Oleh: Nur Kholik Ridwan
Di dalam tarekat, ada banyak jenis guru yang dalam pengajarannya tidak sama kepada murid. Utamanya, setelah memperoleh pelajaran pokok kewajiban dzikir tarekat. Di sisi lain, perkembangan dan dinamika sang murid dalam berdzikir dan menekuni tarekat juga berbeda-beda. Hal ini membawa pada pengertian, ada yang cukup mengamalkan kewajiban minimal dan itu sudah cukup dibawa sampai mati; ada yang menengah antara meningkat dan stagnan seiring dengan ahwal keduniaan; dan ada yang lebih dari itu.
Karena berbeda-beda itu, kadang murid bertanya kepada guru, dengan pertanyaannya yang berbeda-beda. Misalnya ada seorang murid bertanya kepada seorang gurunya, begini: apa makna lathoif-lathoif di dalam Naqsyabandiyah, yang masing-masing didzikiri menggunakan ismul A’zhom “Alloh Alloh Alloh… dalam 7 tempat”? Tetapi pertanyaan seperti ini tidak ditanyakan oleh murid lain. Ada juga murid yang bertanya, apakah dzikirnya sama terus dalam tahapan-tahapan pengalaman yang dialami murid, ketika sudah masuk dalam alam kalam-kalam batin? Sementara seorang murid yang lain, tidak mempertanyakan.
Dari sudut seorang guru, ada yang menjelaskan secara panjang, ada juga yang pendek, dari pertanyaan murid-muridnya. Misalnya, pertanyaan di atas, ada guru yang menjawabnya pendek, dan cukup hanya dengan begini: “Lathoif itu didzikiri supaya hati menjadi hidup, dan setelah hidup terus diistiqomahi, dibawa sampai mati.” Tidak lebih dari ini, karena jawaban itu lebih manfaat bagi seorang murid.
Makna hati yang hidup itu sendiri dalam tasawuf, bermakna: hati itu hidup untuk dzikir, dan hati itu menerima warid-warid yang datang lalu pergi, atau warid menetap agak lama lalu pergi, menurut kehendak Alloh; hati dianugrahi ahwal-ahwal yang berubah-ubah dalam bentuk kiriman haqiqat-haqiqat; dan yang paling sempurna, didudukkan di dalam maqomat tertentu tanpa berubah, sebelum diperintahkan untuk berubah dan naik ke dalam maqom berikutnya, yang sebenarnya berinti pada satu hal: pembuktian/pentadbiran yang dilakukan Alloh melalui Af'al dan Sifat-Sifat-Nya kepada yang memperoleh itu; dan dari sudut yang memperoleh, adalah untuk memperkokoh tauhidnya.
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, dalam kitab Adabus Suluk, membedakan mereka yang masih mengampu dan berjibaku di dalam ahwal-ahwal, adalah diberikan kepada para wali; dan mereka yang mengampu maqomat, adalah para Abdal di kalangan para wali. Hati yang hidup akan mengalami hal-hal demikian, sesuai kehendak dan pendudukan maqomat yang diberikan Alloh.
Persoalan hati yang hidup itu, sangat berhubungan dengan latho’if yang ditanyakan seorang murid di atas; dan juga berhubungan dengan fokus yang dijadikan tawajuh dalam dzikirnya. Dalam tarekat Naqsyabandiyah, lathoif itu disebut: qolbun (hati) yang tempatnya di bawah susu kiri, ruh tempatnya di bawah susu kanan, sirri ada di dada kiri di atas susu kiri, khofi di dada kanan di atas susu kanan, akhfa’ di tengah-tengah dada, nafs ada di tengah-tengah batuk bawah antara dua mata, dan jami`ul ajsad dalam keseluruhan tubuh.
Semua lathoif itu ada 7 tempat, yang dalam dzikir Qodiriyah-Naqsyabandiyah-Syathoriyah, yang masing-masing didzikiri 1000 x setiap hari sesuai dengan tempatnya dan waktunya. Jadilah menjadi 7000 kali, sehari semalam, dalam mendzikirkan Ismulloh. Ini dalam tarekat Qodiriyah Naqsyabadiyah Syathariyah, dari jalur KH Madchan Abdul Manan, dan karenanya tidak demikian dalam tarekat lain. Misalnya dalam soal jumlah setiap harinya.
Hanya saja, tidak semua guru, memberikan penjelasan, hubungan antara lathoif-lathoif itu dengan pengalaman yang dialami seorang guru; dan hubungan antara lathoif itu dengan aneka alam batin yang dilalui murid yang telah mencapai itu. Dan di antara maha guru tarekat, saya menemukan Syaikh Abdul Qodir al-Jilani termasuk yang ikut memberikan penjelasan. Sementara saya belum menemukan itu dalam penjelasan Ibnu Arobi.
Hanya saja, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani tidak menggunakan nama 7 lathoif sama persis seperti di dalam tarekat Naqsyabandiyah. Syaikh Abdul Qodir menjelaskan titik-titik lathoif itu sebagai mahalludz dzikri.Hal ini dikemukakan dalam kitab kholwat-nya yang diterbitkan menjadi Ath-Thorîq ilallôh.
Syaikh Abdul Qodir dalam Ath-Thorîq Ilallôh itu menjelaskan bahwa: “Di dalam tarekat kami ada 10 nama (nama-nama al-Haqq yang perlu diketahui dan digunakan untuk dzikir), 7 merupakan ushul (dasar-dasarnya), dan 3 merupakan furu’ (cabangnya).” Dari Nama-Nama yang perlu diketahui itu: “Tujuh yang merupakan dasar-dasar itu, adalah nama untuk menghadapi 7 nafsu.“
Nafsu-nafsu itu, menurut Syaikh Abdul Qodir, dibedakan menjadi 7, yaitu:
1. Al-Ammaroh (pemarah, selalu menentang kalau diajak taat)
2. Al-Lawwamah (pendendam dan ingin membalas)
3. Al-Mulhimah (diilhami oleh setan, malak, ilahi)
4. Al-Muhtmainah (tenang)
5. Ar-Rodhiyah (ridho dengan ketaatan, dzikir-dzikir dan amal-amal)
6. Al-Mardhiyah (diridhoi Alloh)
7. Al-Kamilah (yang sempurna)
Masing-masing dari nafsu itu memiliki jumlah tertentu untuk didzikiri, melalui Asma tertentu. Masing-masing nafsu, memiliki alamat, tanda-tanda, sampai sang pelaku tarekat mengetahui jenis-jenisnya dan mampu membersihkan nafsu itu, lalu dia akan berpindah melalui arahan syaikh atau dipindah Alloh melalui jalan ilham. Nafsu-nafsu dibersihkan melalui dzikir, ibadah, dan amal-amal shalih yang lain; melaluia amal-amal lahir dan batin.
Syaikh Abdul Qodir menyebutkan untuk itu: “Hendaklah engkau ikhlas dalam menjalani dan menyengaja dalam kesepian dan kesendirian dzikir untuk beribadah kepada Alloh.”
Nafsu adalah pintu masuk ke dalam hati, yang seperti kaca, dapat meneropong, melihat dunia batin. Dalam nafsu itu, diletakkan berbagai penghalang oleh Alloh, yang dapat menutupi seseorang untuk bisa mengenal Alloh, melalui pengenalan hati.
Dzikit-dzikir dan hizib-hizib adalah pedangnya, senjatanya dalam mengarungi samudra nafsu yang berlapis-lapis itu. Dizkir-dzikir memiliki kekhususan-kekhususan tersendiri dan fadhilah-fadhilahnya, sehinga Nabi Muhammad memberikan khabar-khabar soal itu di dalam banyak haditsnya, yang telah diungkap banyak ulama.
Syaikh Abdul Qodir mengajarkan dzikir yang paling inti dalam 3 hal, yaitu istighfar, sholawat, tahlil, dan dipungkasi sholawat lagi. Yang lain-lain, termasuk hizib-hizib adalah dzikir penyempurna.
Amalan-amalan sunnah dalam bentuk lahir, adalah amalan-amalan hamba yang dinilai oleh para malaikat pencatat untuk memperberat timbangan seorang penempuh dalam kebaikan, dalam catatan-catatannya, ketika menapaki jalan batin menuju Alloh. Dalam soal amalan-amalan sunnah, Syaikh Abdul Qodir memberikan penekanan pada amalan sholat, dengan bacaan-bacaan surat tertentu, dengan jumlah tertentu pula, setiap siang hari dan setiap malam hari.
Sementara doa-doa dalam tarekat, adalah tanda merendahkan diri di hadapan Alloh, sebagai Dzat yang Maha Mengatur dan mentarbiyah maqomat batin, menguji dengan ahwal-ahwal. Doa-doa juga menjadi wasilah dimana Alloh mendengarkan dan mengabulkan permohonan-permohonan, bahkan mengubah keadaan yang ditetapkan sebelumnya, menuju ke kadaan lain yang ditetapkan pula.
Dzikir Melawan Ammaroh
Untuk melewati dan melawan nafsu ini, agar selamat, dzikir yang diajarkan Syaikh Abdul Qodir al-Jilani adalah dzikir tahlil: Lâ ilâha illallôh, jumlah dzikirnya 100.000 x. Kalau dalam Syathoriyah yang kami terima diulang-ulang 70 ribu kal, batasan jumlah untuk fida sughro. Jumlah itu, tentu di luar, wazhifah wirid yang minimal yang diajarakan setelah masuk tarekat.
Yang akan dihasilkan dan diperoleh dari dzikir Lâ ilâha illallôh ini, menurut Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, adalah: warna cahaya yang terlihat adalah azroq, tempat dzikirnya ada di dada (ash-shadr). Orang yang masuk dzikir ini akan masuk ke dalam Alam Syahadah, waridnya (yang datang) berupa perintah atau pencegahan syariah.
Mahalludz dzikri di shodr adalah tempat tawajuh dzikir kalimat tahlil ini.
Dzikir Melawan Lawwamah
Untuk melawan nafsu ini yang sangat mendendam, ingin mrmbalas kejelekan orang lain, Syaikh Abdul Qodir menyebutkan bahwa dzikirnya adalah Ismul A’zhom “Alloh…” sejumlah 780.084 x. Tempat dzikirnya di hati (qolbun). Mereka yang dzikir dengan “Alloh…” akan masuk ke Alam Barzakh. Warid yang datang adalah thariqah yang harus ditempuh, dan cahaya yang terlihat berwarna ashfar.
Mahalludz dzikri di qolb adalah tempat tawajuh dzikir Ismulloh ini.
Dzikir Membersihkan Mulhimah
Dzikirnya adalah “Huwa” sejumlah 44.630 x, cahayanya terlihat Ahmar, tempat dzikirnya Ruh, alamnya adalah al-Hayaj, dan warid yang datang berupa ma’rifah (utamanya tentang ke-Esa-an Alloh).
Mahalludz dzikri di titik ruh adalah tempat tawajuh dzikir kalimat Huwa.
Dzikir Meneguhkan Muhtmainnah
Dzikirnya adalah “Ya Hayyu” sejumlah 20.092 x, cahanya yang terlihat berwarna abyadh, alamnya masuk ke dalam al-Haqiqat al-Muhammadiyah, tempatnya ada di bagian sirr, waridnya adalah al-haqiqat (kiriman-kiriman haqiqat dari al-Wujud).
Mahalludz dzikri di sirr adalah tempat tawajuh dzikir kalimat Ya Hayyu ini.
Dzikir Memperkokoh Rodhiyah
Dzikirnya adalah “Ya Wâhid” sejumlah 93.420 x, cahayanya yang terlihat adalah ahdhor, alamnya masuk ke alam Al-Lahut, tempatnya ada di “sirrus sir”, warid yang datang adalah ma’rifat.
Mahalludz dzikri di dalam sirrus sirr adalah tempat tawajuh dzikir kalimat tahlil ini.
Dzikir Menerima Mardhiyah
Dzikirnya adalah “Ya Azîz” sejumlah 64.644 x, cahanya yang terlihat berwarna hitam, tempatnya di bagian akhfa’; tak ada warid di dalamnya atau “laisa lahu waridun“.
Mahalludz dzikri di titik akhfa’ adalah tempat tawajuh dzikir kalimat Ya Aziz ini.
Dzikir Masuk Kamilah
Dzikirnya “Ya Wadud” sejumlah 100.000 x, tidak ada cahaya yang tampak, masuk ke dalam Alam Hairat, tempatnya ada di al-khofa’, dan warid yang datan adalah kesemua warid dari dzikir yang telah dicapai/dilakukan.
Mahalludz dzikri di titik khofa’ adalah tempat tawajuh dzikir kalimat Ya Wadud ini.
Selain itu, dalam Ath-Thoriq Ilalloh, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani juga mewiridkan asma-asma ba’dal farîdhoh tanpa dibatasi jumlah, sebagai berikut:
Ya Haqq, Ya Qohhar, Ya Qoyyum, Ya Wahhab, Ya Muhaimin, Ya Basith.
Ya Muhith, Ya Alim, Ya Robb, Ya Syahid, Ya Fa`âl, ya Kholaq, Ya Kholiq, Ya Bari’, Ya Mushowwir.
Dalam soal mewiridkan Asmal-Husna dan salah satu bagiannya di atas, kadang-kadang seorang guru tarekat, hanya mengajarkan pokok dasarnya, yaitu wirid wajib, yang berkisar antara istighfar, sholawat, dan kalimat tahlil; atau kalimat Alloh. Lalu ada yang naik ke Huwalloh, dan Huwa, dan sejenisnya. Saya menemukan ini di tarekat Qodiriyah Nasyabandiyah-Syathoriyah.
Juga ada guru, yang hanya mengajarkan wirid wajib itu, dan pengulangan kalimat tahlil terus menerus, dan kemudian memberi murid, kebebasan untuk memilih dan diarahkan membaca Asma’ul Husna, lalu memilih asma’ tertentu untuk ditekuni, misalnya Ya Lathif dan sejenisnya. Saya menemukan ini di salah satu tarekat Syathoriyah. Sementara Ya Lathif digunakan dalam akhir dzikir pager jamai, tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah, seperti disebut Syaikh Muslih dalam Umdatus Salik.
Maka, penjelasan Syaikh Abdul Qodir di atas, dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi para penempuh, tentang jenis-jenis nafs, alam-alam yang dilaluinya, disertai titik lathoifnya di dalam tubuh, dan jenis dzikirnya, menurut versi Safinah Qodiriyah. Meskipun tidak detil, tetapi bagi para penempuh, hal semacam penjelasan tidak detil itu sangat cukup, karena dia akan dengan sendirinya, kalau sudah dibuat mampu oleh Alloh melakukan dzikir-dzikirnya, juga akan ditarbiyah oleh-Nya untuk bisa ke situ, sampai pada titik yang dikehendaki Alloh. Sementara para ahli diskursus, akan menuntut lebih detil lagi. Wallohu a’lam.
Alfatihah Lisy Syaikh Abdil Qodir al-Jilani.
Di dalam tarekat, ada banyak jenis guru yang dalam pengajarannya tidak sama kepada murid. Utamanya, setelah memperoleh pelajaran pokok kewajiban dzikir tarekat. Di sisi lain, perkembangan dan dinamika sang murid dalam berdzikir dan menekuni tarekat juga berbeda-beda. Hal ini membawa pada pengertian, ada yang cukup mengamalkan kewajiban minimal dan itu sudah cukup dibawa sampai mati; ada yang menengah antara meningkat dan stagnan seiring dengan ahwal keduniaan; dan ada yang lebih dari itu.
Karena berbeda-beda itu, kadang murid bertanya kepada guru, dengan pertanyaannya yang berbeda-beda. Misalnya ada seorang murid bertanya kepada seorang gurunya, begini: apa makna lathoif-lathoif di dalam Naqsyabandiyah, yang masing-masing didzikiri menggunakan ismul A’zhom “Alloh Alloh Alloh… dalam 7 tempat”? Tetapi pertanyaan seperti ini tidak ditanyakan oleh murid lain. Ada juga murid yang bertanya, apakah dzikirnya sama terus dalam tahapan-tahapan pengalaman yang dialami murid, ketika sudah masuk dalam alam kalam-kalam batin? Sementara seorang murid yang lain, tidak mempertanyakan.
Dari sudut seorang guru, ada yang menjelaskan secara panjang, ada juga yang pendek, dari pertanyaan murid-muridnya. Misalnya, pertanyaan di atas, ada guru yang menjawabnya pendek, dan cukup hanya dengan begini: “Lathoif itu didzikiri supaya hati menjadi hidup, dan setelah hidup terus diistiqomahi, dibawa sampai mati.” Tidak lebih dari ini, karena jawaban itu lebih manfaat bagi seorang murid.
Makna hati yang hidup itu sendiri dalam tasawuf, bermakna: hati itu hidup untuk dzikir, dan hati itu menerima warid-warid yang datang lalu pergi, atau warid menetap agak lama lalu pergi, menurut kehendak Alloh; hati dianugrahi ahwal-ahwal yang berubah-ubah dalam bentuk kiriman haqiqat-haqiqat; dan yang paling sempurna, didudukkan di dalam maqomat tertentu tanpa berubah, sebelum diperintahkan untuk berubah dan naik ke dalam maqom berikutnya, yang sebenarnya berinti pada satu hal: pembuktian/pentadbiran yang dilakukan Alloh melalui Af'al dan Sifat-Sifat-Nya kepada yang memperoleh itu; dan dari sudut yang memperoleh, adalah untuk memperkokoh tauhidnya.
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, dalam kitab Adabus Suluk, membedakan mereka yang masih mengampu dan berjibaku di dalam ahwal-ahwal, adalah diberikan kepada para wali; dan mereka yang mengampu maqomat, adalah para Abdal di kalangan para wali. Hati yang hidup akan mengalami hal-hal demikian, sesuai kehendak dan pendudukan maqomat yang diberikan Alloh.
Persoalan hati yang hidup itu, sangat berhubungan dengan latho’if yang ditanyakan seorang murid di atas; dan juga berhubungan dengan fokus yang dijadikan tawajuh dalam dzikirnya. Dalam tarekat Naqsyabandiyah, lathoif itu disebut: qolbun (hati) yang tempatnya di bawah susu kiri, ruh tempatnya di bawah susu kanan, sirri ada di dada kiri di atas susu kiri, khofi di dada kanan di atas susu kanan, akhfa’ di tengah-tengah dada, nafs ada di tengah-tengah batuk bawah antara dua mata, dan jami`ul ajsad dalam keseluruhan tubuh.
Semua lathoif itu ada 7 tempat, yang dalam dzikir Qodiriyah-Naqsyabandiyah-Syathoriyah, yang masing-masing didzikiri 1000 x setiap hari sesuai dengan tempatnya dan waktunya. Jadilah menjadi 7000 kali, sehari semalam, dalam mendzikirkan Ismulloh. Ini dalam tarekat Qodiriyah Naqsyabadiyah Syathariyah, dari jalur KH Madchan Abdul Manan, dan karenanya tidak demikian dalam tarekat lain. Misalnya dalam soal jumlah setiap harinya.
Hanya saja, tidak semua guru, memberikan penjelasan, hubungan antara lathoif-lathoif itu dengan pengalaman yang dialami seorang guru; dan hubungan antara lathoif itu dengan aneka alam batin yang dilalui murid yang telah mencapai itu. Dan di antara maha guru tarekat, saya menemukan Syaikh Abdul Qodir al-Jilani termasuk yang ikut memberikan penjelasan. Sementara saya belum menemukan itu dalam penjelasan Ibnu Arobi.
Hanya saja, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani tidak menggunakan nama 7 lathoif sama persis seperti di dalam tarekat Naqsyabandiyah. Syaikh Abdul Qodir menjelaskan titik-titik lathoif itu sebagai mahalludz dzikri.Hal ini dikemukakan dalam kitab kholwat-nya yang diterbitkan menjadi Ath-Thorîq ilallôh.
Syaikh Abdul Qodir dalam Ath-Thorîq Ilallôh itu menjelaskan bahwa: “Di dalam tarekat kami ada 10 nama (nama-nama al-Haqq yang perlu diketahui dan digunakan untuk dzikir), 7 merupakan ushul (dasar-dasarnya), dan 3 merupakan furu’ (cabangnya).” Dari Nama-Nama yang perlu diketahui itu: “Tujuh yang merupakan dasar-dasar itu, adalah nama untuk menghadapi 7 nafsu.“
Nafsu-nafsu itu, menurut Syaikh Abdul Qodir, dibedakan menjadi 7, yaitu:
1. Al-Ammaroh (pemarah, selalu menentang kalau diajak taat)
2. Al-Lawwamah (pendendam dan ingin membalas)
3. Al-Mulhimah (diilhami oleh setan, malak, ilahi)
4. Al-Muhtmainah (tenang)
5. Ar-Rodhiyah (ridho dengan ketaatan, dzikir-dzikir dan amal-amal)
6. Al-Mardhiyah (diridhoi Alloh)
7. Al-Kamilah (yang sempurna)
Masing-masing dari nafsu itu memiliki jumlah tertentu untuk didzikiri, melalui Asma tertentu. Masing-masing nafsu, memiliki alamat, tanda-tanda, sampai sang pelaku tarekat mengetahui jenis-jenisnya dan mampu membersihkan nafsu itu, lalu dia akan berpindah melalui arahan syaikh atau dipindah Alloh melalui jalan ilham. Nafsu-nafsu dibersihkan melalui dzikir, ibadah, dan amal-amal shalih yang lain; melaluia amal-amal lahir dan batin.
Syaikh Abdul Qodir menyebutkan untuk itu: “Hendaklah engkau ikhlas dalam menjalani dan menyengaja dalam kesepian dan kesendirian dzikir untuk beribadah kepada Alloh.”
Nafsu adalah pintu masuk ke dalam hati, yang seperti kaca, dapat meneropong, melihat dunia batin. Dalam nafsu itu, diletakkan berbagai penghalang oleh Alloh, yang dapat menutupi seseorang untuk bisa mengenal Alloh, melalui pengenalan hati.
Dzikit-dzikir dan hizib-hizib adalah pedangnya, senjatanya dalam mengarungi samudra nafsu yang berlapis-lapis itu. Dizkir-dzikir memiliki kekhususan-kekhususan tersendiri dan fadhilah-fadhilahnya, sehinga Nabi Muhammad memberikan khabar-khabar soal itu di dalam banyak haditsnya, yang telah diungkap banyak ulama.
Syaikh Abdul Qodir mengajarkan dzikir yang paling inti dalam 3 hal, yaitu istighfar, sholawat, tahlil, dan dipungkasi sholawat lagi. Yang lain-lain, termasuk hizib-hizib adalah dzikir penyempurna.
Amalan-amalan sunnah dalam bentuk lahir, adalah amalan-amalan hamba yang dinilai oleh para malaikat pencatat untuk memperberat timbangan seorang penempuh dalam kebaikan, dalam catatan-catatannya, ketika menapaki jalan batin menuju Alloh. Dalam soal amalan-amalan sunnah, Syaikh Abdul Qodir memberikan penekanan pada amalan sholat, dengan bacaan-bacaan surat tertentu, dengan jumlah tertentu pula, setiap siang hari dan setiap malam hari.
Sementara doa-doa dalam tarekat, adalah tanda merendahkan diri di hadapan Alloh, sebagai Dzat yang Maha Mengatur dan mentarbiyah maqomat batin, menguji dengan ahwal-ahwal. Doa-doa juga menjadi wasilah dimana Alloh mendengarkan dan mengabulkan permohonan-permohonan, bahkan mengubah keadaan yang ditetapkan sebelumnya, menuju ke kadaan lain yang ditetapkan pula.
Dzikir Melawan Ammaroh
Untuk melewati dan melawan nafsu ini, agar selamat, dzikir yang diajarkan Syaikh Abdul Qodir al-Jilani adalah dzikir tahlil: Lâ ilâha illallôh, jumlah dzikirnya 100.000 x. Kalau dalam Syathoriyah yang kami terima diulang-ulang 70 ribu kal, batasan jumlah untuk fida sughro. Jumlah itu, tentu di luar, wazhifah wirid yang minimal yang diajarakan setelah masuk tarekat.
Yang akan dihasilkan dan diperoleh dari dzikir Lâ ilâha illallôh ini, menurut Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, adalah: warna cahaya yang terlihat adalah azroq, tempat dzikirnya ada di dada (ash-shadr). Orang yang masuk dzikir ini akan masuk ke dalam Alam Syahadah, waridnya (yang datang) berupa perintah atau pencegahan syariah.
Mahalludz dzikri di shodr adalah tempat tawajuh dzikir kalimat tahlil ini.
Dzikir Melawan Lawwamah
Untuk melawan nafsu ini yang sangat mendendam, ingin mrmbalas kejelekan orang lain, Syaikh Abdul Qodir menyebutkan bahwa dzikirnya adalah Ismul A’zhom “Alloh…” sejumlah 780.084 x. Tempat dzikirnya di hati (qolbun). Mereka yang dzikir dengan “Alloh…” akan masuk ke Alam Barzakh. Warid yang datang adalah thariqah yang harus ditempuh, dan cahaya yang terlihat berwarna ashfar.
Mahalludz dzikri di qolb adalah tempat tawajuh dzikir Ismulloh ini.
Dzikir Membersihkan Mulhimah
Dzikirnya adalah “Huwa” sejumlah 44.630 x, cahayanya terlihat Ahmar, tempat dzikirnya Ruh, alamnya adalah al-Hayaj, dan warid yang datang berupa ma’rifah (utamanya tentang ke-Esa-an Alloh).
Mahalludz dzikri di titik ruh adalah tempat tawajuh dzikir kalimat Huwa.
Dzikir Meneguhkan Muhtmainnah
Dzikirnya adalah “Ya Hayyu” sejumlah 20.092 x, cahanya yang terlihat berwarna abyadh, alamnya masuk ke dalam al-Haqiqat al-Muhammadiyah, tempatnya ada di bagian sirr, waridnya adalah al-haqiqat (kiriman-kiriman haqiqat dari al-Wujud).
Mahalludz dzikri di sirr adalah tempat tawajuh dzikir kalimat Ya Hayyu ini.
Dzikir Memperkokoh Rodhiyah
Dzikirnya adalah “Ya Wâhid” sejumlah 93.420 x, cahayanya yang terlihat adalah ahdhor, alamnya masuk ke alam Al-Lahut, tempatnya ada di “sirrus sir”, warid yang datang adalah ma’rifat.
Mahalludz dzikri di dalam sirrus sirr adalah tempat tawajuh dzikir kalimat tahlil ini.
Dzikir Menerima Mardhiyah
Dzikirnya adalah “Ya Azîz” sejumlah 64.644 x, cahanya yang terlihat berwarna hitam, tempatnya di bagian akhfa’; tak ada warid di dalamnya atau “laisa lahu waridun“.
Mahalludz dzikri di titik akhfa’ adalah tempat tawajuh dzikir kalimat Ya Aziz ini.
Dzikir Masuk Kamilah
Dzikirnya “Ya Wadud” sejumlah 100.000 x, tidak ada cahaya yang tampak, masuk ke dalam Alam Hairat, tempatnya ada di al-khofa’, dan warid yang datan adalah kesemua warid dari dzikir yang telah dicapai/dilakukan.
Mahalludz dzikri di titik khofa’ adalah tempat tawajuh dzikir kalimat Ya Wadud ini.
Selain itu, dalam Ath-Thoriq Ilalloh, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani juga mewiridkan asma-asma ba’dal farîdhoh tanpa dibatasi jumlah, sebagai berikut:
Ya Haqq, Ya Qohhar, Ya Qoyyum, Ya Wahhab, Ya Muhaimin, Ya Basith.
Ya Muhith, Ya Alim, Ya Robb, Ya Syahid, Ya Fa`âl, ya Kholaq, Ya Kholiq, Ya Bari’, Ya Mushowwir.
Dalam soal mewiridkan Asmal-Husna dan salah satu bagiannya di atas, kadang-kadang seorang guru tarekat, hanya mengajarkan pokok dasarnya, yaitu wirid wajib, yang berkisar antara istighfar, sholawat, dan kalimat tahlil; atau kalimat Alloh. Lalu ada yang naik ke Huwalloh, dan Huwa, dan sejenisnya. Saya menemukan ini di tarekat Qodiriyah Nasyabandiyah-Syathoriyah.
Juga ada guru, yang hanya mengajarkan wirid wajib itu, dan pengulangan kalimat tahlil terus menerus, dan kemudian memberi murid, kebebasan untuk memilih dan diarahkan membaca Asma’ul Husna, lalu memilih asma’ tertentu untuk ditekuni, misalnya Ya Lathif dan sejenisnya. Saya menemukan ini di salah satu tarekat Syathoriyah. Sementara Ya Lathif digunakan dalam akhir dzikir pager jamai, tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah, seperti disebut Syaikh Muslih dalam Umdatus Salik.
Maka, penjelasan Syaikh Abdul Qodir di atas, dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi para penempuh, tentang jenis-jenis nafs, alam-alam yang dilaluinya, disertai titik lathoifnya di dalam tubuh, dan jenis dzikirnya, menurut versi Safinah Qodiriyah. Meskipun tidak detil, tetapi bagi para penempuh, hal semacam penjelasan tidak detil itu sangat cukup, karena dia akan dengan sendirinya, kalau sudah dibuat mampu oleh Alloh melakukan dzikir-dzikirnya, juga akan ditarbiyah oleh-Nya untuk bisa ke situ, sampai pada titik yang dikehendaki Alloh. Sementara para ahli diskursus, akan menuntut lebih detil lagi. Wallohu a’lam.
Alfatihah Lisy Syaikh Abdil Qodir al-Jilani.
Tambahkan Komentar