Ilustrasi |
- Baca: Dapat Laporan dari Rektor Unnes, AJI Semarang Minta Polda Patuhi UU Pers
- Baca: Laporkan Wartawan Serat.id, PWI dan AJI Sesalkan Langkah Unnes
Sederat berita investigatif tentang dugaan plagiat Rektor Unnes terbitan Serat.id yang menjadi dasar pelaporan tersebut merupakan produk jurnalistik. Hal ini bisa dilihat dari sumber-sumber informasi yang dikutip, adanya konfirmasi dan prinsip keberimbangan, serta sumber data yang jelas.
Narasumber yang dikutip dalam berita tersebut, mulai dari pakar hingga para pemberi informasi, merupakan orang yang jelas identitasnya. Pernyataan-pernyataan yang dimuat dalam berita itu juga bukan dari sumber anonim sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Serat.id juga telah memuat tanggapan dari pihak Unnes tentang kasus tersebut sehingga telah memenuhi prinsip keberimbangan atau cover both sides.
Karena merupakan produk jurnalistik, maka setiap sengketa yang ditimbulkan berita tersebut seharusnya diselesaikan sesuai UU Pers. Pihak Unnes bisa menggunakan hak jawab jika ada hal-hal yang perlu diklarifikasi. Namun, Unnes tidak menggunakan hak jawab itu kepada Serat.id.
Unnes justru membawa kasus ini ke jalur pidana dengan tuduhan pelanggaran pasal 27 ayat 3 UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal itu berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan /atau dokumen elektronik yang dimiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". Pihak Unnes mengabaikan status berita Serat.id sebagai produk jurnalistik dan melabelinya sebagai sebagai “hoaks”.
Humas Unnes menjadikan Surat Edaran Dewan Pers Nomor 371/ DP/ K/ VII/ 2018 (tentang pentingnya identifikasi media) sebagai alasan mereka tak menggunakan hak jawab kepada Serat.id. Mereka menganggap Serat.id sebagai media sosial karena portal berita ini belum berbadan hukum dan terverifikasi oleh Dewan Pers. Unnes juga menganggap berita tersebut sulit dibuktikan sebagai produk jurnalistik karena Zakki sebagai penulis belum mengantongi sertifikat UKW.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta, AJI Purwokerto dan AJI Yogyakarta menilai anggapan ini tidak tepat dan berpendapat sebagai berikut:
1) Penentuan sebuah berita layak disebut produk jurnalistik atau tidak, bukan berdasarkan status badan hukum media dan sertifikat UKW. Produk jurnalistik bisa dihasilkan oleh siapapun selama memenuhi kaidah jurnalistik dan kode etik jurnalistik (KEJ).
2) Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam artikel berjudul Profesional, Abal-Abal, dan Hoaks yang diterbitkan Jurnal Dewan Pers Edisi 14 pada Juli 2017 menjelaskan empat kuadran media di mana kuadran I dan II adalah media yang bisa dipercaya. Kuadran I berisi media-media mainstream yang terverifikasi. Kuadran II berisi media komunitas, media keagamaan, media pers mahasiswa, media kehumasan, dan lain-lain termasuk media yang sedang dalam tahap rintisan maupun media yang baru terdata di Dewan pers dan belum dinyatakan lolos verifikasi.Maka dalam hal ini Serat.id jelas masuk dalam kuadran II sebagai media rintisan. Yosep juga menyatakan Dewan Pers bertugas menjaga keberadaan media-media yang ada di wilayah kuadran II, dan semua pengaduan terkait pemberitaan yang dibuat oleh media di kuadran II harusnya diselesaikan melakui mekanisme UU No 40/1999.
3) AJI meyakini polisi sangat memahami fungsi pers sesuai UU Pers. Bila ada sengketa pemberitaan, hendaknya dikembalikan lagi kepada mekanisme penyelesaian sesuai UU Pers. Hal itu sesuai nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri Nomor: 2/DP/MoU/II/2017 dan Nomor: B/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. (tb44/hms).
Tambahkan Komentar