Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Melengkapi kajian tokoh Karen, Hitti, Dawam dan Albert, kini kita bicara Rahman. Ini tokoh kelima yang dibahas di Nusantara Centre sebagai cara kami beramadan.
Bagi kaum muslim, lailatul qadar itu venting. Ia yang hadir di bulan ramadan dan beberapa ulama percaya Alquran turun saat malam itu. Maka, mumpung masih ramadan dan mencari malam keramat tersebut, aku ingin berbagi kisah pendek salah satu guru tidak langsung dalam islamic studies yang menulis karya terobosan soal metodologi memahami Alquran.
Dialah sang neomodernis, Fazlur Rahman. Kita akan mencandra via bukunya, "Major Themes of the Qur'an (Tema-tema Pokok dalam Alquran)" yang diterbitkan oleh University of Chicago Press, tahun 2009.
Karya penting lainnya adalah, "Islam," terbitan University of Chicago Press, 1979. Lalu, berturut-turut, "Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition," terbitan University of Chicago Press, 1982. Revival and Reform in Islam (ed. Ebrahim Moosa), terbitan Oneworld Publications, 1999. Islamic Methodology in History, terbitan Central Institute of Islamic Research, 1965. Health and Medicine in the Islamic Tradition, terbitan Crossroad Pub Co, 1987.
Dari beberapa karyanya, Rahman masuk kategori modernis (neomodernis lebih tepat) karena ramah pada temuan masa depan dan menjaga warisan masa lalu.
Itulah mengapa, cara dia menulis selalu kaya akan literatur kuno dan berlimpah dengan literatur baru.
Dalam studi Alquran misalnya, deretan bibliografinya fantastis. Menurutnya, Alquran itu seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Karena bahasa Arab adalah produk budaya sekaligus bahasa yang dipergunakan Muhammad maka secara otomatis “bahasa” Alquran adalah bahasa yang dimengerti, digunakan dan disebarkan olehnya. Tentu, ada beberapa serapan, tetapi sudah diarabkan.
Karena itu, setiap kitab (suci) keagamaan merupakan respon situasional. Itulah mengapa ia menggunakan bahasa setempat dan menggambarkan problem-problem hari itu serta memberi solusinya. Singkatnya, Alquran misalnya adalah rekaman kisah klasik.
Itulah cacat bawaannya. Ia tak selalu menjawab soal-soal hari ini dan ke depan. Maka, ia tak mudah direplikasi. Tak mudah diimplementasi. Tak mudah ditafsiri.
Mengapa begitu? Sebab, bagi Rahman, wahyu adalah ide yang masuk secara tiba-tiba ke dalam benak Muhammad. Wahyu hanyalah gagasan yang jelas tetapi bisa berasal dari mana saja, dan kemudian Muhammad menjadi “kepanjangan tangan” dari ide tersebut. Dus, Muhammad bukan hanya kreator tetapi sekaligus "legitimator" bagi ide-ide tersebut.
Karena itu, metode yang ditawarkan Rahman untuk memahaminya adalah dengan teori double movement. Yaitu metode gerakan ganda (bolak-balik).
Pertama, cara yang mesti ditempuh untuk menafsirkan adalah dengan kembali ke masa lalu. Kita berusaha melihat bagaimana pemahaman awal tentang Alquran, konteks di mana ia turun, dan sebagianya. Di sini nalar tradisionalitas harus menjadi dasarnya.
Kedua, kita harus melihat ke masa kini dan masa depan. Tentu dengan berbekal pemahaman akan ruh universal terhadap penafsiran dari yang pertama, untuk kemudian mengkontekstualisasikannnya. Di sini nalar modernitas harus menjadi dasarnya.
Itulah gabungan dua nalar, dua gerakan. Yaitu menjaga kearifan masa lalu dan mencipta kearifan kebaruan.
Dengan dua nalar itu, Rahman menemukan 8 tema utama dalam Alquran. Kedelapan tema utama tersebut adalah: tema soal Tuhan; tema soal manusia sebagai individu; tema soal manusia sebagai anggota masyarakat; tema soal alam semesta; tema soal kenabian dan wahyu; tema soal eskatologi/akhirat; tema soal setan dan kejahatan; tema soal lahirnya masyarakat islam.
Singkatnya, dengan metoda itu Alquran menjadi kitab ringkasan theo-antro-eco-centris yang resiprokal mutualis. Kehadirannya saling mendukung, bukan mendominasi.(*)
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Melengkapi kajian tokoh Karen, Hitti, Dawam dan Albert, kini kita bicara Rahman. Ini tokoh kelima yang dibahas di Nusantara Centre sebagai cara kami beramadan.
Bagi kaum muslim, lailatul qadar itu venting. Ia yang hadir di bulan ramadan dan beberapa ulama percaya Alquran turun saat malam itu. Maka, mumpung masih ramadan dan mencari malam keramat tersebut, aku ingin berbagi kisah pendek salah satu guru tidak langsung dalam islamic studies yang menulis karya terobosan soal metodologi memahami Alquran.
Dialah sang neomodernis, Fazlur Rahman. Kita akan mencandra via bukunya, "Major Themes of the Qur'an (Tema-tema Pokok dalam Alquran)" yang diterbitkan oleh University of Chicago Press, tahun 2009.
Karya penting lainnya adalah, "Islam," terbitan University of Chicago Press, 1979. Lalu, berturut-turut, "Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition," terbitan University of Chicago Press, 1982. Revival and Reform in Islam (ed. Ebrahim Moosa), terbitan Oneworld Publications, 1999. Islamic Methodology in History, terbitan Central Institute of Islamic Research, 1965. Health and Medicine in the Islamic Tradition, terbitan Crossroad Pub Co, 1987.
Dari beberapa karyanya, Rahman masuk kategori modernis (neomodernis lebih tepat) karena ramah pada temuan masa depan dan menjaga warisan masa lalu.
Itulah mengapa, cara dia menulis selalu kaya akan literatur kuno dan berlimpah dengan literatur baru.
Dalam studi Alquran misalnya, deretan bibliografinya fantastis. Menurutnya, Alquran itu seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Karena bahasa Arab adalah produk budaya sekaligus bahasa yang dipergunakan Muhammad maka secara otomatis “bahasa” Alquran adalah bahasa yang dimengerti, digunakan dan disebarkan olehnya. Tentu, ada beberapa serapan, tetapi sudah diarabkan.
Karena itu, setiap kitab (suci) keagamaan merupakan respon situasional. Itulah mengapa ia menggunakan bahasa setempat dan menggambarkan problem-problem hari itu serta memberi solusinya. Singkatnya, Alquran misalnya adalah rekaman kisah klasik.
Itulah cacat bawaannya. Ia tak selalu menjawab soal-soal hari ini dan ke depan. Maka, ia tak mudah direplikasi. Tak mudah diimplementasi. Tak mudah ditafsiri.
Mengapa begitu? Sebab, bagi Rahman, wahyu adalah ide yang masuk secara tiba-tiba ke dalam benak Muhammad. Wahyu hanyalah gagasan yang jelas tetapi bisa berasal dari mana saja, dan kemudian Muhammad menjadi “kepanjangan tangan” dari ide tersebut. Dus, Muhammad bukan hanya kreator tetapi sekaligus "legitimator" bagi ide-ide tersebut.
Karena itu, metode yang ditawarkan Rahman untuk memahaminya adalah dengan teori double movement. Yaitu metode gerakan ganda (bolak-balik).
Pertama, cara yang mesti ditempuh untuk menafsirkan adalah dengan kembali ke masa lalu. Kita berusaha melihat bagaimana pemahaman awal tentang Alquran, konteks di mana ia turun, dan sebagianya. Di sini nalar tradisionalitas harus menjadi dasarnya.
Kedua, kita harus melihat ke masa kini dan masa depan. Tentu dengan berbekal pemahaman akan ruh universal terhadap penafsiran dari yang pertama, untuk kemudian mengkontekstualisasikannnya. Di sini nalar modernitas harus menjadi dasarnya.
Itulah gabungan dua nalar, dua gerakan. Yaitu menjaga kearifan masa lalu dan mencipta kearifan kebaruan.
Dengan dua nalar itu, Rahman menemukan 8 tema utama dalam Alquran. Kedelapan tema utama tersebut adalah: tema soal Tuhan; tema soal manusia sebagai individu; tema soal manusia sebagai anggota masyarakat; tema soal alam semesta; tema soal kenabian dan wahyu; tema soal eskatologi/akhirat; tema soal setan dan kejahatan; tema soal lahirnya masyarakat islam.
Singkatnya, dengan metoda itu Alquran menjadi kitab ringkasan theo-antro-eco-centris yang resiprokal mutualis. Kehadirannya saling mendukung, bukan mendominasi.(*)
Tambahkan Komentar