TABAYUNA.com Memperingati Hari Santri,
PKPT IPNU IPPNU Universitas Negeri Malang menggelar diskusi pada Minggu, 21
Oktober 2018. Diskusi dilaksanakan di Sekretariat PKPT IPNU IPPNU UM dengan
mengusung tema Pemuda Islam dan
Nasionalisme. Diskusi ini bertujuan untuk menggali potensi berpikir kritis
mahasiswa nahdliyin di lingkungan Universitas Negeri Malang. Membahas peran
pemuda islam dari zaman pra-kemedekaan, dinamika sosial saat ini, hingga
langkah kedepan para pemuda dalam mengambil peran menjadi topik yang hangat
diperbincangkan di diskusi ini.
Diskusi yang merupakan program
departemen Badan Student Crisis Center dan Lembaga Konseling Putri atau
disingkat BSCC LKP ini berlangsung dengan seru. Para peserta diskusi
menggulirkan banyak sekali pemikiran-pemikiran kritis terkait peran pemuda
islam dalam menyokong kehidupan bebangsa. Diskusi ini dipimpin oleh pemantik
dari majelis alumni PKPT IPNU IPPNU Universitas Negeri Malang, Rekan Ahya
Mujahidin. Beliau memimpin diskusi dan membagi peserta menjadi tiga kelompok
guna mendiskusikan tiga topik besar. Ketiga topik itu adalah tinjauan historis
peran pemuda islam khususnya Nahdlatul Ulama di zaman pra-kemerdekaan, dinamika
kehidupan sosial era sekarang, dan langkah kedepan yang akan diambil oleh
pemuda islam menanggapi dinamika kehidupan sosial yang terjadi.
Ketiga topik yang diusung menghasilkan
buah pikiran yang luar biasa. Tak dapat dipungkiri bahwa kemedekaan Indonesia
merupakan campur tangan pemuda islam dalam memperjuangkan tanah air.
Hasdratussyaikh K.H Hasyim Asyari yang mencetuskan seruan hubbul wathan minal iman yang memiliki arti mencintai tanah air
adalah sebagian dari iman sukses meletupkan semangat pejuangan pemuda islam
dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pasca kemerdekaan, NU masih
mewarnai dinamika kehidupan baik politik maupun keagamaan.
Mengutip hasil diskusi yang telah
dilaksanakan, tantangan pemuda zaman sekarang adalah aktif berperan dengan
memberikan sumbangsih pemikiran dalam kehidupan benegara. Jika dahulu kita
telibat perjuangan fisik maka sekarang kita harus aktif berjuang lewat
pemikiran. Bagaimana cara kita beragama tanpa melupakan asal bangsa kita dan
bagaimana cara kita menyaring informasi yang masuk. Kita harus gencar berdakwah
melalui media sosial agar masyarakat awam tidak terjerumus dalam prasangka
beragama yang salah dan terlalu radikal. Tidak cukup hanya itu, kita harus
mulai berdakwah dari diri sendiri, membenahi akhlak pribadi sehingga dapat
bepengaruh baik bagi lingkungan sekitar kita.
Islam dan nasionalisme merupakan dua hal
yang tidak bisa dipisahkan keberadaannya. “Agama tanpa nasionalisme akan
menjadi ekstrem. Nasionalisme tanpa agama akan menjadi kering. Agama
membutuhkan tanah air sebagai lahan dakwah. Sedangkan tanah air memerlulan
siraman nilai-nilai agama islam agar tidak tandus.” Tutur Rekan Ahya Mujahidin mengakhiri diskusi hari
ini. (tb44/Alfi Cahya Firdauzi).
Tambahkan Komentar