Oleh Hamidulloh Ibda
Istriku tiba-tiba marah.
Entah tidak tahu apa sebabnya. Setelah kudekap, kutanya, ia pun baru menjawab
dan menarasikan apa yang sedang membuatnya kesal. “Ada mahasiswa PPL di SD itu
nggak mudeng etika, membuat RPP dan instrumen penilaiannya juga semrawut,” katanya
sekitar pertengahan Agustus 2018 lalu.
Jawabannya kukejar. “La
namanya mahasiswa, biasa to kayak gitu,” kataku sambil meyakinkannya. Ia
menjelaskan, katanya mahasiswa PPL tahun ini beda karena mahasiswanya tidak
aktif, tidak grapyak, dan tidak paham
cara mengorganisasikan tim dengan sekolah. Aku pun bertanya, “Apa bocahe dudu
aktivis to?” Ternyata, jawaban istriku mengamininya. Rata-rata, mereka bukan
aktivis, bahkan tampak mahasiswa yang tidak pernah mendapat perkaderan di
organisasi.
Saya memandang mereka
dari kacamata istriku sendiri. Meski ia dulu pernah jadi mahasiswa teladan,
lulusan terbaik, dan pendiri Warung Komunikasi dan Diskusi Karya Ilmiah (Warkop
DKI) PGSD Unnes dan aktivis UKM Penelitian, saya rasa masih kurang dalam
berorganisasi. Begitu pula saya sendiri.
Tapi, apa yang dialami
istriku tersebut juga pernah saya alami. Saya berada pada kondisi yang
dihadapkan pada wajah-wajah yang tidak pernah berorganisasi. Dari situ, saya
menyebut inilah dampak dari “dosa-dosa besar” mahasiswa.
Saat ini banyak yang
menyandang status “mahasiswa”, tapi daya kritis, intelektualitas, pola pikir,
dan perlakuannya tidak mencerminkan mahasiswa. Saya membuat rumus, ada beberapa
dosa-dosa besar mahasiswa. Pertama, malas membaca. Di sini bukan membaca gawai,
WA, atau media sosial, melainkan lebih pada membaca serius pada karya ilmiah.
Ya, skripsi, tesis, disertasi, buku, jurnal, artikel, bahkan karya sastra.
Rata-rata, mahasiswa sekarang judul dan penulis buku asing bagi mereka. Ironis.
Kedua, malas membeli
buku. Buku adalah bukti intelektualitas, bahkan menjadi “bukti kekayaan
intelektual mahasiswa”. Kenang-kenangan terindah dan dapat dilihat secara fisik
setelah lulus kuliah adalah buku. Sebab, saat ini menyisihkan uang untuk
membeli buku sangat susah, mahasiswa lebih ringan merogoh kocek membeli kuota
daripada buku. Padahal, selain untuk keperluan ilmu, buku bermanfaat membantu
perkuliahan sampai pada menulis makalah, artikel, dan skripsi. Minimal, jika
belum bisa menulis buku, maka belilah buku!
Ketiga, malas menulis
dan publikasi intelektual. Sama, mereka tiap menit, bahkan tiap detik lihai
menulis status di Facebook, Twitter, Instragam, layanan pesan WA, namun sangat budreg ketika disuruh menulis makalah
dengan benar, baik, dan indah. Padahal, yang namanya menulis, publikasi
intelektual, saat ini sangat dihargai lembaga atau media massa. Saya pun, bisa
kuliah, bahkan bisa membayar kuliah sampai S2, bahkan juga mendapat jodoh, itu
berkat tulisan.
Keempat, plagiasi, falsifikasi dan fabrikasi. Plagiat ini
menjadi bahaya laten di kalangan akademisi. Harusnya, mahasiswa belajar cara
menyitasi, kaidah selingkung, dan author
guideline. Membuat makalah saja, hampir 100 persen full plagiat dari blog,
itu pun semrawut cara menyitasinya. Nauzubillah.
Kelima, malas diskusi. Kemalasan diskusi menjadi
indikator mahasiswa sudah tidak mencintai ilmu, kemajuan, dan tidak suka
intelektualisme. Mereka cenderung mendasarkan sesuatu pada gawai, ngobrol tanpa arah dan jalan-jalan saja. Iklim diskusi
sangat susah dibangun jika demikian. Padahal, mereka bisa berdiskusi dengan
siapa saja, dan kapan saja. Maka indikator kampus itu maju atau tidak, ada pada
kelompok-kelompok kecil yang melestarikan diskusi-diskusi di pojok-pojok kampus.
Keenam, malas membuat tugas dan memasrahkan tugasnya
pada teman atau pacarnya. Ini juga bahaya laten. Kuliah kok ora gelem rekoso. Yang namanya mencari ilmu, memerangi
kebodohan itu ya harus serius, tidak bisa iseng atau guyonan.
Ketujuh, malas mengikuti lomba. Suatu lomba, bagi saya
adalah ajang menunjukkan kemampuan komparatif dan kompetitif. Saat ini, hampir
tiap bulan ada perlombaan yang hadiahnya juga lumayan. Bukan hadiahnya yang
dicari atau diburu, melainkan lebih pada menunjukkan marwah intelektualitas dan
juga taring kritisme mahasiswa. Adapun hadiah hanya bonus. Mulai dari lomba
menulis, olahraga, seni, hingga pada debat mahasiswa.
Kedelapan, tidak ikut organisasi sekaligus malas bersosialisasi. Mahasiswa yang
seperti ini justru akan inferior di mata masyarakat. Mereka sebagai bagian dari
masyarakat, akan dikenal dan dibutuhkan ketika egaliter, dan merakyat. Masak
mahasiswa tidak merakyat? Cara untuk bersosialisasi jelas ada pada organisasi. Organisasi itu, ibarat jendela kecil untuk melihat dunia yang lebih luas.
Kesembilan, dosa terakhir mahasiswa adalah malas
demonstrasi. Dosenku dulu bilang, “satu kali demo, lebih baik daripada seribu
kali kuliah”. Saya berpikir, memang demikian. Jika saya hitung, saya sendiri
ikut demo hampir 78 kali lebih. Belum lagi ditambah dengan para buruh, dan
beberapa aktivis di luar kampus. Maka, belum disebut mahasiswa jika belum
pernah demo! Pertanyaannya, apakah Anda ini masih laik disebut mahasiswa?
Jika tidak mahasiswa, lalu Anda ini siapa? Duh!
Tulisan ini sudah dimuat di Kolom Dosen, Buletin PGMI (BUMI) Prodi PGMI STAINU Temanggung edisi 1 (Agustus-September 2018).
Tambahkan Komentar