Ilustrrasi: Guru dan Cak Nur, dua santri yang mahir berbagai bahasa |
Oleh Khoirul Anwar Afa
Penghafal Alquran dan Lulusan Pascasarjana PTIQ Jakarta
Sarjana muslim di sini saya menggunakan istilah yang pernah digunakan Kiai Sahal Mahfudh (w. 2014), yang menurutnya tidak hanya terbatas pada pembelajar Islamic Studies lulusan Perguruan Tinggi, tetapi bisa saja dari pesantren, atau kalau boleh saya tambahkan lulusan Langgar pun termasuk.
Ok. Kenapa wajib mahir Bahasa Inggris kog nggak cukup Bahasa Arab. Bukanya itu bahasanya orang nggak cawetan? Hehe, kata Kiai saya dulu gitusarkasnya.
Begini, mulanya saya juga agak nggak setuju juga dengan syarat mutlak lolos Scholarship LPDP harus mahir in English. Tapi pagi ini saya semakin sadar kalau sarjana muslim harus bisa. Selain ngelotok bahasa Arab.
Kenapa? Saya tidak bisa bayangkan seandainya ulama sekelas Mustafa Azami tidak mahir English, pasti tidak bisa skakmat teorinya Joseph Scacht yang menolak kemurnian Hadis. Atau sekelas Ali Hasan Abdul Qadir pasti tidak bisa kuliti teori sejarah hadisnya Ignaz Goldziher. Masih banyak yang lainnya.
Lalu apa hubungannya? Begini, Ya, bahasa Inggris selain memang bernilai jual juga digunakan mencari kesempatan di lain kesempitan. Sekadar berbagi saja, sekarang ini banyak orang orang yang dengan pedenya berbicara tentang Islam dengan bahasa Inggris. Padahal hanya tau urgensi dakwah minal masjid ilal masjid. Sedangkan antum sudah minal indonesia ila surga neraka.
Tidak heran kalau mereka berhasil kuasai kalangan elit, yang konon ada di 44 persen itu. Lalu bagaimana? Ya harus mahir. Waduh berat, Ya? Berat memang. Padahal jadi sarjana muslim belum tentu digaji UMR.
Tambahkan Komentar