Nasr Hamid Abu Zaid |
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Begitulah. Yang tersisa dari islam hanya "rasa marah." Mereka tertinggal jauh sekali dari peradaban lain. Diskusi tak tertradisi. Temuan-temuan tekhnologi hanya mimpi. Karena itu, ketika Nasir Hamid melakukan kritik internal, semua karyanya dituduh melecehkan ajaran Islam, menghujat Muhammad, menodai Alquran dan menghina ulama purba.
Tokoh ini merupakan pemikir kesebelas yang kami diskusikan di Nusantara Centre. Seorang pemikir serius dan gelisah dengan berkembangnya fundamentalisme romantik pengubur peradaban muslim.
Nama lengkapnya Nashir Hamid Abu Zayd, Alhafidz (Mesir, 10 Juli 1943). Pendidikannya mulai S1-S3 di jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo dengan predikat Highest Honous. Ia pernah di Amerika selama 2 tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institut of Midlle Eastern Studies University of Pensylivania Philadelphia USA. Di masa tua ia menjadi profesor tamu di Univ Leiden, Belanda.
Apa sih pikiran-pikirannya sampai ia dikafirkan dan dimusuhi ummat? Inti pemikirannya ada di hermeneutika. Dari yang inti ini kemudian kritiknya menjalar ke banyak bidang.
Nashir Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (najh tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) ketika mengkaji Alquran. Dengan metode ini, manusia menjadi mungkin untuk mengkaji teks dan memahami Islam.
Hakikat teks merupakan persoalan mendasar dalam hermeneutika. Teks selalu berwujud dalam bahasa manusia, sehingga dapat dimengerti. Dus, taks tak berdimensi ilahi (divine dimension). Teks perlu mengadaptasi diri karena Tuhan ingin berkomunikasi kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti.
Jadi, dalam pandangan Hamid, Alquran adalah bahasa manusia (the Qur’an is human language). Singkatnya, dari teks Ilahi (divine text) menjadi teks manusiawi (human text) sejak awal kehadirannya.
Oleh sebab itu Alquran adalah produk budaya (muntaj thaqafi) dan produsen budaya (muntij li al-thaqafah), sehingga menjadi hegemonik serta menjadi sumber atau rujukan bagi teks yang lain.
Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Hamid juga menganggap Alquran sebagai teks bahasa (nas lughawi). Realitas, budaya dan bahasa merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Dus, Alquran adalah teks historis (a historical text).
Empat posisi (historisitas teks, realitas, budaya dan bahasa) menunjukkan bahwa Alquran adalah teks manusiawi (nas insani), diperuntukkan untuk manusia dan bekerja untuk semesta raya. Dus, tugas Alquran dan pecintanya adalah menumpas jahiliyah, melumpuhkan kebodohan.
Karya-karyanya sangat serius dan menusuk. Di antaranya adalah, "Al-Ittijah al-‘aqliyah fi Tafsir: Dirosah fi mafhum al-majaz ‘inda al-Mu’tazilah, Bairut, (1982); Falsafat al-Ta’wil Al-Qur’an ‘indi Muhyiddin inb Arabi, Bairut, (1983); Mafhum An-Nashsh: Dirosah fi ulumul Qur’an, Cairo, (1987); Isykaliyyat al-Qiro’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, Cairo, (1992);
Naqd al-khitab ad diniy, (1993); Al-Imam asy syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-wasathiyyah, Cairo (1995); Al-Ittijah al-‘Aqli fi al-Attafsir: Dirosah fi Qodiyat al-Majas fi Al-Qur’an ‘inda Mu’tazilah, (1996); Falsafah al-’Takwil: Dirosah fi al-Ta’wil ‘inda Muhyiddin ibnu ‘Arabi, (1997)."
Memang, kajian teks menempatkan pola pembuatan dan posisi Alquran di mata ummat. Al-Zarkasyi dalam kitabnya Burhân fî Ulûm al-Qur’ân menyebut tiga pendapat mengenai turunnya: Pertama, Alquran turun dengan lafal dan maknanya dari Allah;
Kedua, Alquran turun kepada Jibril hanya maknanya saja, kemudian Jibril membahasakannya dengan bahasa Arab ketika menyampaikannya kepada Muhammad;
Ketiga, Alquran turun secara makna kepada Jibril, lalu Jibril menyampaikannya kepada Muhammad juga secara makna, dan Muhammadlah yang membahasakannya dengan menggunakan medium bahasa Arab.
Sedang posisinya juga ada tiga. Pertama, Alquran adalah antitesa dari semua peradaban yang ada. Kedua, Alquran adalah tiruan belaka dari peradaban yang ada. Ketiga, Alquran adalah hibridasi dari peradaban yang ada dan pikiran-pikiran Muhammad dan para pengikutnya.
Di atas segalanya, Ramadan ini waktu tepat membaca ummat dengan cara Hamid agar bangkit memipin dan memberi teladan: kejeniusan dan kecemerlangan dengan ilmu, amal dan tekhnologi.(*)
Tambahkan Komentar