Oleh: Nur Kholik Ridwan
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani dalam Sirrul Asror, menjelaskan ayat “Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu ke jalan Alloh dengan hujjah yang nyata” (QS. Yusuf [12]: 108), dengan penjelasan: “Bimbingan sepeninggalku akan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hujjah batin seperti diriku, yaitu yang memiliki kewalian sempurna,” yang oleh Al-Qur’an disebut dengan waliyyan mursyida (QS. Al-Kahfi [18): 17).
Bagi mereka yang diberkahi semata dengan basyarot bil manam, karena berdisiplin syariat, dan merasa cukup dengan itu, guru pembimbing dalam suluk tidak diperlukan. Bila dia tidak memiliki ghairah untuk meningkatkan ke arah disiplin yang lebih dalam, sering sekali, menyetujui bahwa tidak diperlukannya seorang pembimbing atau guru, karena kita sudah punya Al-Qur’an dan hadits dalam cetakan-cetakan, juga kitab-kitab; dan sudah memperoleh pengalaman-pengalaman.
Demikian pula, bagi mereka yang memperoleh pengalaman spiritual, dengan dibukakan pengetahuan batin melalui kasyaf, tetapi hanya dalam hal-hal tertentu, misalnya melihat dengan penglihatan batin terhadap padang sahara, atau hutan semesta, melihat selintas jin, lalu penglihatan itu terus hilang. Hal ini cukup dilakukan dengan berdisiplin level syariat dan bahkan juga wirid-wirid tanpa ketersambungan dengan guru rohani, dengan dibarengi upaya yang ikhlas dan sabar dengan istiqomah. Dalam tahap seperti ini, tidak memiliki guru wirid tidaklah masalah.
Demikian pula, bagi yang memperoleh pengalaman, diberi pengalaman mendengarkan batin, sebentar terus hilang, maka untuk mencapai keadaan ini, tidak memerlukan guru pembimbing. Cukup dengan berdisiplin syariat dan mengambil dzikir tertentu yang dilazimi.
Kesemua ini adalah pengalaman sebagian yang saya lihat di antara rekan-rekan kami.
Akan tetapi ketika sudah masuk dan dibukakan kepada Alam Syahadah, atau karena ditarik Alloh melalui jadzbah dan mengalami Alam Syahadah sebelum berdisiplin wirid dengan tekun dan berdisiplin syariat secara tekun, diperlukan orang yang membibing secara rohani ini. Sebab mereka akan melakukan perjalanan dengan melihat dan mengalami langsung, berbagai tahapan dan rintangannya, melewati berbagai alam, dan jenjang-jenjang nafs.
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani dalam Sirrul Asror menyebut ini sebagai “pendidikan kewalian”, yang disebut “harus ada seorang penghubung”.
Seorang pembimbing rohani ini diperlukan untuk sampai pada “thiflul ma`ani”, makna-makna turunan, dimana dalam pengalaman Musyahadah, Alloh memperlihatkan diri-Nya melalui cermin roh dalam wujud sifat-sfiat ketuhanan-Nya. Makna turunan ini bertugas memelihara jasad dan menjadi perantara antara manusia dan Robbnya. Sampai-sampai Syaikh mengutip Imam Ali begini: “Kalau bukan karena pemeliharaku aku tidak akan mengenal Robbku.” Pemelihara di sini menurut Syaikh Abdul Qodir, adalah pemelihara batin.
Pemelihara batin ini diperoleh dengan cara melakukan pendidikan terhadap pemelihara zhahir melalui jalan talqin. Sedangkan para Nabi dan wali adalah pemelihara hati dan mereka mendapatkan pendidikan, dari pertemuannya dengan roh yang lain, yaitu malaikat Jibril. Dan pencarian kepada seorang mursyid adalah demi bertemu dengan roh ini, yang dapat menghidupkan hati.
Seorang pemula, untuk melakukan perjalanan dalam mengarungi tahap demi tahap mengalahkan nafsu dan melewati beberapa alam, pada awalnya belum memiliki penghubung. Dalam Futuhul Ghoib, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani menjelaskan “guru itu laksana ibu dan murid itu laksana bayinya yang masih menyusu. Apabila si bayi telah berumur dua tahun, maka berhentilah dia menyusu kepada ibunya. Tidak ada ketergantungan kepada makhluk lain setelah hawa nafsu amarah dan kehendak-kehendak kemanusiaan itu itu hilang dari dirinya.”
“Guru syaikh itu diperlukan selagi murid itu memiliki hawa nafsu angkara murka dan
kehendak-kehendak badaniah yang perlu dihancurkan. Setelah semuanya itu hilang dari hati si murid, maka guru itu tidak lagi diperlukan, karena si murid sekarang tidak lagi memiliki kekurangan atau dia telah menjadi sempurna.” Dengan kata lain: “Si murid telah setaraf dengan gurunya. Maka murid itupun berpisah dari gurunya, dan Alloh sajalah yang menjadi penjaganya, kemudian Alloh akan memisahkannya dari semua makhluk.”
Tahap tidak lagi memerlukan guru dan pembimbing, itu adalah tahap dimana dia sudah mencapai kesatuan wujud, setelah melewati berbagain alam. Dalam hal seperti itu, dia sudah tidak bingung lagi, sudah mengenal berbagai alam, dan dalam setiap alam ini, dia sudah mengerti berbagai jenis warid dan karakternya.
Dalam tahapan memerangi ammaroh dan nafsu-nafsu lain, seorang yang telah masuk ke alam Syahadah akan melewati beberapa tahapan dan alam, dan makanya, Syaikh mengatakan betapa pentingnya pembimbing ini, seperti disebutkan dalam Sirrul Asror: “Karena itu ia membutuhkan bimbingan dari seorang wali, karena wali itu dari sisi kemanusiaannya menghubungkan antara seorang pemula dengan Alloh, dimana seorang wali itu berkedudukan seperti seorang Nabi pada saat beliau masih hidup, dalam hal menghubungkan orang dengannya.”
“Seorang wali yang masih hidup dia memiliki seorang penghubung, sebab ia memiliki dua hal: adanya keterkaitan jasadi dan kebersihan rohani ditinjau dari kedudukannya sebagai pewaris sempurna. Makanya beberapa wilayah kenabian dikuasakan kepadanya, lalau ia memperkenalkan kepadanya. Pahamilah ini, karena di balik itu tersimpan rahasia tersembunyi yang dipahami oleh ahlinya.”
Pencarian terhadap seorang guru pembimbing, menurut Syaikh adalah “demi bertemu dengan roh pembimbing yang dapat menghidupkan hati (yang masih bayi) dan membuatnya mengenal Robb-Nya.”
Untuk mengenal-Nya itu, melalui berbagai perjalanan, yang ketika murid sudah bisa mengenal-Nya dan sudah sampai, maka murid itupun disapih oleh gurunya. Dia telah mencapai pemahaman dan pengenalan seperti gurunya. Dalam hal seperti itu, haruslah difahami kata Syaikh: “Kadang-kadang seorang murid mempunyai rahasia yang tidak diketahui oleh gurunya. Adakalanya pula rahasia-rahasia para guru tidak dapat diketahui oleh oleh muridnya meskipun muirid itu sudah mempunyai pengetahuan yang hampir sederajat dengan gurunya.”
Di kalangan para penempuh di jalan Alloh, bahtera sholawat dari kalangan para pengamal sholawat, sering dikatakan tidak memerlukan seorang guru. Karena Nabi Muhamamd langsung menjawab sholawatnya. Akan tetapi, para guru-guru mulia, meskipun mereka pengamal sholawat, selalu saja mengambil ijazah sholawat itu dari seorang guru dari guru di atasnya, untuk menunjukkan adab-adab mereka kepada Kanjeng Nabi, yang telah memberikan ijazah sholawat itu dari guru ke guru, misalnya pendawam munjiyat, nariyah, thibbil qulub, sholawat burdah, sholawat-sholawat dalam Dala’il, dan lain-lan.
Kita mesti ingat karena Syaikh mengatakan dibalik soal pembimbing ini, banyak tersimpan rahasia, dan tidak semuanya diketahui kecuali bagi mereka yang telah mengenal dan ahli di bidang itu. Meski begitu, jalan untuk sampai kepada guru, setiap orang berbeda-beda, sesuai dengan jalan yang ditunjukkan dan diarahkan Alloh.Wallohu a’lam.
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani dalam Sirrul Asror, menjelaskan ayat “Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu ke jalan Alloh dengan hujjah yang nyata” (QS. Yusuf [12]: 108), dengan penjelasan: “Bimbingan sepeninggalku akan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hujjah batin seperti diriku, yaitu yang memiliki kewalian sempurna,” yang oleh Al-Qur’an disebut dengan waliyyan mursyida (QS. Al-Kahfi [18): 17).
Bagi mereka yang diberkahi semata dengan basyarot bil manam, karena berdisiplin syariat, dan merasa cukup dengan itu, guru pembimbing dalam suluk tidak diperlukan. Bila dia tidak memiliki ghairah untuk meningkatkan ke arah disiplin yang lebih dalam, sering sekali, menyetujui bahwa tidak diperlukannya seorang pembimbing atau guru, karena kita sudah punya Al-Qur’an dan hadits dalam cetakan-cetakan, juga kitab-kitab; dan sudah memperoleh pengalaman-pengalaman.
Demikian pula, bagi mereka yang memperoleh pengalaman spiritual, dengan dibukakan pengetahuan batin melalui kasyaf, tetapi hanya dalam hal-hal tertentu, misalnya melihat dengan penglihatan batin terhadap padang sahara, atau hutan semesta, melihat selintas jin, lalu penglihatan itu terus hilang. Hal ini cukup dilakukan dengan berdisiplin level syariat dan bahkan juga wirid-wirid tanpa ketersambungan dengan guru rohani, dengan dibarengi upaya yang ikhlas dan sabar dengan istiqomah. Dalam tahap seperti ini, tidak memiliki guru wirid tidaklah masalah.
Demikian pula, bagi yang memperoleh pengalaman, diberi pengalaman mendengarkan batin, sebentar terus hilang, maka untuk mencapai keadaan ini, tidak memerlukan guru pembimbing. Cukup dengan berdisiplin syariat dan mengambil dzikir tertentu yang dilazimi.
Kesemua ini adalah pengalaman sebagian yang saya lihat di antara rekan-rekan kami.
Akan tetapi ketika sudah masuk dan dibukakan kepada Alam Syahadah, atau karena ditarik Alloh melalui jadzbah dan mengalami Alam Syahadah sebelum berdisiplin wirid dengan tekun dan berdisiplin syariat secara tekun, diperlukan orang yang membibing secara rohani ini. Sebab mereka akan melakukan perjalanan dengan melihat dan mengalami langsung, berbagai tahapan dan rintangannya, melewati berbagai alam, dan jenjang-jenjang nafs.
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani dalam Sirrul Asror menyebut ini sebagai “pendidikan kewalian”, yang disebut “harus ada seorang penghubung”.
Seorang pembimbing rohani ini diperlukan untuk sampai pada “thiflul ma`ani”, makna-makna turunan, dimana dalam pengalaman Musyahadah, Alloh memperlihatkan diri-Nya melalui cermin roh dalam wujud sifat-sfiat ketuhanan-Nya. Makna turunan ini bertugas memelihara jasad dan menjadi perantara antara manusia dan Robbnya. Sampai-sampai Syaikh mengutip Imam Ali begini: “Kalau bukan karena pemeliharaku aku tidak akan mengenal Robbku.” Pemelihara di sini menurut Syaikh Abdul Qodir, adalah pemelihara batin.
Pemelihara batin ini diperoleh dengan cara melakukan pendidikan terhadap pemelihara zhahir melalui jalan talqin. Sedangkan para Nabi dan wali adalah pemelihara hati dan mereka mendapatkan pendidikan, dari pertemuannya dengan roh yang lain, yaitu malaikat Jibril. Dan pencarian kepada seorang mursyid adalah demi bertemu dengan roh ini, yang dapat menghidupkan hati.
Seorang pemula, untuk melakukan perjalanan dalam mengarungi tahap demi tahap mengalahkan nafsu dan melewati beberapa alam, pada awalnya belum memiliki penghubung. Dalam Futuhul Ghoib, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani menjelaskan “guru itu laksana ibu dan murid itu laksana bayinya yang masih menyusu. Apabila si bayi telah berumur dua tahun, maka berhentilah dia menyusu kepada ibunya. Tidak ada ketergantungan kepada makhluk lain setelah hawa nafsu amarah dan kehendak-kehendak kemanusiaan itu itu hilang dari dirinya.”
“Guru syaikh itu diperlukan selagi murid itu memiliki hawa nafsu angkara murka dan
kehendak-kehendak badaniah yang perlu dihancurkan. Setelah semuanya itu hilang dari hati si murid, maka guru itu tidak lagi diperlukan, karena si murid sekarang tidak lagi memiliki kekurangan atau dia telah menjadi sempurna.” Dengan kata lain: “Si murid telah setaraf dengan gurunya. Maka murid itupun berpisah dari gurunya, dan Alloh sajalah yang menjadi penjaganya, kemudian Alloh akan memisahkannya dari semua makhluk.”
Tahap tidak lagi memerlukan guru dan pembimbing, itu adalah tahap dimana dia sudah mencapai kesatuan wujud, setelah melewati berbagain alam. Dalam hal seperti itu, dia sudah tidak bingung lagi, sudah mengenal berbagai alam, dan dalam setiap alam ini, dia sudah mengerti berbagai jenis warid dan karakternya.
Dalam tahapan memerangi ammaroh dan nafsu-nafsu lain, seorang yang telah masuk ke alam Syahadah akan melewati beberapa tahapan dan alam, dan makanya, Syaikh mengatakan betapa pentingnya pembimbing ini, seperti disebutkan dalam Sirrul Asror: “Karena itu ia membutuhkan bimbingan dari seorang wali, karena wali itu dari sisi kemanusiaannya menghubungkan antara seorang pemula dengan Alloh, dimana seorang wali itu berkedudukan seperti seorang Nabi pada saat beliau masih hidup, dalam hal menghubungkan orang dengannya.”
“Seorang wali yang masih hidup dia memiliki seorang penghubung, sebab ia memiliki dua hal: adanya keterkaitan jasadi dan kebersihan rohani ditinjau dari kedudukannya sebagai pewaris sempurna. Makanya beberapa wilayah kenabian dikuasakan kepadanya, lalau ia memperkenalkan kepadanya. Pahamilah ini, karena di balik itu tersimpan rahasia tersembunyi yang dipahami oleh ahlinya.”
Pencarian terhadap seorang guru pembimbing, menurut Syaikh adalah “demi bertemu dengan roh pembimbing yang dapat menghidupkan hati (yang masih bayi) dan membuatnya mengenal Robb-Nya.”
Untuk mengenal-Nya itu, melalui berbagai perjalanan, yang ketika murid sudah bisa mengenal-Nya dan sudah sampai, maka murid itupun disapih oleh gurunya. Dia telah mencapai pemahaman dan pengenalan seperti gurunya. Dalam hal seperti itu, haruslah difahami kata Syaikh: “Kadang-kadang seorang murid mempunyai rahasia yang tidak diketahui oleh gurunya. Adakalanya pula rahasia-rahasia para guru tidak dapat diketahui oleh oleh muridnya meskipun muirid itu sudah mempunyai pengetahuan yang hampir sederajat dengan gurunya.”
Di kalangan para penempuh di jalan Alloh, bahtera sholawat dari kalangan para pengamal sholawat, sering dikatakan tidak memerlukan seorang guru. Karena Nabi Muhamamd langsung menjawab sholawatnya. Akan tetapi, para guru-guru mulia, meskipun mereka pengamal sholawat, selalu saja mengambil ijazah sholawat itu dari seorang guru dari guru di atasnya, untuk menunjukkan adab-adab mereka kepada Kanjeng Nabi, yang telah memberikan ijazah sholawat itu dari guru ke guru, misalnya pendawam munjiyat, nariyah, thibbil qulub, sholawat burdah, sholawat-sholawat dalam Dala’il, dan lain-lan.
Kita mesti ingat karena Syaikh mengatakan dibalik soal pembimbing ini, banyak tersimpan rahasia, dan tidak semuanya diketahui kecuali bagi mereka yang telah mengenal dan ahli di bidang itu. Meski begitu, jalan untuk sampai kepada guru, setiap orang berbeda-beda, sesuai dengan jalan yang ditunjukkan dan diarahkan Alloh.Wallohu a’lam.
Tambahkan Komentar