Ilustrasi: Suasana kampanye. (dok- majalah kartini). |
Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang
Karena dalam masa kehidupan Rasulullah saw tidak
pernah ada Pemilihan Umum (Pemilu) seperti hari ini maka otomatis tidak ada
pula kampanye seperti sekarang. Ini bermakna kita tidak ada rujukan langsung
tentang kampanye dalam Islam sebagaimana kampanye yang berlangsung hari ini. Namun
Islam punya istilah lain untuk mengembangkan Islam dan ummatnya yang disebut
dakwah.
Antara dakwah dengan kampanye tentunya mempunyai perbedaan yang sangat
signifikan, karena istilah dakwah itu konotasi positif dan dekat dengan pahala
sementara kampanye bernuansa negative yang cenderung dikonotasikan akrab dengan
neraka. Ini lebih disebabkan oleh kecenderungan-kecenderungan jurkam yang suka
berbohong dan inkar janji selama ini.
Selain itu Islam juga tidak menggalakkan ummatnya
untuk mempromosikan personalitas dirinya agar dipilih oleh rakyat pada jabatan
tertentu. Karena cara seumpama itu lebih dekat kepada sikap ambisi pribadi yang
mengejar jabatan yang dilarang Islam. Sabda Rasulullah saw: “Jangan sekali-kali
kamu meminta untuk menjadi pemimpin, kecuali diberikan dengan cara yang wajar
maka terimalah, kalau diberikan dengan cara yang salah maka tolaklah” (Bukhari
dan Nasa-i).
Pernah Abu Zar al-Ghifari yang terkenal khusyu’ dan
wara’ coba meminta posisi pemimpin pada Rasulullah saw. Karena Rasulullah merasa
beliau tidak serasi untuk memperoleh posisi tersebut maka Baginda tidak
memberikannya, alasan Beliau tidak mengabulkan permintaan Abu Zar karena beliau
meminta jabatan bukan diberikan dengan wajar, dan personalitas beliau menurut
Nabi tidak cocok untuk dipromosikan di sana.
(dari Riadhus Shalihin hadist no: 672,
673,674).
672 .Dari Abu Said, yaitu Abdur Rahman bin Samurah r.a., katanya:
"Rasululiah s.a.w. bersabda kepada saya: "Hai Abdur Rahman bin Samurah,
janganlah engkau meminta jabatan amir - penguasa negara,
sebab jikalau engkau diberi tanpa adanya permintaan daripadamu, maka engkau akan diberi
pertolongan oleh Allah dalam memegang jabatan itu, tetapi jikalau engkau
diberi dengan sebab adanya permintaan daripadamu, maka engkau
akan dipalingkan dari pertolongan Allah. Jikalau engkau bersumpah atas sesuatu yang
disumpahkan, kemudian engkau mengetahui sesuatu yang selainnya itu lebih baik
daripada apa yang engkau sumpahkan tadi, maka datangilah - yakni laksanakanlah
-apa-apa yang lebih baik tadi serta bayarlah
kaffarah - denda - karena sumpahmu itu." (Muttafaq 'alaih)
673. Dari Abu Zar r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Hai Abu Zar, sesungguhnya saya melihat engkau itu adalah seorang yang
lemah dan sesungguhnya saya mencintai untukmu sesuatu yang saya cintaiuntukku
sendiri. Janganlah engkau menjadi seorang
amir - pemegang kekuasaan atau hakim - atas dua orang -maksudnya sekalipun yang diperintah itu hanya sedikit dan diibaratkan dua
orang, tetapi jangan suka menjadi penguasa
atau yang membawahi mereka -dan jangan pula engkau mendekati harta anak yatim - sehingga engkau pakai untuk keperluanmu
sendiri." (Riwayat Muslim)
674. Dari Abu Zar r.a. pula, katanya: "Saya berkata: "Ya
Rasulullah, tidakkah Tuan suka menggunakan saya - yakni mengangkat saya sebagai
seorang petugas negara." Beliau s.a.w. lalu
menepuk ba.huku dengan tangannya, lalu bersabda: "Hai
Abu Zar, sesungguhnya pada hari kiamat engkau adalah seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan pemerintahan itu adalah sebagai
amanat dan sebenarnya jabatan sedemikian itu adalah merupakan kerendahan serta
penyesalan - pada hari kiamat - bagi orang yang
tidak dapat menunaikan amanatnya, kecuali seseorang yang mengambil amanat itu dengan hak sebagaimana mestinyadan menunaikan apa
yang dibebankan atas dirinya perihal amanat yang dipikulkan tadi. (Riwayat Muslim).
Karenanya seseorang yang berkampanye kepada orang
banyak serta meminta rakyat untuk memilihnya, itu berarti identik dengan
meminta jabatan pada rakyat dengan perasaan ambisi. Berpijak kepada hadis Nabi pada Abdur Rahman bin Samurah r.a dan kasus Abu Zar al-Ghifari maka langkah tersebut sudah keluar dari
tradisi Nabi, keluar dari tradisi tersebut bermakna keluar dari ketentuan
Islam.
Namun manakala kita mengingat sistem Pemerintahan kita yang demikian ini, mengharuskan adanya
Pencalonan diri dan kampanye. Sedangkan jika orang Islam yang taat berpegang
teguh pada dalil hadist di atas sehingga tidak mau mencalonkan diri atau bahkan
tidak mau berkampanye. Maka akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang fasiq atau
bahkan kafir. Ini menjadi dipandang suasana Dharuri, karena dapat dipastikan
madharat akan lebih besar jika para Pemimpin Kafir yang berkuasa. Terlepas dari
hukum “memilih pemimpin kafir adalah haram”. Karena jika calon pemimpin tidak
ada yang Islam, maka tidak dapat dihindari Pemimpin kafir yang berkuasa.
Maka sesuai qaidah ushul fiqih : “Ad
Dharuraatu tubiihul makh dzuuraati”
Kemudharatan itu membolehkan hal-hal
yang dilarang.
Atau menggunakan Qaidah : “Yuh
tamalud dhararul khasi li ajlid dhararil
‘aami”
Kemudahan yang khusus, boleh
dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum.
Mencalonkan diri akan mengandung
madharat pribadi, seperti ujub, cinta jabatan, ambisi nafsu dan sebagainya. Tetapi
demi kepentingan Umat Islam yang lebih besar, maka mencegah madharat secara
umum lebih didahulukan. Maka mau tidak mau harus ada orang Islam yang
mencalonkan diri.
Alasan dibolehkannya orang Islam
mencalonkan diri sebagai pimpinan, selain adanya qaidah di atas, ada beberapa
Ulama yang mendasari dengan hadist :
Utsman bin Abu Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي قَالَ أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا
Wahai Rasulullah jadikanlah aku sebagai pemimpin bagi
kaumku! Beliau bersabda: “Engkau adalah pemimpin bagi mereka, perhatikanlah
orang yang paling lemah di antara mereka, dan angkatlah seorang muadzin dan
jangan upah dia karena adzannya.” (HR. Abu Daud No. 531, Ahmad No. 17906, Ath
Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 8365, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra
No. 1636, Al Hakim No. 715, katanya: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 17906).
Jelas sekali seorang sahabat nabi, Utsman bin Abu Al
‘Ash Radhialahu ‘Anhu meminta kedudukan sebagai pemimpin bagi kaumnya -yakni
dalam konteks hadits ini adalah pemimpin shalat- dan nabi pun menunjuknya
sebagai seorang pemimpin bagi kaumnya itu. Para pensyarah hadits juga
menjelaskan bahwa hadits ini dalil kebolehan meminta jabatan kepemimpinan.
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengomentari:
الحديث يدل على جواز طلب الإمامة في الخير وقد ورد في أدعيت عباد الرحمن الذين وصفهم الله بتلك الأوصاف أنهم يقولون {وََاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً} وليس من طلب الرياسة المكروهة
Hadits ini menunjukkan kebolehan meminta jabatan
kepemimpinan dalam kebaikan. Telah ada di antara doa-doa para ibadurrahman, di
mana Allah Ta’ala menyifati mereka dengan sifat tersebut, bahwa mereka berkata
(Dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang bertaqwa), dan meminta
jabatan itu bukanlah merupakan hal yang dibenci. (Subulus Salam, 1/128)
Syaikh Said bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani
Hafizhahullah juga mengutip perkataan Imam Ash Shan’ani di atas, lalu dia
melanjutkan:
فإن ذلك فيما يتعلق برياسة الدنيا التي لا يُعَانُ مَنْ طلبها، ولا يستحق أن يُعْطَاهَا مَنْ سأله، فإذا صَلحت النية وتأكدت الرغبة في القيام بالواجب والدعوة إلى الله – عز وجل – فلا حرج من طلب ذلك.
Sesungguhnya hal ini terkait dengan jabatan dunia yang
tidak usah ditentang orang yang memintanya, dan tidak pula berhak diberikan
kepada yang memintanya, namun jika dia niatnya bagus dan diperkuat oleh
keinginan untuk menjalankan kewajiban dan dakwah ilallah ‘Azza wa Jalla, maka
tidak apa-apa meminta jabatan itu. (Al Imamah fish Shalah, Hal. 4).
Para Ulama yang membolehkan, juga
mendasari dari kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam.
Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Yusuf
‘Alaihissalam yang meminta kepada raja agar dirinya dijadikan penanggung jawab
keuangan negerinya:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara
(Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan”. (QS. Yusuf: 55)
Ayat ini menerangkan dua hal, yaitu pertama, meminta
jabatan, kedua, syarat menjadi pejabat yakni hafizhun ‘alim – pandai menjaga
amanah dan berpengetahuan. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak
selayaknya seseorang meminta-minta jabatan. Seseorang harus jujur atas dirinya
sendiri, jujur atas niat dan kemampuan dirinya. Ayat ini sering dijadikan dasar
para ulama tentang kebolehan meminta jabatan dengan syarat seperti di atas.
Tertulis dalam Tafsir Al Muyassar sebagai berikut:
وأراد يوسف أن ينفع العباد، ويقيم العدل بينهم، فقال للملك: اجعلني واليًا على خزائن “مصر”، فإني خازن أمين، ذو علم وبصيرة بما أتولاه.
Yusuf bermaksud bisa memberikan manfaat bagi manusia,
dan menegakkan keadilan di antara mereka, lalu dia berkata kepada raja: “Jadikanlah
aku pemimpin (penanggung jawab) atas perbendaharaan negeri Mesir, sesungguhnya
aku orang yang amanah terhadap harta, dan memiliki ilmu serta bashirah
(kepandaian) terhadap apa-apa yang menjadi tanggung jawabku.” (Tafsir Al
Muyassar, 4/155).
Kembali kepada masalah kampanye.
Apabila Orang Islam boleh mencalonkan diri, dan memenuhi syarat-syaratnya
tersebut. Tidak bisa tidak harus mengikuti sistem dalam negara kita yaitu
Kampanye. Mengingat tidak ada peraturan baku tentang
kampanye dalam Islam, sementara dalam
kampanye biasanya penuh dengan kebohongan publik dan hal-hal lain yang
melanggar syariat.
Dengan demikian calon barangkali dibolehkan berkampanye asalkan harus menggunakan
rambu-rambu agama Islam baik yang berkenaan dengan ‘aqidah, maupun akhlaq. Tidak boleh menghalalkan segala cara.
Kampanye adalah tindakan dan usaha
yang bertujuan mendapat dukungan sebanyak-banyaknya. Jika orang Islam yang
mencalonkan diri sebagai pemimpin, bolehkah berkampanye untuk mencari dukungan?
Kampanye bisa dibagi menjadi dua,
yaitu kampanye secara umum, yang melibatkan banyak orang. Dan kampanye secara
pribadi antar personal atau lingkup yang lebih kecil.
Jika kampanye secara umum tersebut
memang menjadi bagian sistem untuk memperoleh jabatan, dengan syarat-syarat
yang disahkan oleh penyelenggara atau Pemerintah (dalam hal ini KPU). Maka
dapat dimaklumi, kampanye semacam ini boleh hukumnya, karena sesuai aturan
bersama yang disepakati dan sah menurut Negara.
Hukum melanggar peraturan
Pemerintah. Sebenranya mudah disimpulkan sebagai berikut :
Hukum Pemerintah itu wajib ditaati
dan berdosa jika dilanggar, apabila hukum tersebut :
Tidak bertentangan dengan Syariat Islam.
Untuk menghindari Madharat dan
mengandung maslahah.
Sebaliknya, apabila hukum itu
bertentangan degan syariat dan bahkan mengandung madharat, maka tidak mengapa
melanggar hukum Pemerintah tersebut.
Dengan demikian, Kampanye secara
umum yang sah sesuai aturan Pemerintah, maka dibolehkan. Sebaliknya, Kampanya
secara umum yang melibatkan orang banyak, tetapi melanggar aturan yang
ditetapkan KPU maka jelas dilarang. Haram hukumnya, karena mengandung banyak
madharat.
Kampanye umum yang melanggar aturan
KPU diantaranya :
1. mengganggu keamanan, ketenteraman, dan
ketertiban umum;
2. .
mengancam dan menghina orang lain.
3. menyebarkan
berita bohong atau menfitnah.
4. merusak
dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye;
5. menggunakan fasilitas dan anggaran
Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
6. menggunakan tempat ibadah dan tempat
pendidikan;
Dan lain-lain.
Kampanye pribadi. Dapat dibagi dua
macam :
Di lingkungan keluarga yang dia
sebagai Kepala Rumah tangga.
Di lingkungan di luar keluarga.
Pertama, Kampanye pribadi di
lingkungan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya jelas dibolehkan, karena
tidak mengandung madharat sama sekali.
Kedua, kampanye pribadi di
lingkungan di luar keluarga, artinya kepada para tetangga, teman atau
lingkungan tempat kerja dan lain-lain. Hal ini jika dilakukan kemungkinan besar
banyak mengadung madharat. Jika teman, tentangga atau orang lain yang kita ajak
itu ternyata memliki pilhan sendiri, tentu akan tersinggung dan sakit hati,
saat kita memuji-muji ‘jago’ kita. Karena menyakiti hati sesama muslim adalah
haram, maka kampanye semacam ini menjadi haram.
Boleh saja orang yang berkampanye
dengan alasan Hisbah (amar ma’ruf nahi mungkar) karena ‘jago’nya adalah orang
Islam yang dianggapnya dapat membawa amanah. Tetapi efek kampanye tersebut jika
menyakiti hati orang lain, inilah yang dilarang.
Karena salah satu syarat Hisbah,
menurut Imam Gahzali di dalam Ihya ‘ Ulumuddin adalah Qodiron atau berkemampuan
untuk itu. Dalam arti jika tidak mengandung madharat dan berfaedah atau ada
gunanya ucapannya itu, maka wajib hsibah. Sebaliknya jika mengandung Madharat
dan tidak jelas faedahnya, maka menjadi haram melakukan hisbah.
أحدهما أن يجتمع المعنيان بأن يعلم أنه
لا ينفع كلامه ويضرب إن تكلم فلا تجب عليه الحسبة
الثانية أن ينتفي المعنيان جميعا بأن يعلم أن
المنكر يزول بقوله وفعله ولا يقدر له على مكروه فيجب عليه الإنكار وهذه هي القدرة
المطلقة الحالة (فيجب الحسبة)
Keadaan pertama, berkumpulnya dua pengertian (tidak berfaedah dan
mengandung madharat) dengan tahu bahwa ucapannya itu tidak berfaedah dan dapat
dipukul jika berbicara, maka tidak wajib hisbah.
Keadaan kedua, bahwa kedua pengertian itu tidak ada semuanya (berfaedah dan
tidak mengandung madharat), ia tahu bahwa perbuatan munkar dapat hilang dengan
ucapan dan perbuatannya dan tidak diduga akan terjadi yang tidak baik, maka
wajib baginya ingkar (hisbah), inilah kemampuan yang mutlak (untuk melakukan
hisbah). (Ihya ‘ Ulumuddin , Juz 2 hal 315).
Maka dengan demikian, jika kampanye
itu bersifat umum maupun pribadi, jika tidak berfaedah dan mengandung madharat,
maka tidak layak dilakukan seorang muslim yang baik.
Atau dapat dirujuk berdasar qaidah
ushul fiqih :
“ Daf’ul mafasid muqaddamun ala jalbil
masholih”
دفع المفاسد مقدّم على جلب المصالح
Mencegah terjadinya kerusakan itu
lebih diutamakan daripada menganjurkan kebaikan.
WAllahu a’alam.
Tambahkan Komentar