Ilustrasi: Inilah Banten |
Para ahli tarekat adalah para pejalan dan penempuh di jalan Alloh, untuk merasakan secara langsung hakekat bertauhid kepada-Nya. Menumbuhkan kesadaran Ke-Esa-an Alloh dan penyatuan dengan Yang Esa melalui Shifat-shifat dan Asma-Nya ,merupakan jalan yang ditempuh mereka, melalui kendaraan amal-amal (lahir dan batin), tafakkur, ta`alum, dan niat-niat mereka. Soal berhasil tidaknya dalam melakukan penyatuan melalui kendaraan aman-amal mereka itu, bisa mengenal alam-alam dalam pengalaman spiritual, sampai mengenal-Nya, berbeda antara satu orang dengan orang lain.
Karenanya, para ahli tarekat bukanlah para pencari kesaktian, bukan mencari keampuhan bisa menjadikan batu besar hancur berkeping-keping, atau bukan mencari keampuhan memindah angin. Akan tetapi mereka memiliki “ilmu-ilmu penjagaan”, dengan bersandar pada doa, hizib, dzikir, dan at-taslim dan tawakkal dengan menyandarkan pada pengaturan Alloh. Bahkan, mereka tidak ridho, bila niat ikut tarekat itu mencari keampuhan-keampuhan dan kesaktian-kesaktian. Bahkan, guru, kami dalam Qodiriyah-Naqsyabandiyah-Syathoriyah, berpesan kepada mereka yang menganut tarekatnya, untuk hanya fokus menekuni ilmu tauhid melalui tarekat, dan tidak lagi menggunakan ilmu kesaktian.
Di samping itu, niat para ahli tarekat, berdasarkan melihat mereka dan pembicaraan dengan beberapa guru, adalah ikut perahu tarekat agar dapat selamat kembali ke asal penciptaan, fiddin waddunya walakhirah. Bila masuk Qodiriyah, berharap kepada Alloh memperoleh kesalamatan melalui jalan Kanjeng Nabi Muhammad melalui perahu Syaikh Abdul Qodir al-Jilani. Guru kami, meski menjadi penyambung matarantai sanad tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah-Syathariyah, melalui jalan Syaikh Ibrahim Brumbung kepada KH. Hasan Anwar Gubuk, tetapi selalu mengatakan, kalau ikut tarekat ini “berarti kita telah ikut perahu Syaikh Abdul Qodir.”
Bagi para pengamal tarekat, pengalaman-pengalaman spiritual, hanyalah satu hal, yaitu bagi mereka yang diberkahi dan dikehendaki Alloh memperoleh itu. Lebih dari itu, adalah menjalani hidup di dunia ini, sesuai tahapan fase masing-masing orang, dan ittiba mengikuti Kanjeng Nabi. Untuk hal inilah, para ahli tearekat telah meletakkan ilmu tentang martabat, untuk memahami ilmu tauhid itu sebagai pokok dalam tarekat, guna menjelaskan tentang hakikat Alloh sebagai al-Wujud dan makhluk sebagai al-Maujudat. Yang paling luas pembahasannya memang dilakukan oleh Ibnu Arobi, seperti disebutkan dalam kitab Al-Futuhatul Makkiyah, dan meski panjang (11 jilid versi terbaru), juga sekaligus, sulit untuk difahami, terutama bagi yang tidak mengalami pengalaman spiritual dalam tahapan-tahapan yang harus dilalui. Akan tetapi penjelasan-penjelasan Ibnu Arobi selalu dicari oleh mereka yang haus akan ilmu.
Dapatlah difahami kemudian ketika terbit terjemahan kitab Al-Futuhatul Makkiyah karya Ibnu nArobi oleh seorang penerjemah yang tinggal di Yogyakarta (bernama Harun Nur Rasyid, dan ketika tulisan ini dibuat baru 3 jilid cetakan Indonesia), orang-orang yang haus akan ilmu tentang Ibnu Arobi memburu dan membacanya. Sebagian anak-anak muda dalam diskusi-diskusi mereka, saya melihat sangat memuji Ibnu Arobi, sesuatu yang memang, bagi Syaikh Akbar ini, layak untuk itu. Akan tetapi, penjelasan-penjelasan Ibnu Arobi, bagi sebagian mereka, karena tidak dibekali dengan ilmu-ilmu tasawuf dan ilmu tentang al-Wujud, merasa kesulitan untuk memahaminya.
Hal ini bisa terjadi, bagi anak-anak muda ini, misalnya bagi mereka yang sebagian baru mengenal wirid Rotib al-Haddad, lalu melompat membaca Ibnu Arobi, tanpa terlebih dahulu menuntaskan membaca karya-karya Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, misalnya 2 yang penting, Ar-Risalah al-Mu`awanah dan An-Nashaih ad-Diniyah. Juga bisa terjadi kepada mereka yang baru memulai sebuah ijazah wirid, lalu melompat membaca Ibnu Arobi, tentu akan mengalami kesulitan-kesulitan, kalau bukan sebuah kebingungan.
Lebih-lebih bagi mereka yang tidak berkecimpung secara intens dalam disiplin tasawuf, akan mendapat kesulitan-kesulitan itu. Padahal, mereka yang berkecimpung di dalam dunia tasawuf saja, masih ada yang belum membedakan antara pengetahuan itu sebagai hasil dari olah spiritual, dalam tingkatan maqom Ibnu Arobi sendiri, sehingga tidak selalu relevan bagi sang penempuh dalam tingkatan yang masih awal; dengan pengetahuan spiritual sebagai diskursus yang disajikan dalam bentuk diskusi-diskusi. Di tangan yang terakhir ini, berubahlah, ilmu Ibnu Arobi tentang al-Wujud sebagai hasil ilmu laku atau terintegrasi dengan ilmu laku, didekati sebagai ilmu ilmu diskursus, sekadar pengetahuan yang didiskusikan, bahkan bisa disanggah. Bukan difahami sebagai bagian yangh terinterasi dalam ilmu laku dan muroqobah bagi kalangan wahdatul wujud.
Karena soal ini, pernah suatu ketika, seseorang dari diskusi tentang Ibnu Arobi, mengakui bahwa dia sama sekali tidak bisa memahaminya, bahkan agak bingung. Lalu, seorang lain, mencoba menjelaskan, bahwa “membaca Ibnu Arobi, bacalah sebagaimana membaca pengetahuan yang lain, atau buku-buku, dan Anda bisa mengambil yang bermanfaat, dan belum perlu menggunakan yang belum bermanfaat bagi Anda. Mencerna ilmu ada tahapan dan fasenya. Bukankah para pesuluk dan penempuh itu dihubungkan dengan gurunya. Maka, ikutilah suluk yang diajarkan oleh guru Anda; atau kalau belum berdisplin ke situ, segeralah berdisiplin ke situ dan dapatkanlah seorang guru. Jangan menunggu mendapat wangsit untuk mendatangi seorang guru.”
Menurut hemat saya, nasihat orang itu kepda rekannya, adalah nasehat yang tepat untuk mereka yang membaca khazanah-khazanah Ibnu Arobi uang bari diterjemahkan itu, terutama bagi yang tidak mengambil suluk dari jalan Akbariyah. Ambilah penjelasan yang bermanfaat, tetapi jangan sampai disibukkan dengan khazanah-khazanah yang kaya itu, dengan justru melupakan suluk dari gurunya sendiri. Kalau sudah suluk dan masuk dalam disiplin uang demikian itu, melalui seorang guru, hasilnya, juga sampai menganggap akan sama seperti yang diuraikan Ibnu Arobi.
Dalam hal itu, maka ikutilah sang guru suluk Anda. Sampai pada batas tertentu, atau sudah pada tahap tertentu, Anda bisa memilih sendiri, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak. Meskipun pengetahuan dalam khazanah-khazanah uang diyraikan soal al-Wujud oleh Ibnu Arobi itu sangat baik. Sebab dalam khazanah suluk, sesuatu yang baik, belum tentu “pener” sesuai dengan jalan suluk dan tingkatan seorang penempuh, yang mengikuti guru bukan di jalan Akbariyah. Kalau sudah demikian, maka Anda akan bisa melihat pengetahuan Ibnu Arobi itu memberi manfaat, tetapi juga sekaligus bisa merdeka dalam melihatnya, karena Anda juga ada dalam perahu yang diajarkan guru Anda sendiri.
Penjelasan-penjelasan yang rumit dalam hal martabat wujud, Ibnu Arobi menjelaskannya dengan panjang dan jlimet, dengan kata-kata yang tidak mudah difahami, atau kosakata yang perlu didalami secara terus menerus. Saya sendiri, mengambil Ibnu Arobi dari segi: mengambil yang bermanfaat, dengan jalan merdeka. Sementara dalam suluk, saya tetap fokus dengan tradisi dan pengajaran di dalam genturan tarekat kami, Qodiriyah-Naqsyabandiyah-Syathoriyah, dengan mengambil pelajaran-pelaharan dari Syaikh Abdul Qodir. Dalam diskusi-diskusi tentang khazanah Ibnu Arobi, niatnya adalah tabarukan.
Akan tetapi, suatu yang tidak boleh pula dilupakan, bahwa tidak semua guru dalam tarekat menjelaskan kepada murid soal martabat-martabat yang harus difahami dalam meng-Esakan Alloh dan melakukan penyatuan dengan Yang Esa melalui Shifat-Shifat dan Asma’-Nya. Guru yang demikian, hal pentingnya, beliau membekali disipilin wirid dan tahapannya, dan pencarian penjelasan-penjelasan pengetahuan al-Wujud, memerlukan diskusi terus menerus dengan sang guru, dan ngalap barokah dari penjelasan-penjelasan para ulama sufi lain; dan juga kadang melalui jalan wasilah mengirim Fatihah kepada guru besarnya.
Dalam hal ilmu marotib (martabat-martabat), Syaikh Abdul Qodir memiliki penjelasan ringkas ringkas. Syaikh Abdul Qodir, menjelaskan perlunya mengenal Marotibur Rububiyah, mengenal martabat Dzat Yang Maha Mengatur melalui kepengaturan-Nya, dengan istilah-istilah Marotibur Rububiyah (level-level memahami Dzat Yang Mengatur dan kepengaturan-Nya), Marotibul Ubudiyah (level-level penghambaan), dan Marotibul Umur ad-Dunyawiyah atau level-level persoalan-persoalan dunia (juga Marotibul Umur al-Ukhrowiyah). Dalam menjelaskan tingkatan-tingkatan dalam mengenal Dzat Yang Maha Mengatur, atau Marotibur Rububiyah, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani mengungkapkan dalam “Fatihatu Fatihatil Kitab” atau“Pembubkaan” Surat al-Fatihah, dalam Tafsir al-Jilani
Dalamn bentuk ringkas, Syaikh Abdul Qodir menjelaskan begini:
Al-Marotibur Rububiyah
Untuk mengenal Marotibur Rububiyah (level-level memahami Dzat Yang Mengatur dan kepengaturan Alloh), perlu mengenal 10 martabat, yaitu: Martabatul Asma’ (Martabat Nama-Nama), bahwa Alloh itu memiliki Nama-Nama; martabat kedua, adalah martabat Dzat; dan kemudian martabat ketiga, martabat shifat, bahwa Alloh itu memiliki sifat-sifat. Ketiga marotib ini, terkumpul dalam kalimat “Bismillahirrohmanirrohim.”
Martabat keempat adalah ats-tsana’ (pujian) dan asy-syukr (syukur), yang difahami dalam kalimat “al-Hamdu” (level mengenal adanya pujian dan syukur kepda Dzat yang mengatur itu). Martabat keenam, adalah al-Uluhiyah yang bermakna al-Kholiqiyah (Penciptaan), yang difahami dari “Lillahi” (level mengenal dimana segala ciptaan itu diciptakan Sang Pencipta, hanya untuk dan kepunyaan-Nya). Martabat ketujuh adalah martabat “ar-Rububiyah bil Wahdaniyah fil Kholiqiyah” (level Kepengaturan-Nya dengan kesatuan di dalam penciptaan). Martabat kedelapan adalah martabat “Mulkiah bil Malikiyah”, yang difahami dari kata “Maliki” (level mengenal kepengaturan Alloh itu melalui kerajaan yang dipimpin al-Malik). Martabat kesembilan adalah “al-Ma’budiyah bil Uluhiyah wal Wahdaniyah”, yang difahami dari kalimat “Yaumiddin” (level mengenal ada Dzat yang disembah di dalam ketuhanan dan kesatuan Penciptaan). Kesepuluh, adalah martabat “al-hidayah bil Haqq wal in`am minal azal ila abad”, difahami dari “ Ihdinash Shirotol Mustaqim” (level mengenal memperoleh hidayah melalui Al-Haqq dan pemberian kenikamatan itu sudah sejak azali sampai abadi).
Al-Martabat `Ubudiyah
Sedangkan “Martabat Ubudiyah” (level penghambaan), menurut Syaikh Abdul Qodir juga ada 10, yaitu: pertama, perlu mengenal Alloh dengan marotib ini; kedua, mengakui (al-iqror) adanya Dzat Yang mengatur dengan kepengaturan-Nya dan penghambaan nafs untuk-Nya; ketiga, mengenal an-nafs dan pengosongannya; keempat, mengetahui perluanya akan Alloh dan Alloh sebagai Dzat yang mencukupi; kelima, ibadah kepada Alloh Ta`ala Yang Dia layak untuk itu menurut perintah-Nya (melalui kanjeng Nabi Muhammad); keenam, memohon pertolongan Alloh di dalam `ubudiyah yang dilakukan dengan taufiq, qudroh, ta`alum dan ikhlash; ketujuh, doa secara khudhu’, khusyu’, asy-syauq dan mahabbah; kedelapan, mencari li wijdanillah, akan shifat-shifat-Nya dan berbagai karunia-Nya, dan dia adalah al-maqshadul a’la.; kesembilan, istihda (memohon hidayah) agar Alloh memberi hidayah dan memberi karunia-Nya dengan bimbingan-Nya melalui jalan hidayah; dan kesepuluh, istidh`a’ (berdoa) agar Alloh member karunia-Nya dan mengekalkan ni’matnya itu.
Al-Martabat al-Umur ad-Dunyawiyah
Syaikh Abdul Qodir menyebutkan, martabat soal ini ada 4, yaitu: pertama al-Mulk, adanya Kerajaan Semesta (1), al-Malik, adanya Sang Pemilik kerajaan dengan nama Al-Malik (2), dan adanya aspek tashoruf di dalam keduanya, adanya kepengaturan dalam kerajaan dan al-Malik (3), dan itu dilakukan melalui kerajaan dan kepemilikan (4).
Maka dari sudut ini, persoalan di dunia, termasuk keberadaan sang penempuh jalan di jalan Alloh, perlu memahamin dan mengenal ternyata ada empat level itu.
Al-Marotibul Maujudat
Sedangkan dalam soal al-Maujudat, Syaikh Abdul Qodir menyebutkan bahwa martabat ini
difahami dari “Bismillahirrohmanirrohim” yang terdiri dari: al-Ismu (Nama-Nama), Adz-Dzat (nama-nama itu memiliki Dzat), Shifatul Jalal (memliki segala sifat baik dan bagus), dan Shifatul Kamal (memiliki segala sifat yang sempurna). Martabat yang lahir dari ini, disebut dengan Martabat al-Maujudat, yang semuanya ada 4, menjadi: al-Uluhiyah, ar-Ruhaniyah, al-Jismaniyah, dan al-Hayawaniyah, yaitu bagi setiap sesuatu yang memiliki Ruh.
Dengan uraian martib di atas, adanya Dzat Yang mengatur dan kepengaturan-Nya, adanya kerajaan untuk mengatur dan al-Malik, adanya kesatuan di dalam penciptaan, ada pentasharufan dalam hubungan antara kerajaan dan al-Malik, dan lain-lain di atas, maka Syaikh Abdul Qodir al-Jilani menjalaskan al-Wujud, dengan kata-kata demikian ini:
“Wujud dari Alam-Alam ini (semua alam) adalah “Li” (bagi-Ku/ untuk-Ku), menurut maknanya dan haqiqahnya, dan bukan untuk selain-Ku itu punya wujud secara haqiqi, kecuali melalui al-Ismu. Dan bagi alam, yaitu apa yang selain Alloh, dengan nama dan majaz, adalah disebut wujud, tetapi bukan bilma’na dan bilhaqiqi. Oleh karena itu, dengan hal ini menunjukkan isyarat, para ulama (sufi) mengatakan: “Tidak aku lihat dalam sesuatu, kecuali aku melihat “Allohu fihi”
Beberapa aspek penciptaan dan kesatuan penciptaan, sebagian dijelaskan dalam kitab Sirrul Asror, terutama ketika menyebutkan al-Haqiqat al-Muhammadiyah. Sementara tentang al-Asma atau Nama-Nama, Syaikh Abdul Qodir menulis kitab Risalatun fil Asma’ al-Azhimah lith Thoriq Ilalloh. Dan, aspek mengenal marotib Ubudiyah uraiannya tersebar dalam kitab-kitabnya yang lain, seperti Adabus Suluk.
Melalui dengan mengenal level-level itulah, sang penempuh di jalan Alloh akan menggunakan dan berdoa melalui dan mengulang-ulang Nama-Naman-Nya; karena ada kesatuan dalam kepengaturan, dan esensi dari Nabi Muhammad merupakan aspek terpenting dalam penciptaan semesta, maka para penempuh suluk selalu mengambil jalan wasilah melalui Ruhnya dan syariatnya untuk mengenal-Nya; dan dengan menyandarkan istihda kepada-Nya; agar memperoleh taufiq dan qudroh, dengan dibarengi ta`alum dan ikhlash, selalu berdoa secara khudhu’, khusyu’, asy-syauq dan mahabbah untuk memperoleh “Wijdanillah”.
Wallohu a'lam
Tambahkan Komentar