Menko Polhukam Republik Indonesia, Wiranto. (Foto: Detik). |
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, menerangkan soal Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 2018 mengenai penjelasan soal tindak pidana terorisme.
"Penyidik akan membuktikan dulu siapa yang bersangkutan. Kemudian latar belakangnya apa, unsur kesengajaannya untuk membuat rasa cemas dan takut, bentuk intimidasi psikologis, itu bisa dikenakan. Juga pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018, apabila pelakunya memiliki jaringan atau masuk dalam suatu jaringan terorisme," ujar Dedi seperti dilansir dari detik.com.
Dedi menerangkan untuk menjerat pelaku hoax dengan Undang-undang Terorisme, penyidik butuh mendalami konstruksi hukumnya, dengan meminta pendapat para hali.
"Itu perlu pendalaman yang boleh dikatakan mengundang beberapa saksi ahli untuk menguatkan konstruksi hukumnya," katanya.
Namun bila pelaku hoax tidak terlibat jaringan teroris, maka polisi akan menjerat pelaku dengan Pasal 27 dan 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Terkait penegakan hukum yang lain adalah apabila nanti dalam proses pembuktian, masyarakat tersebut adalah masyarakat biasa (bukan teroris), dan unsur mens-reanya juga boleh dikatakan unsur kesengajaannya ini 'baru pertama kali' menyebarkan berita, narasi, video yang sifatnya hoax, maka yang diterapkan nanti Undang-undnag ITE Pasal 27 dan 45," jelas Dedi.
Selain itu menurut Dedi bisa juga diterapkan Pasal 14, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 bila seseorang sengaja membuat keonaran dengan menyebarkan berita bohong
"Jadi proses penegakan hukumnya sangat tergantung dari hasil analisa dan secara komperhensif dilakukan oleh penyidik. Penyidik secara profesional yang melihat itu berdasarkan fakta hukum," imbuh Dedi.
Dedi memaparkan penanganan sejumlah pelaku hoax yang setelah diidentifikasi ternyata terpapar paham radikal. Salah satunya terduga teroris Abu Riky yang ditangkap di Rokan Hilir (Rohil) Riau.
Abu Ricky sebelumnya ditangkap karena kerap memposting konten-konten jihad di akun media sosialnya.
"Abu Ricky juga, kita masukkan (juga) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018," tutur Dedi.
Sebelumnya Wiranto pada Rabu (20/3) menyebut para penyebar hoax itu sebagai peneror masyarakat. Karena itu, Wiranto menyebut para penyebar hoax itu bisa dijerat pula dengan aturan soal terorisme.
"Kan ada Undang-Undang ITE, pidananya ada. Tapi saya terangkan tadi hoax ini kan meneror masyarakat. Terorisme ada fisik dan nonfisik. Terorisme kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoax untuk takut datang ke TPS, itu sudah ancaman, itu sudah terorisme. Maka tentu kita Undang-Undang Terorisme," papar dia. (Tb44/dtk).
Tambahkan Komentar