Ulul Albab, Al-Washilun Ila Lubbit Tauhid
Oleh: Nur Kholik Ridwan
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, menyebutkan bahwa “orang-orang yang telah sampai” itu disebut dengan ulul Albab. Inti dari ilmu hakikat adalah melihat apa saja dari sudut dikembalikan kepada Alloh, ma’rifat-ma’rifat yang beragama tentang berbagai hal dikembalikan kepada Alloh, ditahqiq terus menerus fi kulli syai', afalulloh bi asmaihi washifatih.
Hidupnya aqal, nafsnya yang ridho dan tenang, amal-amal istiqomah, dikembalikan kepada Alloh: tidak ada yang mengatur, memberi kawelasan, mengampuni, menguji dengan berbagai ahwal, membuat dirinya seperti itu, kecuali Alloh. Tidak dikembalikan kepada nafs yang mengkamuflase menjadi aku; juga tidak kepada setan, dan tidak kepada qudrah lain. Akan tetapi pada akhirnya qudrah Alloh itu, pengaturan dan kekuasaan-Nya, difahami melalui martabat-martabat, yang dalam ilmu Syaikh melahirkan ilmu marotib Rububiyah, dan mengharuskan marotib Ubudiyah.
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani (Pakistan: Al-Maktabah al-Ma’rufiyah, 1431/2010), menyebutkan Ulul Albab adalah “mereka yang melihat kepada Nur Alloh di dalam setiap inti masalah/perkara, almu’ridhun an qoshurotin” (Tafsir al-Jilani, IV: 251); “Mereka para al-washilun/yang sampai kepada inti persoalan; yang memalingkan dari kulit luarnya; mereka yang menghadapkan dengan kemauan-kemauan yang benar (ghirah yang kuat); dan menolak untuk menjalankan kemudahan yang mendorong pada tindakan dosa” (Tafsir al-Jilani, I: 244).
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani juga memaknai dengan “mereka, orang-orang yang menghadapkan pandangannya pada lubbul Albab (inti dari inti), yang berpaling dari kulit yang menutupi kehadiran (kehadiran hati), kami menemukannnya melalui kelembutan-Mu wahai Dzat yang melembutkan hal-hal yang lembut” (Tafsir al-Jilani, I: 196).
Selain itu, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani juga mengemukan, Ulul Albab itu dengan “Al-Majbulun/orang yang mengenal atas inti tauhid, yang menolak dari kulit yang menuntut kuatanya hal-hal berbau nafsu, yang itu adalah pasukan-pasukan syaithon, hawa nafsu yang batil, dan pandangan yang merusak” (Tafsir al-Jilani, I: 258); juga menafsirkan “orang yang sampai pada inti tauhid, yang menembus kulitnya dengan menggunakan cermin (yaitu hati)” (Tafsir al-Jilani, I: 331); dan menafsirkan “orang-orang yang melihat dengan Nur Alloh, yang mengalami fana’ bihi, dan mengalami baqo’ dengan kebaqo’annya” (Tafsir al-Jilani, II: 248).
Al-Qur’an menyebut Ulul Albab
Muhammad Fuad Abdul Baqi menyusun kata Ulul Albab, dalam Al-Mu’jamul Mufahrosy li Alfazhil Al-Qur’an (Darul Fikr, 1981/1401: 644), pada 16 tempat yang tersebar di berbagai ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat yang menyebut kata Ulul Albab itu sebagai berikut: QS. Al-Baqoroh [2]: 179, 197 dan 269; QS. Ali Imran [3]: 7 dan 190; QS. Al-Maidah [5]: 100 dan 190; QS. Yusuf [12]: 111; QS. Ar-Ra’du [13]:19; QS. Ibrahim [14]: 52; QS. Shodh [28]: 29 dan 43; QS. AZ-Zumar [39]: 18 dan 21; QS. Ghofir [40]: 54; dan QS. Ath-Tholaq [65]: 10.
Al-Qur’an menyapa Ulul Albab, dengan menggunakan kata-kata “ittaqu”, “dzikro” atau “ladzikro” dan yang diambil dari kata ini seperti “wama yadzdzakkaru” dan semisalnya, redaksi “ibrotun”; “la’ayat”, dan “huda wadzikro” sekaligus; dan “hayatan ya Ulil Albab”. Dalam beberapa penafsiran para mufassir, kata Ulul Albab itu mengandung arti tertentu, yang beberapa di antaranya, di sini penulis mengutip 3 penafsir, yaitu Imam ar-Razi Fakhruddin dalam Tafsir Mafatihul Ghoib atau tafsir al-Kabir, Imam al-Qurthubi dalam Al-Jami li Ahkamil Qur’an, dan an-Nasafi dalam Tafsir an-Nasafi.
Muhammad ar-Razi Fakhrudin
Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddin, dalam Tafsir Mafatihul Ghoib (Beirut: Darul Fikr, 1981/1401), menjelaskan: “Maka sesungguhnya bila al-insan tidak memiliki aqal kamilul fahmi, tercegahlah ia untuk memperoleh pengertian-pengertian haqiqat di dalam hatinya. Kami mengatakan bahwa al-Fa`il dalam hidayah adalah Alloh”, dan “yang menerima hidayahnya adalah yang diisyaratkan Ulul Albab.” Lalu dikatakan begini: “Sesungguhnya hasilnya hidayah itu memerlukan al-Fa`il dan al-Qobil, adapun al-Fa`il bukanlah an-nafs, sebaliknya al-Fa`il adalah Alloh, dan al-Qobil adalah jauharun nafs (substansi nafs), dan karenanya dikatakan ula’ikalladzina hadahumulloh/mereka itu orang-orang yang oleh Alloh diberi hidayah” (Mafatihul Ghoib, XXVI: 262).
Muhammad bin Ahmad al-Anshori Al-Qurthubi
Al-Qurthubi di dalam Al-Jami li Ahkamil Qur’an (Dar Alamil Kutub, versi ditashih Syaikh Hisyam Syamir al-Bukhori) menjelaskan: “Alladzina intafa`u biuqulihim/mereka orangorang yang mau dan bisa menggunakan aqal-aqal mereka” (Al-Jami li Ahkamil Qur’an, XV: 244); dan dalam penafsirannya di ayat lain, disebut “dzu lubbin/orang yang memliki pandangan pad ainti, yaitu al-aqal, dan inti dari sesuatu itu adalah dalamnya (kholishuhu), dan karenanya, dikatakan bagi aqal itu adalah inti (lubb), dan kata ulu itu jamak dari kata dzu” (Al-Jami li Ahkamil Qur’an, IV: 19).
Abul Barokat Abdullah An-Nasafi
An-Nasafi dalam Madarikut Tanzil wa Haqoiqut Ta’wil (Beirut: Darul kalimith Thoyyib, 1998/1419) memaknai Ulul Albab sebagai “orang yang aqalnya ikhlas dari al-hawa dengan keikhlasan yang menyentuh inti dari kulit” (Madarikut Tanzil wa Haqoiqut Ta’wil, I: 320).
Talkhish wa Ta’liq
Menurut para mufassir yang menjelaskan makna Ulul Albab, di antaranya Syaikh Abdul Qodir al-Jilani di atas, juga Imam ar-Razi Fakhruddin, al-Qurthubi, dan an-Nasafi, menyebutnya berbeda dalam redaksinya, tetapi inti maknanya saling berhubungan dan dekat. Dalam bahasa Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, Ulul Albab disebut al-washilun ila lubbit tauhid dan an-nazhirun bi-Nurillah fi lubbil Albab, tidak hanya berhenti pada level kulit luar; sedangkan Imam Fakhrur Razi memaknainya sebagai al-insan bil `aqli kamilul fahmi; al-Qurthubi menyebut aqal adalah lubb; dan an-Nasafi menyebut aqalnya terbebas dari hawa nafsu dan ikhlas.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa orang yang menggunnakan aqal disebut mampu menemukkan “Lubb Albab” atau menjadi al-washilun ila lubbit tauhid, maka penting merujuk pada hadits Nabi Muhammad yang bersabda kepada Abu Darda, seperti dikutip al-Ghozali dalam kitab Ihya, begini: “Izdad aqlan tazdad min robbika qurban.” Al-Iroqi, menyebutkan hadits ini dha`if karena ada Aban bin Iyas (yang dinilai lemah), tetapi menurut al-Iroqi, diperkuat oleh riwayat Dawud bin Mahbar di dalam kitab al-`Aql, dan dari jalan periwayatannya ada al-Harits bin Abu Usamah dalam Musnad. Sedangkan Menurut al-Hafizh Murtadho az-Zabidi, pensyarah Ihya, menyebut juga hadits yang dikeluarkan al-Baihaqi dan Ibnu Adi dari hadits Ibnu Mas’ud dengan redaksi tambahan (Al-Hafizh Abdullathif Salim at-Tijani, Nurul Yaqin fi Takhriji Ahaditsi Ihya’i Ulumiddin, Kairo: AZ-Zawiyah at-Tijaniyah al-Kubro, 1982/1859, hlm. 239).
Ada juga hadits lain di dalam Ihya’, yang menyebutkan: “Idza taqorroba an-nas bi abwabil birr wal a’malish sholihat fataqorroba anta bi`aqliha”. Hadits ini, menurut al-Hafizh Abdul Lathif at-Tijani, dalam Nurul Yaqin, dikeluarkan dengan sanad dha`if oleh Abu Nu’aim, tetapi at-Tijani juga mengemukan ada satu riwayat lain yang menguatkan, dalam hadits yang sama.
Menurut hadits di atas, kalau orang semakin bertambah aql-nya maka semakin dekat dengan Alloh; dan kalau ingin mendekat kepada Alloh, maka harus menggunakan aqalnya. Hal ini mestilah difahami bahwa aqal itu bertingkat-tingkat, dan tingkatan yang paling dalam, adalah aqal yang semakin membawa orang pada kedekatan kepada Alloh, yang dicapai pada puncaknya, dan dialami oleh para Nabi, kemudian para auliya.
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, dalam kitab Sirrul Asror wa Mathharul Anwar fi ma Yahtaju Ilaihi al-Abror (Mesir: Al-Jami al-Azhar, t.t.), menjelaskan aqal dalam empat tingkat kesadaran: Aqlul Ma`asyi (aqal yang disibukkan mencari penghidupan dunia), Aqlul Ma`adi (aqal yang menyadari dan mengajak kembali ke negeri asal ruh di Alam Arwah), Aqluz Zamani (aqal yang mengajak kepada seseorang untuk menjaga waktu dan mengisinya dengan amal-amal shalihah dan melakukan pengawasan hati terus menerus), dan AqluI Kulli (kesadaran aqal yang bersambung dengan Aqal Universal di dalam Kerajaan Semesta).
Kalau dicermati dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menyinggung Ulul Albab, aspek fikir yang mengharuskan kerja tafakkur, hanyalah salah satu dari amal-amal aqal yang harus dilakukan. Sementara tafakkur tanpa bimbingan Tadabbur Ilahi, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai hudan, sangat mungkin tidak mengenal inti tauhid. Oleh karena itu, Ulul Albab, selain menjadikan aqalnya untuk bertafakkur, juga kemudian bertadabbur, mengambil ibroh sejarah masa lalu, menjadikan al-kauniyah sebagai ayat, tanda-tanda kekuasaan Alloh, juga menjadikan Al-Qur’an sebagai huda, dalam cara kerja-kerja aqal.
Untuk hal ini, sampai-sampai al-Ghozali menjelaskan dalam Misykatul Anwar, “Kedudukan Al-Qur’an bagi mata aqal sama seperti kedudukan matahari bagi cahaya lahiriah. Sebab, hanya dengan Al-Qur’an sempurnalah penglihatan (aqal). Dengan itu pula, Al-Qur’an lebih patut menyandang nama Nur, sebagaimana sinar matahari biasa dinamakan cahaya. Oleh karena itu, mitsal untuk Al-Qur’an adalah cahaya matahari; dan mitsal untuk aqal adalah cahaya mata” (Misykatul Anwar, hlm. 34).
Di antara amal-amal Ulul Albab selain tafakkur dan tadabbur, dan mengambil ibroh, adalah: amal taqwa (Al-Baqoroh [2]: 197; QS. Al-Maidah [5]: 100; QS. Ath-Tholaq [65]: 10; dan QS. Al-Baqoroh [2]: 179); beriman melalui taslim dan tafwidh kepada ayat-ayat mutasyabihat (QS. Ali Imran [3]: 7); bersabar, taubat, dan bertashbih pagi dan sore (QS. Ghofir/Al-Mu’min [40]: 53-55); memenuhi janji, menjalin silaturahmi, takut akan hisab Alloh, dan takut kepada Alloh (QS. Ar-Ra’du [13]:19-21); mau mendengarkan perkataan baik dan ikut yang paling ahsan (QS. AZ-Zumar [39]: 18); amal berlandaskan ilmu, sehingga bisa memilih baik dan buruk (QS. AZ-Zumar [39]: 9); dan selalu berdzikir dalam berdiri, duduk dan berbaring (QS. Ali Imron [3]: 191). Wallohu a’lam
Oleh: Nur Kholik Ridwan
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, menyebutkan bahwa “orang-orang yang telah sampai” itu disebut dengan ulul Albab. Inti dari ilmu hakikat adalah melihat apa saja dari sudut dikembalikan kepada Alloh, ma’rifat-ma’rifat yang beragama tentang berbagai hal dikembalikan kepada Alloh, ditahqiq terus menerus fi kulli syai', afalulloh bi asmaihi washifatih.
Hidupnya aqal, nafsnya yang ridho dan tenang, amal-amal istiqomah, dikembalikan kepada Alloh: tidak ada yang mengatur, memberi kawelasan, mengampuni, menguji dengan berbagai ahwal, membuat dirinya seperti itu, kecuali Alloh. Tidak dikembalikan kepada nafs yang mengkamuflase menjadi aku; juga tidak kepada setan, dan tidak kepada qudrah lain. Akan tetapi pada akhirnya qudrah Alloh itu, pengaturan dan kekuasaan-Nya, difahami melalui martabat-martabat, yang dalam ilmu Syaikh melahirkan ilmu marotib Rububiyah, dan mengharuskan marotib Ubudiyah.
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani (Pakistan: Al-Maktabah al-Ma’rufiyah, 1431/2010), menyebutkan Ulul Albab adalah “mereka yang melihat kepada Nur Alloh di dalam setiap inti masalah/perkara, almu’ridhun an qoshurotin” (Tafsir al-Jilani, IV: 251); “Mereka para al-washilun/yang sampai kepada inti persoalan; yang memalingkan dari kulit luarnya; mereka yang menghadapkan dengan kemauan-kemauan yang benar (ghirah yang kuat); dan menolak untuk menjalankan kemudahan yang mendorong pada tindakan dosa” (Tafsir al-Jilani, I: 244).
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani juga memaknai dengan “mereka, orang-orang yang menghadapkan pandangannya pada lubbul Albab (inti dari inti), yang berpaling dari kulit yang menutupi kehadiran (kehadiran hati), kami menemukannnya melalui kelembutan-Mu wahai Dzat yang melembutkan hal-hal yang lembut” (Tafsir al-Jilani, I: 196).
Selain itu, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani juga mengemukan, Ulul Albab itu dengan “Al-Majbulun/orang yang mengenal atas inti tauhid, yang menolak dari kulit yang menuntut kuatanya hal-hal berbau nafsu, yang itu adalah pasukan-pasukan syaithon, hawa nafsu yang batil, dan pandangan yang merusak” (Tafsir al-Jilani, I: 258); juga menafsirkan “orang yang sampai pada inti tauhid, yang menembus kulitnya dengan menggunakan cermin (yaitu hati)” (Tafsir al-Jilani, I: 331); dan menafsirkan “orang-orang yang melihat dengan Nur Alloh, yang mengalami fana’ bihi, dan mengalami baqo’ dengan kebaqo’annya” (Tafsir al-Jilani, II: 248).
Al-Qur’an menyebut Ulul Albab
Muhammad Fuad Abdul Baqi menyusun kata Ulul Albab, dalam Al-Mu’jamul Mufahrosy li Alfazhil Al-Qur’an (Darul Fikr, 1981/1401: 644), pada 16 tempat yang tersebar di berbagai ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat yang menyebut kata Ulul Albab itu sebagai berikut: QS. Al-Baqoroh [2]: 179, 197 dan 269; QS. Ali Imran [3]: 7 dan 190; QS. Al-Maidah [5]: 100 dan 190; QS. Yusuf [12]: 111; QS. Ar-Ra’du [13]:19; QS. Ibrahim [14]: 52; QS. Shodh [28]: 29 dan 43; QS. AZ-Zumar [39]: 18 dan 21; QS. Ghofir [40]: 54; dan QS. Ath-Tholaq [65]: 10.
Al-Qur’an menyapa Ulul Albab, dengan menggunakan kata-kata “ittaqu”, “dzikro” atau “ladzikro” dan yang diambil dari kata ini seperti “wama yadzdzakkaru” dan semisalnya, redaksi “ibrotun”; “la’ayat”, dan “huda wadzikro” sekaligus; dan “hayatan ya Ulil Albab”. Dalam beberapa penafsiran para mufassir, kata Ulul Albab itu mengandung arti tertentu, yang beberapa di antaranya, di sini penulis mengutip 3 penafsir, yaitu Imam ar-Razi Fakhruddin dalam Tafsir Mafatihul Ghoib atau tafsir al-Kabir, Imam al-Qurthubi dalam Al-Jami li Ahkamil Qur’an, dan an-Nasafi dalam Tafsir an-Nasafi.
Muhammad ar-Razi Fakhrudin
Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddin, dalam Tafsir Mafatihul Ghoib (Beirut: Darul Fikr, 1981/1401), menjelaskan: “Maka sesungguhnya bila al-insan tidak memiliki aqal kamilul fahmi, tercegahlah ia untuk memperoleh pengertian-pengertian haqiqat di dalam hatinya. Kami mengatakan bahwa al-Fa`il dalam hidayah adalah Alloh”, dan “yang menerima hidayahnya adalah yang diisyaratkan Ulul Albab.” Lalu dikatakan begini: “Sesungguhnya hasilnya hidayah itu memerlukan al-Fa`il dan al-Qobil, adapun al-Fa`il bukanlah an-nafs, sebaliknya al-Fa`il adalah Alloh, dan al-Qobil adalah jauharun nafs (substansi nafs), dan karenanya dikatakan ula’ikalladzina hadahumulloh/mereka itu orang-orang yang oleh Alloh diberi hidayah” (Mafatihul Ghoib, XXVI: 262).
Muhammad bin Ahmad al-Anshori Al-Qurthubi
Al-Qurthubi di dalam Al-Jami li Ahkamil Qur’an (Dar Alamil Kutub, versi ditashih Syaikh Hisyam Syamir al-Bukhori) menjelaskan: “Alladzina intafa`u biuqulihim/mereka orangorang yang mau dan bisa menggunakan aqal-aqal mereka” (Al-Jami li Ahkamil Qur’an, XV: 244); dan dalam penafsirannya di ayat lain, disebut “dzu lubbin/orang yang memliki pandangan pad ainti, yaitu al-aqal, dan inti dari sesuatu itu adalah dalamnya (kholishuhu), dan karenanya, dikatakan bagi aqal itu adalah inti (lubb), dan kata ulu itu jamak dari kata dzu” (Al-Jami li Ahkamil Qur’an, IV: 19).
Abul Barokat Abdullah An-Nasafi
An-Nasafi dalam Madarikut Tanzil wa Haqoiqut Ta’wil (Beirut: Darul kalimith Thoyyib, 1998/1419) memaknai Ulul Albab sebagai “orang yang aqalnya ikhlas dari al-hawa dengan keikhlasan yang menyentuh inti dari kulit” (Madarikut Tanzil wa Haqoiqut Ta’wil, I: 320).
Talkhish wa Ta’liq
Menurut para mufassir yang menjelaskan makna Ulul Albab, di antaranya Syaikh Abdul Qodir al-Jilani di atas, juga Imam ar-Razi Fakhruddin, al-Qurthubi, dan an-Nasafi, menyebutnya berbeda dalam redaksinya, tetapi inti maknanya saling berhubungan dan dekat. Dalam bahasa Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, Ulul Albab disebut al-washilun ila lubbit tauhid dan an-nazhirun bi-Nurillah fi lubbil Albab, tidak hanya berhenti pada level kulit luar; sedangkan Imam Fakhrur Razi memaknainya sebagai al-insan bil `aqli kamilul fahmi; al-Qurthubi menyebut aqal adalah lubb; dan an-Nasafi menyebut aqalnya terbebas dari hawa nafsu dan ikhlas.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa orang yang menggunnakan aqal disebut mampu menemukkan “Lubb Albab” atau menjadi al-washilun ila lubbit tauhid, maka penting merujuk pada hadits Nabi Muhammad yang bersabda kepada Abu Darda, seperti dikutip al-Ghozali dalam kitab Ihya, begini: “Izdad aqlan tazdad min robbika qurban.” Al-Iroqi, menyebutkan hadits ini dha`if karena ada Aban bin Iyas (yang dinilai lemah), tetapi menurut al-Iroqi, diperkuat oleh riwayat Dawud bin Mahbar di dalam kitab al-`Aql, dan dari jalan periwayatannya ada al-Harits bin Abu Usamah dalam Musnad. Sedangkan Menurut al-Hafizh Murtadho az-Zabidi, pensyarah Ihya, menyebut juga hadits yang dikeluarkan al-Baihaqi dan Ibnu Adi dari hadits Ibnu Mas’ud dengan redaksi tambahan (Al-Hafizh Abdullathif Salim at-Tijani, Nurul Yaqin fi Takhriji Ahaditsi Ihya’i Ulumiddin, Kairo: AZ-Zawiyah at-Tijaniyah al-Kubro, 1982/1859, hlm. 239).
Ada juga hadits lain di dalam Ihya’, yang menyebutkan: “Idza taqorroba an-nas bi abwabil birr wal a’malish sholihat fataqorroba anta bi`aqliha”. Hadits ini, menurut al-Hafizh Abdul Lathif at-Tijani, dalam Nurul Yaqin, dikeluarkan dengan sanad dha`if oleh Abu Nu’aim, tetapi at-Tijani juga mengemukan ada satu riwayat lain yang menguatkan, dalam hadits yang sama.
Menurut hadits di atas, kalau orang semakin bertambah aql-nya maka semakin dekat dengan Alloh; dan kalau ingin mendekat kepada Alloh, maka harus menggunakan aqalnya. Hal ini mestilah difahami bahwa aqal itu bertingkat-tingkat, dan tingkatan yang paling dalam, adalah aqal yang semakin membawa orang pada kedekatan kepada Alloh, yang dicapai pada puncaknya, dan dialami oleh para Nabi, kemudian para auliya.
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, dalam kitab Sirrul Asror wa Mathharul Anwar fi ma Yahtaju Ilaihi al-Abror (Mesir: Al-Jami al-Azhar, t.t.), menjelaskan aqal dalam empat tingkat kesadaran: Aqlul Ma`asyi (aqal yang disibukkan mencari penghidupan dunia), Aqlul Ma`adi (aqal yang menyadari dan mengajak kembali ke negeri asal ruh di Alam Arwah), Aqluz Zamani (aqal yang mengajak kepada seseorang untuk menjaga waktu dan mengisinya dengan amal-amal shalihah dan melakukan pengawasan hati terus menerus), dan AqluI Kulli (kesadaran aqal yang bersambung dengan Aqal Universal di dalam Kerajaan Semesta).
Kalau dicermati dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menyinggung Ulul Albab, aspek fikir yang mengharuskan kerja tafakkur, hanyalah salah satu dari amal-amal aqal yang harus dilakukan. Sementara tafakkur tanpa bimbingan Tadabbur Ilahi, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai hudan, sangat mungkin tidak mengenal inti tauhid. Oleh karena itu, Ulul Albab, selain menjadikan aqalnya untuk bertafakkur, juga kemudian bertadabbur, mengambil ibroh sejarah masa lalu, menjadikan al-kauniyah sebagai ayat, tanda-tanda kekuasaan Alloh, juga menjadikan Al-Qur’an sebagai huda, dalam cara kerja-kerja aqal.
Untuk hal ini, sampai-sampai al-Ghozali menjelaskan dalam Misykatul Anwar, “Kedudukan Al-Qur’an bagi mata aqal sama seperti kedudukan matahari bagi cahaya lahiriah. Sebab, hanya dengan Al-Qur’an sempurnalah penglihatan (aqal). Dengan itu pula, Al-Qur’an lebih patut menyandang nama Nur, sebagaimana sinar matahari biasa dinamakan cahaya. Oleh karena itu, mitsal untuk Al-Qur’an adalah cahaya matahari; dan mitsal untuk aqal adalah cahaya mata” (Misykatul Anwar, hlm. 34).
Di antara amal-amal Ulul Albab selain tafakkur dan tadabbur, dan mengambil ibroh, adalah: amal taqwa (Al-Baqoroh [2]: 197; QS. Al-Maidah [5]: 100; QS. Ath-Tholaq [65]: 10; dan QS. Al-Baqoroh [2]: 179); beriman melalui taslim dan tafwidh kepada ayat-ayat mutasyabihat (QS. Ali Imran [3]: 7); bersabar, taubat, dan bertashbih pagi dan sore (QS. Ghofir/Al-Mu’min [40]: 53-55); memenuhi janji, menjalin silaturahmi, takut akan hisab Alloh, dan takut kepada Alloh (QS. Ar-Ra’du [13]:19-21); mau mendengarkan perkataan baik dan ikut yang paling ahsan (QS. AZ-Zumar [39]: 18); amal berlandaskan ilmu, sehingga bisa memilih baik dan buruk (QS. AZ-Zumar [39]: 9); dan selalu berdzikir dalam berdiri, duduk dan berbaring (QS. Ali Imron [3]: 191). Wallohu a’lam
Tambahkan Komentar