Ilustrasi |
Advokat, Kuasa Hukum Pemerintah RI dalam perkara vs HTI di PTUN
Biasakanlah berucap dengan dilandasi keputusan hukum, begitu kata professor Yusril, Kuasa Hukum HTI di PTUN, ketika menyimpulkan HTI bukan organisasi terlarang.
Mari kita bersama melihat keputusan hukum yang dimaksud, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara no.211/G/2017/PTUN-JKT tanggal 7 Mei 2018, yang sudah diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 19 September 2018.
Dalam putusan no.211/G/2017/PTUN-JKT tanggal 7 Mei 2018 setebal 312 halaman tersebut tertuang dengan jelas dan lengkap semua pertimbangan hukum yang membuktikan HTI sebagai oganisasi terlarang, karena melanggar larangan pada yang disebutkan dalam Pasal 59 ayat (4) huruc Perppu Ormas No. 2 tahun 2017 (yang saat ini telah disahkan menjadi UU Ormas No.16 tahun 2017), yaitu :
Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila, yang di dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Pertimbangan Hukum selanjutnya Majelis Hakim menguraikan fakta hukum sebagai berikut :
1. Dasar-dasar pemikiran HTI yang tertuang dalam bukti-bukti di persidangan, antara lain bahwa HTI meyakini saat ini kita berada pada fase/masa Penguasa atau Diktator yang zalim dan menyengsarakan (sehingga Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah harus diperjuangkan).
2. Sistim Pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia, baik dari segi asas yang mendasarinya, dari segi pemikiran, pemahaman, maqayis (standar), dan undang-undangnya ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus membedakaannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini;
3. HTI meyakini bahwa setiap Muslim di pundaknya terdapat baiat dan baiat (kepada setiap Muslim) tidak akan terjadi (setelah Rasulullah wafat) kecuali kepada Khalifah, bukan kepada yang lain;
4. HTI berpedoman, jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan seorang Imam/Khalifah, penggallah (bunuhlah) orang itu;
5. HTI meyakini bahwa kaum muslimin di seluruh dunia wajib berada dalam satu Negara (khilafah) dan wajib pula hanya ada satu Khalifah di seluruh dunia, haram memiliki lebih dari satu Negara dan lebih dari seorang khalifah.
Selanjutnya Majelis Hakim menyebutkan bahwa menurut HTI, khilafah yang diperjuangkan bukan hanya dalam arti kepemimpinan, tetapi juga dalam arti Sistem Pemerintahan dan hukumnya wajib, bahkan kewajiban yang utama/mahkota ( tajul furud).
Sebagai perbandingan terbalik, Majelis Hakim menyebutkan bahwa ormas Islam Muhammadyah menyatakan konsep Negara Pancasila sebagai “Dar Al Ahdi Wa Al Syahadah” atau Negara hasil kesepakatan nasional dan Negara kesaksian yang diputuskan dalam Muktamar Muhammadyah. Dalam muktamar tersebut, warga Muhammadyah diminta untuk mengisi dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai negeri dan bangsa yang maju, adil, makmur, bermartabat dan berdaulat sejalan dengan cita-cita Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.
Majelis Hakim juga menguraikan bahwa ormas terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama juga telah menyatakan komitmennya terhadap Pancasila, NKRI dan UUDN 1945 melalui Muktamar NU. Salah satu point penting yang dirumuskan NU adalah bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah perjanjian luhur kebangsaan di antara anak bangsa pendiri Negara ini.
NKRI dibentuk guna mewadahi segenap elemen bangsa yang sangat majemuk dalam hal suku, bahasa, budaya, dan agama.
Majelis Hakim juga mengutip Ijma Ulama se Indonesia tentang Masail Asasiyah Wathaniyah (Masalah Strategis Kebangsaan), khususnya mengenai prinsip-prinsip ajaran agama Islam tentang hubungan umat beragama dalam bingkai NKRI, yang memutuskan :
1. Kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk NKRI dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan UUDN RI tahun 1945 sebagai konstitusi merupakan ikhtiar untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan bersama dan kesepakatan ini mengikat seluruh elemen bangsa;
2. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, baik suku, ras, budaya maupun agama. Karenanya bangsa Indonesia sepakat untuk mengidealisasikan bangsa ini sebagai sebuah bangsa yang majemuk tetapi tetap satu dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika;
3. Umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa ini harus terus menjaga consensus nasional tersebut.
Berdasarkan berbagai fakta juridis di atas, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa pandangan HTI tentang Khilafah sebagai system pemerintahan yang wajib diwujudkan di seluruh dunia bertentangan dengan pandangan umum umat Islam di Indonesia, yang antara lain diwakili Muhammadyah dan NU, bahwa Khilafah adalah system kepemimpinan yang sudah ada di Indonesia.
Selanjutnya Majelis Hakim menyebutkan bahwa perjuangan HTI mewujudkan khilafah Islamiah (in casu khilafah Politik) sudah diwujudkan dalam bentuk aksi mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan politiknya tersebut.
Jika suatu ajaran sudah menggerus legitimasi Pemerintahan yang sah, maka sudah barang tentu akan dibubarkan oleh Pemerintah yang sah tersebut.
Dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, pihak Pemerintah RI mengajukan 165 bukti tertulis dan film, 11 orang Ahli dan 2 orang saksi fakta.
Dari semua bukti, saksi dan ahli tersebut Majelis Hakim menemukan berbagai fakta hukum yang tak terbantahkan bahwa HTI telah melakukan aksi nyata mengembangkan, menyebarkan dan mengajak warga masyarakat Indonesia dan warga Negara dari berbagai Negara asing untuk menegakkan Khilafah Islamiah ala Minhajin Nubuwwah.
HTI terbukti telah mengajak mengubah prinsip kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan Allah di tangan Syara, menghancurkan sekat-sekat Nasionalisme, tinggalkan proses hukum perundang-undangan buatan manusia, yang pada pokoknya meyakinkan Majelis Hakim bahwa HTI telah terbukti melakukan aksi untuk mengubah sendi-sendi Negara seperti Demokrasi, Nasionalisme, Pancasila dan tentu saja mengubah NKRI menjadi Negara Khilafah Islamiah.
Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim juga menguraikan Sejarah Singkat Kelahiran Pancasila dan Profil Singkat HTI, yang antara lain disebutkan bahwa Hizbut Tahrir (partai pembebasan) merupakan partai politik yang didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pada tahun 1953 di Al Qus Palestina dan memasuki Indonesia sekitar tahun 1980 an, dan menegaskan diri bahwa Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, bukan organisasi kerohanian, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan dan bukan pula lembaga sosial.
Majelis Hakim juga menguraikan bahwa konsep Khilafah dari HTI tidak cocok dan berbeda dengan konteks Indonesia yang dilahirkan justru dengan bergabungnya berbagai suku, agama, ras serta bergabungnya para Sultan dan Khalifah (pemimpin).
Majelis Hakim menegaskan, Kesepakatan yang telah dilakukan oleh para pendiri bangsa serta bergabungnya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara ke dalam Republik Indonesia merupakan janji setia kita kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945.
Allah SWT berfirman : “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. QS Al Isra:34.
Menurut Mejelis Hakim, HTI terbukti memandang Demokrasi sebagai sistim kufur, terbukti pula HTI ingin mendirikan Khilafah Islamiah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa mengikuti pemilihan umum dan hal tersebut sudah dilakukan dalam bentuk aksi, bukan hanya dalam bentuk konsep/wacana/pemikiran, sehingga Majelis Hakim menyatakan tindakan HTI telah bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila ketiga dari Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia,
Dalam pertimbangan selanjutnya, Majelis Hakim meyakini bahwa HTI adalah Partai Politik Dunia ( Global Political Party), walaupun ternyata HTI tidak didaftarkan sebagai partai politik, melainkan didaftarkan (melalui Notaris) sebagai Perkumpulan berbadan hukum, sehingga Majelis Hakim menilai HTI sudah salah sejak didaftarkan.
Bahkan pada bagian akhirnya pertimbangannya, Majelis Hakim juga menyatakan bahwa pencabutan badan hukum dan pembubaran HTI sebaiknya dapat dilengkapi pertimbangan bahwa Perkumpulan HTI telah melakukan kegiatan yang mengembangkan serta menyebarkan paham sistim pemerintahan Khilafah Islamiah di dalam NKRI dan bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia sehingga memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c Perppu Ormas yang saat ini telah menjadi UU.
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, yang antara lain menambahkan bahwa HTI terbukti mengembangkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila, UUDN RI tahun 1945 serta kegiatan-kegiatan menyebarluaskan ajaran atau paham tersebut arah dan jangkauannya bertujuan mengganti Pancasila, UUD 1945 serta mengubah NKRI menjadi Negara khilafah.
Bahwa Surat Keputusan Menkumham No. AHU 30.AH.01.08 tahun 2017, yang dibenarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta memang merupakan keputusan administrasi, akan tetapi yang menjadi dasar dari seluruh pertimbangan hukum keputusan administrasi tersebut adalah pelanggaran berat HTI terhadap larangan Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila, serta yang bertujuan mengganti/ mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Keputusan Administrasi tersebut merupakan produk hukum yang menetapkan HTI sebagai organisasi yang tidak memiliki izin, bahkan tidak memiliki hak untuk bertindak sebagai subyek hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, atau dengan kata lain HTI adalah sebuah entitas yang dilarang melakukan kegiatan atau perbuatan apapun dengan menggunakan identitas, atribut, label, symbol, lambang, kalimat, tulisan, gambar, penyebutan, kemasan yang berkaitan dengan HTI yang dimaksudkan dalam perkara di atas.
Dengan status tersebut, tidak diperlukan lagi keputusan hukum apapun terkait dengan HTI, terkecuali keputusan hukum pidana atas dasar laporan masyarakat atau temuan fakta di lapangan, masih terdapatnya aksi atau kegiatan anggota HTI atau warga masyarakat lain yang menggunakan identitas, atribut, label, symbol, lambang, kalimat, tulisan, gambar, penyebutan, kemasan yang terbukti berkaitan dengan HTI.
Untuk itu, masyarakat dapat melaporkan kepada pihak Kepolisian Republik Indonesia, apabila ditemukan peristiwa, fakta atau bukti adanya kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang diduga menggunakan identitas, atribut, label, symbol, lambang, kalimat, tulisan, gambar, penyebutan, kemasan yang berkaitan dengan HTI.
Selanjutnya, POLRI wajib menindak-lanjuti laporan atau temuan tersebut dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan atas adanya dugaan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 107 KUHP juncto Pasal 107 huruf b UU no.27 tahun 1999 tentang Makar atau Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Dalam penjelasan Pasal 107 KUHP yang disusun oleh R. Soesilo disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “menggulingkan pemerintahan” yaitu merusak atau mengganti dengan cara tidak sah susunan pemerintahan yang berdasarkan UUD di Negara Republik Indonesia, dengan contoh misalnya mengganti republik menjadi kerajaan, serupa dengan aksi HTI yang bertujuan mengubah NKRI menjadi khilafah.
Dalam Pasal 107 huruf b yang ditambahkan melalui UU No.27 tahun 1999, disebutkan Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari dan atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Oleh sebab itu, sebutan organisasi terlarang bagi HTI tidak memerlukan putusan hukum lagi, karena memang HTI dengan segala atribut, label, symbol, lambang, kalimat, tulisan, gambar, penyebutan, kemasan dan kegiatannya secara hukum sudah terlarang berdasarkan keputusan Kemenkumham yang berlaku serta merta dan mengikat sejak diputuskan, yang telah dibenarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang.
Untuk Yusril, saya sarankan biasakan patuh pada Keputusan Hukum, jangan lagi menyebut kata “dakwah” untuk HTI yang sudah diputuskan sebagai organisasi politik yang berkegiatan politik dan bertujuan politik, bahkan makar. (*)
Tambahkan Komentar