Ilustrasi: dreamstime.com |
Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kota Surabaya
Para sahabat Rasulullah punya latarbelakang ras yang berbeda-beda. Sangat plural dan multkultural. Ada Bilal yang dari Afrika, ada Salman yang berasal dari Persia, dan ada juga Suhaib bin Sinan yang berasal dari Romawi (Byzantium), dan tentu saja dari berbagai suku Arab. Demikian pula latarbelakang kehidupan dan pekerjaannya.
Bahkan, untuk mempererat ukhuwah Islamiyah, Rasulullah mempersaudarakan kaum muhajirin (imigran) dan kaum Anshar (muslim pribumi). Abdurrahman bin Auf yang berhijrah dari Makkah dipersaudarakan dengan Saad bin Rabi al-Anshari, Umar bin Khattab dengan ‘Itban bin Malik, Abu Bakar Asshiddiq dengan Kharijah bin Zaid, dan sebagainya. Tak hanya itu, beliau juga memiliki istri dengan berbagai latarbelakang yang berbeda.
Dengan caranya yang khas dan pantas diteladani, Rasulullah berhasil menenun perbedaan dengan indah. Beliau sadar apabila perbedaan adalah sebuah fitrah. Oleh karena itu penting kiranya mencari titik temu, bukan titik tengkar atas perbedaan tersebut. Fanatisme kesukuan ditekan, kebanggaan rasial dihilangkan, dan superioritas marga dihapus.
Oleh karena itu, ketika mendengar sahabat Abi Dzar al-Ghifari “kesleo lidah” mengejek sahabat Bilal bin Rabah dengan ucapan rasis, saat itu pula Rasulullah marah. Meskipun sudah dimaafkan oleh Bilal, namun Abi Dzar senantiasa menyesali peristiwa ini sepanjang hayat beliau.
Dalam peristiwa lain, Rasulullah juga menghormati perbedan pendapat di antara para sahabat. Misalnya ketika para sahabat berangkat dalam ekspedisi ke perkampungan Bani Quraidzah. Sebelum berangkat, Rasulullah berpesan agar shalat ketika sampai tujuan. Ketika pasukan berada di tengah perjalanan, terdapat perbedaan. Sebagian kelompok memilih shalat ashar pada saat itu juga. Sedangkan para sahabat lainnya memegang teguh amanah Rasulullah agar shalat ketika sampai tujuan. Di kemudian hari, ketika peristiwa ini disampaikan kepada Sang Insan Kamil, beliau mendiamkan, tanda menghormati perbedaan pendapat di kalangan sahabatnya.
Dengan bercermin pada beberapa peristiwa di atas, kita bisa menilai apabila perbedaan adalah sesuatu yang natural namun butuh pengelolaan yang baik, figur pemersatu yang bisa dipercaya, dan alat pemersatu yang efektif. Dalam konteks kebangsaan, kita bersyukur bahwa hingga saat ini kita bisa menyikapi perbedaan dengan bijak. Meskipun beberapa kali terjadi pergesekan berdarah akibat perbedaan rasial dan agama, seperti kasus Sampit dan Ambon, namun hal ini menjadi pelajaran buruk agar tidak terulang lagi di masa mendatang.
Dengan komposisi 230 juta penduduk, yang ditunjang dengan kekayaan 17.504 pulau, ratusan etnis, dengan ratusan bahasa daerah, Indonesia bisa dibilang “rawan pecah”. Namun, hingga saat ini Pancasila masih tetap relevan menjadi alat pemersatu dan bahasa Indonesia masih menjadi bahasa persatuan yang efektif.
Jika anda menonton Chennai Express yang dibintangi Shah Rukh Khan, anda bisa melihat negara sebesar India ternyata belum memiliki bahasa persatuan. Bahasa Hindi memang ada. Tapi ini hanya menjadi bahasa dominan di India Utara, bukan di kawasan selatan yang menggunakan bahasa Tamil dan Malayalam. Bahasa Inggris juga ada. Tapi itu adalah bahasa akademis dan administratif di sana. Dengan demikian, seringkali terjadi kesenjangan di utara dan selatan India gara-gara tidak adanya bahasa pemersatu yang menjembatani perbedaan wilayah dan etnis ini.
Dengan demikian, bersyukurlah karena pada 28 Oktober 90 tahun silam, para pemuda mengumandangkan sumpah bahwa bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu.
Karena itulah, apabila ada pergesekan horizontal yang diakibatkan oleh perkara politik dan sebagainya, sudah seharusnya sadar apabila perbedaan adalah anugerah. Setiap hal yang berbeda harus dicari titik temunya untuk menghasilkan sesuatu yang positif.
Dalam sepakbola, kita punya memori manis atas keberhasilan Tim Garuda Muda U-19. Ketika pertama kali diberi amanah sebagai pelatih timnas U-19, Indra Sjafri menyadari segala keterbatasan, baik soal dana maupun fasilitas. Oleh karena itu, yang dia lakukan adalah keliling Nusantara mencari talenta terbaik dari berbagai daerah. Karena itu kita kemudian mengenal Evan Dimas (Jawa), Oktavianus SItanggang (Batak), Ilhamuddin Armayn (Maluku), I Putu Gede (Bali), Zulfiandi (Aceh) Pahabol (Papua), Yabes Roni Malaifani (NTT) dan sebagainya. Semua potensi ditampilkan sebagai sebuah harmoni. Egosentrisme ditekan, talenta dimaksimalkan, kerjasamaa diefektifkan. Hasilnya, dahsyat. Timnas Garuda Muda jawara AFF Cup 2013.
Karena itu, segala perbedaan horizontal di berbagai bidang sudah seharusnya menjadi kekuatan, bukan alasan perpecahan. Apa yang dilakukan Indra Sjafri dengan potensi Nusantara yang dia susun menjadi pelajaran bagi kita. Sebagaimana taman yang tampak indah jika banyak varian bunga di dalamnya, demikia pula dengan kenyataan yang ada. Niatan untuk menghapus perbedaan yang ada dengan alasan persatuan adalah tindakan yang kontraproduktif, sebab akan menghilangkan cirikhas unsur yang ada. Dalam aspek multikulturalisme, yang Jawa tetaplah menjadi Jawa dengan segala kekayaan budayanya, demikian pula yang Madura, Aceh, Papua, dan Maluku, tanpa harus menghilangkan ciri khasnya masing-masing. Dengan cara ini kita bisa menghargai indahnya perbedaan di antara anak bangsa.
Menyikapi Keberagaman Madzhab
Bagi saya, beragamnya madzhab dalam fiqh merupakan penanda bahwa ada dinamika pemikiran di kalangan ulama. Varian madzhab yang ada justru meniscayakan adanya perbedaan hasil ijtihad. Oleh karena itu, upaya standarisasi madzhab dengan menerapkan satu-satunya madzhab resmi yang diakui negara akan melahirkan stagnasi pemikiran.
Dalam sebuah pertemuan, Khalifah Harun Arrasyid menyampaikan keinginannya kepada Imam Malik bin Anas, “Wahai Abu Abdillah, kami akan menulis karya-karyamu dan akan kami sebar di berbagai penjuru negeri kaum muslimin agar menjadi standar bagi umat,”
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya perbedaan ulama adalah rahmat dari Allah kepada umat ini. Semuanya mengikuti apa yang menurut mereka benar. Semuanya berada dalam hidayah-Nya dan bertujuan karena Allah.”
Imam Malik menyadari apabila ide Harun Arrasyid tampak indah, namun justru akan menutup peluang ikhtilaf di kalangan ulama. Ini berbahaya karena akan menghasilkan stagnasi pemikiran Islam. Oleh karena itu, setiap perbedaan adalah anugerah yang harus dicari titik temunya, bukan titik tengkarnya. Isu sektarian dalam beragama yang selama ini digulirkan harus diakhiri untuk kemudian dicarikan bahasan lain yang lebih produktif dan bermanfaat.
Di Indonesia, sejak awal abad 20 sudah ada kelompok yang membesarkan perkara ikhtilaf dalam soal furui’yah. Ke sana kemari yang dibahas soal-soal klasik yang sudah dijawab oleh para ulama salaf beberapa abad sebelumnya. Karena bahasannya sangat sensitif, maka timbul pertentangan, muncul gesekan yang kontraproduktif dengan wacana persatuan kaum muslimin. Sebab, pihak yang dituduh juga memiliki hujjah kuat atas amaliah yang dilakukan.
Di sinilah pentingnya kesadaran tidak memaksakan pendapat kelompok kepada golongan lain yang sudah memiliki argumentasi kuat. Sebab, yang menjadi masalah bukan adanya banyak madzhab, melainkan bagaimana seharusnya bersikap dan membangun komunikasi antara satu kelompok dengan golongan lainnya.
Letak salah kaprah lainnya adalah pada sikap melampau batas. Yang terakhir, terletak pada ketidakpahaman dalam membangun sebuah peradaban. Ketiga hal ini lah yang selama ini menjadi masalah tersendiri di dalam menyikapi perbedaan dalam Islam.
Oleh karena itu, dalam menyikapi berbagai perbedaan antara berbagai kelompok dalam Islam, dibutuhkan kebijaksanaan, sebagaimana yang dikatakan oleh Habib Umar bin Hafidz, “Jika semua ulama yang berdakwah hanya mengajak kepada kelompoknya, mengajak kepada madzhabnya, mengajak kepada thariqahnya, lalu siapa yang akan mengajak kepada Allah SWT?”
Wallahu A’lam Bisshawab
(Dimuat di Majalah TEBUIRENG edisi Juli-Agustus 2018)
Tambahkan Komentar