Foto: anang inung |
Oleh: Nur Kholik Ridwan
“Karena itulah kaum penganjur tarekat (dikenal di sini sebagai kaum tasawuf, kaum sufi) selalu menekankan pentingnya menjalankan syariat sebelum bertasawuf. Pandangan semacam ini dikenal di kalangan NU dan kaum tradisionalis lain dengan ungkapan “Man yatahaqqoqu wa lam yatasyarro’ wahuwa zindiqun” (Orang yang berpandangan haqiqat dan tidak menjalankan syariat adalah orang sesat).
(Gus Dur, Menjawab Kegelisahan Rakyat, 2007: 104).
(Gus Dur, Menjawab Kegelisahan Rakyat, 2007: 104).
Perkataan Gus Dur “Man yatahaqqoqu wa lam yatasyarro’ wahuwa zindiqun”, adalah hikmah yang memiliki makna sama dengan kata-kata yang sering dikutip di kalangan ahli tasawuf, bersumber dari Imam Malik: “Man tashowwafa walam yatafaqqoh faqod tazandaqo waman tafaqqoha walam yatashowwaf faqod tafassaqo waman jamma'a bainahuma (tafaqqoha wa tashowwafa) faqod tahaqqoqo,” sebagaimana dikutip dari Syaikh Ali al-Adwi dalam Hasyiyahnya atas Syarah Allamah az-Zarqoni ala Matn al-Izziyah fil Fiqhil Maliki, dan Mulla Ali al-Qori dalam Syarah Ainul Ilmi wa Zainul Hilm.
Gus Dur mengutip kata-kata hikmah itu, untuk menjelaskan tentang faham Wahdatul Wujud, yang menurutnya: “Kesimpulan dari pandangan ini (hikmah ini, maksudnya) anggapan para ulama tradisionalis kita yang menolak Wahdatul Wujud-Nya Ibnu Arobi, melainkan melarang penyebarannya di kalangan mereka yang masih awam” (Gus Dur Tasawuf dan Kebatinan/Kejawen, hlm. 104-105).
Bahkan Gus Dur menyebutkan: “Ulama tradisionalis kita banyak yang mengambil ajaran Wahdatul Wujud itu bagi diri mereka sendiri, karena mereka telah menguasai syariat, yang dalam hal ini berbentuk fiqh” (Ibid).
Wahdatul Wujud adalah pandangan memahami al-Wujud yang dinisbahkan kepada Ibnu Arobi, dan secara teoretis diungkapkan oleh murid-muridnya. Dalam pandangan Wahdatul Wujud di Nusantara, di antaranya mengambil rujukan dari penjelasan kitab kecil “At-Tuhfatul Mursalah ilâ Rûhin Nabî” (versi lampiran dalam AH Johns) yang dikarang Syaikh Fadhlulloh al-Burhanfuri (dia adalah salah satu penganut tarekat Syathariyah).
Pandangan Wahdatul Wujud, diperoleh melalui pengalaman spiritual dan penjelasan dari beberapa hadits Nabi Muhammad. Sebagai contoh, keberadaan Al-Wujud melalui penjelasan kitab “At-Tuhfatul Mursalah” itu, di antaranya begini: “Dan sesungguhnya Al-Wujud itu wahid (satu) dan al-albas (pakain-pakian dalam tajalli) itu berbeda-beda dan berbilang. Dan al-Wujud itu haqiqat dari semua al-maujudat (semua ciptaan yang ada) dan batin dari al-maujudat.”
Ini inti penting dari faham Wahdatul Wujud, dan kemudian Al-Wujud yang demikian itu difahami dalam beberapa martabat/level.
Kemudian martabat Al-Wujud itu dibedakan:
Pertama adalah martabat di mana “Al-Wujud itu dari sisi al-Kunhu Subhanahu wata`ala (Dzat-Nya), tidak tersingkap bagi seseorang, aqal tidak bisa menemukan-Nya, juga al-waham (angan-angan) dan al-hawas (indra), dan (al-Kunhu) tidak bisa dijangkau dengan qiyas, karena semuanya itu adalah perkara-perkara yang baru; dan yang baru tidak bisa menemukan dengan al-Kunhu, kecuali (yang baru itu) kepada yang baru juga.” Dari sudut ini, al-Haqq terlepas dan dari semua penyifatan dan penjelasan, jarena aqal tidak sanggup. Ini disebut la ta’yun, tak terdefinisikan.
Kedua, Martabat Wahdah atau al-Haqiqat al-Muhammadiyah, yaitu “martabat at-ta’yun awal, adalah ibarat dari Ilmu-Nya Alloh ta`ala bagi Dzat-Nya dan Sifat-Nya dan semua yang maujud dalam sudut global dengan tanpa pembedaan sebagian atas sebagian yang lain.” Ketiga, Martabat Wahidiyah atau al-Haqiqah al-Insaniyah, yaitu martabat at-ta’yun ats-tsani, adalah “ibarat dari Ilmu-Nya Alloh ta`ala kepada Dzat-Nya, sifat-Nya, dan semua al-maujudat dari sudut perincian, dan pembedaan sebagiannya dari sebagian yang lain.”
Setelah itu Martabat di bawahnya, terdiri dari, 4 martabat:
Pertama, Martabat Alam Arwah, adalah “ibarat dari sesuatu al-kauniyah (yang dijadikan Alloh), yang mujarrod, yang terbentang, yang tampak pada bagian-bagian dzawatya (dzat-dzat dari kauniyah) dan amtsalnya.” Kedua, Martabat Alam Mitsal, adalah “Ibarat dari sesuatu al-Kauniyah yang tersusun, halus, tidak lagi menerima pembagian dan pembedaan sebagian atas sebagian yang lain, tidak menerima atau tidak ada celah atau lobang (al-khoroq).”
Ketiga, Martabat Alam Ajsam, adalah “ibarat dari sesuatu al-Kauniyah yang tersusun, tampak, menerima pembagian dan pembedaan (dengan yang lainnya).” Keempat, Insan Kamil adalah “Martabat keseluruhan bagi semua martabat yang disebutkan, berupa jismaniyah, nuraniyah, wahdah, wahidiyah, dan Ilahi yang bertajalli pada yang lain dan pakian-pakaian lain, yaitu al-Insan.”
Mereka yang mampu mengenal martabat-martabat itu adalah para Insan Kamil, dan yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad. Karenanya, beliau telah melewati kesadaran Alam Ajsam, Alam Mitsal, dan Alam Arwah. Dalam pengalaman beliau, sampai al-Haqq memperkenalkan dan memerintahkan melalui sifat kalam-Nya. Bagi Nabi ini menjadi wahyu sehingga kalam-kalam itu di menjadi Al-Qur’an.
Dalam pandangan Wahdatul Wujud, semua yang ada di semesta ini diatur oleh Alloh yang menyebut dirinya sebagai Robbul Alamin; alam dan makhluk dihidupkan dan dimatikan oleh Alloh, karena mereka diberi ruh yang masuk amar Alloh; dan pengenalan al-Haqq kepada makhluk dilakukan melalui afal, sifat, dan asma-Nya, dimana makhluk sebagai tajalli-Nya. Dan, menurut Ibnu Arobi, Ruh Nabi Muhammad adalah Ruh Pengatur di antara mereka. Para Insan Kamil, mampu mengenal alam-alam itu, melalui disiplin penjernihan hati terus menerus dan melaksanakan al-fardhu dan an-nawafil.
Gus Dur menyebutkan bahwa banyak kyai tradisionalis memiliki pandangan Wahdatul Wujud untuk diri mereka sendiri dan melarang menyebarkannya untuk orang yang masih awam. Dalam ungkapan-ungkapan dzikir yang dapat ditemukan misalnya, dzikir “la maujuda Illalloh” dalam dzikirnya Dzikrul Ghofilin, dibaca setelah dzikir tahlil; atau ungkapan “Mboten wonten Dzat ingkang maujud anging Panjenengan Gusti,” dalam dzikir batin tarekat Qodiriyah-Naqsyabandiyah-Syathoriyah; adalah salah satu contoh ungkapan Wahdatul Wujud menurut pengalaman mereka dan penyandaran kepada guru-guru mereka, dengan mengggunakan ungkapan yang sederhana, tetapi mencakup dan mendalam.
Bagi Gus Dur, kyai-kyai tradisionalis yang menolak itu, lebih pada penyampaiannya dan penyebarannya kepada masyarakat kebanyakan, yaitu kepada mereka yang tidak menjalankan disiplin tasawuf. Akan tetapi, Gus Dur menyebutkan, ajaran Wahdatul Wujud yang digunakan itu “terutama adalah “Wahdatusy Syuhud” (ajaran mengetahui sesuatu sebelum terjadi, dalam budaya Jawa disebut weruh sadurunge winarah)” (Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, 2007: 105).
Jadi, Gus Dur tidak menseparasikan Wahdatul Wujud dengan Wahdatusy Syuhud, karena Wahdatul Wujud itu dilihat dengan Wahdatusy Syuhud. Dan, menurut Gus Dur, kaum Wahdatul Wujud adalah mereka yang juga berpegang teguh pada syariat. Bahkan dalam kitab at-Tuhfatul Mursalah, disebutkan bahwa pengalaman spiritual yang demikian hanya mungkin dirasakan/dialami dengan meneladani Nabi Muhammad, menjalankan fardhu-fardhu dan menambah nawafilnya secara tekun, lalau bertafakkur dengan muroqobah atas Wahdatul Wujud itu.
Al-Fatihah li Ruhi Syakhina, Kyai Alhajj, Abdurrahman Wahid. Wallohu a’lam.
Tambahkan Komentar