Oleh Khoirul Anwar Afa
Toyota Fortuner hitam sudah siaga di depan rumah. Lengkap dengan sopirnya. Aku, bunda, dan ayah sudah rapi untuk menuju calon sekolah baruku. Sekolah bertaraf internasional.
Kata ayahku, dengan sekolah bergengsi itu akan bisa mengantarkanku kuasai pengetahuan yang dibutuhkan oleh dunia. Mungkin jika boleh aku simpulkan, yang dimaksud adalah dunia kerja. Itu menurutku. Anda boleh setuju atau tidak. Nanti akan aku ulas.
“Tidak pakai baju ini, Baby?”
bundaku mendekatiku sambil menyodori dress mini ala Eropa warna merah. Aku lihat bundaku sudah rapi menggunakan gaun abu-abu dan dibalut dengan cardigan biru laut. Serta Floppy Hat-nya tidak ketinggalan.
“Boleh,” jawabku singkat. Tanpa berpikir panjang, aku pun memakainya.
“Bagus, Baby,” puji bundaku.
“Hmhmhm,” sahutku sederhana.
“Sudah, Ma?” tiba-tiba ayahku ikut andil di depan pintu kamar. Ayah pun sudah tampil gagah. Dengan sepatu sneaker boot hitam putihnya yang mengkilat, kepalanya sudah dibungkus Topi Akrilik coklat dan kaca mata hitam sudah ia sarungkan pada jaket.
“Sudah. Ayuk, Baby,” ajak bunda kepadaku.
“Ayuk,” jawabku singkat.
Kami pun segera bergegas menuju mobil yang akan mengantarkan kami kemana saja kami mau. Karena meskipun hari pertama baru sampai ke Balikpapan, tetapi hanya hari itu saja, ayahku bisa ikut nimbrung mengantarkanku. Hari esoknya dan selanjutnya sudah sibuk dengan pekerjaan di tempat barunya.
Kalau bundaku, mungkin bisa kapan saja. Karena semenjak melahirkanku, ia putuskan untuk tidak bekerja. Dulunya, konon, pernah bekerja menjadi guru Sejarah di salah satu SMA di Jakarta. Jadi, aku sangat beruntung. Bisa mendapatkan asuhan penuh dari bundaku. Beda dengan kakaku, katanya. Atas sebab itulah, aku baru sadar. Bahwa sampai menginjak usia SMA, aku masih seperti anak belia. Yang kemana aku melangkah selalu didampingi bunda.
Tapi tidak dengan pemikiranku. Karena bunda cukup bijak. Dia tidak mendidikku dalam indoktrinasi. Atau membentukku menjadi manusia ciptaannya. Dia posisikan diriku seperti teman. Sering mengajakku diskusi dan lebih sering memberiku pertanyaan. Soal pilihan sepenuhnya ada padaku.
###
“Sudah bisa berangkat, Pak?” tanya seorang laki-laki paruh baya berseragam hitam yang dari tadi telah menyalakan mesin mobilnya. Sepertinya cukup lama orang itu menanti kami keluar.
“Sudah,” jawab ayahku kepada orang itu.
“Baik. Silahkan naik,” katanya.
Kami membuka pintu sendiri. Ayahku duduk di depan. Aku dan bunda di belakang. Setelah kami semua berada di dalam. Orang itu menoleh ke ayah. Dengan santunnya ia tanyakan, apakah kami hendak langsung ke sekolah.
Ayahku menjawabnya, sementara ke sekolah dulu. Nanti setelah itu, baru cari toko buku atau tempat-tempat edukatif yang bisa aku manfaatkan selama sekolah, tuturnya.
“Baik, Pak,” sahut laki-laki itu dengan tegas dan santun.
Tanpa banyak pertanyaan lagi, mobil pun langsung di arahkan menuju sekolah. Namun ayah memintanya untuk berjalan pelan-pelan. Sambil menikmati pandangan, ayah meminta sopir itu untuk menyalakan radio. Katanya, untuk menyimak info seputar perjalanan ataupun jika ada tragedi lainnya.
Waktu itu, ada berita seputar agama dan politik yang sedang membludak di Indonesia. Ayahku pun ikut berkomentar.
Katanya, “Memang susah, jika agama dipolitisir begitu.”
Kami semua pun diam. Dan ayah tetap lanjutkan.
“Jika begini terus, maka akan bisa jadi Suriah kedua. Sesama muslim pun bisa saling perang.”
“Kamu faham, Baby?” tanya bunda kepadaku.
Aku hanya bisa gelengkan kepala karena tidak faham. Apa maksud ayah bahwa agama dipolitisir. Dan apa itu Suriah. Aku memang benar-benar tidak tahu waktu itu.
Di sela-sela pertanyaan bunda, aku tetap simak ngedumel-nya ayah. Dengan seksama ia dengarkan berita itu. Sepertinya, ia sambil memikirkan sesuatu. Dan jika ada kalimat statemen yang keluar dari mulut ayah, bunda selalu bertanya kepadaku apa aku faham atau tidak.
“Agama itu keyakinan kita, Baby. Bahwa seluruh kewajiban kita merupakan perintah dari Tuhan. Begitulah kira-kira definisi agama dari seorang filsuf Jerman Immanuel Kant,” terang bunda kepadaku.
“Owh, jadi agama itu keyakinan?”tanyaku.
“Benar. Itu esensinya. Namun ada kewajiban-kewajiban yang mendasari orang beragama.”
“Maksudnya, bunda?”
“Maksudnya, untuk implementasikan agama, seseorang harus ibadah atau yang disebut dengan pengabdian.”
“Pengabdian kepada Tuhan, maksud, Bunda?”
“Benar. Karena hidup ini adalah pengabdian,” tutur bunda.
Semenjak itu aku mulai faham bahwa agama itu mewajibkan suatu pengabdian kepada pemeluknya. Dan semua orang yang beragama tidak lepas dari perintah itu. Lalu kenapa kalau pengabdian harus dipolitisir? Bukankah kita semua harusnya berlomba menuju pengabdian yang baik dan berkualitas? Kalau dipolitisir itu artinya ada kebiasan yang disengaja dan posedu terhadap kebenaran, batinku.
Tanpa menunggu lama aku pun bertanya kepada bunda, tentang apa yang dimaksud ayah. Agama dipolitisir itu.
Menurut ayah saat itu, agama dan politik itu ibarat saudara kembar. Bisa saling membalut serta mempengaruhi. Artinya jika politik dibalut dengan agama bisa jadi baik. Sebaliknya, jika agama diracuni dengan politik, maka semuanya akan jadi kabur. Yang benar jadi salah. Dan yang salah bisa jadi benar. Padahal hanya untuk mendukung teman dan mengalahkan lawan. Bisa saja teks-teks agama yang sakralnya sudah final itu digubah menjadi bualan-bualan tak ada harganya. Begitu kira-kira yang disampaikan ayah pada saat itu.
“Mungkin kamu belum lihat, Shefa.”
Sambil menghela nafas, ayah pun lanjutkan tuturannya kepadaku.
Begini, “Ketika ayah di Eropa, ada teman ayah perempuan berjilbab, yang setiap saat keluar rumah selalu diikuti oleh pengintai. Ini terjadi karena isu Islam yang dilontarkan di Eropa sebagai agama radikalis.”
Kemudian ia lanjutkan lagi, “Seperti di Indonesia. Isu agama non Islam selalu jadi momen politis. Terlebih ketika saat pemilihan pemimpin.”
Mendengar penjelasan ayah, aku mulai tertarik dengan tema itu. Menurutku, ini adalah kajian sosial kemasyarakatan yang harus ada problem solvingnya. Dan tidak ada rumus yang pasti seperti Matematika, Fisika dan Kimia. Tapi apakah pelajaran seperti itu akan aku dapatkan di calon sekolah baruku nanti?
Mobil terus berjalan menuju calon sekolah baruku, International High School. Selama di dalam mobil ada banyak kalimat yang keluar dari mulut ayah yang belum bisa aku tuliskan di sini. Yang menurutku membuat suasana cukup hidup. Tidak mati. Dan tidak pula sepi. Tema-nya bisa seputar itu. Tapi ayah pintar mengaitkan dengan metafor dan dibubuhi dengan sarkas yang fun. Sehingga aku pun tidak jenuh menyimaknya. Dari pembicaraan yang banyak itu, pada intinya. Kalau aku tuliskan yang paling urgen. Bahwa tujuan agama, kata ayah, adalah untuk membangun peradaban yang baik. Menumbuh kembangkan. Bukan menumbangkan.
###
Toyota Fortuner hitam sudah siaga di depan rumah. Lengkap dengan sopirnya. Aku, bunda, dan ayah sudah rapi untuk menuju calon sekolah baruku. Sekolah bertaraf internasional.
Kata ayahku, dengan sekolah bergengsi itu akan bisa mengantarkanku kuasai pengetahuan yang dibutuhkan oleh dunia. Mungkin jika boleh aku simpulkan, yang dimaksud adalah dunia kerja. Itu menurutku. Anda boleh setuju atau tidak. Nanti akan aku ulas.
“Tidak pakai baju ini, Baby?”
bundaku mendekatiku sambil menyodori dress mini ala Eropa warna merah. Aku lihat bundaku sudah rapi menggunakan gaun abu-abu dan dibalut dengan cardigan biru laut. Serta Floppy Hat-nya tidak ketinggalan.
“Boleh,” jawabku singkat. Tanpa berpikir panjang, aku pun memakainya.
“Bagus, Baby,” puji bundaku.
“Hmhmhm,” sahutku sederhana.
“Sudah, Ma?” tiba-tiba ayahku ikut andil di depan pintu kamar. Ayah pun sudah tampil gagah. Dengan sepatu sneaker boot hitam putihnya yang mengkilat, kepalanya sudah dibungkus Topi Akrilik coklat dan kaca mata hitam sudah ia sarungkan pada jaket.
“Sudah. Ayuk, Baby,” ajak bunda kepadaku.
“Ayuk,” jawabku singkat.
Kami pun segera bergegas menuju mobil yang akan mengantarkan kami kemana saja kami mau. Karena meskipun hari pertama baru sampai ke Balikpapan, tetapi hanya hari itu saja, ayahku bisa ikut nimbrung mengantarkanku. Hari esoknya dan selanjutnya sudah sibuk dengan pekerjaan di tempat barunya.
Kalau bundaku, mungkin bisa kapan saja. Karena semenjak melahirkanku, ia putuskan untuk tidak bekerja. Dulunya, konon, pernah bekerja menjadi guru Sejarah di salah satu SMA di Jakarta. Jadi, aku sangat beruntung. Bisa mendapatkan asuhan penuh dari bundaku. Beda dengan kakaku, katanya. Atas sebab itulah, aku baru sadar. Bahwa sampai menginjak usia SMA, aku masih seperti anak belia. Yang kemana aku melangkah selalu didampingi bunda.
Tapi tidak dengan pemikiranku. Karena bunda cukup bijak. Dia tidak mendidikku dalam indoktrinasi. Atau membentukku menjadi manusia ciptaannya. Dia posisikan diriku seperti teman. Sering mengajakku diskusi dan lebih sering memberiku pertanyaan. Soal pilihan sepenuhnya ada padaku.
###
“Sudah bisa berangkat, Pak?” tanya seorang laki-laki paruh baya berseragam hitam yang dari tadi telah menyalakan mesin mobilnya. Sepertinya cukup lama orang itu menanti kami keluar.
“Sudah,” jawab ayahku kepada orang itu.
“Baik. Silahkan naik,” katanya.
Kami membuka pintu sendiri. Ayahku duduk di depan. Aku dan bunda di belakang. Setelah kami semua berada di dalam. Orang itu menoleh ke ayah. Dengan santunnya ia tanyakan, apakah kami hendak langsung ke sekolah.
Ayahku menjawabnya, sementara ke sekolah dulu. Nanti setelah itu, baru cari toko buku atau tempat-tempat edukatif yang bisa aku manfaatkan selama sekolah, tuturnya.
“Baik, Pak,” sahut laki-laki itu dengan tegas dan santun.
Tanpa banyak pertanyaan lagi, mobil pun langsung di arahkan menuju sekolah. Namun ayah memintanya untuk berjalan pelan-pelan. Sambil menikmati pandangan, ayah meminta sopir itu untuk menyalakan radio. Katanya, untuk menyimak info seputar perjalanan ataupun jika ada tragedi lainnya.
Waktu itu, ada berita seputar agama dan politik yang sedang membludak di Indonesia. Ayahku pun ikut berkomentar.
Katanya, “Memang susah, jika agama dipolitisir begitu.”
Kami semua pun diam. Dan ayah tetap lanjutkan.
“Jika begini terus, maka akan bisa jadi Suriah kedua. Sesama muslim pun bisa saling perang.”
“Kamu faham, Baby?” tanya bunda kepadaku.
Aku hanya bisa gelengkan kepala karena tidak faham. Apa maksud ayah bahwa agama dipolitisir. Dan apa itu Suriah. Aku memang benar-benar tidak tahu waktu itu.
Di sela-sela pertanyaan bunda, aku tetap simak ngedumel-nya ayah. Dengan seksama ia dengarkan berita itu. Sepertinya, ia sambil memikirkan sesuatu. Dan jika ada kalimat statemen yang keluar dari mulut ayah, bunda selalu bertanya kepadaku apa aku faham atau tidak.
“Agama itu keyakinan kita, Baby. Bahwa seluruh kewajiban kita merupakan perintah dari Tuhan. Begitulah kira-kira definisi agama dari seorang filsuf Jerman Immanuel Kant,” terang bunda kepadaku.
“Owh, jadi agama itu keyakinan?”tanyaku.
“Benar. Itu esensinya. Namun ada kewajiban-kewajiban yang mendasari orang beragama.”
“Maksudnya, bunda?”
“Maksudnya, untuk implementasikan agama, seseorang harus ibadah atau yang disebut dengan pengabdian.”
“Pengabdian kepada Tuhan, maksud, Bunda?”
“Benar. Karena hidup ini adalah pengabdian,” tutur bunda.
Semenjak itu aku mulai faham bahwa agama itu mewajibkan suatu pengabdian kepada pemeluknya. Dan semua orang yang beragama tidak lepas dari perintah itu. Lalu kenapa kalau pengabdian harus dipolitisir? Bukankah kita semua harusnya berlomba menuju pengabdian yang baik dan berkualitas? Kalau dipolitisir itu artinya ada kebiasan yang disengaja dan posedu terhadap kebenaran, batinku.
Tanpa menunggu lama aku pun bertanya kepada bunda, tentang apa yang dimaksud ayah. Agama dipolitisir itu.
Menurut ayah saat itu, agama dan politik itu ibarat saudara kembar. Bisa saling membalut serta mempengaruhi. Artinya jika politik dibalut dengan agama bisa jadi baik. Sebaliknya, jika agama diracuni dengan politik, maka semuanya akan jadi kabur. Yang benar jadi salah. Dan yang salah bisa jadi benar. Padahal hanya untuk mendukung teman dan mengalahkan lawan. Bisa saja teks-teks agama yang sakralnya sudah final itu digubah menjadi bualan-bualan tak ada harganya. Begitu kira-kira yang disampaikan ayah pada saat itu.
“Mungkin kamu belum lihat, Shefa.”
Sambil menghela nafas, ayah pun lanjutkan tuturannya kepadaku.
Begini, “Ketika ayah di Eropa, ada teman ayah perempuan berjilbab, yang setiap saat keluar rumah selalu diikuti oleh pengintai. Ini terjadi karena isu Islam yang dilontarkan di Eropa sebagai agama radikalis.”
Kemudian ia lanjutkan lagi, “Seperti di Indonesia. Isu agama non Islam selalu jadi momen politis. Terlebih ketika saat pemilihan pemimpin.”
Mendengar penjelasan ayah, aku mulai tertarik dengan tema itu. Menurutku, ini adalah kajian sosial kemasyarakatan yang harus ada problem solvingnya. Dan tidak ada rumus yang pasti seperti Matematika, Fisika dan Kimia. Tapi apakah pelajaran seperti itu akan aku dapatkan di calon sekolah baruku nanti?
Mobil terus berjalan menuju calon sekolah baruku, International High School. Selama di dalam mobil ada banyak kalimat yang keluar dari mulut ayah yang belum bisa aku tuliskan di sini. Yang menurutku membuat suasana cukup hidup. Tidak mati. Dan tidak pula sepi. Tema-nya bisa seputar itu. Tapi ayah pintar mengaitkan dengan metafor dan dibubuhi dengan sarkas yang fun. Sehingga aku pun tidak jenuh menyimaknya. Dari pembicaraan yang banyak itu, pada intinya. Kalau aku tuliskan yang paling urgen. Bahwa tujuan agama, kata ayah, adalah untuk membangun peradaban yang baik. Menumbuh kembangkan. Bukan menumbangkan.
###
Tambahkan Komentar