Oleh: Nur Kholik Ridwan
Gus Dur berkata: “Seorang yang tidak mau lagi mengakui gurunya tetap sebagai guru sepanjang hidupnya, ia akan kehilangan barokah yang diperoleh dari gurunya itu. Paham yang dikembangkan bahkan menganggap bahwa guru itu mempunyai kedudukan yang lebih utama daripada orang tuanya sendiri: Aba’uka tsalatsatun, abuka alladzi waladaka, walladzi zawwajaka ibnatahu, walladzi `allamaka wahuwa afdholuhum (bapak-bapakmu ada tiga macam, yaitu yang meperanakkan dirimu, yang mengawinkanmu dengan anak gadisnya, dan yang mengajarimu ialah yang utama di antara mereka” (Islam Kosmopolitan, hlm. 81).
Saya belum berhasil menemukan sumber rujukan dari perkataan hikmah ini, “Aba’uka tsalatsatun”. Dalam Ensiklopedi hadits yang sangat tebal, Jam`ul Jawami yang dikarang Imam Jalaluddin as-Suyuthi, tidak dicantumkan. Demikian juga dalam Maqoshidul Hasanan karya as-Sakhowi, juga tidak ada.
Perkataan di atas mengandung arti kedudukan utama seorang guru bagi seorang murid, dalam pandangan orang-orang dahulu di kalangan masyarakat Islam Ahlussunnah Waljama’ah, dan masyarakat Islam di Nusantara. Perkataan di atas mengandaikan ada 3 orang: Orang tua kandung, mertua, dan guru. Tetapi dalam praktiknya, orang tua bisa saja menjadi guru, demikian juga mertua; dan hal ini menjadi utama, ketika orang tua kandung atau mertua, juga sekaligus guru. Pengutamaan kepada mereka kemudian diwujudkan dalam penghormatan kepada guru. Mengirimi hadiah fatihah, dan mendoakan; demikian juga seorang guru, akan mendoakan murid-muridnya.
Berkaitan dengan penghormatan itu, dalam kitab Ta’lim ada perkataan Imam Ali, yang berbunyi begini: “Saya adalah seorang hamba bagi orang yang telah mengajariku satu huruf, terserah saya mau dijual, ataupun mau dimerdekakan tetap menjadi hambanya.” Perkataan Imam Ali ini adalah perkataan-perkataan simbolik. Seorang guru yang alim dan arif, tidak mungkin menjadikan murid sebagai hamba. Karena seorang yang alim dan arif, yang menjadi guru adalah laksana Nabi kepada umatnya, maka dia adalah bapak dan juga orang tua yang mengasuh, membesarkan dan mengajarinya-mendidiknya tentang ilmu. Maka perkataan di atas, lebih merupakan ajakan untuk menghormati dan berinteraksi dengan adab adab yang baik kepada guru.
Karena kedudukan penting seorang guru, lebih-lebih guru yang menunjukkan jalan spiritual, guru yang menunjukkan pedoman hidup halal haram, guru yang menunjukkan mengenal Alloh, maka guru-guru seperti ini, adalah guru yang memang pantas dan layak dihormati. Guru yang demikian adalah bapak bagi para murid-muridnya; dan doa yang mustajabah menurut sebagian hadits Nabi di antaranya adalah doa-doa bapak kepada anaknya, yang berarti juga di dalamnya guru-guru kepada muridnya. Guru-guru yang demikian, mereka ini mengajari pengertian-pengertian agama, sekaligus ijazah-ijazah dzikir dan talqin-talqin wirid.
Perkataan hikmah di atas, oleh Gus Dur dikutip dalam rangka menjelaskan relasi hubungan ketaatan guru murid. Akan tetapi guru yang demikian, adalah guru yang mencapai derajat Arifin, tidak mengeksploitir murid untuk kepentingan sendiri dan kepentingan materi lainnya. Hal ini pernah terjadi, ketika terjadi perpindahan banyak pengikut tarekat di Jombang, karena perbedaan-perbedaan tertentu. Mereka kemudian berbondong-bondong pindah ke Cukir, dari guru sebelumnya ke guru di Cukir.
Gus Dur menyimpulkan dari perjalanan perpindahan murid-murid tarekat di Jombang ke Cukir itu, dan pergulatan di dalam Nahdlatul Ulama, dia mengatakan begini: “Ada kecenderungan para ulama peserta sidang untuk membuat koreksi atas paham yang selama ini berlaku bahwa ketaatan mutlak kepada guru dan larangan pindah guru, hanya berlaku bagi guru yang memiliki pengetahuan ke-Tuhanan yang sempurna (tingkatan Arifin), dan memiliki wewenang mengajar dari guru yang sebelumnya, secara ijasah lisan dan tertulis, serta tidak mengeksploitisir murid-muridnya untuk kepentingan sendiri baik yang bersifat materi maupun yang lainnya” (hlm. 83).
Menurut Gus Dur, “formulasi baru terhadap ajaran ketaatan kepada guru ini, benar-benar merupakan pemahaman yang sangat radikal karena dengan demikian diakui bahwa ada kiai di pedesaan sekarang ini yang tidak pantas diakui sebagai guru thariqoh, pengakuan yang belum pernah ada dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa.”
Perkembangan ini, kemudian juga menjadi salah satu sebab lahirnya JATMAN dan kyai-kyai yang berafiliasi tarekat kepada NU. Pada saat yang sama, hal ini juga menunjukkan dengan terang-terangan, bahwa kyai-kyai NU itu telah melakukan penafsiran yang radikal dalam praktik guru-murid ini, perpindahan kepada guru lain itu syah dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini bahkan kemudian dijawab oleh keputusan di kalangan tarekat yang berafiliasi kepada NU. Bahkan keputusan NU sendiri pada April 1935, telah menyebutkan begini: “Pindah dari satu tarekat ke tarekat lain boleh asal dapat mengikuti syarat yang ditentukan.”
Dasar dari kitabnya diambil dari Majmuatur Rosail, “ Demikian pula boleh perindah dari satu tarekat ke tarekat lain dengan syarat mampu memenuhi segala aturan dan konsisten dengan adab tariqoh yang ia masuki” (Majmuatur Rosail Syaikh Sulaiman Zuhdi an-Naqsyabandi).
Oleh karena itu, kita melihat bagaimana perilaku dan sikap kyai-kyai hubungannya dengan politik dan kenegaraan, apalagi Pilkada. Seorang murid pun syah berbeda dengan pilihan gurunya. Hanya saja, perbedaan itu dijaga jangan sampai melahirkan ketidakhormatan, atau tindakan-tindakan yang tidak patut dalam adab. Demikian pula, seorang guru, tidak pada tempatnya mewajibkan muridnya untuk memilih calon tertentu, atau politik tertentu demi kepentingan tertentu, karena yang diwajibkan itu yang tidak bisa di bantah adalah mengangkat pemimpin di kalangan kaum muslimin. Tentang figurnya atau calon calon yang dipilih, seorang murid dan guru bahkan bisa berbeda pendapat, tetapi tetap harus saling menghormati, menjaga adab-adab.
Karena kewajiban guru adalah membimbing halal-haram, adab-adab tarekat, membimbing pengertian-pengertian tentang ahwal, tentang maqomat, dan lain-lain. Oleh karena itu Gus Dur menegaskan: “Ulama adalah pewaris Nabi”, yang mengandung implikasi infalibitas komunitas melalui kebenaran para pemuka agamanya.” Karena infalibitas itu juga terdapat di dalam komunitas pemimpin agama, dan adanya perubahan-perubahan itu sendiri, juga keterbatasan dalam cara pandang dalam meletakkan hubungan perubahan-perubahan sosial dengan kelompok masyarakat lain dengan para pemuka agama, mengharuskan adanya alternatif-alternatif dalam pandangan seorang murid.
Hubungan kedekatan dengan Alloh adalah rahasia seseorang atau guru itu dengan Alloh. Sementara bagi orang lain dan masyarakat, hubungan kedekatan pemuka agama dengan sang Pencipta Pemilik al-hayah, kedudukannya itu, diuji melalui akhlak-akhlak, tindakan-tindakan politik, dan sikap-sikapnya, yang meski tampakan lahir tidak mencerminkan kebenaran haqiqinya, tetapi begitulah hukum-hukum sosialnya harus diterima. Ketika pemuka agama dan seorang guru melakukan tindakannya dengan didasarkan pada warid-warid akibat laku riyadhohnya selama ini, itu tidak mengikat kepada orang lain, termasuk kepada murid-muridnya kecuali itu dilihat sebagai dan ditempatkan dalam dimensi adab- adab semata, tidak lebih.
Akan tetapi kalau itu menjadi keputusan para guru dalam istikhoroh-istikhoroh mereka, dalam jumlah yang banyak, dan mereka dikenal ahli dzikir, ahli tarekat, dan ahli wirid, ahli fastabiqul khoirot, dan amal-amal sejenis, maka seorang murid hendaknya melihat, para guru yang jumlahnya banyak ini, memutuskan dengan didasarkan pada hal-hal yang lebih maslahah untuk diikuti. Begitupun dengan adanya keputusan yang membolehkan pindah guru, dengan syarat-syarat tertentu di atas; dan tidak dibolehkan dalam hal-hal tertentu, terdapat kemaslahatan di dalamnya.
Akan tetapi saya sendiri, lebih memilih tetap bersama guru yang lama, tetapi saya tidak mengikuti pendapat-pendapat politiknya secara keseluruhan, sehingga menjadi mudah dalam menyikapinya; demikian pula saya juga mengambil tarekat yang lain, dengan tetap menjalankan tarekat yang lama dan tidak meninggalkannya, dan mengamalkan apa yang diambil dari guru yang baru. Wallohu a’lam.
Gus Dur berkata: “Seorang yang tidak mau lagi mengakui gurunya tetap sebagai guru sepanjang hidupnya, ia akan kehilangan barokah yang diperoleh dari gurunya itu. Paham yang dikembangkan bahkan menganggap bahwa guru itu mempunyai kedudukan yang lebih utama daripada orang tuanya sendiri: Aba’uka tsalatsatun, abuka alladzi waladaka, walladzi zawwajaka ibnatahu, walladzi `allamaka wahuwa afdholuhum (bapak-bapakmu ada tiga macam, yaitu yang meperanakkan dirimu, yang mengawinkanmu dengan anak gadisnya, dan yang mengajarimu ialah yang utama di antara mereka” (Islam Kosmopolitan, hlm. 81).
Saya belum berhasil menemukan sumber rujukan dari perkataan hikmah ini, “Aba’uka tsalatsatun”. Dalam Ensiklopedi hadits yang sangat tebal, Jam`ul Jawami yang dikarang Imam Jalaluddin as-Suyuthi, tidak dicantumkan. Demikian juga dalam Maqoshidul Hasanan karya as-Sakhowi, juga tidak ada.
Perkataan di atas mengandung arti kedudukan utama seorang guru bagi seorang murid, dalam pandangan orang-orang dahulu di kalangan masyarakat Islam Ahlussunnah Waljama’ah, dan masyarakat Islam di Nusantara. Perkataan di atas mengandaikan ada 3 orang: Orang tua kandung, mertua, dan guru. Tetapi dalam praktiknya, orang tua bisa saja menjadi guru, demikian juga mertua; dan hal ini menjadi utama, ketika orang tua kandung atau mertua, juga sekaligus guru. Pengutamaan kepada mereka kemudian diwujudkan dalam penghormatan kepada guru. Mengirimi hadiah fatihah, dan mendoakan; demikian juga seorang guru, akan mendoakan murid-muridnya.
Berkaitan dengan penghormatan itu, dalam kitab Ta’lim ada perkataan Imam Ali, yang berbunyi begini: “Saya adalah seorang hamba bagi orang yang telah mengajariku satu huruf, terserah saya mau dijual, ataupun mau dimerdekakan tetap menjadi hambanya.” Perkataan Imam Ali ini adalah perkataan-perkataan simbolik. Seorang guru yang alim dan arif, tidak mungkin menjadikan murid sebagai hamba. Karena seorang yang alim dan arif, yang menjadi guru adalah laksana Nabi kepada umatnya, maka dia adalah bapak dan juga orang tua yang mengasuh, membesarkan dan mengajarinya-mendidiknya tentang ilmu. Maka perkataan di atas, lebih merupakan ajakan untuk menghormati dan berinteraksi dengan adab adab yang baik kepada guru.
Karena kedudukan penting seorang guru, lebih-lebih guru yang menunjukkan jalan spiritual, guru yang menunjukkan pedoman hidup halal haram, guru yang menunjukkan mengenal Alloh, maka guru-guru seperti ini, adalah guru yang memang pantas dan layak dihormati. Guru yang demikian adalah bapak bagi para murid-muridnya; dan doa yang mustajabah menurut sebagian hadits Nabi di antaranya adalah doa-doa bapak kepada anaknya, yang berarti juga di dalamnya guru-guru kepada muridnya. Guru-guru yang demikian, mereka ini mengajari pengertian-pengertian agama, sekaligus ijazah-ijazah dzikir dan talqin-talqin wirid.
Perkataan hikmah di atas, oleh Gus Dur dikutip dalam rangka menjelaskan relasi hubungan ketaatan guru murid. Akan tetapi guru yang demikian, adalah guru yang mencapai derajat Arifin, tidak mengeksploitir murid untuk kepentingan sendiri dan kepentingan materi lainnya. Hal ini pernah terjadi, ketika terjadi perpindahan banyak pengikut tarekat di Jombang, karena perbedaan-perbedaan tertentu. Mereka kemudian berbondong-bondong pindah ke Cukir, dari guru sebelumnya ke guru di Cukir.
Gus Dur menyimpulkan dari perjalanan perpindahan murid-murid tarekat di Jombang ke Cukir itu, dan pergulatan di dalam Nahdlatul Ulama, dia mengatakan begini: “Ada kecenderungan para ulama peserta sidang untuk membuat koreksi atas paham yang selama ini berlaku bahwa ketaatan mutlak kepada guru dan larangan pindah guru, hanya berlaku bagi guru yang memiliki pengetahuan ke-Tuhanan yang sempurna (tingkatan Arifin), dan memiliki wewenang mengajar dari guru yang sebelumnya, secara ijasah lisan dan tertulis, serta tidak mengeksploitisir murid-muridnya untuk kepentingan sendiri baik yang bersifat materi maupun yang lainnya” (hlm. 83).
Menurut Gus Dur, “formulasi baru terhadap ajaran ketaatan kepada guru ini, benar-benar merupakan pemahaman yang sangat radikal karena dengan demikian diakui bahwa ada kiai di pedesaan sekarang ini yang tidak pantas diakui sebagai guru thariqoh, pengakuan yang belum pernah ada dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa.”
Perkembangan ini, kemudian juga menjadi salah satu sebab lahirnya JATMAN dan kyai-kyai yang berafiliasi tarekat kepada NU. Pada saat yang sama, hal ini juga menunjukkan dengan terang-terangan, bahwa kyai-kyai NU itu telah melakukan penafsiran yang radikal dalam praktik guru-murid ini, perpindahan kepada guru lain itu syah dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini bahkan kemudian dijawab oleh keputusan di kalangan tarekat yang berafiliasi kepada NU. Bahkan keputusan NU sendiri pada April 1935, telah menyebutkan begini: “Pindah dari satu tarekat ke tarekat lain boleh asal dapat mengikuti syarat yang ditentukan.”
Dasar dari kitabnya diambil dari Majmuatur Rosail, “ Demikian pula boleh perindah dari satu tarekat ke tarekat lain dengan syarat mampu memenuhi segala aturan dan konsisten dengan adab tariqoh yang ia masuki” (Majmuatur Rosail Syaikh Sulaiman Zuhdi an-Naqsyabandi).
Oleh karena itu, kita melihat bagaimana perilaku dan sikap kyai-kyai hubungannya dengan politik dan kenegaraan, apalagi Pilkada. Seorang murid pun syah berbeda dengan pilihan gurunya. Hanya saja, perbedaan itu dijaga jangan sampai melahirkan ketidakhormatan, atau tindakan-tindakan yang tidak patut dalam adab. Demikian pula, seorang guru, tidak pada tempatnya mewajibkan muridnya untuk memilih calon tertentu, atau politik tertentu demi kepentingan tertentu, karena yang diwajibkan itu yang tidak bisa di bantah adalah mengangkat pemimpin di kalangan kaum muslimin. Tentang figurnya atau calon calon yang dipilih, seorang murid dan guru bahkan bisa berbeda pendapat, tetapi tetap harus saling menghormati, menjaga adab-adab.
Karena kewajiban guru adalah membimbing halal-haram, adab-adab tarekat, membimbing pengertian-pengertian tentang ahwal, tentang maqomat, dan lain-lain. Oleh karena itu Gus Dur menegaskan: “Ulama adalah pewaris Nabi”, yang mengandung implikasi infalibitas komunitas melalui kebenaran para pemuka agamanya.” Karena infalibitas itu juga terdapat di dalam komunitas pemimpin agama, dan adanya perubahan-perubahan itu sendiri, juga keterbatasan dalam cara pandang dalam meletakkan hubungan perubahan-perubahan sosial dengan kelompok masyarakat lain dengan para pemuka agama, mengharuskan adanya alternatif-alternatif dalam pandangan seorang murid.
Hubungan kedekatan dengan Alloh adalah rahasia seseorang atau guru itu dengan Alloh. Sementara bagi orang lain dan masyarakat, hubungan kedekatan pemuka agama dengan sang Pencipta Pemilik al-hayah, kedudukannya itu, diuji melalui akhlak-akhlak, tindakan-tindakan politik, dan sikap-sikapnya, yang meski tampakan lahir tidak mencerminkan kebenaran haqiqinya, tetapi begitulah hukum-hukum sosialnya harus diterima. Ketika pemuka agama dan seorang guru melakukan tindakannya dengan didasarkan pada warid-warid akibat laku riyadhohnya selama ini, itu tidak mengikat kepada orang lain, termasuk kepada murid-muridnya kecuali itu dilihat sebagai dan ditempatkan dalam dimensi adab- adab semata, tidak lebih.
Akan tetapi kalau itu menjadi keputusan para guru dalam istikhoroh-istikhoroh mereka, dalam jumlah yang banyak, dan mereka dikenal ahli dzikir, ahli tarekat, dan ahli wirid, ahli fastabiqul khoirot, dan amal-amal sejenis, maka seorang murid hendaknya melihat, para guru yang jumlahnya banyak ini, memutuskan dengan didasarkan pada hal-hal yang lebih maslahah untuk diikuti. Begitupun dengan adanya keputusan yang membolehkan pindah guru, dengan syarat-syarat tertentu di atas; dan tidak dibolehkan dalam hal-hal tertentu, terdapat kemaslahatan di dalamnya.
Akan tetapi saya sendiri, lebih memilih tetap bersama guru yang lama, tetapi saya tidak mengikuti pendapat-pendapat politiknya secara keseluruhan, sehingga menjadi mudah dalam menyikapinya; demikian pula saya juga mengambil tarekat yang lain, dengan tetap menjalankan tarekat yang lama dan tidak meninggalkannya, dan mengamalkan apa yang diambil dari guru yang baru. Wallohu a’lam.
Tambahkan Komentar