Prof Dr Dawam Rahardjo waktu masih sehat tahun 2012. Foto: Kompas.com |
Direktur Eksekutif Nusantara Centre, Indonesia
IA yang bertalenta. Plural dan kritis. Sederhana dan zuhud. Berpulang saat ummat melarat dan negara diisi para pengkhianat. Ia pergi selamanya saat hubungan kami (guru murid) makin dekat. Buku-bukunya berjejer di rak perpusku dan kurujuk tiap mengetik ekonomi indonesia.
Ia tak menitip pesan apapun saat elite ummat yang miskin mental, minus ide dan defisit gagasan akibat penjajahan, membuat islam terpuruk sedalam-dalamnya.
Ya. Hobi sebagian pemuka agama kita dari dulu menjual ayat-ayat dengan harga yang kelewat murah. Hanya demi sego lan rupo. Bisnis terbaiknya baru menjualkan kurma dan jilbab: itupun bukan produk sendiri.
Saat negara hancur, mereka ajak sujud dan ziarah. Saat rakyat miskin, mereka kasih kisah-kisah dalam kitab. Saat kota-kota macet dan semrawut, mereka tuliskan fatwa. Saat kehancuran melanda, mereka ajak berdoa. Saat para elite korup, mereka kasih dukungan dengan mengirim proposal pembangunan rumah ibadah dan pergi umrah. Saat kaum muda butuh duit buat sekolah, mereka ajak tahlilan.
Jika saja produsen fatwa agama di negara ini sebanyak riset-riset dan temuan saint iptek, betapa majunya warga kita. Betapa keren martabat negara kita di mata Tuhan dan dunia. Tetapi yang terjadi, kita hanya mengulang-ulang fatwa purba yang diproduksi 1000 tahun lalu di tanah yang tak bisa disamakan dengan tanah-tanah kita. Absurd dan ilutif.
Begitulah agama "islam" kini di tangan para begundal lokal yang hidup di parpol-parpol dan ormas. Tidak ada program jenius dan dahsyat yang mereka jalankan selain menggunakan mimbar pengajian untuk menipu, merampok dan takfiri sambil bangga sudah pasti dapat syorga.
Saat menjenguknya ketika sakit, aku sempat bertanya, "kapan awan hitam di negeri ini sirna?" Jawab beliau tegas, "saat yang muda dan idealis memimpin."
Ini jenis pertanyaanku yang sama pada Tan Malaka, Sukarno, Hatta, Syahrir dan Kartosuwiryo. Hari-hari ini pertanyaan itu terus lahir dan mengusik jiwaku. Sebab, nalar yang sedang gelisah tak ketemu obatnya. Yang ada hanya daun-daun berguguran. Terbang bingung dan satu-satu jatuh ke jalanan. Hancur. Berkeping.
Lama kita tenggelam ke dalam dekapan fanatisme pasar. Menari dalam gelak si kafir. Menggilas bermusim yang miskin dan papa. 2014 lalu kita mencapai ketersesatan yang jauh. Ya jauh sekali. Mengkhianati konstitusi. Sesat terlaknat.
Kini semua bukan milik kita. Diambil begundal istana. Memang, musim sejahtera telah berlalu. Musim gelap matahari segera berganti, tapi entah kapan. Lalu terdiam gelisah menanti tetes embun keadilan. Sampai-sampai kita tak kuasa memandang elite yang serakah. Yang buta bahwa pengkhianatan dari orang yang kita hormati, sungguh menjadi kebiadaban semesta: penghancur peradaban.
Subuh yang mistis. Sahur saat gerimis. Ramadan tak lagi syahdu. Kematian adalah batu pisah dan pondasi rindu.
Prof Dawam, sampai ketemu kita di depan Tuhan. Yasinku buatmu. GBU.(*)
Tambahkan Komentar