Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Keluar dari perangkap. Mematahkan jebakan. Memenangkan peperangan dan pertempuran. Itulah epistema dari ilmu oksidentalisme. Dus, ia antitesa dari orientalisme. Datang bertanding dan bekerja menikam mati kolonialisme. Sebab, hidup rakus, kolonialisme, imperialisme, neoliberalisme dan orientalisme itu satu paket.
Oksidentalisme berarti studi tentang penjajahan (lama dan baru) dari berbagai aspeknya. Oksidentalisme berasal dari kata occident (tempat matahari terbenam) yang berarti negeri Barat, asal muasal penjajahan, ibu kandung keserakahan. Oksidentalisme telah dilakukan dalam kurun waktu yang lama, namun masih dalam banyang-banyang hegemoni barat dan tidak tersistematis.
Pemikir yang menggagas perlawanan atas hegemoni wacana dari barat (Orienatalisme) dengan Oksidentalisme adalah Hasan Hanafi. Dalam bahasa Arab, Oksidentalisme adalah “al-istighrâb” sebagai lawan dari orientalisme “al-istisyrâq.” Kajian oreintalisme adalah melihat Timur terjajah dari kacamata Barat. Sedangkan oksidentalisme sebaliknya: melihat Barat penjajah dari kacamata Timur. Tidak seperti Orientalisme, Oksidentalisme tidak ditujukan untuk menguasai atau menjajah, namun menghadirkan kesetaraan. Di mana pada awalnya adalah Timur selalu menjadi objek, dan Barat menjadi subjek. Dalam Oksidentalisme, struktur tersebut dibalik. Timur harus berusaha menjadi subyek. Timur harus mampu memandang secara mandiri, dengan perspektif sendiri bagaimana barat sebenarnya.
Kenapa melawan Orientalisme? Karena ia bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis sekaligus religius. Sebagaimana dibongkar oleh Edwar Said bahwa diskurus tentang Timur atau Orientalisme tidaklah senetral nampaknya. Bagaimana barat melihat timur dan diulas dalam kajian-kajiannya ternyata penuh dengan bias dan praduga. Dengan analisis Foucauldian, Said telah mendedah relasi kuasa dibalik diskursus ketimuran. Said mengungkapkan bahwa Orientalisme tidak bisa dipandang sebagai keilmuan yang netral namun berupa keilmuan yang bersifat politis. dalam diskurus Orientalsime Timur diposisikan sebagai the other dan selalu diposisikan di bawah Barat.
Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan penjajah tentang dunia terjajah bertujuan untuk kepentingan menguasai wilayah jajahan. Secara ekonomis adalah demi kemakmuran penjajah. Secara religius adalah demi kekristenan semesta. Kita mengenalnya dengan 3G: gold (kekayaan), glory (kejayaan) and gospel (keagamaan).
Ilmu ini menjadi sangat penting direalitaskan buat masa kini dan mendatang, karena penjajah rakus untuk kesekian kalinya mulai menancapkan lagi kuku kolonialisnya, setelah kolonialisme purba mengimplikasikan munculnya gerakan pembebasan dan pemerdekaan suatu bangsa.
Oksidentalisme menjadi medan pertempuran karena Oksidentelsime adalah usaha untuk merebut diskursus yang telah dikuasai oleh Orientalisme. Sebagai sebuah medan tempur intelektual, Oksidentalisme akan memberi alternatif yang revolutif atas pemahaman tentang Barat, bagaimana memahami barat dan bagaimana menyandingkan Barat dengan Timur. Pada medan sebelumnya, hubungan Barat dan Timur telah dikuasai oleh diskursus Orientalisme. Diskursus yang menempatkan Timur sebagai objek kajian demi kepentingan-kepentingan Barat.
Edwar Said dalam bukunya Orientalisme mencoba membongkar diskursus Orientalisme -bagaimana Barat melihat Timur- yang ternyata penuh dengan praduga, bias dan peyorasi terhadap Timur. Kajian Orientalisme, dengan berkedok netral dan tidak politis, telah membuat stereotipe tentang Timur. Timur selalu dinegasikan dengan Barat dan diletakkan di bawah Barat. Bentuk pencitraan akan Timur yang muncul dalam Orientalisme adalah citra Timur yang mistis, tidak rasional, banal dan terbelakang. Fitur dan karakteristik ini selalu dioposisikan dengan Barat, dimana Barat adalah sebaliknya. Barat yang logis, rasional, tertib dan unggul.
Orientalisme adalah alat untuk melegitimasi keunggulan Barat. Orientalisme, sebagai kajian atas Timur, tidak saja memberi gambaran atas bagaimana Timur, tetapi juga bagaimana Barat itu sendiri. Hal ini karena, oposisi biner yang inherent di dalamnya menuntun syarat epistemologi bahwa suatu entitas bisa dimengerti jika dipertentangkan dengan entitas yang lain. Dalam Orientalisme, oposisi biner tersebut adalah Barat-Timur. Bagaimana gambaran Barat ditentukan oleh bagaimana gambaran Timur, dan sebaliknya. Karena hubungan keduanya tidak sejajar, yang muncul adalah bentuk oposisi biner yang hierarkis (hierarchical binary opposition). Barat sebagai entitas yang berkebalikan dengan Timur dan Barat ditempatkan dalam posisi yang lebih tinggi dari Timur. Dalam kajian Orientalisme, Timur dicitrakan dengan sebagai bentuk atribut negatifnya, dan secara otomatis Barat memiliki citra sebaliknya (positif). Hal ini mengapa Orientalisme selalu memunculkan ketidakadilan dan selalu menguntungkan Barat.
Secara singkat, dalam wacana Orientalisme Timur selalu menjadi objek atas Barat, Barat sebagai diri (self) dan timur sebagai yang lain (the other), Barat sebagai pusat dan yang tinggi (center) dan Timur sebagai (periphery). Dari landasan inilah penindasan, pengisapan, kolonialisme dan imperialisme muncul. Sebagai jawaban atas kondisi tersebut, Oksidentalisme muncul sebagai bentuk perlawanan kepada penjajahan.
Oksidentalsime adalah alat perlawanan terhadap dasar rasional kolonialisme dan imperialisme. Perjuangan untuk mensejajarkan (juxtapose), menjinakkan (domesticate) dan melawan (resist) segala bentuk hegemoni Barat. Oleh karena itu, saat inilah waktu yang tepat untuk melakukan counterattack, sebagaimana Edward Said (2008) utarakan dalam buku Orientalisme “The worldwide hegemony of Orientalism and all it stands for can now be challenged, if we can benefit properly from the general twentieth-century rise to political and historical awareness of so many of the earth's peoples.” (Hegemoni yang luas dari Orientalisme and segala bentuknya, sekarang ini, bisa dilawan, jika kita bisa mengambil keuntungan secara tepat dari bangkitnya kesadaran historis dan politis dari berbagai umat manusia di penjuru dunia pada abad dua puluh ini).
Di sinilah kita bisa mengambil momen penting akan arus decolonialisasi dari negara-negara jajahan dan bekas jajahan untuk menegaskan kembali kedudukannya. Yakni dengan membangun diskursus Oksidentalisme, melalui pengkajian dan peninjauan ulang siapa Barat/Oksident sebetulnya. Oksidentalisme tidak hanya membongkar mitos kedigdayaan Barat yang disusun diskursus sebelumnya (Orientalisme), tetapi juga mengubah konstelasi dimana Timur menjadi subjek aktif yang mengkaji Barat. Bukan objek yang selalu dikangkangi Barat.
Edward Said memberi rambu-rambu untuk bentuk-bentuk perlawanan atas hegemoni Barat. Said mengingatkan bahwa ketiadakadilan dalam diskurus Orientalisme jangan sampai diproduksi kembali dalam diskursus Oksidentalisme. Sebagaimana Said (2013) katakan bahwa “No former "Oriental" will be comforted by the thought that having been an Oriental himself he is likely—too likely—to study new "Orientals"—or "Occidentals"—of his own making”. (Tidak ada bekas “Timur” yang akan senang atas pemikiran bahwa menjadi Timur itu sendiri, dia mungkin -sangat mungkin- untuk mempelajari sendiri dan membuat suatu bentuk “Timur” atau “Barat” yang baru). Sehingga, semangat dari Oksidentalisme adalah perlawanan, keadilan dan persamaan, bukan atas dasar penaklukan dan penindasan sebagaimana Orientalisme lakukan.
Konsep Oksidentalisme sebagai senjata untuk merebut pertempuran wacana merujuk pada pemikiran Hassan Hanafi. Sebagaimana diungkapkan Hassan Hanafi (2008) bahwa “Occidentalism is a discipline constituted in Third World countries in order to complete the process of decolonization. Military, economic and political decolonization would be incomplete without scientific and cultural decolonization.” (Oksidentalisme adalah disiplin keilmuan yang dibentuk di negara-negara Dunia Ketiga untuk menyempurnakan proses dekolonialisasi. Dekolonialisasi militer, ekonomi dan politik tidak akan lengkap tanpa dekolonialisasi budaya dan keilmuan.) Oksidentalisme adalah semangat untuk menyeimbangkan tendensi pembaratan/westernisasi yang terjadi di negara bekas jajahan.
Untuk menikam mati imperialisme, Oksidentalisme menjalankan tiga sikap, 1) sikap kritis terhadap tradisi lama. 2) sikap kritis terhadap Barat dan 3) sikap kritis terhadap realitas. Berbagai bentuk peninggalan kolonialisme yang hadir dalam tradisi dan karakter masyarakat bekas jajahan perlu dimusnahkan. Sikap jumud, rendah diri, terbelakang, oligarkis, feodal dan bermental inlander harus dimusnahkan demi mendapatkan jadi diri yang baru.
Dalam sikap kritis terhadap Barat, Oksidentalisme mengambil sumber pengetahuan baik dari intelektual Timur yang membongkar hegemoni Barat dan juga intelektual Barat yang memilih jalan kritis atas Barat. Dengan mengkaji Barat secara kritis, maka penjajahan akan bisa ditumpas dan ketergantungan atas segala sesuatu dari Barat akan bisa diputus.
Sikap yang ketiga dalam Oksidentalisme adalah kritis terhadap realitas. Hal ini dimaksudkan untuk selalu melihat apa yang terjadi sekarang secara kritis, tidak secara naive dan menerima apa adanya. Oksidentalisme harus bisa menerawang bagaimana Barat masih tetap melangsungkan penjajahannya dengan berbagai modus dan kedok. Pada tataran ini, Oksidentalisme bisa digunakan sebagai alat perlawanan atas neo imperialisme, atas segala bentuk penjajahan baru yang menghisap kekayaan Timur melalui shadow economic, multinational corporation, World Bank dan IMF. Membunuh semua begundal kolonial tersebut adalah apa yang harus dituntaskan Oksidentalisme.
Kemerdekaan saja tak cukup. Ia hanya pintu gerbang: jembatan emas. Modal membentuk negara yang mandiri, modern dan martabatif. Modal menggapai keadilan abadi dan kesejahteraan sosial. Agar modal ini tegak, oksidentalisme berdiri menemani dan mengisi kemerdekaan penuh.
Dus, oksidentalisme adalah upaya untuk mengikis habis serangan westernisasi yang sudah semakin meluas wilayah jangkauannya. Begitu luas dan tidak terbatas dalam kehidupan kenegaraan, seni, budaya dan agama, melainkan juga meluas ke dalam tata-cara kehidupan sehari-hari.
Kita harus sadar bahwa program utama westernisasi adalah mengkurikulumkan gerak langkah alienasi dan dominasi. Alienasi dari kedaulatan diri dan dominasi orang lain terhadap dirinya. Dus, westernisasi dan orientalisme itu memastikan keikhlasan manusia menjadi budak, budaknya bangsa-bangsa.
Oksidentalisme hadir tidak hanya sekedar respon atas maraknya tradisi orientalisme, tapi juga menjadi alternatif pembacaan kritis terhadap penjajah beserta kebudayaannya. Oksidentalisme merupakan peta jalan atas munculnya penolakan yang begitu besar terhadap penjajahan baru. Metoda ini dikerjakan dengan sikap rasional, kritis, melawan dan alternatif.
Perlawanan ini tentu bisa dikerjakan untuk menghasilkan dialog yang inklusif, moderat, rasional, dan mencari titik-titik kesamaan (konvergensi) demi mewujudkan cita-cita kemanusiaan dunia. Oksidentalisme, bersama ilmu postkolonial, triasekonomika dan psikohermeneutika adalah kwartet perealisasi janji proklamasi.(*)
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Keluar dari perangkap. Mematahkan jebakan. Memenangkan peperangan dan pertempuran. Itulah epistema dari ilmu oksidentalisme. Dus, ia antitesa dari orientalisme. Datang bertanding dan bekerja menikam mati kolonialisme. Sebab, hidup rakus, kolonialisme, imperialisme, neoliberalisme dan orientalisme itu satu paket.
Oksidentalisme berarti studi tentang penjajahan (lama dan baru) dari berbagai aspeknya. Oksidentalisme berasal dari kata occident (tempat matahari terbenam) yang berarti negeri Barat, asal muasal penjajahan, ibu kandung keserakahan. Oksidentalisme telah dilakukan dalam kurun waktu yang lama, namun masih dalam banyang-banyang hegemoni barat dan tidak tersistematis.
Pemikir yang menggagas perlawanan atas hegemoni wacana dari barat (Orienatalisme) dengan Oksidentalisme adalah Hasan Hanafi. Dalam bahasa Arab, Oksidentalisme adalah “al-istighrâb” sebagai lawan dari orientalisme “al-istisyrâq.” Kajian oreintalisme adalah melihat Timur terjajah dari kacamata Barat. Sedangkan oksidentalisme sebaliknya: melihat Barat penjajah dari kacamata Timur. Tidak seperti Orientalisme, Oksidentalisme tidak ditujukan untuk menguasai atau menjajah, namun menghadirkan kesetaraan. Di mana pada awalnya adalah Timur selalu menjadi objek, dan Barat menjadi subjek. Dalam Oksidentalisme, struktur tersebut dibalik. Timur harus berusaha menjadi subyek. Timur harus mampu memandang secara mandiri, dengan perspektif sendiri bagaimana barat sebenarnya.
Kenapa melawan Orientalisme? Karena ia bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis sekaligus religius. Sebagaimana dibongkar oleh Edwar Said bahwa diskurus tentang Timur atau Orientalisme tidaklah senetral nampaknya. Bagaimana barat melihat timur dan diulas dalam kajian-kajiannya ternyata penuh dengan bias dan praduga. Dengan analisis Foucauldian, Said telah mendedah relasi kuasa dibalik diskursus ketimuran. Said mengungkapkan bahwa Orientalisme tidak bisa dipandang sebagai keilmuan yang netral namun berupa keilmuan yang bersifat politis. dalam diskurus Orientalsime Timur diposisikan sebagai the other dan selalu diposisikan di bawah Barat.
Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan penjajah tentang dunia terjajah bertujuan untuk kepentingan menguasai wilayah jajahan. Secara ekonomis adalah demi kemakmuran penjajah. Secara religius adalah demi kekristenan semesta. Kita mengenalnya dengan 3G: gold (kekayaan), glory (kejayaan) and gospel (keagamaan).
Ilmu ini menjadi sangat penting direalitaskan buat masa kini dan mendatang, karena penjajah rakus untuk kesekian kalinya mulai menancapkan lagi kuku kolonialisnya, setelah kolonialisme purba mengimplikasikan munculnya gerakan pembebasan dan pemerdekaan suatu bangsa.
Oksidentalisme menjadi medan pertempuran karena Oksidentelsime adalah usaha untuk merebut diskursus yang telah dikuasai oleh Orientalisme. Sebagai sebuah medan tempur intelektual, Oksidentalisme akan memberi alternatif yang revolutif atas pemahaman tentang Barat, bagaimana memahami barat dan bagaimana menyandingkan Barat dengan Timur. Pada medan sebelumnya, hubungan Barat dan Timur telah dikuasai oleh diskursus Orientalisme. Diskursus yang menempatkan Timur sebagai objek kajian demi kepentingan-kepentingan Barat.
Edwar Said dalam bukunya Orientalisme mencoba membongkar diskursus Orientalisme -bagaimana Barat melihat Timur- yang ternyata penuh dengan praduga, bias dan peyorasi terhadap Timur. Kajian Orientalisme, dengan berkedok netral dan tidak politis, telah membuat stereotipe tentang Timur. Timur selalu dinegasikan dengan Barat dan diletakkan di bawah Barat. Bentuk pencitraan akan Timur yang muncul dalam Orientalisme adalah citra Timur yang mistis, tidak rasional, banal dan terbelakang. Fitur dan karakteristik ini selalu dioposisikan dengan Barat, dimana Barat adalah sebaliknya. Barat yang logis, rasional, tertib dan unggul.
Orientalisme adalah alat untuk melegitimasi keunggulan Barat. Orientalisme, sebagai kajian atas Timur, tidak saja memberi gambaran atas bagaimana Timur, tetapi juga bagaimana Barat itu sendiri. Hal ini karena, oposisi biner yang inherent di dalamnya menuntun syarat epistemologi bahwa suatu entitas bisa dimengerti jika dipertentangkan dengan entitas yang lain. Dalam Orientalisme, oposisi biner tersebut adalah Barat-Timur. Bagaimana gambaran Barat ditentukan oleh bagaimana gambaran Timur, dan sebaliknya. Karena hubungan keduanya tidak sejajar, yang muncul adalah bentuk oposisi biner yang hierarkis (hierarchical binary opposition). Barat sebagai entitas yang berkebalikan dengan Timur dan Barat ditempatkan dalam posisi yang lebih tinggi dari Timur. Dalam kajian Orientalisme, Timur dicitrakan dengan sebagai bentuk atribut negatifnya, dan secara otomatis Barat memiliki citra sebaliknya (positif). Hal ini mengapa Orientalisme selalu memunculkan ketidakadilan dan selalu menguntungkan Barat.
Secara singkat, dalam wacana Orientalisme Timur selalu menjadi objek atas Barat, Barat sebagai diri (self) dan timur sebagai yang lain (the other), Barat sebagai pusat dan yang tinggi (center) dan Timur sebagai (periphery). Dari landasan inilah penindasan, pengisapan, kolonialisme dan imperialisme muncul. Sebagai jawaban atas kondisi tersebut, Oksidentalisme muncul sebagai bentuk perlawanan kepada penjajahan.
Oksidentalsime adalah alat perlawanan terhadap dasar rasional kolonialisme dan imperialisme. Perjuangan untuk mensejajarkan (juxtapose), menjinakkan (domesticate) dan melawan (resist) segala bentuk hegemoni Barat. Oleh karena itu, saat inilah waktu yang tepat untuk melakukan counterattack, sebagaimana Edward Said (2008) utarakan dalam buku Orientalisme “The worldwide hegemony of Orientalism and all it stands for can now be challenged, if we can benefit properly from the general twentieth-century rise to political and historical awareness of so many of the earth's peoples.” (Hegemoni yang luas dari Orientalisme and segala bentuknya, sekarang ini, bisa dilawan, jika kita bisa mengambil keuntungan secara tepat dari bangkitnya kesadaran historis dan politis dari berbagai umat manusia di penjuru dunia pada abad dua puluh ini).
Di sinilah kita bisa mengambil momen penting akan arus decolonialisasi dari negara-negara jajahan dan bekas jajahan untuk menegaskan kembali kedudukannya. Yakni dengan membangun diskursus Oksidentalisme, melalui pengkajian dan peninjauan ulang siapa Barat/Oksident sebetulnya. Oksidentalisme tidak hanya membongkar mitos kedigdayaan Barat yang disusun diskursus sebelumnya (Orientalisme), tetapi juga mengubah konstelasi dimana Timur menjadi subjek aktif yang mengkaji Barat. Bukan objek yang selalu dikangkangi Barat.
Edward Said memberi rambu-rambu untuk bentuk-bentuk perlawanan atas hegemoni Barat. Said mengingatkan bahwa ketiadakadilan dalam diskurus Orientalisme jangan sampai diproduksi kembali dalam diskursus Oksidentalisme. Sebagaimana Said (2013) katakan bahwa “No former "Oriental" will be comforted by the thought that having been an Oriental himself he is likely—too likely—to study new "Orientals"—or "Occidentals"—of his own making”. (Tidak ada bekas “Timur” yang akan senang atas pemikiran bahwa menjadi Timur itu sendiri, dia mungkin -sangat mungkin- untuk mempelajari sendiri dan membuat suatu bentuk “Timur” atau “Barat” yang baru). Sehingga, semangat dari Oksidentalisme adalah perlawanan, keadilan dan persamaan, bukan atas dasar penaklukan dan penindasan sebagaimana Orientalisme lakukan.
Konsep Oksidentalisme sebagai senjata untuk merebut pertempuran wacana merujuk pada pemikiran Hassan Hanafi. Sebagaimana diungkapkan Hassan Hanafi (2008) bahwa “Occidentalism is a discipline constituted in Third World countries in order to complete the process of decolonization. Military, economic and political decolonization would be incomplete without scientific and cultural decolonization.” (Oksidentalisme adalah disiplin keilmuan yang dibentuk di negara-negara Dunia Ketiga untuk menyempurnakan proses dekolonialisasi. Dekolonialisasi militer, ekonomi dan politik tidak akan lengkap tanpa dekolonialisasi budaya dan keilmuan.) Oksidentalisme adalah semangat untuk menyeimbangkan tendensi pembaratan/westernisasi yang terjadi di negara bekas jajahan.
Untuk menikam mati imperialisme, Oksidentalisme menjalankan tiga sikap, 1) sikap kritis terhadap tradisi lama. 2) sikap kritis terhadap Barat dan 3) sikap kritis terhadap realitas. Berbagai bentuk peninggalan kolonialisme yang hadir dalam tradisi dan karakter masyarakat bekas jajahan perlu dimusnahkan. Sikap jumud, rendah diri, terbelakang, oligarkis, feodal dan bermental inlander harus dimusnahkan demi mendapatkan jadi diri yang baru.
Dalam sikap kritis terhadap Barat, Oksidentalisme mengambil sumber pengetahuan baik dari intelektual Timur yang membongkar hegemoni Barat dan juga intelektual Barat yang memilih jalan kritis atas Barat. Dengan mengkaji Barat secara kritis, maka penjajahan akan bisa ditumpas dan ketergantungan atas segala sesuatu dari Barat akan bisa diputus.
Sikap yang ketiga dalam Oksidentalisme adalah kritis terhadap realitas. Hal ini dimaksudkan untuk selalu melihat apa yang terjadi sekarang secara kritis, tidak secara naive dan menerima apa adanya. Oksidentalisme harus bisa menerawang bagaimana Barat masih tetap melangsungkan penjajahannya dengan berbagai modus dan kedok. Pada tataran ini, Oksidentalisme bisa digunakan sebagai alat perlawanan atas neo imperialisme, atas segala bentuk penjajahan baru yang menghisap kekayaan Timur melalui shadow economic, multinational corporation, World Bank dan IMF. Membunuh semua begundal kolonial tersebut adalah apa yang harus dituntaskan Oksidentalisme.
Kemerdekaan saja tak cukup. Ia hanya pintu gerbang: jembatan emas. Modal membentuk negara yang mandiri, modern dan martabatif. Modal menggapai keadilan abadi dan kesejahteraan sosial. Agar modal ini tegak, oksidentalisme berdiri menemani dan mengisi kemerdekaan penuh.
Dus, oksidentalisme adalah upaya untuk mengikis habis serangan westernisasi yang sudah semakin meluas wilayah jangkauannya. Begitu luas dan tidak terbatas dalam kehidupan kenegaraan, seni, budaya dan agama, melainkan juga meluas ke dalam tata-cara kehidupan sehari-hari.
Kita harus sadar bahwa program utama westernisasi adalah mengkurikulumkan gerak langkah alienasi dan dominasi. Alienasi dari kedaulatan diri dan dominasi orang lain terhadap dirinya. Dus, westernisasi dan orientalisme itu memastikan keikhlasan manusia menjadi budak, budaknya bangsa-bangsa.
Oksidentalisme hadir tidak hanya sekedar respon atas maraknya tradisi orientalisme, tapi juga menjadi alternatif pembacaan kritis terhadap penjajah beserta kebudayaannya. Oksidentalisme merupakan peta jalan atas munculnya penolakan yang begitu besar terhadap penjajahan baru. Metoda ini dikerjakan dengan sikap rasional, kritis, melawan dan alternatif.
Perlawanan ini tentu bisa dikerjakan untuk menghasilkan dialog yang inklusif, moderat, rasional, dan mencari titik-titik kesamaan (konvergensi) demi mewujudkan cita-cita kemanusiaan dunia. Oksidentalisme, bersama ilmu postkolonial, triasekonomika dan psikohermeneutika adalah kwartet perealisasi janji proklamasi.(*)
Tambahkan Komentar