Sukmawati Soekarno Putri. (foto: liputan6.com). |
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah
STAINU Temanggung
Jadwal Pilkada
serentak tahun 2018 telah ramai sejak tahun 2017. Hal itu menjadikan 2018 sebagai tahun politik yang dinantikan banyak pihak. Tahun
2018 juga menjadi tahun “pemanasan” sebelum 2019 yang merupakan tahun
diselenggarakannya pemilihan presiden RI.
Situasi politik
Indonesia yang telah memanas sejak pemilihan presiden tahun 2014 seperti tungku
yang dijejali kayu-kayu bakar isu politik. Ada saja yang dijadikan kayu
bakarnya. Bak kayu bakar, pembacaan
puisi pun ikut dikabar bahkan terbakar.
Pembacaan puisi berjudul
“Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana” oleh Calon Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pun ikut dipanasi. Puisi
tersebut ditulis tahun 1987 dan merupakan salah satu puisi paling terkenal
karya Gus Mus. Puisi tersebut sudah sering dibacakan oleh banyak orang,
termasuk oleh mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Marwan Jafar dan Ketua MUI NTT Abdul Kadir Makarim. Berikut ini
adalah puisi Gus Mus yang coba “dibikin rame” belakangan ini,
Puisi yang lugas
dan mengena ini dilahirkan jauh sebelum ada hiruk-pikuk politik terbuka. Lahir
di masa orde baru di mana dalam kontes politik hanya Golkar yang akan menang, jadi banyak
orang manut saja dan tidak banyak protes. Dituliskan sebelum
orang-orang meributkan segala sesuatu di media sosial mereka. Dibuat sebelum
isu beras plastik dan telur palsu diberitakan berulang-ulang oleh berbagai
kalangan dengan berbagai motif dan testimoni. Puisi ini sudah kritis duluan
sebelum kegilaan macam ini menjadi kritis di negeri ini.
Politik Menghukum Puisi
Penggalan puisi Gus Mus yang berbunyi, Kau bilang tuhan sangat dekat/
kau sendiri memanggil-manggilnya/ dengan pengeras suara setiap saat/
dianggap telah menyudutkan umat Islam karena ditafsirkan sebagai panggilan
adzan. Padahal, tidak ada konfirmasi dari pencipta
puisi itu sendiri bahwa yang dimaksudkan adalah adzan.
Lagi pula,
banyak kegiatan keagamaan Islam yang berupa berkumpulnya umat kemudian
menyampaikan pujian-pujian kepada Allah dengan menggunakan pengeras suara.
Terutama dalam tradisi Nahdlatul Ulama seperti Berjanjen atau Dibak’an di bulan
Maulud yang melantunkan pujian-pujian kepada Allah dan Rasulnya menggunakan
pengeras suara, ya memang seperti itu, masyarakat sudah terbiasa dengan tradisi
tersebut.
Jelas keriuhan
kritik atas puisi Gus Mus ini hanyalah agenda segelintir orang yang disambut
hangat oleh sebagian masyarakat yang mudah menerima pancingan untuk merespon
negatif terhadap suatu hal.
Momen Pilkada
yang semakin dekat membuat segala gerak-gerik seorang calon kepala daerah
beresiko digunakan untuk serangan politik. Isu SARA di momen pemilu marak
digunakan dengan sasaran untuk menurunkan atau mendelegitimasi citra,
elektabilitas lawan politik. Pembacaan puisi Gus Mus oleh Ganjar Pranowo telah
dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sebagai manuver politik mereka.
Puisilah yang
menjadi korban. Diambil sepotong-sepotong saja bukan dipahami secara
keseluruhan. Orang-orang yang tidak memahami karya sastra ikut dibuat panas dan
membenci puisi tersebut. Terjadilah salah kaprah ini ketika politik menghukum
puisi yang hanyalah produk ekspresi seseorang dalam berkarya sastra.
Apakah Puisi Bersalah?
Apa salahnya
puisi? Apa salahnya membaca puisi? Padahal belum seberapa dari kritisnya ide
yang dimainkan di teater-teater kampus atau panggung-panggung sastra. Tapi mau bagaimana
lagi. Barang gelap bisa jadi terang, barang terang bisa jadi gelap jika
dimainkan oleh politikus.
Apalagi Ganjar
yang sedang nyalon Gubernur lagi dan punya banyak lawan politik. Komentar
pendek bisa digoreng, apalagi baca puisi. Puisi itu sudah ada sejak 31 tahun
yang lalu, puisi karya tokoh besar yang memiliki pemikiran-pemikiran visioner
tentang negerinya. Bagaimana tidak, karyanya 31 tahun lalu masih sangat relevan
dengan keadaan sosial saat ini. Ataukah kita yang mengalami kemunduran sosial?
Puisi sebagai
salah satu jenis karya sastra adalah refleksi situasi sosial dari waktu ke
waktu. Dalam KBBI tahun 2016 disebutkan bahwa puisi adalah ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima serta penyusunan larik dan bait.
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa puisi memiliki keteraturan meskipun
diciptakan secara bebas oleh penyair. Keteraturan tersebut tetap terasa meskipun
puisi berkembang lebih lentur terhadap aturannya di masa sekarang.
Negara ini
darurat literasi. Barang tertulis diam saja selama 31 tahun bisa mendadak ramai
jika dibacakan lalu disetir oleh tokoh-tokoh politik. Karena orang sekarang di
negeri ini banyak yang malas membaca, sedikit mendengar tapi gemar berkomentar.
Sukanya motong-motong kalimat yang sekiranya bisa bikin panas, tidak objektif
dan tidak tahu konteks.
Generasi muda
banyak yang berkarya tapi lebih banyak lagi yang ngetik saja alay,
mana paham dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Mereka butuh dukungan
dan panutan untuk belajar baca-tulis yang benar serta berkreasi agar tidak jadi
generasi salin-tempel.
Apa jadinya
mereka kalau kreativitas sastra terus dijadikan amunisi manuver politik? Jika karya sastra dibuat
gaduh saja seperti yang terjadi akhir-akhir ini, ditakutkan kreativitas anak
negeri menjadi terhambat dan segan berkembang. Akhirnya, mau bikin puisi saja takut didemo. Sebab, politik telah menghukum puisi!
Tambahkan Komentar