Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Melawan terus. Sebab penjajahan itu "never ending stories." Guna menikam mati penjajah yang mewariskan mental kolonial, kita kurikulumkan mental konstitusional. Tentu, tujuan utamanya save the nation: save the constitution.
Visinya melaksanakan Pancasila; meraih kemerdekaan abadi; kedamaian semesta; kebahagiaan hakiki; kesejahteraan berkelanjutan; dan keadilan subtansial. Misinya menerjemahkan mental konstitusional untuk melawan dan menghancurkan mental kolonial.
Tugas pokoknya merealisasikan trias revolusi: revolusi mental; revolusi nalar; revolusi konstitusional.
Dalam kurikulum ini, tesisnya tegas: semua bayi di republik ini lahir dahsyat dan cerdas. Warisan kolonialah yang menyebabkan mereka menjadi pengkhianat konstitusi. Mengkhianati konstitusi akhirnya melupakan janji kemerdekaan, lupa kemanusiaan.
Dari pengkhianatan konstitusi, lahirlah masyarakat miskin, bodoh dan konflik serta kesenjangan yang luar biasa dahsyatnya.
Dalam riset kami, sampai hari ini ditemukan ada 5 mental konstitusional sebagai modal kemajuan-kemartabatan Indonesia.
Aidul Fitriciada menegaskan bahwa UUD 1945 adalah revolutiegrondwet. Dalam konteks perjuangan dan perlawanan atas penjajahan, revolutiegrondwet tidak bisa diartikan sebagai Undang-Undang dasar kilat, namun diartikan sebagai Undang-Undang Revolusi.
Makna revolutie adalah perubahan cepat/revolusi. Sebuah gagasan untuk berubah secara cepat dari alam penindasan dan penjajahan yang didasari konstitusi kolonial ke dalam alam merdeka yang berkeadilan dengan dasar konstitusi revolusi.
Maka, alat untuk melawan kolonialisme dan penyakit-penyakit yang masih ditinggalkannya adalah dengan konstitusi revolusi yang sangat serius. Konstitusi yang merubah tatanan masyarakat, negara, ekonomi dan mentalitas Indonesia.
Kita tahu bahwa untuk menikam mati mental kolonial harus dihadapi dengan mental konstitusional: berketuhanan, berkemanusiaan, bergotong-royong, bermusyawarah atau berdemokrasi dan berkeadilan. Inilah lima mental dari Pancasila yang disebut mental konstitusional.
Bagaimana penjelasan pendeknya? Pertama, berketuhanan. Mental ini bermakna “hanya takut dan cinta kepada Tuhan.” Sebab semua punah kecuali Dia. Maka, semua manusia sama dan sederajat: apapun warna kulit, kelamin, agama, suku, bahkan harta dan kecerdasannya.
Yang membedakan hanya prestasi dan rekam jejaknya. Sepanjang ia bisa berprestasi dan tak bersalah maka ia bisa memimpin dan memajukan negara. Ia tak takut pada sesama karena sesama bertugas membuat prestasi kebaikan.
Kedua, berkemanusiaan. Mental ini dirumuskan dengan kalimat “tugas manusia adalah menjadi manusia maka lihatlah sesama manusia.” Ia bertindak tak bahagia di atas derita sesama dan tak sedih di atas bahagia sesama. Makin tinggi laku, kuasa, kapital serta spiritualnya dicirikan dengan praktik memanusiakan manusia karena kemampuannya menundukkan nafsu barbariknya.
Ketiga, bergotong-royong. Mental ini dijiwai dengan semangat anti gotong-nyolong. Dus, sikapnya adalah “satu untuk semua dan semua untuk satu; holupis kuntul baris.” Modelnya pemerataan dan kebersamaan. Rezimnya bersifat semesta dan holistik; bukan parsial dan sekadarnya.
Keempat, berdemokrasi. Mental ini berdimensi terpimpin. Berlaku dalam barisan dan pasukan; bukan kerumunan dan kesaling-pengkhianatan. Menjadi panitia kesejahteraan dan keadilan dalam semua dimensi kenegaraan dan kewargaan.
Dalam demokrasi ini, ekopolnya bersama dalam nurani keindonesiaan, kenusantaraan dan keatlantisan.
Kelima, berkeadilan. Mental ini menjadi inti dari semua cita-cita; alat sekaligus tujuan dalam kehidupan warga dan negara. Keadilan berdimensi kemakmuran, kenalaran, kemodernan, kedaulatan, kemandirian dan kemerdekaan abadi. Adil adalah jalan bahagia. Dan, bahagia karena berlaku adil.
Inilah lima mental yang berdimensi spiritualis, intelektualis, sosio-kapitalis dan menzaman. Dengan lima mental ini, negara dan warganya menjadi sehat jiwa dan raganya. Tanpa kelima tersebut, Indonesia akan masuk kembali ke cengkraman imperialisme (baru) yang menindas dan memiskinkan jiwa dan harta.
Dalam diri warganegara yang sehat mentalnya adalah mereka yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup; merasa bahwa dirinya berguna; berharga dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dan membawa kebahagiaan dan keberkahan bagi sesama: tata manusia, tata negara dan tata alam raya. Ini mental baru kita.(*)
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Melawan terus. Sebab penjajahan itu "never ending stories." Guna menikam mati penjajah yang mewariskan mental kolonial, kita kurikulumkan mental konstitusional. Tentu, tujuan utamanya save the nation: save the constitution.
Visinya melaksanakan Pancasila; meraih kemerdekaan abadi; kedamaian semesta; kebahagiaan hakiki; kesejahteraan berkelanjutan; dan keadilan subtansial. Misinya menerjemahkan mental konstitusional untuk melawan dan menghancurkan mental kolonial.
Tugas pokoknya merealisasikan trias revolusi: revolusi mental; revolusi nalar; revolusi konstitusional.
Dalam kurikulum ini, tesisnya tegas: semua bayi di republik ini lahir dahsyat dan cerdas. Warisan kolonialah yang menyebabkan mereka menjadi pengkhianat konstitusi. Mengkhianati konstitusi akhirnya melupakan janji kemerdekaan, lupa kemanusiaan.
Dari pengkhianatan konstitusi, lahirlah masyarakat miskin, bodoh dan konflik serta kesenjangan yang luar biasa dahsyatnya.
Dalam riset kami, sampai hari ini ditemukan ada 5 mental konstitusional sebagai modal kemajuan-kemartabatan Indonesia.
Aidul Fitriciada menegaskan bahwa UUD 1945 adalah revolutiegrondwet. Dalam konteks perjuangan dan perlawanan atas penjajahan, revolutiegrondwet tidak bisa diartikan sebagai Undang-Undang dasar kilat, namun diartikan sebagai Undang-Undang Revolusi.
Makna revolutie adalah perubahan cepat/revolusi. Sebuah gagasan untuk berubah secara cepat dari alam penindasan dan penjajahan yang didasari konstitusi kolonial ke dalam alam merdeka yang berkeadilan dengan dasar konstitusi revolusi.
Maka, alat untuk melawan kolonialisme dan penyakit-penyakit yang masih ditinggalkannya adalah dengan konstitusi revolusi yang sangat serius. Konstitusi yang merubah tatanan masyarakat, negara, ekonomi dan mentalitas Indonesia.
Kita tahu bahwa untuk menikam mati mental kolonial harus dihadapi dengan mental konstitusional: berketuhanan, berkemanusiaan, bergotong-royong, bermusyawarah atau berdemokrasi dan berkeadilan. Inilah lima mental dari Pancasila yang disebut mental konstitusional.
Bagaimana penjelasan pendeknya? Pertama, berketuhanan. Mental ini bermakna “hanya takut dan cinta kepada Tuhan.” Sebab semua punah kecuali Dia. Maka, semua manusia sama dan sederajat: apapun warna kulit, kelamin, agama, suku, bahkan harta dan kecerdasannya.
Yang membedakan hanya prestasi dan rekam jejaknya. Sepanjang ia bisa berprestasi dan tak bersalah maka ia bisa memimpin dan memajukan negara. Ia tak takut pada sesama karena sesama bertugas membuat prestasi kebaikan.
Kedua, berkemanusiaan. Mental ini dirumuskan dengan kalimat “tugas manusia adalah menjadi manusia maka lihatlah sesama manusia.” Ia bertindak tak bahagia di atas derita sesama dan tak sedih di atas bahagia sesama. Makin tinggi laku, kuasa, kapital serta spiritualnya dicirikan dengan praktik memanusiakan manusia karena kemampuannya menundukkan nafsu barbariknya.
Ketiga, bergotong-royong. Mental ini dijiwai dengan semangat anti gotong-nyolong. Dus, sikapnya adalah “satu untuk semua dan semua untuk satu; holupis kuntul baris.” Modelnya pemerataan dan kebersamaan. Rezimnya bersifat semesta dan holistik; bukan parsial dan sekadarnya.
Keempat, berdemokrasi. Mental ini berdimensi terpimpin. Berlaku dalam barisan dan pasukan; bukan kerumunan dan kesaling-pengkhianatan. Menjadi panitia kesejahteraan dan keadilan dalam semua dimensi kenegaraan dan kewargaan.
Dalam demokrasi ini, ekopolnya bersama dalam nurani keindonesiaan, kenusantaraan dan keatlantisan.
Kelima, berkeadilan. Mental ini menjadi inti dari semua cita-cita; alat sekaligus tujuan dalam kehidupan warga dan negara. Keadilan berdimensi kemakmuran, kenalaran, kemodernan, kedaulatan, kemandirian dan kemerdekaan abadi. Adil adalah jalan bahagia. Dan, bahagia karena berlaku adil.
Inilah lima mental yang berdimensi spiritualis, intelektualis, sosio-kapitalis dan menzaman. Dengan lima mental ini, negara dan warganya menjadi sehat jiwa dan raganya. Tanpa kelima tersebut, Indonesia akan masuk kembali ke cengkraman imperialisme (baru) yang menindas dan memiskinkan jiwa dan harta.
Dalam diri warganegara yang sehat mentalnya adalah mereka yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup; merasa bahwa dirinya berguna; berharga dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dan membawa kebahagiaan dan keberkahan bagi sesama: tata manusia, tata negara dan tata alam raya. Ini mental baru kita.(*)
Tambahkan Komentar