Oleh: Nur Kholik Ridwan
Syaikh Abdul Qodir menuturkan dalam ar-Risalah al-Ghoutsiyah, perkataan dari ilham Ilahi: “Wahai Ghoutsul A’zhom (sebutan untuk Syaikh Abdul Qodir al-Jilani), merasa memiliki kekurangan adalah sumber cahaya, dan mengagumi diri sendiri merupakan sumber kegelapan.”
Orang yang telah mengenal Nafsu Lawwamah, nafsu yang mencela dirinya, telah mulai mengenal ada perubahan dalam dirinya, ada perubahan kesadaran nafsunya. Perubahan-perubahan akibat menjalankan disiplin amal-amal syariat, pada level lahir, membawa dia pada pengisian waktu-waktunya dengan amal-amal syariat dan wirid-wirid, dan amal-amal syariat level sosial, baik yang berdimensi individu, keluarga, tetangga, dan masyarakat. Dalam level ini, dia dituntut untuk menjaga istiqomah oleh warid-warid yang datang.
Seiring dengan adanya kesadaran perubahan nafsu dari Ammaroh yang memerintahkan secara kuat, ke arah Lawwamah yang mencela diri dan menyesali, maka dia dituntut untuk menjadi seorang yang mulai mengerti amal-amal batin, amal amal hati. Selalu introspeksi dan menilai bahwa dia hanya seorang saja dari satu skrup dari skrup semesta; hanya menjadi bagian dari bagian masyarakat; menjadi satu penempuh di jalan Alloh di antara para pejalan di jalan Alloh, dia mulai mengerti arti bahayanya sombong dan membanggakan diri, dan mulai merasa dirinya sangat kecil di hadapan semesta.
Akan tetapi dia mulai sadar, di tengah kehidupan semesta, dunia dan masyarakatnya, dia adalah bagian yang tidak terpisah darinya. Ketika menyadari ini, dia dibawa pada kesadaran untuk terus membersihkan hatinya yang kotor, dan menghargai tindakan-tindakan yang terlihat kecil, perbuatan-perbuatan yang terlihat kecil itu akan sangat bermanfaat, oleh siapa pun. Karena dengan begitu, dia sedang diajar oleh Af’al Alloh dalam keadaannya itu, untuk mengerti tentang hidup yang terbangun dari satu titik, satu biji kehidupan, lalu menjadi titik-titik yang menggambar semesta, dunia dan masyarakatnya sampai menjadi galaksi-galaksi semesta, sampai menjadi tindakan-tindakan seseorang.
Maka titik sekecil apa pun ketika dia hidup dan menghidupkan, dia memiliki nilai yang besar dimata semesta dan haqiqinya, karena dia adalah bagian dari kelengkapan semesta dan bagian dari pengaturan semesta. Dalam hal tindakan-tindakan kecil, atau amal-amal kecil, ini dilihat dari sudut lahirnya, maka dia dilihat seperti kecil. Akan tetapi, dengan melihat ini, dia diajarkan keragaman semesta, masyarakat, dan dunia, sebagai keniscayaan Ilahi, tidak terlepas dari pengaturan-Nya. Maka mulailah dia menyadari, di tempat keramaian, dan di tempat yang sepi, pada intinya sama; bila dia tidak hidup dan tidak mengerti yang Maha Hidup, maka nilainya sama.
Di tempat sepi, dan di tempat ramai, bila tidak hidup dan tidak mengerti kepada Yang Maha Hidup, pada dasarnya sama-sama mati. Perbedaan hanya pada penampakan-penampakan, tampakan-tampakan lahir, yang beragam, seperti ada tindakan-tindakan besar dan kecil. Padahal kematian adalah haqiqi dan kehidupan adalah haqiqi, sementara penampakan-penampakan adalah hanya wadah-wadah, relasi-relasi dan interaksi, hanyalah bentuk-bentuk. Maka dia mulai mengenal apa artinya, hidup yang hidup dan hidup yang mati; demikian pula, dia mengenal mati yang hidup dan mati yang mati, yang hal ini tinggal menunggu kemurahan yang Maha Murah pada titik akhirnya.
Dia mulai mengerti dunai yang hidup ini, menjadi satu stasion belaka dalam perjalanan, apakah akan menjadi hidup yang hidup, atau hidup yang mati. Dan dia juga menyadari menjadi hidup yang hidup hanya mungkin dengan memulai kematian-kematian kehendak dalam hidup, dengan mematikan jalan-jalan yang mengumbar kehendak-kehendak, atau mengontrolnya. Sementara hidup yang mati justru harus diairi dengan menghidupkan kehidupan-kehidupan dalam kehendak yang mati, melalui pemenuhan segala kehendak-kehendak kesenangan dengan sarana-sarananya dalam hidup.
Ketika sudah mengenal itu, dia akan dibawa pada pengertian bahwa ilmunya hanya kecil, amalan-amalnya hanya sedikit, cacat-cacatnya banyak, kesombongan dan keakuan mulai dihancurkan. Kehendak mengalahkan orang lain, diganti kehendak hidup bersama-sama orang lain, untuk bersama-sama mengerti hidup yang hidup bukan hidup yang mati. Kehendak melakukan tindakan-tindakan yang sia-sia ditinggalkan, kalau dia sudah mengenal; apapun tindakan yang terlihat kecil dan bermanafaat bagi hidup dan kehidupan, haqiqinya bernilai besar, maka tidak ada kata putus asa, bahkan dengan amal-amal yang terlihat kecil sekalipun.
Dia mengerti, orang-orang hidup yang mati, meremahkan tindakaan-tindakan kecil orang hidup yang hidup, karena tidak ada sesuatu yang dapat dibanggakan di alam dunia, dengan kesenangan-kesenangannya, dan sarana-sarana yang perlu untuk itu. Orang hidup yang hidup, tidak diperbolehkan menangis dalam soal ini, karena dia sedang diajari arti pentingnya mendoakan orang lain secara sirr, dan beritighfar secara sirr untuk dirinya dan orang lain. Orang-orang yang meremehkannya, ataupun yang tidak simpati, dan atau yang biasa-biasa saja, yang datang atau berkata langsung, dia menyadarinya, adalah kirimin-kiriman Alloh melalui orang-orang itu, dalam makna-makna haqiqinya. Dia sedang diajari agar memiliki istighfar ketika ada kesalahan, tasbih sirr ketika ta’jub, dan mendoakan orang lain, serta agar jadi kuat dalam perjalanan. Mereka disadari olehnya sebagai sahabat-sahabat kita sendiri, keluarga kita, dan anggota jamiyah kita, dan juga saudara sebangsa kita.
Maka mengertilah dia, dengan merenungi kekurangan diri, dan hanya menjadi satu skrup dari kehidupan, dia dituntut dan diajari untuk hidup dinamis dan kreatif, tetapi dia sudah diubah kesadarannya, antara tindakan-tindakan kecil dan tindakan-tindakan besar, yang ada dalam kategori mereka di kalangan orang-orang hidup yang mati. Bagi orang hidup yang hidup, semua tindakan yang bernilai hidup dan mengerti dengan yang Maha Hidup, adalah tindakan besar. Dia disebut tindakan kecil hanya dalam penamaan berhubungan dengan orang-orang hidup yang mati.
Kesadaran yang pada awalnya hendak ingin mengubah keadaan apa saja, yang mengandaikan aku yang mengubah, diganti dengan kesadaran sebagai aku hanya menjadi wadah-wadah dari yang Maha Mengubah dalam semua tindakan-tindakan. Aku yang akan mengubah di banyak kasus-kasus, menjadi aku menjadi wadah-wadah dalam pegerakan-pergerakan dari Afal-Nya Yang Maha Hidup. Maka dia tidak menuntut adanya kemenangan, tetapi dia menuntut keridhaan dalam perbuatan-perbuatan. Dia tidak berhenti karena takut, tetapi dia berhenti karena tidak ada keridahaan-keridhaan.
Kesadaran-kesadaran seperti ini, akan membawa kepada pembentukan dirinya sebagai manusia jadid dalam kategori insan yang masih harus menjalankan dan melakukan perjalanan. Sebab manakala cacat-cacat dan merasa kurang, tidak lagi sombong, dia akan dihantarkan bertapa terus dalam sepi dan ramai meniti kekurangan diri, cacat-cacat, dan amal-amal yang terlihat kecil dan sedikit, lalu mengisinya dengan amal-amal baik, kemudian disandarkan kepada Alloh. Dan ini, hanya mungkin dapat dilalui dengan kesabaran, kesabaran yang dinamis, kesabaran yang terus bergerak. Bedakan dengan bergerak yang tidak sabar, dan bergerak yang tidak dinamis. Yang terakhir ini, hanya akan menjadi racun dalam pergerakan, dalam tindakan-tindakan.
Karena untuk menjadi hidup yang hidup, hanya mungkin dengan kesabaran dan mengerti terhadap Yang Maha Hidup; dan orang yang tidak sabar dalam menekuni jalan ini yang berliku dan terjal, dan menganggap dirinya semata mencebur diri dalam dunia wirid-wirid, tarekat, dan tasawuf, ziarah, atau melakukan pembelaan terhadap masyarakat, tetapi tidak sabar, Syaikh Abdul Qodir menukil Ilham Ilahi yang diterimanya dalam ar-Risalah al-Ghoutsiyah sebagai: “Bila tidak bersabar berarti engkau hanya bermain-main belaka.” Bahkan bila hal itu, dibangun dengan teori-teori dan penjelasan-penjelasan, tetap ranahnya masih dalam penjelasan dari orang-orang hidup yang masih mati, yang sedang bermain-main belaka. Wallohu a’lam.
Syaikh Abdul Qodir menuturkan dalam ar-Risalah al-Ghoutsiyah, perkataan dari ilham Ilahi: “Wahai Ghoutsul A’zhom (sebutan untuk Syaikh Abdul Qodir al-Jilani), merasa memiliki kekurangan adalah sumber cahaya, dan mengagumi diri sendiri merupakan sumber kegelapan.”
Orang yang telah mengenal Nafsu Lawwamah, nafsu yang mencela dirinya, telah mulai mengenal ada perubahan dalam dirinya, ada perubahan kesadaran nafsunya. Perubahan-perubahan akibat menjalankan disiplin amal-amal syariat, pada level lahir, membawa dia pada pengisian waktu-waktunya dengan amal-amal syariat dan wirid-wirid, dan amal-amal syariat level sosial, baik yang berdimensi individu, keluarga, tetangga, dan masyarakat. Dalam level ini, dia dituntut untuk menjaga istiqomah oleh warid-warid yang datang.
Seiring dengan adanya kesadaran perubahan nafsu dari Ammaroh yang memerintahkan secara kuat, ke arah Lawwamah yang mencela diri dan menyesali, maka dia dituntut untuk menjadi seorang yang mulai mengerti amal-amal batin, amal amal hati. Selalu introspeksi dan menilai bahwa dia hanya seorang saja dari satu skrup dari skrup semesta; hanya menjadi bagian dari bagian masyarakat; menjadi satu penempuh di jalan Alloh di antara para pejalan di jalan Alloh, dia mulai mengerti arti bahayanya sombong dan membanggakan diri, dan mulai merasa dirinya sangat kecil di hadapan semesta.
Akan tetapi dia mulai sadar, di tengah kehidupan semesta, dunia dan masyarakatnya, dia adalah bagian yang tidak terpisah darinya. Ketika menyadari ini, dia dibawa pada kesadaran untuk terus membersihkan hatinya yang kotor, dan menghargai tindakan-tindakan yang terlihat kecil, perbuatan-perbuatan yang terlihat kecil itu akan sangat bermanfaat, oleh siapa pun. Karena dengan begitu, dia sedang diajar oleh Af’al Alloh dalam keadaannya itu, untuk mengerti tentang hidup yang terbangun dari satu titik, satu biji kehidupan, lalu menjadi titik-titik yang menggambar semesta, dunia dan masyarakatnya sampai menjadi galaksi-galaksi semesta, sampai menjadi tindakan-tindakan seseorang.
Maka titik sekecil apa pun ketika dia hidup dan menghidupkan, dia memiliki nilai yang besar dimata semesta dan haqiqinya, karena dia adalah bagian dari kelengkapan semesta dan bagian dari pengaturan semesta. Dalam hal tindakan-tindakan kecil, atau amal-amal kecil, ini dilihat dari sudut lahirnya, maka dia dilihat seperti kecil. Akan tetapi, dengan melihat ini, dia diajarkan keragaman semesta, masyarakat, dan dunia, sebagai keniscayaan Ilahi, tidak terlepas dari pengaturan-Nya. Maka mulailah dia menyadari, di tempat keramaian, dan di tempat yang sepi, pada intinya sama; bila dia tidak hidup dan tidak mengerti yang Maha Hidup, maka nilainya sama.
Di tempat sepi, dan di tempat ramai, bila tidak hidup dan tidak mengerti kepada Yang Maha Hidup, pada dasarnya sama-sama mati. Perbedaan hanya pada penampakan-penampakan, tampakan-tampakan lahir, yang beragam, seperti ada tindakan-tindakan besar dan kecil. Padahal kematian adalah haqiqi dan kehidupan adalah haqiqi, sementara penampakan-penampakan adalah hanya wadah-wadah, relasi-relasi dan interaksi, hanyalah bentuk-bentuk. Maka dia mulai mengenal apa artinya, hidup yang hidup dan hidup yang mati; demikian pula, dia mengenal mati yang hidup dan mati yang mati, yang hal ini tinggal menunggu kemurahan yang Maha Murah pada titik akhirnya.
Dia mulai mengerti dunai yang hidup ini, menjadi satu stasion belaka dalam perjalanan, apakah akan menjadi hidup yang hidup, atau hidup yang mati. Dan dia juga menyadari menjadi hidup yang hidup hanya mungkin dengan memulai kematian-kematian kehendak dalam hidup, dengan mematikan jalan-jalan yang mengumbar kehendak-kehendak, atau mengontrolnya. Sementara hidup yang mati justru harus diairi dengan menghidupkan kehidupan-kehidupan dalam kehendak yang mati, melalui pemenuhan segala kehendak-kehendak kesenangan dengan sarana-sarananya dalam hidup.
Ketika sudah mengenal itu, dia akan dibawa pada pengertian bahwa ilmunya hanya kecil, amalan-amalnya hanya sedikit, cacat-cacatnya banyak, kesombongan dan keakuan mulai dihancurkan. Kehendak mengalahkan orang lain, diganti kehendak hidup bersama-sama orang lain, untuk bersama-sama mengerti hidup yang hidup bukan hidup yang mati. Kehendak melakukan tindakan-tindakan yang sia-sia ditinggalkan, kalau dia sudah mengenal; apapun tindakan yang terlihat kecil dan bermanafaat bagi hidup dan kehidupan, haqiqinya bernilai besar, maka tidak ada kata putus asa, bahkan dengan amal-amal yang terlihat kecil sekalipun.
Dia mengerti, orang-orang hidup yang mati, meremahkan tindakaan-tindakan kecil orang hidup yang hidup, karena tidak ada sesuatu yang dapat dibanggakan di alam dunia, dengan kesenangan-kesenangannya, dan sarana-sarana yang perlu untuk itu. Orang hidup yang hidup, tidak diperbolehkan menangis dalam soal ini, karena dia sedang diajari arti pentingnya mendoakan orang lain secara sirr, dan beritighfar secara sirr untuk dirinya dan orang lain. Orang-orang yang meremehkannya, ataupun yang tidak simpati, dan atau yang biasa-biasa saja, yang datang atau berkata langsung, dia menyadarinya, adalah kirimin-kiriman Alloh melalui orang-orang itu, dalam makna-makna haqiqinya. Dia sedang diajari agar memiliki istighfar ketika ada kesalahan, tasbih sirr ketika ta’jub, dan mendoakan orang lain, serta agar jadi kuat dalam perjalanan. Mereka disadari olehnya sebagai sahabat-sahabat kita sendiri, keluarga kita, dan anggota jamiyah kita, dan juga saudara sebangsa kita.
Maka mengertilah dia, dengan merenungi kekurangan diri, dan hanya menjadi satu skrup dari kehidupan, dia dituntut dan diajari untuk hidup dinamis dan kreatif, tetapi dia sudah diubah kesadarannya, antara tindakan-tindakan kecil dan tindakan-tindakan besar, yang ada dalam kategori mereka di kalangan orang-orang hidup yang mati. Bagi orang hidup yang hidup, semua tindakan yang bernilai hidup dan mengerti dengan yang Maha Hidup, adalah tindakan besar. Dia disebut tindakan kecil hanya dalam penamaan berhubungan dengan orang-orang hidup yang mati.
Kesadaran yang pada awalnya hendak ingin mengubah keadaan apa saja, yang mengandaikan aku yang mengubah, diganti dengan kesadaran sebagai aku hanya menjadi wadah-wadah dari yang Maha Mengubah dalam semua tindakan-tindakan. Aku yang akan mengubah di banyak kasus-kasus, menjadi aku menjadi wadah-wadah dalam pegerakan-pergerakan dari Afal-Nya Yang Maha Hidup. Maka dia tidak menuntut adanya kemenangan, tetapi dia menuntut keridhaan dalam perbuatan-perbuatan. Dia tidak berhenti karena takut, tetapi dia berhenti karena tidak ada keridahaan-keridhaan.
Kesadaran-kesadaran seperti ini, akan membawa kepada pembentukan dirinya sebagai manusia jadid dalam kategori insan yang masih harus menjalankan dan melakukan perjalanan. Sebab manakala cacat-cacat dan merasa kurang, tidak lagi sombong, dia akan dihantarkan bertapa terus dalam sepi dan ramai meniti kekurangan diri, cacat-cacat, dan amal-amal yang terlihat kecil dan sedikit, lalu mengisinya dengan amal-amal baik, kemudian disandarkan kepada Alloh. Dan ini, hanya mungkin dapat dilalui dengan kesabaran, kesabaran yang dinamis, kesabaran yang terus bergerak. Bedakan dengan bergerak yang tidak sabar, dan bergerak yang tidak dinamis. Yang terakhir ini, hanya akan menjadi racun dalam pergerakan, dalam tindakan-tindakan.
Karena untuk menjadi hidup yang hidup, hanya mungkin dengan kesabaran dan mengerti terhadap Yang Maha Hidup; dan orang yang tidak sabar dalam menekuni jalan ini yang berliku dan terjal, dan menganggap dirinya semata mencebur diri dalam dunia wirid-wirid, tarekat, dan tasawuf, ziarah, atau melakukan pembelaan terhadap masyarakat, tetapi tidak sabar, Syaikh Abdul Qodir menukil Ilham Ilahi yang diterimanya dalam ar-Risalah al-Ghoutsiyah sebagai: “Bila tidak bersabar berarti engkau hanya bermain-main belaka.” Bahkan bila hal itu, dibangun dengan teori-teori dan penjelasan-penjelasan, tetap ranahnya masih dalam penjelasan dari orang-orang hidup yang masih mati, yang sedang bermain-main belaka. Wallohu a’lam.
Tambahkan Komentar