabang-cabang dengan dedaunan yang rimbun dimana-mana. Dan beliau sebagai representasi Institusi al-Azhar yang merupakan lembaga Islam paling terkemuka di dunia siap mendukung dan memfasilitasinya.
Jadi Grand Syaikh al-Azhar tidak menolak diksi “Islam Nusantara” yang beliau sebut sebagai “Madzhab Nahdlawiyin”. Sebagai seorang yang sudah mempelajari filsafat dan wacana pemikiran Barat serta mampu berkomunikasi aktif dengan beberapa bahasa negara Eropa, beliau tentunya sudah terbiasa dengan diksi-diksi seperti itu. Beliau hanya menepis dengan santun inklinasi superioritas yang tersirat dari makna distinktifnya, dan –di sisi lain– beliau malah mendorong Madzhab Nahdliyin agar menjadi madzhab yang terbuka, bukan madzhab yang ekslusif, dan menyebarluaskannya menjadi kebangkitan ulama yang sejati: Ulama yang digugu dan diteladani, ulama yang didengarkan pandangannya dalam semua tingkatan strata sosio-politis, dan ulama yang mendunia.
Grand Syaikh al-Azhar terlihat juga memprediksikan bahwa NU seperti al-Azhar yang tidak terlibat langsung dalam politik praktis, tetapi mempunyai pengaruh dan kekuatan politik. Dan ini terlihat dalam jawaban beliau terhadap fenomena yang disebut sebagai Islam Politik dan politisasi mimbar-mimbar agama.
“Agama harus menjadi inspirasi yang mengarahkan politik (agar menjadi kekuatan yang mewujudkan kebaikan). Sayangnya, (dalam praktek yang banyak terjadi): di saat agama bercampur dengan politik, maka (biasanya) politik mengotori agama dan agama merusak politik,” dawuh beliau prihatin.
Mungkin itulah yang membuat beliau bersikap tegas menjadikan al-Azhar sebagai lembaga yang apolitis. Dan ini terlihat di saat pemilu Mesir yang terakhir: Al-Azhar adalah satu-satunya lembaga besar yang tidak terlibat sama sekali dalam mobilisasi dukungan terhadap calon presiden.
Dalam sebuah pertemuan para ulama besar Mesir, Grand Syaikh al-Azhar juga pernah membuat statemen: “Jangan tuntut saya untuk berpolitik praktis atau bersikap frontal dalam dinamika politik, tetapi tuntutlah tanggungjawab saya untuk pengembangan lembaga al-Azhar, untuk santri-santri kita, dan juga untuk membela syariat Islam.”.
Sikap ini membuat Grand Syaikh al-Azhar dicintai oleh masyarakat yang diayominya, ketika beliau di-“obok-obok” oleh tangan-tangan penguasa yang ingin memaksakan kehendak, baik yang dulu dan maupun yang sekarang, maka serentak masyarakat akan bangun membela beliau.
“Sikap kita dalam masalah politik dan khilafah adalah sikap yang sejalan dengan Akidah Asy’ariyah, sebagaimana tertera di bagian-bagian terakhir buku-buku induk teologi Islam, seperti kitab al-Mawaqif dan al-Maqashid: masalah ini termasuk masalah furu’iyat (cabang-cabang syariat), bukan masalah pokok keyakinan (yang bisa membuat penentangnya kafir),” tegas beliau.
“Kalau menurut hemat saya pribadi, kondisi sekarang membuat penegakan khilafah tidak masuk skala prioritas. Dunia sudah terbagi-bagi dalam batas-batas nation states: di darat, di laut, bahkan di udara pula. Kenapa kita capek-capek bertempur dan membangun kekuatan untuk melakukan pekerjaan yang saat ini termasuk sia-sia, hanya membuang waktu dan tenaga belaka?”
Kalau merujuk kepada kitab-kitab yang disinggung oleh Grand Syaikh al-Azhar, maka kita akan mendapatkan bahwasanya mengangkat seorang pemimpin teknis itu wajib, agar sebuah kelompok (besar atau kecil) bisa berjalan secara teratur. Tetapi masalah kepemimpinan politik (al-Imamah dan al-Khilafah) bukan termasuk pokok keimanan, berbeda dengan teologi Syiah –misalnya– yang mengkafirkan orang yang tidak meyakini konsep Imamah dan Khilafah versi mereka!
Maka praktik teknis daripada kepemimpinan tersebut mengabsahkan perbedaan sebagai sebuah bagian dari furu’iyat Fikih Islam menurut madzhab Sunni. Sama seperti madzhab-madzhab fikih yang telah berbeda-beda dalam praktek teknis furu’iyat yang lain, seperti salat contohnya. Perbedaan itu bisa terjadi baik dalam labelnya (namanya) dan maupun dalam praktik-substansialnya, sebagaimana ditunjukkan dalam perkembangan umat Islam sepanjang sejarah.
Sampai di sini, Kiai Said melontarkan sebuah intermezzo, seakan beliau ingin menceritakan salah satu kekhasan Islam Nusantara klasik, yang biasa menulis dengan huruf Arab pegon: “Fadhilatus Syaikh, Politik itu kalau ditulis dengan huruf Arab, jadinya adalah: فوليتك. Dan bacaannya adalah: Fawallaytuka!”
“Apa itu, saya tak paham?” Tanya Grand Syaikh al-Azhar, membuat Kiai Said mengulanginya lagi. “Ohhh, bukannya itu ditulis dengan huruf ba’ (ب), bukan fa’ (ف)?”
“Kalau kita menuliskannya dengan huruf fa’ (ف), bukan dengan huruf ba’ (ب).” Membuat Grand Syaikh al-Azhar tertawa ringan. Dan ini adalah candaan khas para ulama yang mengandung makna tersurat (eksplisit) dan tersirat (implisit).
Secara tersurat itu menunjukkan perbedaan Islam Nusantara yang mentransliterasikan huruf P dengan fa’ (ف), berbeda dengan Islam Arab yang mentransliterasikannya dengan huruf ba’ (ب), atau Islam Persia yang mentransliterasikannya dengan huruf huruf pha (پ). Perbedaan grammatologis ini adalah kekayaan budaya dalam lingkup rumah global umat Islam.
Dalam tradisi linguistik Arab, kata “fa-Wallay-tuka” berasal dari akar kata (و ل ي); sebuah homonim yang mempunyai makna-makna yang saling bertentangan. Maka kata ini (فوليتك) bisa berarti: “Maka saya telah mengangkatmu” atau bahkan sebaliknya “Maka saya telah berbuat jahat kepadamu”; bisa juga berarti “Maka saya telah menghadapkan diri kepadamu”, atau sebaliknya “Maka saya telah memunggungimu”.
Dari sini, Kiai Said seakan ingin mengatakan bahwa Politik dalam kearifan lokal Islam Nusantara bagaikan pisau bermata dua: bisa menguntungkan dan bisa merugikan, bisa membawa kebaikan dan bisa pula menimbulkan kerusakan.
Di sisi lain, Grand Syaikh al-Azhar adalah seorang filsuf Sufi, yang banyak keputusan beliau (khususnya yang berbau politik) ditentukan secara spiritual. Beliau meresponnya dengan mengubah huruf fa’ (ف) menjadi huruf ba’ (ب), hingga terbaca: “Biwaliyyatika” (بوليتك), atau dibaca “Biwilayatika” kalau vokal panjang pada huruf lam bisa dituliskan menggunakan huruf ya’ tanpa titik Alif Maqshurah, meskipun yang terakhir ini agak aneh.
Dari sini, Grand Syaikh al-Azhar seakan-akan menanggapi intermezzo Kiai Said dengan secara tersirat menyatakan: Politik itu bisa menjadi baik kalau dipimpin dengan barokah petunjuk spiritual waliyahmu (wali perempuan), yaitu ibumu atau istrimu yang ahli ibadah, atau petunjuk waliyahmu (wali agung) yang menjadi gurumu, atau dengan wilayah-mu (kewalianmu sendiri). Wallahu a’lam bish-shawab.
Dalam filsafat Peripatetik Islam (al-Farabi dan kemudian dirumuskan lebih jauh oleh Ibn Sina dalam al-Isyarat wa at-Tanbihat), seorang pemimpin seharusnya adalah seorang filsuf yang dalam dirinya telah menggabungkan kesempurnaan ilmu teoritis dan amal praksis. Tetapi dalam prakteknya –menurut Grand Syaikh al-Azhar– seorang pemimpin mempunyai dua tipikal yang dominan.
Meminjam istilah filsafat yang dibumikannya ke dalam realitas aktual, seorang pemimpin ada yang bertipikal sebagai Intelektus Agens dan ada yang bertipikal sebagai Produktif atau Poelitis Agens. Intelektus Agens adalah pemimpin yang ‘mulham’ dan ‘mulhim’ –dalam terma sufistiknya– , mendapatkan ilham dari Allah Ta’ala dan bisa menginspirasi orang-orang yang dipimpinnya untuk bergerak mencapai kebaikan absolut yang menjadi tujuan bersama. Adapula pemimpin bertipikal Poelitis Agens yang pada prakteknya adalah manajer dan pekerja lapangan yang tidak mempunyai visi yang mandiri. Grand Syaikh al-Azhar berasumsi bahwa Kang Said termasuk tipikal yang pertama, Intelektus Agens.
Karena itu, setelah mengetahui dan meyakini kesamaan platform antara NU dan al-Azhar sebagai dua institusi Islam besar yang berakidah Asy’ari, bermadzhab sesuai madzhab yang empat dan bertasawwuf mengikuti teladan Imam al-Junaid dan Hujjatul Islam al-Ghazali, kemudian secara aktual ingin menampilkan wajah Islam moderat yang ramah dan menebar kedamaian. Maka tidak heran kalau beliau mengajak NU untuk bersinergi.
“Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama) adalah nama sebuah nama yang bagus, tetapi kebangkitan ulama yang sejati baru bisa dikatakan terwujud nyata, atau dalam kata lain: menjadi NU Sejati, kalau kebaikan dan kedamaian yang menjadi misi semua ulama Islam tersebar di seluruh penjuru bumi”, ucap Grand Syaikh al-Azhar.
Dawuh beliau ini menyiratkan harapan agar NU bukan hanya organisasi yang mempunyai akar yang kuat dalam diri 91 juta anggotanya di Indonesia, melainkan juga tumbuh tinggi bercabang-cabang dengan dedaunan yang rimbun dimana-mana. Dan beliau sebagai representasi Institusi al-Azhar yang merupakan lembaga Islam paling terkemuka di dunia siap mendukung dan memfasilitasinya.
Jadi Grand Syaikh al-Azhar tidak menolak diksi “Islam Nusantara” yang beliau sebut sebagai “Madzhab Nahdlawiyin”. Sebagai seorang yang sudah mempelajari filsafat dan wacana pemikiran Barat serta mampu berkomunikasi aktif dengan beberapa bahasa negara Eropa, beliau tentunya sudah terbiasa dengan diksi-diksi seperti itu. Beliau hanya menepis dengan santun inklinasi superioritas yang tersirat dari makna distinktifnya, dan –di sisi lain– beliau malah mendorong Madzhab Nahdliyin agar menjadi madzhab yang terbuka, bukan madzhab yang ekslusif, dan menyebarluaskannya menjadi kebangkitan ulama yang sejati: Ulama yang digugu dan diteladani, ulama yang didengarkan pandangannya dalam semua tingkatan strata sosio-politis, dan ulama yang mendunia.
Grand Syaikh al-Azhar terlihat juga memprediksikan bahwa NU seperti al-Azhar yang tidak terlibat langsung dalam politik praktis, tetapi mempunyai pengaruh dan kekuatan politik. Dan ini terlihat dalam jawaban beliau terhadap fenomena yang disebut sebagai Islam Politik dan politisasi mimbar-mimbar agama.
“Agama harus menjadi inspirasi yang mengarahkan politik (agar menjadi kekuatan yang mewujudkan kebaikan). Sayangnya, (dalam praktek yang banyak terjadi): di saat agama bercampur dengan politik, maka (biasanya) politik mengotori agama dan agama merusak politik,” dawuh beliau prihatin.
Mungkin itulah yang membuat beliau bersikap tegas menjadikan al-Azhar sebagai lembaga yang apolitis. Dan ini terlihat di saat pemilu Mesir yang terakhir: Al-Azhar adalah satu-satunya lembaga besar yang tidak terlibat sama sekali dalam mobilisasi dukungan terhadap calon presiden.
Dalam sebuah pertemuan para ulama besar Mesir, Grand Syaikh al-Azhar juga pernah membuat statemen: “Jangan tuntut saya untuk berpolitik praktis atau bersikap frontal dalam dinamika politik, tetapi tuntutlah tanggungjawab saya untuk pengembangan lembaga al-Azhar, untuk santri-santri kita, dan juga untuk membela syariat Islam.”.
Sikap ini membuat Grand Syaikh al-Azhar dicintai oleh masyarakat yang diayominya, ketika beliau di-“obok-obok” oleh tangan-tangan penguasa yang ingin memaksakan kehendak, baik yang dulu dan maupun yang sekarang, maka serentak masyarakat akan bangun membela beliau.
“Sikap kita dalam masalah politik dan khilafah adalah sikap yang sejalan dengan Akidah Asy’ariyah, sebagaimana tertera di bagian-bagian terakhir buku-buku induk teologi Islam, seperti kitab al-Mawaqif dan al-Maqashid: masalah ini termasuk masalah furu’iyat (cabang-cabang syariat), bukan masalah pokok keyakinan (yang bisa membuat penentangnya kafir),” tegas beliau.
“Kalau menurut hemat saya pribadi, kondisi sekarang membuat penegakan khilafah tidak masuk skala prioritas. Dunia sudah terbagi-bagi dalam batas-batas nation states: di darat, di laut, bahkan di udara pula. Kenapa kita capek-capek bertempur dan membangun kekuatan untuk melakukan pekerjaan yang saat ini termasuk sia-sia, hanya membuang waktu dan tenaga belaka?”
Kalau merujuk kepada kitab-kitab yang disinggung oleh Grand Syaikh al-Azhar, maka kita akan mendapatkan bahwasanya mengangkat seorang pemimpin teknis itu wajib, agar sebuah kelompok (besar atau kecil) bisa berjalan secara teratur. Tetapi masalah kepemimpinan politik (al-Imamah dan al-Khilafah) bukan termasuk pokok keimanan, berbeda dengan teologi Syiah –misalnya– yang mengkafirkan orang yang tidak meyakini konsep Imamah dan Khilafah versi mereka!
Maka praktik teknis daripada kepemimpinan tersebut mengabsahkan perbedaan sebagai sebuah bagian dari furu’iyat Fikih Islam menurut madzhab Sunni. Sama seperti madzhab-madzhab fikih yang telah berbeda-beda dalam praktek teknis furu’iyat yang lain, seperti salat contohnya. Perbedaan itu bisa terjadi baik dalam labelnya (namanya) dan maupun dalam praktik-substansialnya, sebagaimana ditunjukkan dalam perkembangan umat Islam sepanjang sejarah.
Sampai di sini, Kiai Said melontarkan sebuah intermezzo, seakan beliau ingin menceritakan salah satu kekhasan Islam Nusantara klasik, yang biasa menulis dengan huruf Arab pegon: “Fadhilatus Syaikh, Politik itu kalau ditulis dengan huruf Arab, jadinya adalah: فوليتك. Dan bacaannya adalah: Fawallaytuka!”
“Apa itu, saya tak paham?” Tanya Grand Syaikh al-Azhar, membuat Kiai Said mengulanginya lagi. “Ohhh, bukannya itu ditulis dengan huruf ba’ (ب), bukan fa’ (ف)?”
“Kalau kita menuliskannya dengan huruf fa’ (ف), bukan dengan huruf ba’ (ب).” Membuat Grand Syaikh al-Azhar tertawa ringan. Dan ini adalah candaan khas para ulama yang mengandung makna tersurat (eksplisit) dan tersirat (implisit).
Secara tersurat itu menunjukkan perbedaan Islam Nusantara yang mentransliterasikan huruf P dengan fa’ (ف), berbeda dengan Islam Arab yang mentransliterasikannya dengan huruf ba’ (ب), atau Islam Persia yang mentransliterasikannya dengan huruf huruf pha (پ). Perbedaan grammatologis ini adalah kekayaan budaya dalam lingkup rumah global umat Islam.
Dalam tradisi linguistik Arab, kata “fa-Wallay-tuka” berasal dari akar kata (و ل ي); sebuah homonim yang mempunyai makna-makna yang saling bertentangan. Maka kata ini (فوليتك) bisa berarti: “Maka saya telah mengangkatmu” atau bahkan sebaliknya “Maka saya telah berbuat jahat kepadamu”; bisa juga berarti “Maka saya telah menghadapkan diri kepadamu”, atau sebaliknya “Maka saya telah memunggungimu”.
Dari sini, Kiai Said seakan ingin mengatakan bahwa Politik dalam kearifan lokal Islam Nusantara bagaikan pisau bermata dua: bisa menguntungkan dan bisa merugikan, bisa membawa kebaikan dan bisa pula menimbulkan kerusakan.
Di sisi lain, Grand Syaikh al-Azhar adalah seorang filsuf Sufi, yang banyak keputusan beliau (khususnya yang berbau politik) ditentukan secara spiritual. Beliau meresponnya dengan mengubah huruf fa’ (ف) menjadi huruf ba’ (ب), hingga terbaca: “Biwaliyyatika” (بوليتك), atau dibaca “Biwilayatika” kalau vokal panjang pada huruf lam bisa dituliskan menggunakan huruf ya’ tanpa titik Alif Maqshurah, meskipun yang terakhir ini agak aneh.
Dari sini, Grand Syaikh al-Azhar seakan-akan menanggapi intermezzo Kiai Said dengan secara tersirat menyatakan: Politik itu bisa menjadi baik kalau dipimpin dengan barokah petunjuk spiritual waliyahmu (wali perempuan), yaitu ibumu atau istrimu yang ahli ibadah, atau petunjuk waliyahmu (wali agung) yang menjadi gurumu, atau dengan wilayah-mu (kewalianmu sendiri). Wallahu a’lam bish-shawab.
Tambahkan Komentar