Oleh Ahmad Fauzi
Memasuki alam skizofrenia berarti kita sedang menjelajah dunia jiwa yang penuh dengan riak centang perenang dan logika yang tak biasa. Dunia suram yang sarat misteri, perasaan cemas dan takut, seakan nyawa hendak direnggut terbang oleh malaikat maut. Bagi orang yang menyelami alam skizofrenia, ia merasakan dirinya dikejar-kejar oleh bayangan asing, seolah ada mata gelap yang selalu mengawasi dari atas, bawah dan sampingnya. Bayangan ini memengaruhi, mengontrol dan menyisipkan bisikan halus ke dalam pikiran, agar melaksanakan apa yang diperintahkan. Apabila ia tidak melakukannya, maka siap-siaplah otaknya terbelah dan membusuk, aliran darahnya berhenti dan nafasnya dicabut. Ada kekuatan tak nampak yang selalu mengendalikan dan mengontrol pikirannya. Ia menghunjamkan inspirasi dan kata-kata gaib ke dalam pikiran, yang mengakibatkan orang yang menerimanya sangat kesakitan dan penuh ketegangan. Kata-kata ini kadang bernuansa sastra, kode-kode penuh simbol yang susah dimengerti atau tidak jarang berupa ramalan masa depan yang mengherankan.
Tapi, wilayah jiwa ini tidak hanya diisi oleh perasaan takut dan cemas saja, ia juga sarat akan emosi gembira meluap-luap layaknya ekstase yang dialami para ahli mistik dan spiritual yang bersahaja. Kegembiraan seolah menyatu secara organis dengan alam raya. Menjadi dada bagi langit perkasa dan kaki-kaki gunung tinggi tegak berwibawa. Alam raya yang tak terbatas ini menyelimuti pikiran dengan sesuatu yang betul-betul lain dan berbeda. Ada sensasi numinous atau kegaiban yang menggerakkan rasa takjub dan penuh misteri. Perasaan numinous inilah yang oleh sosiologi, antropologi dan psikologi agama dianggap sebagai bentuk dasar keberagamaan. Menurut Rudolf Otto (The Idea of Holy; 1978, hlm. 65), agama-agama manusia ternyata memiliki asal-usul pada perasaan atau ide akan adanya yang gaib (numinous). Yang numinous juga memunculkan perasaan asing yang begitu ganjil dan berbeda dengan fenomena keseharian biasa, sehingga yang merasakannya terheran-heran yang kemudian menggiring untuk menafsirkan ada campur tangan ilahiah dalam pengalaman tersebut. Oleh karena itu, agama pada dasarnya merupakan tafsiran atas yang asing dan misterius dengan sebutan yang ilahi dan maha tinggi. Bagaikan disentuh oleh gambaran dahsyat akan kemahakuasaan, yang numinous ini memberi mandat pada orang yang mengalaminya untuk menegakkan kerajaan tuhan di atas semesta.
Skizofrenia hampir identik dengan animisme dan magi yang lazim dipercaya oleh masyarakat primitif di zaman dulu kala. Bagi yang mengalaminya, alam semesta terasa hidup dan memiliki jiwa. Benda-benda materi bukan lagi barang mati, tetapi tumpukan pikiran yang memiliki perasaan. Langit, bebatuan, gunung-gunung dan sungai, lautan, pepohonan, tumbuh-tumbuhan dan hewan bisa diajak berbicara dan berkomunikasi. Pikirannya tersambung dengan lingkungan sekitarnya. Ia menjadi roh alam semesta dan jiwa buwana. Nafas dan geraknya menentukan nasib alam raya. Semesta raya yang begitu tak terbatas seakan dimampatkan dalam pikirannya. Dalam otak pikiran yang kecil dan dibalut tulang dan daging, terdapat potensi milyaran bintang dan galaksi. Ia yang mengidap penyakit ini merasa disentuh oleh kekuatan maha besar, kekuatan yang membuat pribadi manusia seakan menjadi pusat gravitasi alam raya. Ketika ia menatap ke dunia luar, seolah alam raya lenyap masuk ke dalam dirinya. Karena merasakan sentuhan dahsyat, ia mengira dirinya adalah makhluk agung yang ditakdirkan oleh sejarah untuk mengubah dunia. Hal ini meyebabkan sang skizofren mengira memiliki kekuatan kemahakuasaan pikiran, (omnipotence of thought). Hanya dengan memikirkan saja sesuatu yang diinginkan akan terwujud dalam realitas. Ia merasa bisa menenggelamkan matahari, menurunkan hujan, meniupkan angin besar atau mengendalikan dan memengaruhi pikiran orang lain. Yang membingungkan adalah, perasaan ini sangat nyata dan betul-betul dialami, tetapi ketika kekuatan tersebut diaktualisasikan dalam kenyataan, ternyata tidak berhasil terwujud. Mirip dengan daya magis yang gagal. Ada orang bisa merasakan kekuatan adi-duniawi tetapi ketika kekuatan ini hendak diwujudkan ke dunia luar, ternyata gagal dimanifestasikan. Perasaan dijamah kekuatan dahsyat ini oleh psikiatri disebut dengan waham kebesaran.
Menurut psikiatri, skizofrenia adalah gangguan psikotik (kegilaan) dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas proses pikir, yang kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar, waham yang kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang tidak terpadu dengan situasi sebenarnya. Diagnosis tidak ditegakkan kecuali apabila ada atau telah terbukti selama masa sakit yang sama, terdapatnya paling sedikit dua dari gangguan khas dalam; pikiran, persepsi, alam perasaan, tingkah laku dan kepribadian. Gangguan kepribadian yang terjadi menyangkut fungsi paling dasar yang memberikan pada seseorang yang sehat perasaan individualitas, keunikan dan pengarahan diri. Dapat pula terjadi kebingungan (perplexity). Sering pula hal-hal remeh menjadi sangat penting bagi dirinya dan disertai perasaan dikendalikan dari luar (passivy feelings) yang dapat membuat pasien merasa bahwa objek dan situasi sehari-hari mempunyai makna buruk bagi dirinya. Gejala terpenting dari kelompok skizofrenia ialah terdapatnya ciri psikotik tertentu selama satu fase aktif dari gangguannya dengan gejala khas yang mencakup proses psikologis majemuk, (Ayub Sani Ibrahim, Skizofrenia, Jakarta, hlm. 30).
Adapun gelaja-gejala khas yang meliputi proses psikologis majemuk yaitu; isi dan bentuk pikiran, persepsi, afek, kesadaran tentang dirinya (sense of self), dorongan kehendak (volition), hubungan dengan dunia luar dan tingkah laku psikomotorik. Gangguan utama pada isi pikiran ialah waham-waham yang seringkali majemuk, terpecah (fragmented) dan aneh, misalnya; yang jelas sekali tidak masuk akal, tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk apapun sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang bertentangan, umpamanya penderita mengaku bahwa ia adalah raja tetapi bermain-main dengan air ludahnya dan mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. Sering terdapat waham kejar yang ditandai oleh rasa diikuti mata-mata, penyiaran desas-desus yang tidak benar atau rencana jahat terhadap dirinya yang sering terdapat adalah waham yang menyangkut dirinya (delusion of reference), di mana peristiwa orang atau benda diberi arti khusus, biasanya yang sifatnya negatif dan menyelidiki dirinya, misal; ia merasa bahwa seorang pembawa acara televisi sedang mencemooh dirinya.
Beberapa macam waham yang sering ditemukan pada skizofrenia yaitu keyakinan atau perasaan bahwa pikirannya dapat disiarkan dari kepalanya ke dunia luar hingga orang lain dapat mendengarnya (thought broadcasting), bahwa buah pikirannya berasal bukan dari dirinya sendiri tetapi dimasukkan dari luar ke dalam pikirannya (thought insertion), bahwa pikirannya telah diambil keluar dari kepalanya (thought withdrawl) atau perasaannya, dorongan impulsnya, pikirannya dan tindakannya bukan berasal dari dirinya (delusion of being controlled). Sering pula ditemukan waham somatik, keagamaan, kebesaran dan nihilistik. Dapat pula timbul gagasan yang dinilai berlebihan (over valued ideas). Gangguan bentuk pikiran yang paling sering ditemukan adalah pelanggaran asosiasi di mana ide-ide berpindah dari satu subjek ke subjek yang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya atau hubungannya tidak tepat dan hal itu tidak disadari sama sekali oleh yang bersangkutan. Pengertian-pengertian yang tidak ada hubungannya yang berarti sering disatukan oleh orang itu secara idiosinkratik dan berpindah frame of reference. Apabila pelanggaran asosiasi itu menjadi berat, dapat terjadi inkoherensi, yaitu percakapannya tidak dapat dimengerti. Dapat pula terjadi kemiskinan isi pembicaraan, walau percakapannya masih cukup, tetapi isinya sedikit samar, sangatlah abstrak atau berulang-ulang kali. Gejala lain yang jarang dijumpai ialah neologisme (istilah baru yang aneh, hanya dia sendiri yang dapat mengerti), asosiasi suara dan hambatan dalam berpikir (blocking), (Ayub Sani Ibrahim, hlm. 32).
Gangguan utama dalam persepsi adalah pelbagai jenis halusinasi yang dapat terjadi pada semua bidang penginderaan, namun yang paling sering ialah halusinasi dengar berupa suara manusia, bunyi barang-barang atau gemerincing lonceng yang dirasakan seolah-olah berasal dari luar kepalanya. Suara-suara itu dapat tunggal atau berganda. Yang khas adalah suara-suara yang berbicara langsung pada dirinya atau memberi komentar tentang segala tingkah lakunya. Dapat pula orang itu mentaati dan menjalankan perintah yang terdengar melalui halusinasinya hingga dapat berbahaya bagi dirinya atau pun orang lain. Halusinasi yang secara khas berupa aliran listrik, rasa kesemutan atau rasa panas. Halusinasi somatik seperti perasaan adanya ular merayap dalam perut. Gangguan persepsi lainnya dapat meliputi perasaan tubuh dan kepekaan berlebihan terhadap bunyi dan bau, (Ayub Sani Ibrahim, hlm. 33).
Semua kondisi jiwa di atas adalah bagian kecil pengalaman berserakan dari para pengidap skizofrenia. Pengalaman tersebut oleh psikiatri sering dianggap sebagai patologi kesadaran, gangguan pikir dari jiwa yang sakit. Tidak ada yang nyata dari perasaan numinous ini. Semuanya merupakan delusi dan halusinasi. Orang-orang yang menderita skizofrenia dianggap sebagai manusia bermental kacau yang sedang meracau dan bergumam sendiri. Pikirannya hanya sebuah jalinan ilusi dari sesuatu yang tidak bisa dikoreksi. Mereka dianggap mengalami keterbelakangan mental yang harus disembuhkan dengan memasukkannya ke dalam rumah sakit jiwa dan diobati dengan berbagai macam obat penenang dan menjalani terapi. Mereka harus dikembalikan pada kesadarannya semula. Namun, sesederhana itukah pandangan psikiatri terhadap fenomena ganjil yang mengherankan tersebut? Adakah pandangan dunia yang mau bersusah payah untuk menemukan keistimewaan yang menyertai kegilaan dan irrasionalitas zaman ini? Akan sulit kiranya untuk mensistematisir pengalaman mereka secara epistemologis, namun usaha ini bukan suatu hal yang mustahil. Karena menurut penulis, ada rahasia dan misteri tersembunyi pada diri manusia yang mengidap skizofrenia, tidak hanya mistik dan agama tapi juga kejeniusan dan wawasan kreatif yang mengarah pada semacam teknologi pikiran yang mampu melampaui akal-sehat demi masa depan umat manusia.
Di balik semua kelemahan psikisnya, orang-orang yang mengalami skizofrenia dan gangguan jiwa sejenisnya, banyak yang memiliki kemampuan unik yang tidak dipunyai oleh orang biasa. Beserta datangnya penyakit itu, ia membawa sebuah wawasan kreatif (creative insight) yang orisinil dan revolusioner. Banyak sekali keanehan-keanehan yang terjadi pada para penderita skizofrenia ini, di mana hal tersebut telah menyibukkan para peneliti dari kalangan filsuf, dokter dan ahli mitologi. Karena dalam banyak kasus, gejala-gejala yang ditimbulkannya telah mempesonakan mereka. Gejala-gejala tersebut antara lain, imaji-kreatif, intuisi yang tajam, analisa abstrak yang teliti, nalar puitis yang memukau, daya artikulasi yang menakjubkan dan bahkan kharisma yang tidak biasa.
Dalam legenda Yunani yang diceritakan oleh Homer, terdapat kekuatan eksternal yang ikut campur tangan dalam proses terjadinya penyakit skizofrenia atau kegilaan. Daya campur tangan ini sering dinisbahkan pada tuhan yang dianggap memberikan suatu pencerahan atau kelahiran baru bagi yang mengalaminya. Bahwa asal-usul kekuatan misterius yang memengaruhi, mengontrol dan mengendalikan pikiran seorang skizofren sering dianggap sebagai intervensi ilahiah, setidaknya begitulah tafsir para nabi atas pengalaman wahyu patologis yang mereka alami. Tidak semua orang yang mengidap skizofrenia menjadi manusia pesakitan dan mengalami keterbelakangan mental. Tidak sedikit figur atau tokoh manusia terakbar dalam sejarah justeru teraktualisasikan potensi-potensi alamiah dan kecakapan-kecakapan orisinilnya karena ia memendam bakat skizofrenia atau gangguan jiwa lainnya. Di balik kutukan sakit jiwa yang meruntuhkan rasionalitas dan akal-pikiran terdapat rahmat tersembunyi yang meledakkan kekuatan potensial terpendam. Manusia jenis ini memiliki bakat eksistensial yang orisinil dan otentik. Dengan imajinasinya yang tinggi, ia mampu memproyeksikan ide-ide abstrak dalam ruang nyata. Konstruksi pikirannya begitu kuat hingga memengaruhi eksistensi sosial dan jiwa masyarakat. Orang semacam ini dalam mitologi Yunani sering diberkahi dengan nalar puitis yang kreatif, percintaan yang aneh dan ketajaman meramal masa depan, (Ernst Cassirer, An Essay on Man, 1985, hlm. 137).
Dalam sejarah orang-orang akbar dunia, sering kita jumpai keanehan dan kelainan yang menyertai kecakapan intelektual atau kemampuan mereka. Dari yang terdekat, kita bisa menyebut John Nash sang pengidap skizofrenia yang mendapat hadiah Nobel karena Teori Kesetimbangan-nya, John Stuart Mill pemikir Demokrasi Eropa yang terkena penyakit saraf sejak umur 17 tahun, Rene Descartes yang dianggap abnormal karena merasa mendapatkan vision tentang ilmu induk dalam mimpinya, Ludwig Wittgenstein yang soliter dan aneh, Vincent van Gogh sang skizofren dengan lukisannya yang melegenda, Mozart yang terkena penyakit saraf sejak kecil, Immanuel Kant yang mengalami skizofrenia setelah terbangunkan dari tidur dogmatis, memandang kehidupan Karl Marx yang jauh dari normal, Nietzsche si gila dengan palu matinya tuhan, Louis Althussers yang mengakhiri hidup di rumah sakit jiwa, George Fox pendiri aliran Quaker yang psikopat dan autis, Al Ghazali yang hampir lumpuh karena skeptis dan meragukan segala hal, Max Weber yang turun dari jabatan dosennya karena tekanan jiwa depresif yang mengakibatkan ia bisa menulis karya magnum opusnya The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, Einstein yang abnormal dan eksentrik dengan Relativitas-nya, Newton yang mengalami skizofrenia-paranoid pada umur 51 tahun, dan terakhir adalah Nabi Muhammad yang dianggap kebanyakan orang mengidap epilepsi, neurotik, psikopat dan skizofrenia tapi dianugerahi akal-besar sehingga dengan itu ia bisa mengubah dan menentukan alur sejarah, (Majalah Hello, Edisi September 2005, hlm. 40).
Nama-nama di atas hanya segelintir orang yang mampu merubah gerak zaman namun mereka mengidap semacam gangguan jiwa aneh yang tidak dapat disamakan dengan orang-orang normal pada umumnya. Berangkat dari fakta di atas, penulis mencoba untuk mencari relasi yang menghubungkan antara gangguan jiwa dengan kecakapan-kecakapan orisinil yang dimiliki para manusia besar pengubah sejarah.
Ada beberapa pemikir klasik yang berusaha dengan serius menghubungkan antara gangguan jiwa dengan fakta-fakta keberagamaan. Di antaranya adalah Sigmund Freud, William James, Carl Jung dan Muhammad Iqbal. Namun, di sini penulis hanya mengemukakan kutipan singkat dari pemikiran William James dan Muhammad Iqbal saja.
Dalam bukunya yang mengagumkan, The Varieties of Religious Experience, William James menuliskan bahwa orang-orang besar pendiri sekte atau organisasi dalam agama Kristen memiliki semacam patologi-kesadaran atau isi psikis abnormal yang sering disebut neurotik. Di antaranya adalah George Fox, Santa Theresa, Loyola, Calvin, Martin Luther, Paulus dan sebagainya. Mereka merupakan orang-orang yang memiliki otoritas keagamaan kuat sekaligus menampakkan semacam gejala psikis abnormal.
(Memang tak dapat disangsikan lagi bahwa kehidupan beragama secara eksklusif cenderung membuat orang tampak eksentrik dan aneh. Namun orang-orang semacam ini adalah para jenius dalam wilayah agama seperti jenius lain yang telah menghasilkan buah yang cukup mengesankan untuk dikenang dalam buku-buku biografi, mereka pun sering menunjukkan gejala-gejala ketidakstabilan mental. Bahkan mungkin lebih aneh dari pada para jenius lainnya, para pemimpin agama acapkali mendapat serangan psikis abnormal. Namun, ciri-ciri patologis pengembaraan ini justeru memberi mereka pengaruh positif dan otoritas keagamaan. Kalau anda meminta saya mengajukan sebuah contoh konkret, saya kira tidak ada contoh yang lebih baik selain seorang yang bernama George Fox. Para pemimpin agama acapkali mendapat serangan psikis-abnormal. Mereka sering menjalani kehidupan batin penuh konflik dan mengalami suasana melankolik dalam pengembaraan mereka. Mereka tidak mengenal standar, mereka bergantung pada obsesi dan gagasan-gagasan tetap. Mereka kerap tenggelam dalam kondisi trans, mendengar suara-suara gaib, mengalami penampakan dan menunjukkan segala jenis keanehan yang biasa disebut patologi).
(There can be no doubt that as a matter of fact a religious life, exclusively pursued does tend to make the person exceptional and eccentric. But such individuals are geniuses in the religious line and like many other geniuses who have brought forth fruits effective enough for commemoration in the pages of biography, such religious geniuses have often shown symptoms of nervous instability. Even more perhaps than other king of genius, religious leaders have been subject to abnormal psychical visitation. These pathological features in their career have helped to give them their religious authority and influence. If you ask for concrete example, there can be no better one than is furnished by the person of George Fox). William James, The Varieties of Religious Experience, 1996, hlm. 24.
Begitu juga dengan Muhammad Iqbal yang dengan penuh semangat berusaha menghubungkan antara otoritas keagamaan dengan gejala psikopat.
(Jika suatu pandangan di balik ilmu fisika adalah mungkin, maka kita haruslah tabah menghadapi kemungkinan itu walaupun mungkin dapat mengganggu atau cenderung merubah cara-cara normal dari hidup dan pikiran kita. Tidaklah menjadi soal sedikitpun kalau sikap keagamaan pada mulanya ditetapkan oleh semacam kekacauan psikologis. Muhammad didengungkan kepada kita sebagai seorang psikopat. Baiklah jika seorang psikopat yang mempunyai kekuatan untuk memberikan arah baru bagi pengalaman sejarah manusia. Maka adalah suatu soal kepentingan psikologis tertinggi untuk menyelidiki kecakapan orisinilnya yang telah merubah hamba-hamba menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan mengilhami tingkah laku dan membentuk martabat dari keseluruhan suku-suku umat manusia). Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, 1991, hlm. 253.
Ternyata gejala yang bersifat skizofrenik juga nampak pada cara-cara pewahyuan Al-Quran kepada Nabi Muhammad. Yaitu, Al Quran diturunkan lewat proses-proses dunia alam bawah sadar. Semisal, lewat mimpi atau kuasi-mimpi, halusinasi suara lonceng atau bisikan-bisikan halus seolah terdengar secara eksternal dari telinga, halusinasi penglihatan, delusi pengaruh dan pengontrolan, dan sebagainya yang memunculkan daya numinous, perasaan keterasingan, misteri dan tekanan jiwa yang menggetarkan pikiran Nabi sekaligus mempesonakannya.
Pertama; Wahyu (yang berarti sesuatu yang tersembunyi dan tersamar) datang kepada Nabi dalam bentuk suara lonceng yang menakutkan. Bunyi lonceng ini sebenarnya berasal dari pikirannya sendiri, tapi karena sangat kuat dan menggetarkan seolah bisa terdengar lewat telinga luar. Psikiatri memberi nama wahyu yang muncul lewat suara lonceng dengan sebutan halusinasi auditorik. Dalam riwayat Hadis Shohih diterangkan dari kuatnya wahyu lonceng ini mengakibatkan jiwa nabi tercekam ketakutan, tubuhnya gemetaran, menggigil dan muka menghitam, bersamaan dengan itu keluar keringat dingin. Ada yang mengatakan saat-saat munculnya wahyu lonceng ini, nabi diduga terkena gejala epilepsi dan sangat menderita sekali sehingga seolah terkapar di tanah layaknya onta yang hendak disembelih.
Kedua; wahyu hadir melalui mimpi atau kuasi-mimpi. Wahyu yang muncul lewat mimpi sudah menjadi tradisi kenabian kuno yang ada dalam Perjanjian Lama, mulai dari Nuh, Ibrahim, Yusuf, Musa, dan juga Nabi Muhammad. Sedangkan wahyu kuasi-mimpi merupakan perluasan dari wahyu lewat mimpi. Kalau mimpi merupakan kegiatan alam bawah sadar saat indera tubuh sedang tertidur atau beristirahat, maka kuasi-mimpi merupakan kegiatan alam bawah sadar yang terjadi saat indera tubuh terjaga dan tidak tertidur. Kuasi-mimpi adalah kegiatan alam bawah sadar atau mimpi yang menembus wilayah kesadaran. Dalam bahasa Freud, mimpi adalah kegilaan singkat karena proses-proses alam bawah sadar yang menindih kesadaran akan berhenti ketika kita terbangun dan kesadaran kembali mengambil alih kendali psikis. Sedangkan, kuasi-mimpi menurut Freud adalah kegilaan itu sendiri, karena proses-proses alam bawah sadar justeru menguasai psikis meski indera kita berfungsi normal. Oleh karena itu, menurut persamaan Freud, mimpi adalah kegilaan singkat dan kegilaan adalah mimpi yang panjang saat inderawi manusia terjaga.
Sebenarnya, pewahyuan yang dialami oleh para nabi bersifat kuasi-mimpi karena proses alam bawah sadar sebagai sumber pewahyuan muncul saat inderawi para nabi terjaga dan hal ini tentu menimbulkan rasa sakit fisik dan psikis yang luar biasa. Mimpi yang dialami saat inderawi terjaga dan berfungsi normal mengakibatkan ketegangan psikis yang menyakitkan, dan tentu sulit sekali menyadarkannya, karena apabila mimpi saat tidur bisa selesai setelah bangun tidur, lalu bagaimana membangunkan mimpi ketika seseorang sedang terjaga dan terbangun?
Kuasi-mimpi menjadi bahasa ketidaksadaran atau mimpi yang menembus alam kesadaran atau dengan kata lain inilah awal proses kerja delusi dan halusinasi yang keluar dari mimpi menuju dunia kesadaran yang dialami para nabi. Mimpi itu sendiri adalah patologi kesadaran yang terjadi dalam waktu singkat dan terlokalisir, maka kuasi-mimpi merupakan patologi yang berhasil menguasai dan menindih kesadaran di saat inderawi kita terjaga normal. Dengan begitu, pewahyuan sama saja dengan kegilaan-kreatif yang diatasnamakan dengan yang ilahi dan maha tinggi.
Ketiga; wahyu muncul saat beliau sedang menyendiri di Gua Hira. Wahyu datang setelah Nabi bermeditasi atau bertahanuts selama berbulan-bulan dengan mengasingkan diri dari dunia ramai. Alasan idealisme adalah sebab dari pengasingan ini, karena beliau sangat prihatin dengan nasib masyarakatnya yang dianggap jauh dari keutamaan. Dengan imajinasinya yang kuat, Nabi seolah melihat figur maha dahsyat yang menampakkan diri dalam sosok malaikat. Sangat mungkin sekali, pada waktu itu Nabi mengalami halusinasi penglihatan dan waham kebesaran seakan disentuh oleh kekuatan gaib luar biasa.
Ada selubung numinous yang menghinggapi pikiran Nabi sehingga memunculkan rasa takut mencekam penuh misteri. Adalah mustahil Nabi melihat figur malaikat secara visual, karena saat itu jangkauan pandangannya diselimuti suasana gelap dalam gua. Setelah kejadian itu, Nabi pulang ke rumah dengan tubuh gemetar, menggigil ketakutan dan meminta istrinya untuk menyelimutinya. Awal mulanya Nabi ragu, gerangan apakah yang terjadi pada dirinya. Karena pewahyuan muncul secara tersembunyi dan tersamar, tapi sangat dan jelas dirasakan. Akhirnya, setelah diyakinkan oleh seorang pendeta Nasrani, Nabi baru mendapat secercah harapan dan keyakinan baru seolah ada jalan panjang yang mesti dilaluinya dengan penuh perjuangan.
Di bawah ini, ada beberapa ayat yang menunjukkan Nabi mengalami kondisi dipengaruhi dan terkontrol pikirannya, yang dalam bahasa psikiatri disebut delusion of being controlled. Di antaranya yaitu;
(Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkan (susunan kata wahyu) dan membuatmu bisa membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya). Al-Qiyamah; 17-18.
Di dalam ayat lain juga menunjukkan bahwa Nabi mengalami kondisi jiwa yang tertekan dan tercekam dalam ketakutan yang disebabkan munculnya wahyu yang berbentuk kuasi-mimpi. Pewahyuan memang bersifat depresif sehingga menimbulkan efek dramatis pada jiwa dan tubuh yang mengalaminya.
(Dan Kami akan menghunjamkan padamu perkataan yang sangat berat). Al Muzammil;5.
Gejala-gejala yang dialami Nabi ternyata oleh psikiatri terangkum sebagai berikut; delusion of being controlled, delusion of grandiosity, delusion of influence, delusion of withdrawl, halusinasi auditorik dan penglihatan, depresi dan hendaya. Oleh karena itu berdasarkan perspektif Psikoanalisa dan diagnosa psikiatri, Nabi Muhammad bisa disebut mengalami skizofrenia yang oleh bahasa keagamaan dinamakan dengan pewahyuan. Atau dengan kata lain, wahyu itu sendiri adalah bahasa delusi dan halusinasi Nabi yang ditinggikan dan diilahiahkan. Namun ada pandangan lain yang mengatakan ini bukanlah skizofrenia biasa, tapi semacam kegilaan kreatif yang mampu meledakkan pikiran sehingga kecakapan-kecakapan orisinil beliau yang selama ini terpendam dalam alam bawah sadar menyembul keluar dan teraktualisasikan dalam darah dagingnya sejarah. Sekilas, agama Islam telah mengangkat derajat delusi dan halusinasi yang mengandung kekacauan psikologis pada sesuatu yang suci dan ilahi, tapi tetap ada satu misteri psikologis yang mengherankan kita, yaitu kegilaan yang beliau alami justeru membuatnya berhasil memukau dan mempesonakan sejarah, yang tentu membedakannya dengan orang sakit jiwa yang biasanya berkeliaran di jalanan.
Dalam Psikologi-Analitika Carl Jung, alam ketidaksadaran mendapatkan status yang mulia bahkan ilahiah. Sehingga, Jung memandang wahyu yang bersumber dari alam bawah sadar sebagai sesuatu yang positif dan kreatif. Hal ini tentu berbeda dengan pandangan Psikoanalisa Sigmund Freud yang terkesan menilai dinamika alam bawah sadar sebagai sesuatu yang dapat mengaburkan dan memanipulasi kesadaran. Sehingga, agama-agama yang mendasarkan diri pada wahyu yang bersumber dari alam bawah sadar tentu memiliki konsekuensi membahayakan kewarasan, menggerogoti kesadaran dan melemahkan kesehatan mental. Lalu bagaimanakah kita menyikapi kenyataan dan fakta agama-agama yang selama ini mendasarkan ajaran dan perintah moralnya pada sesuatu yang sakit dan mengandung kekacauan psikologis?
Berikut di bawah ini adalah pandangan-pandangan yang menyatakan meski seseorang mengidap skizofrenia, namun tidak mustahil bersamaan dengan penyakit tersebut datang kesadaran-kosmis dan wawasan-kreatif yang mengherankan di segala zaman.
Dalam sebuah studinya yang mengagumkan, Julian Silverman menemukan bukti-bukti antropologis yang berkaitan dengan eksistensi para dukun yang sekilas terkena delusi skizofrenik menurut kategori psikiatri modern. Zaman dahulu, skizofrenia dipahami oleh masyarakat primitif bukan sebagai individu yang menderita kelainan jiwa seperti pada zaman sekarang melainkan individu yang terluaskan kesadarannya, di mana mereka dianggap oleh anggota-anggota sukunya sebagai dukun yang bermanfaat secara kognitif dalam acara-acara ritual.
(….in primitive culture in which such uniqe life crisis resolution is tolerated, the abnormal experience (acute-schizoprenia) is typically beneficial to the individual, cognitively and affectively. He is regarded as person with expanded consciousness….). J. Milton Yinger, The Scientific Study of Religion, hlm. 39.
(The relationship between religion and mental disorder is however a complex one with a long history); Bernard Spilka, The Psychology of Religion, hlm. 28.
Mulai dari Freud-lah yang menyatakan bahwa agama dan perilaku neurotik memiliki banyak persamaan.
(Statements such as religion is comparable to a childhood neurosis….mankind will overcome this neurotic phase, just as so many children grow out of their similar neurosis. Further separated the faithful from psychoanalytic thinking and practise).
Dan juga menurut Carl Jung yang memandang positif tentang neurosis dan perkembangan psikis;
(…..neurosis sebagai suatu proses yang digunakan untuk mengatasi berbagai hambatan yang menghalanginya untuk berfungsi sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi).
Ada juga perspektif dari Psikologi Transpersonal;
(The mundane world regards the ordinary unenlightened people as normal and only the neurotic and psychotic (enlightened people) as abnormal. Zen-Buddhism regards all unenlightened people as abnormal). Charles T., Transpersonal Psychologies, hlm. 192.
Dalam metafora hebat R.D. Laing;
(Para penganut mistik dan para penderita skizofrenia menemukan diri mereka berada dalam lautan yang sama, tetapi para pengamat mistik dapat berenang sementara para penderita skizofrenia tenggelam). Frithof Capra, Titik Balik Peradaban, hlm. 548.
Dari Hamilton A.R. Gibb;
(He has, for example, been portrayed as an epileptic, as a socialist agitator, as a proto-mormon. All extreme subjective views are generally repudiated by the main body of scholars, yet it remains almost impossible to avoid importing some subjective element into any account of his life. Muhammad suffered, on the other hand, like every other creative personality, the constraints of external circumstances and the other he broke a new channel through the ideas and inventions of his time and place. To study and elucidate this interplay between genius and its environment is the task of historical research). Mohammedanism, hlm. 23.
Dari Marshal Hodgson;
(Beliau menemukan dirinya tercekam dalam suatu kondisi fisik yang lain dan di mana ia menjadi sadar tentang ide-ide yang tidak ia akui sebagai berasal dari dirinya. Tekanan fisik nampaknya kadang-kadang cukup dahsyat sehingga ia perlu menyelimuti rapat-rapat dirinya dan kemudian berkeringat cukup banyak, kadang-kadang jauh lebih ringan. Berdasarkan beberapa aspek dari pemerian kaum muslimin yang terperinci, saat pewahyuan telah disamakan dengan serangan epilepsi. Pada saat-saat seperti itu, mungkin saja beliau tidak sadar atau paling tidak kehilangan ingatan. Bentuk di mana ide-ide itu datang nampaknya lebih banyak variasinya di banding dengan kondisi fisiknya). The Venture of Islam, hlm. 224.
Dari Duncan B. Macdonald;
(…to outline further and certainly fruitful line investigation. The precise phatology of Mohammad’s psychology is one. Another would be the history of pentheistic development in the later sufi schools, under Budhistic and Vedantic influence a wide field…… Forty years have passed but it cannot be said that striking progress has been made in any of these direction. To the study of Mohammad was as a man and the prophet, a much new material has been brought, some of it of the first important. But in the matter of Mohammad’s psychology, subjective judgement and individual caprice still have the all to much to themselves). The Religious Attitude and Life in Islam, hlm. 21.
(Menetapkan secara pasti penyakit pada jiwa Nabi Muhammad adalah yang pertama harus diteliti. Yang lainnya adalah tentang sejarah perkembangan panteistik dalam berbagai aliran sufi dikemudian hari yang dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Budha dan Vedanta. Yang ketiga, yang sama luasnya dan bahkan lebih berat yaitu, berbagai sikap dan gerakan keagamaan umat Islam di masa sekarang. Empat puluh tahun berlalu, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa kemajuan yang berarti telah dicapai dalam salah satu di antara tujuan-tujuan kajian ini. Mengenai kajian tentang Muhammad -baik sebagai manusia biasa atau sebagai nabi- telah banyak bahan baru ditampilkan, di antaranya memiliki nilai penting. Tetapi mengenai kondisi kejiwaan Muhammad, penelitian-penelitian subjektif dan pandangan perorangan cenderung berubah-ubah terlalu besar pengaruhnya).
Tulisan ini akan saya tutup dengan kutipan seorang pemikir muslim kenamaan Muhammad Iqbal tentang penyakit abnormal yang dialami oleh Nabi dan kaitannya dengan wawasan kreatif, dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam;
(Bukti itu ialah bahwa memiliki suatu nilai kognitif buat si pembawanya dan apa yang lebih penting lagi ialah suatu kesanggupan untuk memusatkan kekuatan dari diri dengan demikian memberikan suatu pribadi yang baru. Pandangan bahwa pengalaman-pengalaman keagamaan seperti itu adalah neurotik atau mistis tidaklah menyelesaikan masalah dari makna atau nilai mereka.
Jika suatu pandangan di balik ilmu fisika itu mungkin. Maka kita haruslah tabah menghadapi kemungkinan itu walaupun mungkin dapat mengganggu atau cenderung merobah cara-cara normal dari hidup dan pikiran kita. Tidaklah menjadi soal sedikit pun kalau sikap keagamaan itu pada mulanya adalah ditetapkan oleh semacam kekacauan psikologis.
Muhammad didengungkan kepada kita sebagai seorang psikopat. Baiklah jika seorang psikopat yang mempunyai kekuatan untuk memberikan arah baru bagi pengalaman sejarah manusia. Maka adalah satu soal kepentingan psikologis yang tertinggi untuk menyelidiki kecakapan orisinalnya yang telah merobah hamba-hamba menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan telah mengilhami tingkah laku dan membentuk dari keseluruhan suku-suku umat manusia. Diuji dari berbagai macam kegiatan yang terbit dari gerakan yang dibangkitkan oleh nabinya umat Islam itu, ketegangan spiritual dan macam tingkah laku yang keluar darinya, tidaklah dapat dianggap sebagai satu respon terhadap satu fantasi belaka di dalam otak. Tidaklah mungkin memahaminya terkecuali sebagai suatu respon terhadap satu suasana obyektif yang menghasilkan antusiasme-antusiasme baru, organisasi-organisasi baru, dan titik tolak baru.
Jika kita lihat soal itu dari sudut pandang antropologi, maka kelihatanlah bahwa seorang psikopat adalah satu faktor penting dalam ekonomi dari organisasi sosial kemanusiaan. Ia berpikir dalam rangka hidup dan gerak dengan maksud hendak menciptakan corak-corak baru dalam tindak tanduk manusia. Tiada syak bahwa ia mempunyai tempat-tempat jatuh dan ilusi-ilusi, seperti juga seorang ahli ilmu pengetahuan yang menggantungkan dirinya pada pengalaman indera itu juga punya tempat-tempat jatuh dan ilusi-ilusi. Tetapi suatu studi yang teliti dari metodanya memperlihatkan bahwa ia tiada kurang waspadanya dari seorang scientist dalam hal melenyapkan campuran ilusi dari pengalamannya.
Maka itu jika ilmu psikologi itu hendak berarti bagi kehidupan manusia ia haruslah mengembangkan suatu metode bebas yang teliti untuk menemukan suatu cara yang cocok bagi selera zaman kita. Barangkali seorang psikopat yang dianugerahi dengan akal-besar -kombinasi itu bukanlah tidak mungkin- dapat memberikan suatu cara seperti itu). Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, hlm. 253.
Memasuki alam skizofrenia berarti kita sedang menjelajah dunia jiwa yang penuh dengan riak centang perenang dan logika yang tak biasa. Dunia suram yang sarat misteri, perasaan cemas dan takut, seakan nyawa hendak direnggut terbang oleh malaikat maut. Bagi orang yang menyelami alam skizofrenia, ia merasakan dirinya dikejar-kejar oleh bayangan asing, seolah ada mata gelap yang selalu mengawasi dari atas, bawah dan sampingnya. Bayangan ini memengaruhi, mengontrol dan menyisipkan bisikan halus ke dalam pikiran, agar melaksanakan apa yang diperintahkan. Apabila ia tidak melakukannya, maka siap-siaplah otaknya terbelah dan membusuk, aliran darahnya berhenti dan nafasnya dicabut. Ada kekuatan tak nampak yang selalu mengendalikan dan mengontrol pikirannya. Ia menghunjamkan inspirasi dan kata-kata gaib ke dalam pikiran, yang mengakibatkan orang yang menerimanya sangat kesakitan dan penuh ketegangan. Kata-kata ini kadang bernuansa sastra, kode-kode penuh simbol yang susah dimengerti atau tidak jarang berupa ramalan masa depan yang mengherankan.
Tapi, wilayah jiwa ini tidak hanya diisi oleh perasaan takut dan cemas saja, ia juga sarat akan emosi gembira meluap-luap layaknya ekstase yang dialami para ahli mistik dan spiritual yang bersahaja. Kegembiraan seolah menyatu secara organis dengan alam raya. Menjadi dada bagi langit perkasa dan kaki-kaki gunung tinggi tegak berwibawa. Alam raya yang tak terbatas ini menyelimuti pikiran dengan sesuatu yang betul-betul lain dan berbeda. Ada sensasi numinous atau kegaiban yang menggerakkan rasa takjub dan penuh misteri. Perasaan numinous inilah yang oleh sosiologi, antropologi dan psikologi agama dianggap sebagai bentuk dasar keberagamaan. Menurut Rudolf Otto (The Idea of Holy; 1978, hlm. 65), agama-agama manusia ternyata memiliki asal-usul pada perasaan atau ide akan adanya yang gaib (numinous). Yang numinous juga memunculkan perasaan asing yang begitu ganjil dan berbeda dengan fenomena keseharian biasa, sehingga yang merasakannya terheran-heran yang kemudian menggiring untuk menafsirkan ada campur tangan ilahiah dalam pengalaman tersebut. Oleh karena itu, agama pada dasarnya merupakan tafsiran atas yang asing dan misterius dengan sebutan yang ilahi dan maha tinggi. Bagaikan disentuh oleh gambaran dahsyat akan kemahakuasaan, yang numinous ini memberi mandat pada orang yang mengalaminya untuk menegakkan kerajaan tuhan di atas semesta.
Skizofrenia hampir identik dengan animisme dan magi yang lazim dipercaya oleh masyarakat primitif di zaman dulu kala. Bagi yang mengalaminya, alam semesta terasa hidup dan memiliki jiwa. Benda-benda materi bukan lagi barang mati, tetapi tumpukan pikiran yang memiliki perasaan. Langit, bebatuan, gunung-gunung dan sungai, lautan, pepohonan, tumbuh-tumbuhan dan hewan bisa diajak berbicara dan berkomunikasi. Pikirannya tersambung dengan lingkungan sekitarnya. Ia menjadi roh alam semesta dan jiwa buwana. Nafas dan geraknya menentukan nasib alam raya. Semesta raya yang begitu tak terbatas seakan dimampatkan dalam pikirannya. Dalam otak pikiran yang kecil dan dibalut tulang dan daging, terdapat potensi milyaran bintang dan galaksi. Ia yang mengidap penyakit ini merasa disentuh oleh kekuatan maha besar, kekuatan yang membuat pribadi manusia seakan menjadi pusat gravitasi alam raya. Ketika ia menatap ke dunia luar, seolah alam raya lenyap masuk ke dalam dirinya. Karena merasakan sentuhan dahsyat, ia mengira dirinya adalah makhluk agung yang ditakdirkan oleh sejarah untuk mengubah dunia. Hal ini meyebabkan sang skizofren mengira memiliki kekuatan kemahakuasaan pikiran, (omnipotence of thought). Hanya dengan memikirkan saja sesuatu yang diinginkan akan terwujud dalam realitas. Ia merasa bisa menenggelamkan matahari, menurunkan hujan, meniupkan angin besar atau mengendalikan dan memengaruhi pikiran orang lain. Yang membingungkan adalah, perasaan ini sangat nyata dan betul-betul dialami, tetapi ketika kekuatan tersebut diaktualisasikan dalam kenyataan, ternyata tidak berhasil terwujud. Mirip dengan daya magis yang gagal. Ada orang bisa merasakan kekuatan adi-duniawi tetapi ketika kekuatan ini hendak diwujudkan ke dunia luar, ternyata gagal dimanifestasikan. Perasaan dijamah kekuatan dahsyat ini oleh psikiatri disebut dengan waham kebesaran.
Menurut psikiatri, skizofrenia adalah gangguan psikotik (kegilaan) dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas proses pikir, yang kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar, waham yang kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang tidak terpadu dengan situasi sebenarnya. Diagnosis tidak ditegakkan kecuali apabila ada atau telah terbukti selama masa sakit yang sama, terdapatnya paling sedikit dua dari gangguan khas dalam; pikiran, persepsi, alam perasaan, tingkah laku dan kepribadian. Gangguan kepribadian yang terjadi menyangkut fungsi paling dasar yang memberikan pada seseorang yang sehat perasaan individualitas, keunikan dan pengarahan diri. Dapat pula terjadi kebingungan (perplexity). Sering pula hal-hal remeh menjadi sangat penting bagi dirinya dan disertai perasaan dikendalikan dari luar (passivy feelings) yang dapat membuat pasien merasa bahwa objek dan situasi sehari-hari mempunyai makna buruk bagi dirinya. Gejala terpenting dari kelompok skizofrenia ialah terdapatnya ciri psikotik tertentu selama satu fase aktif dari gangguannya dengan gejala khas yang mencakup proses psikologis majemuk, (Ayub Sani Ibrahim, Skizofrenia, Jakarta, hlm. 30).
Adapun gelaja-gejala khas yang meliputi proses psikologis majemuk yaitu; isi dan bentuk pikiran, persepsi, afek, kesadaran tentang dirinya (sense of self), dorongan kehendak (volition), hubungan dengan dunia luar dan tingkah laku psikomotorik. Gangguan utama pada isi pikiran ialah waham-waham yang seringkali majemuk, terpecah (fragmented) dan aneh, misalnya; yang jelas sekali tidak masuk akal, tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk apapun sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang bertentangan, umpamanya penderita mengaku bahwa ia adalah raja tetapi bermain-main dengan air ludahnya dan mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. Sering terdapat waham kejar yang ditandai oleh rasa diikuti mata-mata, penyiaran desas-desus yang tidak benar atau rencana jahat terhadap dirinya yang sering terdapat adalah waham yang menyangkut dirinya (delusion of reference), di mana peristiwa orang atau benda diberi arti khusus, biasanya yang sifatnya negatif dan menyelidiki dirinya, misal; ia merasa bahwa seorang pembawa acara televisi sedang mencemooh dirinya.
Beberapa macam waham yang sering ditemukan pada skizofrenia yaitu keyakinan atau perasaan bahwa pikirannya dapat disiarkan dari kepalanya ke dunia luar hingga orang lain dapat mendengarnya (thought broadcasting), bahwa buah pikirannya berasal bukan dari dirinya sendiri tetapi dimasukkan dari luar ke dalam pikirannya (thought insertion), bahwa pikirannya telah diambil keluar dari kepalanya (thought withdrawl) atau perasaannya, dorongan impulsnya, pikirannya dan tindakannya bukan berasal dari dirinya (delusion of being controlled). Sering pula ditemukan waham somatik, keagamaan, kebesaran dan nihilistik. Dapat pula timbul gagasan yang dinilai berlebihan (over valued ideas). Gangguan bentuk pikiran yang paling sering ditemukan adalah pelanggaran asosiasi di mana ide-ide berpindah dari satu subjek ke subjek yang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya atau hubungannya tidak tepat dan hal itu tidak disadari sama sekali oleh yang bersangkutan. Pengertian-pengertian yang tidak ada hubungannya yang berarti sering disatukan oleh orang itu secara idiosinkratik dan berpindah frame of reference. Apabila pelanggaran asosiasi itu menjadi berat, dapat terjadi inkoherensi, yaitu percakapannya tidak dapat dimengerti. Dapat pula terjadi kemiskinan isi pembicaraan, walau percakapannya masih cukup, tetapi isinya sedikit samar, sangatlah abstrak atau berulang-ulang kali. Gejala lain yang jarang dijumpai ialah neologisme (istilah baru yang aneh, hanya dia sendiri yang dapat mengerti), asosiasi suara dan hambatan dalam berpikir (blocking), (Ayub Sani Ibrahim, hlm. 32).
Gangguan utama dalam persepsi adalah pelbagai jenis halusinasi yang dapat terjadi pada semua bidang penginderaan, namun yang paling sering ialah halusinasi dengar berupa suara manusia, bunyi barang-barang atau gemerincing lonceng yang dirasakan seolah-olah berasal dari luar kepalanya. Suara-suara itu dapat tunggal atau berganda. Yang khas adalah suara-suara yang berbicara langsung pada dirinya atau memberi komentar tentang segala tingkah lakunya. Dapat pula orang itu mentaati dan menjalankan perintah yang terdengar melalui halusinasinya hingga dapat berbahaya bagi dirinya atau pun orang lain. Halusinasi yang secara khas berupa aliran listrik, rasa kesemutan atau rasa panas. Halusinasi somatik seperti perasaan adanya ular merayap dalam perut. Gangguan persepsi lainnya dapat meliputi perasaan tubuh dan kepekaan berlebihan terhadap bunyi dan bau, (Ayub Sani Ibrahim, hlm. 33).
Semua kondisi jiwa di atas adalah bagian kecil pengalaman berserakan dari para pengidap skizofrenia. Pengalaman tersebut oleh psikiatri sering dianggap sebagai patologi kesadaran, gangguan pikir dari jiwa yang sakit. Tidak ada yang nyata dari perasaan numinous ini. Semuanya merupakan delusi dan halusinasi. Orang-orang yang menderita skizofrenia dianggap sebagai manusia bermental kacau yang sedang meracau dan bergumam sendiri. Pikirannya hanya sebuah jalinan ilusi dari sesuatu yang tidak bisa dikoreksi. Mereka dianggap mengalami keterbelakangan mental yang harus disembuhkan dengan memasukkannya ke dalam rumah sakit jiwa dan diobati dengan berbagai macam obat penenang dan menjalani terapi. Mereka harus dikembalikan pada kesadarannya semula. Namun, sesederhana itukah pandangan psikiatri terhadap fenomena ganjil yang mengherankan tersebut? Adakah pandangan dunia yang mau bersusah payah untuk menemukan keistimewaan yang menyertai kegilaan dan irrasionalitas zaman ini? Akan sulit kiranya untuk mensistematisir pengalaman mereka secara epistemologis, namun usaha ini bukan suatu hal yang mustahil. Karena menurut penulis, ada rahasia dan misteri tersembunyi pada diri manusia yang mengidap skizofrenia, tidak hanya mistik dan agama tapi juga kejeniusan dan wawasan kreatif yang mengarah pada semacam teknologi pikiran yang mampu melampaui akal-sehat demi masa depan umat manusia.
Di balik semua kelemahan psikisnya, orang-orang yang mengalami skizofrenia dan gangguan jiwa sejenisnya, banyak yang memiliki kemampuan unik yang tidak dipunyai oleh orang biasa. Beserta datangnya penyakit itu, ia membawa sebuah wawasan kreatif (creative insight) yang orisinil dan revolusioner. Banyak sekali keanehan-keanehan yang terjadi pada para penderita skizofrenia ini, di mana hal tersebut telah menyibukkan para peneliti dari kalangan filsuf, dokter dan ahli mitologi. Karena dalam banyak kasus, gejala-gejala yang ditimbulkannya telah mempesonakan mereka. Gejala-gejala tersebut antara lain, imaji-kreatif, intuisi yang tajam, analisa abstrak yang teliti, nalar puitis yang memukau, daya artikulasi yang menakjubkan dan bahkan kharisma yang tidak biasa.
Dalam legenda Yunani yang diceritakan oleh Homer, terdapat kekuatan eksternal yang ikut campur tangan dalam proses terjadinya penyakit skizofrenia atau kegilaan. Daya campur tangan ini sering dinisbahkan pada tuhan yang dianggap memberikan suatu pencerahan atau kelahiran baru bagi yang mengalaminya. Bahwa asal-usul kekuatan misterius yang memengaruhi, mengontrol dan mengendalikan pikiran seorang skizofren sering dianggap sebagai intervensi ilahiah, setidaknya begitulah tafsir para nabi atas pengalaman wahyu patologis yang mereka alami. Tidak semua orang yang mengidap skizofrenia menjadi manusia pesakitan dan mengalami keterbelakangan mental. Tidak sedikit figur atau tokoh manusia terakbar dalam sejarah justeru teraktualisasikan potensi-potensi alamiah dan kecakapan-kecakapan orisinilnya karena ia memendam bakat skizofrenia atau gangguan jiwa lainnya. Di balik kutukan sakit jiwa yang meruntuhkan rasionalitas dan akal-pikiran terdapat rahmat tersembunyi yang meledakkan kekuatan potensial terpendam. Manusia jenis ini memiliki bakat eksistensial yang orisinil dan otentik. Dengan imajinasinya yang tinggi, ia mampu memproyeksikan ide-ide abstrak dalam ruang nyata. Konstruksi pikirannya begitu kuat hingga memengaruhi eksistensi sosial dan jiwa masyarakat. Orang semacam ini dalam mitologi Yunani sering diberkahi dengan nalar puitis yang kreatif, percintaan yang aneh dan ketajaman meramal masa depan, (Ernst Cassirer, An Essay on Man, 1985, hlm. 137).
Dalam sejarah orang-orang akbar dunia, sering kita jumpai keanehan dan kelainan yang menyertai kecakapan intelektual atau kemampuan mereka. Dari yang terdekat, kita bisa menyebut John Nash sang pengidap skizofrenia yang mendapat hadiah Nobel karena Teori Kesetimbangan-nya, John Stuart Mill pemikir Demokrasi Eropa yang terkena penyakit saraf sejak umur 17 tahun, Rene Descartes yang dianggap abnormal karena merasa mendapatkan vision tentang ilmu induk dalam mimpinya, Ludwig Wittgenstein yang soliter dan aneh, Vincent van Gogh sang skizofren dengan lukisannya yang melegenda, Mozart yang terkena penyakit saraf sejak kecil, Immanuel Kant yang mengalami skizofrenia setelah terbangunkan dari tidur dogmatis, memandang kehidupan Karl Marx yang jauh dari normal, Nietzsche si gila dengan palu matinya tuhan, Louis Althussers yang mengakhiri hidup di rumah sakit jiwa, George Fox pendiri aliran Quaker yang psikopat dan autis, Al Ghazali yang hampir lumpuh karena skeptis dan meragukan segala hal, Max Weber yang turun dari jabatan dosennya karena tekanan jiwa depresif yang mengakibatkan ia bisa menulis karya magnum opusnya The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, Einstein yang abnormal dan eksentrik dengan Relativitas-nya, Newton yang mengalami skizofrenia-paranoid pada umur 51 tahun, dan terakhir adalah Nabi Muhammad yang dianggap kebanyakan orang mengidap epilepsi, neurotik, psikopat dan skizofrenia tapi dianugerahi akal-besar sehingga dengan itu ia bisa mengubah dan menentukan alur sejarah, (Majalah Hello, Edisi September 2005, hlm. 40).
Nama-nama di atas hanya segelintir orang yang mampu merubah gerak zaman namun mereka mengidap semacam gangguan jiwa aneh yang tidak dapat disamakan dengan orang-orang normal pada umumnya. Berangkat dari fakta di atas, penulis mencoba untuk mencari relasi yang menghubungkan antara gangguan jiwa dengan kecakapan-kecakapan orisinil yang dimiliki para manusia besar pengubah sejarah.
Ada beberapa pemikir klasik yang berusaha dengan serius menghubungkan antara gangguan jiwa dengan fakta-fakta keberagamaan. Di antaranya adalah Sigmund Freud, William James, Carl Jung dan Muhammad Iqbal. Namun, di sini penulis hanya mengemukakan kutipan singkat dari pemikiran William James dan Muhammad Iqbal saja.
Dalam bukunya yang mengagumkan, The Varieties of Religious Experience, William James menuliskan bahwa orang-orang besar pendiri sekte atau organisasi dalam agama Kristen memiliki semacam patologi-kesadaran atau isi psikis abnormal yang sering disebut neurotik. Di antaranya adalah George Fox, Santa Theresa, Loyola, Calvin, Martin Luther, Paulus dan sebagainya. Mereka merupakan orang-orang yang memiliki otoritas keagamaan kuat sekaligus menampakkan semacam gejala psikis abnormal.
(Memang tak dapat disangsikan lagi bahwa kehidupan beragama secara eksklusif cenderung membuat orang tampak eksentrik dan aneh. Namun orang-orang semacam ini adalah para jenius dalam wilayah agama seperti jenius lain yang telah menghasilkan buah yang cukup mengesankan untuk dikenang dalam buku-buku biografi, mereka pun sering menunjukkan gejala-gejala ketidakstabilan mental. Bahkan mungkin lebih aneh dari pada para jenius lainnya, para pemimpin agama acapkali mendapat serangan psikis abnormal. Namun, ciri-ciri patologis pengembaraan ini justeru memberi mereka pengaruh positif dan otoritas keagamaan. Kalau anda meminta saya mengajukan sebuah contoh konkret, saya kira tidak ada contoh yang lebih baik selain seorang yang bernama George Fox. Para pemimpin agama acapkali mendapat serangan psikis-abnormal. Mereka sering menjalani kehidupan batin penuh konflik dan mengalami suasana melankolik dalam pengembaraan mereka. Mereka tidak mengenal standar, mereka bergantung pada obsesi dan gagasan-gagasan tetap. Mereka kerap tenggelam dalam kondisi trans, mendengar suara-suara gaib, mengalami penampakan dan menunjukkan segala jenis keanehan yang biasa disebut patologi).
(There can be no doubt that as a matter of fact a religious life, exclusively pursued does tend to make the person exceptional and eccentric. But such individuals are geniuses in the religious line and like many other geniuses who have brought forth fruits effective enough for commemoration in the pages of biography, such religious geniuses have often shown symptoms of nervous instability. Even more perhaps than other king of genius, religious leaders have been subject to abnormal psychical visitation. These pathological features in their career have helped to give them their religious authority and influence. If you ask for concrete example, there can be no better one than is furnished by the person of George Fox). William James, The Varieties of Religious Experience, 1996, hlm. 24.
Begitu juga dengan Muhammad Iqbal yang dengan penuh semangat berusaha menghubungkan antara otoritas keagamaan dengan gejala psikopat.
(Jika suatu pandangan di balik ilmu fisika adalah mungkin, maka kita haruslah tabah menghadapi kemungkinan itu walaupun mungkin dapat mengganggu atau cenderung merubah cara-cara normal dari hidup dan pikiran kita. Tidaklah menjadi soal sedikitpun kalau sikap keagamaan pada mulanya ditetapkan oleh semacam kekacauan psikologis. Muhammad didengungkan kepada kita sebagai seorang psikopat. Baiklah jika seorang psikopat yang mempunyai kekuatan untuk memberikan arah baru bagi pengalaman sejarah manusia. Maka adalah suatu soal kepentingan psikologis tertinggi untuk menyelidiki kecakapan orisinilnya yang telah merubah hamba-hamba menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan mengilhami tingkah laku dan membentuk martabat dari keseluruhan suku-suku umat manusia). Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, 1991, hlm. 253.
Ternyata gejala yang bersifat skizofrenik juga nampak pada cara-cara pewahyuan Al-Quran kepada Nabi Muhammad. Yaitu, Al Quran diturunkan lewat proses-proses dunia alam bawah sadar. Semisal, lewat mimpi atau kuasi-mimpi, halusinasi suara lonceng atau bisikan-bisikan halus seolah terdengar secara eksternal dari telinga, halusinasi penglihatan, delusi pengaruh dan pengontrolan, dan sebagainya yang memunculkan daya numinous, perasaan keterasingan, misteri dan tekanan jiwa yang menggetarkan pikiran Nabi sekaligus mempesonakannya.
Pertama; Wahyu (yang berarti sesuatu yang tersembunyi dan tersamar) datang kepada Nabi dalam bentuk suara lonceng yang menakutkan. Bunyi lonceng ini sebenarnya berasal dari pikirannya sendiri, tapi karena sangat kuat dan menggetarkan seolah bisa terdengar lewat telinga luar. Psikiatri memberi nama wahyu yang muncul lewat suara lonceng dengan sebutan halusinasi auditorik. Dalam riwayat Hadis Shohih diterangkan dari kuatnya wahyu lonceng ini mengakibatkan jiwa nabi tercekam ketakutan, tubuhnya gemetaran, menggigil dan muka menghitam, bersamaan dengan itu keluar keringat dingin. Ada yang mengatakan saat-saat munculnya wahyu lonceng ini, nabi diduga terkena gejala epilepsi dan sangat menderita sekali sehingga seolah terkapar di tanah layaknya onta yang hendak disembelih.
Kedua; wahyu hadir melalui mimpi atau kuasi-mimpi. Wahyu yang muncul lewat mimpi sudah menjadi tradisi kenabian kuno yang ada dalam Perjanjian Lama, mulai dari Nuh, Ibrahim, Yusuf, Musa, dan juga Nabi Muhammad. Sedangkan wahyu kuasi-mimpi merupakan perluasan dari wahyu lewat mimpi. Kalau mimpi merupakan kegiatan alam bawah sadar saat indera tubuh sedang tertidur atau beristirahat, maka kuasi-mimpi merupakan kegiatan alam bawah sadar yang terjadi saat indera tubuh terjaga dan tidak tertidur. Kuasi-mimpi adalah kegiatan alam bawah sadar atau mimpi yang menembus wilayah kesadaran. Dalam bahasa Freud, mimpi adalah kegilaan singkat karena proses-proses alam bawah sadar yang menindih kesadaran akan berhenti ketika kita terbangun dan kesadaran kembali mengambil alih kendali psikis. Sedangkan, kuasi-mimpi menurut Freud adalah kegilaan itu sendiri, karena proses-proses alam bawah sadar justeru menguasai psikis meski indera kita berfungsi normal. Oleh karena itu, menurut persamaan Freud, mimpi adalah kegilaan singkat dan kegilaan adalah mimpi yang panjang saat inderawi manusia terjaga.
Sebenarnya, pewahyuan yang dialami oleh para nabi bersifat kuasi-mimpi karena proses alam bawah sadar sebagai sumber pewahyuan muncul saat inderawi para nabi terjaga dan hal ini tentu menimbulkan rasa sakit fisik dan psikis yang luar biasa. Mimpi yang dialami saat inderawi terjaga dan berfungsi normal mengakibatkan ketegangan psikis yang menyakitkan, dan tentu sulit sekali menyadarkannya, karena apabila mimpi saat tidur bisa selesai setelah bangun tidur, lalu bagaimana membangunkan mimpi ketika seseorang sedang terjaga dan terbangun?
Kuasi-mimpi menjadi bahasa ketidaksadaran atau mimpi yang menembus alam kesadaran atau dengan kata lain inilah awal proses kerja delusi dan halusinasi yang keluar dari mimpi menuju dunia kesadaran yang dialami para nabi. Mimpi itu sendiri adalah patologi kesadaran yang terjadi dalam waktu singkat dan terlokalisir, maka kuasi-mimpi merupakan patologi yang berhasil menguasai dan menindih kesadaran di saat inderawi kita terjaga normal. Dengan begitu, pewahyuan sama saja dengan kegilaan-kreatif yang diatasnamakan dengan yang ilahi dan maha tinggi.
Ketiga; wahyu muncul saat beliau sedang menyendiri di Gua Hira. Wahyu datang setelah Nabi bermeditasi atau bertahanuts selama berbulan-bulan dengan mengasingkan diri dari dunia ramai. Alasan idealisme adalah sebab dari pengasingan ini, karena beliau sangat prihatin dengan nasib masyarakatnya yang dianggap jauh dari keutamaan. Dengan imajinasinya yang kuat, Nabi seolah melihat figur maha dahsyat yang menampakkan diri dalam sosok malaikat. Sangat mungkin sekali, pada waktu itu Nabi mengalami halusinasi penglihatan dan waham kebesaran seakan disentuh oleh kekuatan gaib luar biasa.
Ada selubung numinous yang menghinggapi pikiran Nabi sehingga memunculkan rasa takut mencekam penuh misteri. Adalah mustahil Nabi melihat figur malaikat secara visual, karena saat itu jangkauan pandangannya diselimuti suasana gelap dalam gua. Setelah kejadian itu, Nabi pulang ke rumah dengan tubuh gemetar, menggigil ketakutan dan meminta istrinya untuk menyelimutinya. Awal mulanya Nabi ragu, gerangan apakah yang terjadi pada dirinya. Karena pewahyuan muncul secara tersembunyi dan tersamar, tapi sangat dan jelas dirasakan. Akhirnya, setelah diyakinkan oleh seorang pendeta Nasrani, Nabi baru mendapat secercah harapan dan keyakinan baru seolah ada jalan panjang yang mesti dilaluinya dengan penuh perjuangan.
Di bawah ini, ada beberapa ayat yang menunjukkan Nabi mengalami kondisi dipengaruhi dan terkontrol pikirannya, yang dalam bahasa psikiatri disebut delusion of being controlled. Di antaranya yaitu;
(Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkan (susunan kata wahyu) dan membuatmu bisa membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya). Al-Qiyamah; 17-18.
Di dalam ayat lain juga menunjukkan bahwa Nabi mengalami kondisi jiwa yang tertekan dan tercekam dalam ketakutan yang disebabkan munculnya wahyu yang berbentuk kuasi-mimpi. Pewahyuan memang bersifat depresif sehingga menimbulkan efek dramatis pada jiwa dan tubuh yang mengalaminya.
(Dan Kami akan menghunjamkan padamu perkataan yang sangat berat). Al Muzammil;5.
Gejala-gejala yang dialami Nabi ternyata oleh psikiatri terangkum sebagai berikut; delusion of being controlled, delusion of grandiosity, delusion of influence, delusion of withdrawl, halusinasi auditorik dan penglihatan, depresi dan hendaya. Oleh karena itu berdasarkan perspektif Psikoanalisa dan diagnosa psikiatri, Nabi Muhammad bisa disebut mengalami skizofrenia yang oleh bahasa keagamaan dinamakan dengan pewahyuan. Atau dengan kata lain, wahyu itu sendiri adalah bahasa delusi dan halusinasi Nabi yang ditinggikan dan diilahiahkan. Namun ada pandangan lain yang mengatakan ini bukanlah skizofrenia biasa, tapi semacam kegilaan kreatif yang mampu meledakkan pikiran sehingga kecakapan-kecakapan orisinil beliau yang selama ini terpendam dalam alam bawah sadar menyembul keluar dan teraktualisasikan dalam darah dagingnya sejarah. Sekilas, agama Islam telah mengangkat derajat delusi dan halusinasi yang mengandung kekacauan psikologis pada sesuatu yang suci dan ilahi, tapi tetap ada satu misteri psikologis yang mengherankan kita, yaitu kegilaan yang beliau alami justeru membuatnya berhasil memukau dan mempesonakan sejarah, yang tentu membedakannya dengan orang sakit jiwa yang biasanya berkeliaran di jalanan.
Dalam Psikologi-Analitika Carl Jung, alam ketidaksadaran mendapatkan status yang mulia bahkan ilahiah. Sehingga, Jung memandang wahyu yang bersumber dari alam bawah sadar sebagai sesuatu yang positif dan kreatif. Hal ini tentu berbeda dengan pandangan Psikoanalisa Sigmund Freud yang terkesan menilai dinamika alam bawah sadar sebagai sesuatu yang dapat mengaburkan dan memanipulasi kesadaran. Sehingga, agama-agama yang mendasarkan diri pada wahyu yang bersumber dari alam bawah sadar tentu memiliki konsekuensi membahayakan kewarasan, menggerogoti kesadaran dan melemahkan kesehatan mental. Lalu bagaimanakah kita menyikapi kenyataan dan fakta agama-agama yang selama ini mendasarkan ajaran dan perintah moralnya pada sesuatu yang sakit dan mengandung kekacauan psikologis?
Berikut di bawah ini adalah pandangan-pandangan yang menyatakan meski seseorang mengidap skizofrenia, namun tidak mustahil bersamaan dengan penyakit tersebut datang kesadaran-kosmis dan wawasan-kreatif yang mengherankan di segala zaman.
Dalam sebuah studinya yang mengagumkan, Julian Silverman menemukan bukti-bukti antropologis yang berkaitan dengan eksistensi para dukun yang sekilas terkena delusi skizofrenik menurut kategori psikiatri modern. Zaman dahulu, skizofrenia dipahami oleh masyarakat primitif bukan sebagai individu yang menderita kelainan jiwa seperti pada zaman sekarang melainkan individu yang terluaskan kesadarannya, di mana mereka dianggap oleh anggota-anggota sukunya sebagai dukun yang bermanfaat secara kognitif dalam acara-acara ritual.
(….in primitive culture in which such uniqe life crisis resolution is tolerated, the abnormal experience (acute-schizoprenia) is typically beneficial to the individual, cognitively and affectively. He is regarded as person with expanded consciousness….). J. Milton Yinger, The Scientific Study of Religion, hlm. 39.
(The relationship between religion and mental disorder is however a complex one with a long history); Bernard Spilka, The Psychology of Religion, hlm. 28.
Mulai dari Freud-lah yang menyatakan bahwa agama dan perilaku neurotik memiliki banyak persamaan.
(Statements such as religion is comparable to a childhood neurosis….mankind will overcome this neurotic phase, just as so many children grow out of their similar neurosis. Further separated the faithful from psychoanalytic thinking and practise).
Dan juga menurut Carl Jung yang memandang positif tentang neurosis dan perkembangan psikis;
(…..neurosis sebagai suatu proses yang digunakan untuk mengatasi berbagai hambatan yang menghalanginya untuk berfungsi sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi).
Ada juga perspektif dari Psikologi Transpersonal;
(The mundane world regards the ordinary unenlightened people as normal and only the neurotic and psychotic (enlightened people) as abnormal. Zen-Buddhism regards all unenlightened people as abnormal). Charles T., Transpersonal Psychologies, hlm. 192.
Dalam metafora hebat R.D. Laing;
(Para penganut mistik dan para penderita skizofrenia menemukan diri mereka berada dalam lautan yang sama, tetapi para pengamat mistik dapat berenang sementara para penderita skizofrenia tenggelam). Frithof Capra, Titik Balik Peradaban, hlm. 548.
Dari Hamilton A.R. Gibb;
(He has, for example, been portrayed as an epileptic, as a socialist agitator, as a proto-mormon. All extreme subjective views are generally repudiated by the main body of scholars, yet it remains almost impossible to avoid importing some subjective element into any account of his life. Muhammad suffered, on the other hand, like every other creative personality, the constraints of external circumstances and the other he broke a new channel through the ideas and inventions of his time and place. To study and elucidate this interplay between genius and its environment is the task of historical research). Mohammedanism, hlm. 23.
Dari Marshal Hodgson;
(Beliau menemukan dirinya tercekam dalam suatu kondisi fisik yang lain dan di mana ia menjadi sadar tentang ide-ide yang tidak ia akui sebagai berasal dari dirinya. Tekanan fisik nampaknya kadang-kadang cukup dahsyat sehingga ia perlu menyelimuti rapat-rapat dirinya dan kemudian berkeringat cukup banyak, kadang-kadang jauh lebih ringan. Berdasarkan beberapa aspek dari pemerian kaum muslimin yang terperinci, saat pewahyuan telah disamakan dengan serangan epilepsi. Pada saat-saat seperti itu, mungkin saja beliau tidak sadar atau paling tidak kehilangan ingatan. Bentuk di mana ide-ide itu datang nampaknya lebih banyak variasinya di banding dengan kondisi fisiknya). The Venture of Islam, hlm. 224.
Dari Duncan B. Macdonald;
(…to outline further and certainly fruitful line investigation. The precise phatology of Mohammad’s psychology is one. Another would be the history of pentheistic development in the later sufi schools, under Budhistic and Vedantic influence a wide field…… Forty years have passed but it cannot be said that striking progress has been made in any of these direction. To the study of Mohammad was as a man and the prophet, a much new material has been brought, some of it of the first important. But in the matter of Mohammad’s psychology, subjective judgement and individual caprice still have the all to much to themselves). The Religious Attitude and Life in Islam, hlm. 21.
(Menetapkan secara pasti penyakit pada jiwa Nabi Muhammad adalah yang pertama harus diteliti. Yang lainnya adalah tentang sejarah perkembangan panteistik dalam berbagai aliran sufi dikemudian hari yang dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Budha dan Vedanta. Yang ketiga, yang sama luasnya dan bahkan lebih berat yaitu, berbagai sikap dan gerakan keagamaan umat Islam di masa sekarang. Empat puluh tahun berlalu, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa kemajuan yang berarti telah dicapai dalam salah satu di antara tujuan-tujuan kajian ini. Mengenai kajian tentang Muhammad -baik sebagai manusia biasa atau sebagai nabi- telah banyak bahan baru ditampilkan, di antaranya memiliki nilai penting. Tetapi mengenai kondisi kejiwaan Muhammad, penelitian-penelitian subjektif dan pandangan perorangan cenderung berubah-ubah terlalu besar pengaruhnya).
Tulisan ini akan saya tutup dengan kutipan seorang pemikir muslim kenamaan Muhammad Iqbal tentang penyakit abnormal yang dialami oleh Nabi dan kaitannya dengan wawasan kreatif, dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam;
(Bukti itu ialah bahwa memiliki suatu nilai kognitif buat si pembawanya dan apa yang lebih penting lagi ialah suatu kesanggupan untuk memusatkan kekuatan dari diri dengan demikian memberikan suatu pribadi yang baru. Pandangan bahwa pengalaman-pengalaman keagamaan seperti itu adalah neurotik atau mistis tidaklah menyelesaikan masalah dari makna atau nilai mereka.
Jika suatu pandangan di balik ilmu fisika itu mungkin. Maka kita haruslah tabah menghadapi kemungkinan itu walaupun mungkin dapat mengganggu atau cenderung merobah cara-cara normal dari hidup dan pikiran kita. Tidaklah menjadi soal sedikit pun kalau sikap keagamaan itu pada mulanya adalah ditetapkan oleh semacam kekacauan psikologis.
Muhammad didengungkan kepada kita sebagai seorang psikopat. Baiklah jika seorang psikopat yang mempunyai kekuatan untuk memberikan arah baru bagi pengalaman sejarah manusia. Maka adalah satu soal kepentingan psikologis yang tertinggi untuk menyelidiki kecakapan orisinalnya yang telah merobah hamba-hamba menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan telah mengilhami tingkah laku dan membentuk dari keseluruhan suku-suku umat manusia. Diuji dari berbagai macam kegiatan yang terbit dari gerakan yang dibangkitkan oleh nabinya umat Islam itu, ketegangan spiritual dan macam tingkah laku yang keluar darinya, tidaklah dapat dianggap sebagai satu respon terhadap satu fantasi belaka di dalam otak. Tidaklah mungkin memahaminya terkecuali sebagai suatu respon terhadap satu suasana obyektif yang menghasilkan antusiasme-antusiasme baru, organisasi-organisasi baru, dan titik tolak baru.
Jika kita lihat soal itu dari sudut pandang antropologi, maka kelihatanlah bahwa seorang psikopat adalah satu faktor penting dalam ekonomi dari organisasi sosial kemanusiaan. Ia berpikir dalam rangka hidup dan gerak dengan maksud hendak menciptakan corak-corak baru dalam tindak tanduk manusia. Tiada syak bahwa ia mempunyai tempat-tempat jatuh dan ilusi-ilusi, seperti juga seorang ahli ilmu pengetahuan yang menggantungkan dirinya pada pengalaman indera itu juga punya tempat-tempat jatuh dan ilusi-ilusi. Tetapi suatu studi yang teliti dari metodanya memperlihatkan bahwa ia tiada kurang waspadanya dari seorang scientist dalam hal melenyapkan campuran ilusi dari pengalamannya.
Maka itu jika ilmu psikologi itu hendak berarti bagi kehidupan manusia ia haruslah mengembangkan suatu metode bebas yang teliti untuk menemukan suatu cara yang cocok bagi selera zaman kita. Barangkali seorang psikopat yang dianugerahi dengan akal-besar -kombinasi itu bukanlah tidak mungkin- dapat memberikan suatu cara seperti itu). Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, hlm. 253.
Tambahkan Komentar