Ilustrasi Gus Dur (Kompas.com) |
Gus Dur menjelaskan:
“Perintah-perintah sistemik lain yang dapat digunakan dalam hal ini berjumlah sangat banyak. Penulis hanya menggunakan dua buah saja dalam tulisan ini. Perintah “tidak ada paksaan dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana yang palsu (lâ ikrâha fî al-dîn, qad tabayyana al-rusydu min al-ghayyi)” (QS al-Baqarah [2]: 256).
Islamku, hlm. 14
Gus Dur juga menyebut ayat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 256 itu di buku Islamku Islam Anda Islam Kita pada hlm. 154. Ayat ini diturunkan dalam beberapa versi riwayat disebut begini, seperti dikemukakan dalam Ad-Durrul Mantsur (III: 194 dan seterusnya):
1. Riwayat Ibnu Hibban, Ibnu Marduyah, an-Nasa’i, Ibnu Jarir, Abu Dawud, Ibnul Mundzir, An-Nahhas, Ibnu Mandah, al-Baihaqi, dan Adh-Dhiya’, semua dari Ibnu Abbas; dan perawi-perwai lain meriwayatkan juga dari Said bin Jubair, begini: “Ada seorang perempuan dari kalangan Anshar, yang selalu kematian anaknya. Maka dia berjanji kepada dirinya sendiri apabila anaknya ada yang hidup akan dijadikannya Yahudi. (Kemudian) Tatkala Bani Nadhir (dari kalangan Yahudi yang mengikat perjanjian dengan Nabi, tetapi kemudian berkhianat) diusir (dari Madinah), di antara Bani Nadhir itu ternyata ada anak-anaknya orang Anshor. Berkatalah orang-orang Anshor kemudian: “Kami tidak akan membiarkan anak-anak kami (bersama mereka).” Maka Alloh menurunkan ayat ini,” (redaksinya menurut riwayat Ibnu Abbas) sebagai teguran.
2. Ibnu Jarir dan Ibnu Ishaq meriwayatkan dari riwayat Ibnu Abbas juga menyebutkan: “Ayat ini diturunkan bekaitan dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshor, dari kalangan Bani Salim bin Auf. Orang itu disebut dengan al-Hushain. Dia ini memiliki 2 orang anak Nashrani, dan al-Hushain sendiri itu seorang muslim. Maka dia berkata kepada Nabi Muhammad shollallohu `alaihi wasallam: “Bolehkan saya paksa kedua anak itu, karena keduanya abai kepadaku dan tetap menjadi seorang Nashrani?” Maka Alloh menurunkan ayat di atas.
Dalam ayat di atas, ada juga terusan ayatnya yang memakai kata “at-thoghut”. Lengkapnya begini: “ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang keliru. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Kata “ath-thoghut” dalam ayat di atas, maknanya: menurut Sayyiduna Umar bin al-Khothob bermakna syaithon; sahabat Jabir bin Abdullah memaknai sebagai para kuhhan yang dibimbing syaithan; Ikrimah memaknai sebagai al-Kahin; Abul Aliyah memaknai sebagai as-Sahir; Mujahid memaknai “setan dalam bentuk manusia”; dan sahabat Malik bin Anas memaknai “Apa saja yang disembah selain Alloh” (Ad-Durrul Mantsur, III: 200).
Sedangkan keseluruhan ayat di atas, menurut al-Hasan menegaskan prinsip “la yukrohu ahlul kitab `alal islam” (Orang Ahli Kitab tidak boleh dipaksa memeluk Islam). Akan tetapi ada juga yang berpendapat, sebagaimana dikatakan Sulaiman bin Musa, ayat ini dinasakh oleh ayat “jahidil kuffar wal munafiqin” (QS. At-Taubah ayat 73; dan at-Tahrim ayat 9) (Ad-Duruul Mantsur, III: 199), akan tetapi pendapat seperti ini tidak kuat.
Pendapat yang menyebutkan ayat itu dinasakh QS at-Tahrim ayat 9 atau QS. At-Taubah ayat 73, sebagai pendapat yang tidak kuat, dengan beberapa alasan penjelasan:
1. Pendapat itu hanyalah pendapat dan bukan keterangan dari Nabi Muhammad, yang tidak didukung dengan keterangan adanya ayat-ayat yang memberikan pilihan dalam soal beragama. Sementara pendapat lain menyebutkan ayat itu sebagai larangan untuk memaksa seseorang ke dalam Islam, yang didukung banyak ayat lain.
2. Dilihat dari sudut sebab turunnya ayat, jelas-jelas dan terang memberikan arti bahwa Nabi Muhammad, melalui ayat itu tidak membolehkan memaksa seseorang untuk menjadi muslim atau beriman. Sedangkan ayat “jahidil kuffar wal munafiqin”, berkaitan dengan perang, dan itu tidak ada kaitannya dengan larangan memilih agama ke dalam Islam atau tidak. Akan tetapi juga banyak ayat memerintahkan melakukan dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar, tidaklah diragukan.
3. Pendapat yang menyatakan ayat itu dinasakh bertentangan dengan ayat-ayat lain, seperti ayat: lakum dinukum waliyadin (QS. Al-Kafirun ayat 5); ayat “faman sya’a falyu’min waman sya’a falyakfur” (QS al-Kahfi ayat 29); dan ayat “inna hadainas sabila imma syakura wa imma kafura (QS. Al-Insan ayat 3), yang memberikan penjelasan dengan terang soal pilihan agama dan kekafiran itu, sebagai pilihan dari Alloh, meskipun di ayat-ayat lain ditegaskan keunggulan Islam. Hal ini harus dibedakan dengan, ketika mereka melakukan serangan dan mengusir orang orang Islam dari rumah-rumah mereka, yang menjadikan alasan dibolehkannya berperang.
4. Ayat pada QS. Ath-Tahrim ayat 9, ada dalam kaitan dengan konteks perang, yaitu ketika mereka memerangi kaum muslimin, maka diidzinkan kalangan Muslim mengangkat senjata, di samping harus diusahakan perdamiaan, sebagaimana Nabi melakukan itu pada perjanjian Hudaibiyah. Dalam perang itu, ketika mereka kalah, didakwahi Islam atau ditawari untuk masuk Islam, tetapi mereka yang tidak mau menerima tidak boleh dipaksa. Sementara mereka yang hidup dalam perlindungan orang Islam: dimasa lalu mereka membayar jizyah; dan di masa sekarang, orang-orang Islam dengan orang non-Islam, yang mengikat perjanjian untuk mendirikan sebuah negara, seperti di Indonesia, maka mereka terikat dengan perjanjian itu. Umat Islam melalui para ulamanya, menyatakan negara seperti ini syah menurut agama Islam.
5. Banyak ayat dan teladan Nabi Muhamamd yang memberikan keterangan bahwa Islam perlu disebarkan melalui jalan dakwah “bilhikimah walmauizhan al-hasanah wajadilhum billayti hiya hasan.” Hal ini menegaskan dilarangnya melakukan pemaksaan untuk menjadikan seorang sebagai muslim, dan keharusan menampilkan Islam dengan jalan dan citra yang baik.
Gus Dur menyebut ayat di atas, dalam konteks: Pertama, keunggulan dan kesempurnaan Islam itu, justru terletak, salah satunya, pada ayat di atas. Gus Dur menyebutnya itu sebagai bagian dari perintah sistemik, di samping ada ayat-ayat yang lain yang juga mengandung perintah sistemik. Sehingga Gus Dur menyebutkan, untuk menilai keunggulan Islam, tidak terletak pada adanya lembaga penjamin tertentu, tetapi pada kecerdasan aqal untuk menemukannya. Gus Dur menyebut begini:
“Jelas, kitab suci al-Qur’ân tidak menyatakan lembaga tertentu menjadi “penjamin” kelebihan agama Islam atas agama lain, melainkan “diserahkan” kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran” (Islamku, hlm. 14).
Dengan demikian, orang-orang beriman yang memiliki tanggungjawab dalam mendakwahkan Islam, memiliki kewajiban menampilkan Islam melalui keunggulan-keunggulannya, dalam sains, dalam berargumentasi, dalam keadaban, dan kearifan-kearifannya membimbing masyarakat; dan dalam kedalaman tauhidnya yang berporos pada kemauan melihat dan membedakan “antara Irodah Alloh dan perintah Alloh”.
Irodah Alloh menghasilkan pandangan bahwa semua yang terjadi, keimanan dan kekafiran, kebaikan dan keburukan, itu terjadi atas kehendak Alloh. Hal ini harus dibedakan dengan adanya perintah dan larangan, misalnya perintah agar beriman (atau larangan mendustakan) kepada Nabi Muhammad; dan perlu dibedakan dengan bagaimana cara dakwah Islam disampaikan.
Mereka yang tidak mau menerima pandangan bahwa Alloh itu memiliki irodah “wakaunuhu qodirun”, terhadap kebaikan dan keburukan, juga kekafiran dan keberimanan, dan memandang bahwa Alloh itu hanya menentukan kebaikan, adalah pandangan dari Mu’tazilah, dan bukan pandangan dari kalangan Ahlussunnah Waljamaah. Tentang irodah dan perintah sudah pernah disinggung oleh penulis dalam bagian “Washbir `ala ma Ashobak”.
Kedua, Gus Dur mengutip ayat di atas dalam konteks meletakkan ayat itu sebagai bagian dari banyaknya perintah agama yang pelaksanaannya tidak tergantung pada keharusan meminjam tangan negara; dan ayat ini membuktikan itu. Hanya saja Gus Dur menjelaskan:
“Di sini harus jelas, mana yang menjadi batasan antara peranan negara dan peranan masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan beragama. Negara hanya bersifat membantu, justru masyarakat yang harus berperan menentukan hidup matinya agama tersebut di negeri ini” (Islamku, hlm. 153).
Oleh karena itu Gus Dur menegaskan, dalam konteks berbangsa dan bernegara, jangan sampai negara terlibat menerangkan mana yang palsu dan mana yang benar dari keyakinan agama. Biarlah itu dinilai oleh masyarakat, dalam perdebatan, dalam buku, dan dalam jadal yang baik. Gus Dur menyebut begini:
“Jelas dalam ayat itu, tidak ada peranan negara sama sekali melainkan yang ada hanyalah peranan masyarakat yang menentukan mana yang benar dan mana yang palsu. Jika semua agama itu bersikap saling menghormati, maka setiap agama berhak hidup di negeri ini, terlepas dari senang atau tidaknya pejabat pemerintahan” (Islamku, hlm. 154)
Dalam praktik, di Indonesia, hal ini memang terjadi perbedaan, dan Gus Dur memilih pandangan yang menyebutkan bahwa negara seharusnya tidak boleh terlibat menentukan kepercayaan yang baik atau yang buruk soal agama, berdasarkan ayat di atas. Akan tetapi pandangan lain, ada yang masih mempertahankan konsep dan kerangka dimana negara boleh membatasi untuk menentukan itu, dengan dibuktikan masih dipertahankannya masalah itu dalam soal pasal penodaan agama.
Hanya saja, upaya Gus Dur memperjelas masalah ini, menunjukkan dengan terang, bahwa beliau berangkat dari pandangan dan nilai-nilai Al-Qur’an sendiri, dimana, dalam masalah pilihan agama, Al-Qur’an memberikan kebebasan, dan tidak boleh ada pemaksaan-pemaksaan. Artinya, kalau berhubungan dengan negara, maka negara perlu menjamin kebebasan orang beragama dan berkeyakinan. Meskipun ada pandangan yang dianut oleh kebijakan negara yang masih terlibat dalam menentukan dalam hal menentukan yang boleh hidup dan tidak hidup, pandangan Gus Dur seperti itu, akan berpengaruh terhadap pembentukan moral masyarakat, cara berinteraksi, dan relasi-relasi kultural di tengah masyarakat. Wallohu a'lam.
Tambahkan Komentar