Surabaya, TABAYUNA.com – Lembaga Pendidikan Ma’arif PWNU Jawa Tengah mengikuti Rapat
Koordinasi Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Inklusi yang diselenggarakan oleh
Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Hotel Shangri-La Surabaya,
pada tanggal 12 – 14 Juli 2019.
Agenda dari kegiatan ini
adalah evaluasi, koordinasi dan sinkronisasi program pendidikan inklusi Direktorat
Pembinaan PK Dikdasmen Tahun 2019, menyamakan pemahaman dan persepsi dari semua
stakeholders pusat dan daerah
sehingga masing-masing dapat bersinergi untuk ketercapaian program pendidikan
inklusi dan meminta masukan, usulan dari daerah terkait dengan program pendidikan
inklusif dengan program tahun 2019 dan yang akan datang. Sehingga dengan
demikian diharapkan program yang akan dilaksanakan dan yang akan datang dapat
berimplementasi di lapangan.
“Tujuan rakor ini adalah
untuk memaparkan arah kebijakan tentang pendidikan inklusi Direktorat Pembinaan
Pendidikan Khusus, mengevaluasi pelaksanaan program pendidikan inklusif di propinsi/kabupaten/kota,
melakukan koordinasi dan sinkronisasi antara Pusat dan Daerah untuk penyelenggaraan
pendidikan inklusif di semua jenjang pendidikan, dan mensinergikan masukan dan usulan
daerah dengan arah kebijakan pendidikan inklusif Direktorat Pembinaan
Pendidikan Khusus”, tutur Direktur
Pembinaan Pendidikan Khusus, Dr. Sanusi, M.Pd.
Mengenai hasil dari pertemuan ini, Sanusi menyampaikan setidaknya ada
empat hal. “Tergambarkan secara jelas arah kebijakan pendidikan inklusi
Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus, mengetahui sejauh mana pelaksanaan
program pendidikan inklusif yang telah berlangsung di propinsi/kabupaten/kota, meningkatnya
kesepemahaman antara Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
di semua jenjang pendidikan, terdesiminasikannya secara komprehensif arah
kebijakan pendidikan inklusif Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus,” lanjut dia.
Pada sesi materi “Kebijakan Pembinaan Guru Pendidikan Dasar Penyelenggara
Pendidikan Inklusi”, Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar, Dr. Praptono
menjelaskan bahwa saat ini terjadi pergeseran kebijakan terkait pembinaan guru
pendidikan dasar penyelenggara pendidikan inklusi, dari yang hanya
berkonsentrasi pada program peningkatan kompetensi guru saja menuju pada program
peningkatan kompetensi guru dan peningkatan kualitas lulusan peserta didik.
Peningkatan kompetensi guru yang merujuk pada Permendiknas No. 16 tahun
2007 tentang standar kompetensi guru rencananya akan dilaksanakan sekitar 30%,
yang meliputi profesional pedagogik, pengembangan keprofesian berkelanjutan,
dan guru kelompok kerja. Sementara peningkatan kualitas lulusan peserta didik
yang merujuk pada Permendikbud No. 20, 21, 22, 23, dan 24 tahun 2016,
Permendikbud No. 35, 36, 37 tahun 2018, dan Perdirjen Dikdasmen No.
464/D.D5/KR/2018 KI KD SMK, yang meliputi pedagogik pembelajaran di kelas,
peningkatan kompetensi pembelajaran, guru kelompok kerja zonasi, yang mencapai
porsi pelaksanaan 70%.
Praptono menambahkan bahwa pelaksanaan program mengupayakan adanya pemanfaatan
waktu (weekend) guru untuk hari belajar guru di luar jam pelajaran di
kelas, dengan Pola In-On-In. IN adalah In service learning dan ON adalah
On the job learning. “Waktu pelaksanaan pembelajaran diatas tidak baku,
artinya setiap aktivitas pembelajaran baik pelaksanaan In maupun On dapat dilaksanakan
sesuai dengan kesepakatan antara peserta dan fasilitator sepanjang tidak
mengganggu jam belajar siswa. Sebagai contoh, pelaksanaan In-1 dan In-2 tidak
harus dilakukan setiap hari Sabtu, tapi dapat dilakukan 2 hari berturut-turut,
yaitu sabtu dan minggu” tuturnya.
Sementara Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan
Khusus, Ir. Sri Renani Pantjastuti, MPA, menyampaikan bahwa mengenai pendidikan
inklusi, setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi perhatian pemerintah saat
ini, yaitu (1) pemerataan pendidikan bagi seluruh anak, tanpa kecuali, (2) sebaran
sekolah penyelenggara Pendidikan inklusif di seluruh negeri belum merata, dan
(3) belum semua Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif memiliki guru dengan kompetensi
Pendidikan Khusus (Special Education).
Renani juga menambahkan bahwa masih terdapat tantangan yang krusial
bagi sekolah dalam implementasi pendidikan inklusi, yang terlihat dari sisi
kebijakan, sistem dukungan, guru, dan lingkungan. Dari sisi kebijakan, masih
ditemukan kebijakan yang afirmatif belum menjangkau seluruh daerah, dan konsep serta
komitmen belum dimiliki secara utuh oleh Pemda. Dari sisi sistem dukungan,
masih ditemukan ketidaktersediaan data yang akurat, ketidaktersediaan unit
layanan disabilitas, dan terbatasnya pusat sumber. Dari sisi guru, ketidaktersediaan
guru pembimbing khusus (GPK) atau guru yang memiliki kompetensi Pendidikan
Khusus. Dan dari sisi lingkungan, masih sering terjadi perundungan (Bullying)
dan atau pelecehan terhadap ABK, dan labelisasi ABK masih sering terjadi.
“Dalam hal keakuratan data, kami di kemendikbud mengharapkan sekolah
mengisi data Dapodik sesuai fakta yang ada di sekolah. Ada berapa siswa yang
berkebutuhan khusus, ada berapa guru, sehingga kami yang di pusat bisa melihat
data itu secara riil. Jangan sampai terjadi kami sudah membuat program,
ternyata di lapangan berbeda dengan yang sudah direncanakan” imbuhnya.
Delegasi dari LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah, Miftahul Huda, bidang kerjasama
antar lembaga LP Ma’arif, menyambut baik dan merasa senang mendengar kebijakan
peningkatan kualitas guru yang direncanakan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. “Kami sangat terenyuh dengan kebijakan pelatihan ini, melatih guru
selama delapan hari dengan pola in-on-in ini. Kami baru bisa mengadakan
workshop selama tiga hari, dan sekitar satu bulan setelah workshop kami adakan pendampingan
sehari di madrasah,” katanya yang juga sebagai program officer Program
Pendidikan Inklusi Kemitraan LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah dengan Unicef.
Miftahul Huda menceritakan bahwa selama ini LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah
mencoba melakukan komunikasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan pemerintah
kabupaten sasaran program pendidikan inklusi, meliputi Kabupaten Semarang,
Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Brebes, juga pihak-pihak
terkait seperti Bappeda, Dinas Pendidikan, Kementerian Agama, badan dan lembaga
di bawah PC NU, termasuk lembaga atau yayasan lain yang intens dengan inklusi seperti
Kampung Indonesia Peduli di Kabupaten Semarang, Jamur Dwipa di Kabupaten
Banyumas, Rumah Inklusi di Kabupaten Kebumen, Forum Masyarakat Peduli
Pendidikan dan Gerakan Kembali Bersekolah di Kabupaten Brebes, Serta perguruan
tinggi seperti IAINU Kebumen, UNU Purwokerto, dan UIN Walisongo Semarang.
“Sejauh ini sudah perhatian dari Dinas Pendidikan Kabupaten seperti di
Banyumas dan Kebumen, yang sudah melatih guru sekolah dan madrasah untuk
menjadi guru pendamping khusus. Kendala utama yang dihadapi adalah soal ketersediaan
anggaran. Kami tidak bisa mendampingi semuanya karena anggaran yang ada, kata
mereka” tambahnya.
Menurutnya akan lebih merata pengaruhnya jika kebijakan pelatihan ini
langsung diambil oleh kementerian pusat.
Delegasi dari LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah yang lain, Supriyono, yang
juga kepala MI Keji Ungaran Barat Kabupaten Semarang, mengatakan kebijakan
sekolah atau madrasah untuk menjadi lembaga pendidikan inklusi sebaiknya tidak
melalui penunjukan saja atau top down, tapi sekolah atau madrasah bisa mengajukan
diri atau bottom up sebagai sekolah atau madrasah inklusi untuk kemudian
diberikan SK nya oleh atasan atau kementerian. “Sekolah atau madrasah yang
dengan sengaja mengajukan diri tentu akan lebih siap melaksanakan pendidikan
inklusi meski belum ada fasilitas dan bantuan yang diterima dari pemerintah,
mereka akan mengupayakannya bersama stakeholders mereka” jelasnya.
Supriyono mengusulkan agar dibentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) di
setiap kabupaten yang akan membantu sekolah dan madrasah inklusi dalam
memberikan layanan kepada anak. “kalau tersedia unit layanan disabilitas (ULD)
maka sekolah dan madrasah akan merasa ringan dalam melayani siswa karena
dibantu ULD dan beban tidak ditanggung sendiri oleh sekolah dan madrasah”
imbuhnya.
Menurutnya ULD dapat membantu proses idenfikasi dan assesment kepada
siswa serta memberikan rekomendasi kepada guru terkait pelayanan terbaik
seperti apa yang harus dilakukan.
Masukan dan catatan dari Rapat Koordinasi Kelompok Kerja (Pokja)
Pendidikan Inklusi ini di antaranya adalah tersedianya unit layanan
disabilitas, penyelarasan Dapodik dengan regulasi, pengangkatan guru pendamping
khusus (GPK) dan kesejahteraannya, diperjelas kewenangan kabupaten, provinsi,
dan pusat, dan peningkatan perhatian pemerintah kepada sekolah dan madrasah
swasta yang menyelenggarakan pendidikan inklusi.
Beberapa materi yang dibahas dalam rapat koordinasi ini meliputi arah
kebijakan program pendidikan inklusi, kebijakan pembinaan guru pembimbing khusus,
kebijakan pembinaan guru pendidikan dasar penyelenggara pendidikan inklusi,
implementasi pendidikan inklusi di Indonesia, dan informasi dan data pendidikan
inklusi di Indonesia. Masing-masing pembahasan materi tersebut dipimpin
langsung oleh oleh yang berwenang yakni Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus,
Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Ditjen Guru
dan Tenaga Kependidikan, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
Tim Aplikasi Berbasis Informasi (ABI).
Hadir dalam Rapat Koordinasi Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Inklusi
pejabat dan staf Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus, para pegiat inklusi,
dan Kelompok Kerja Pendidikan Inklusi dari beberapa Provinsi/Kabupaten/Kota,
yang di antaranya dari Kota Sungai Penuh Jambi, Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten
Sragen, SMP N 1 Palu, Kota Surakarta, Kota Bogor, Kota Banjar Baru, FKPI dan SD
N Sungai Taib Kalimantan Selatan, Kabupaten Gresik, FKPI Martapura Kalimantan Selatan,
Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kalimantan Utara, Kabupaten Pacitan, FKPI Kabupaten
Tanah Kalimantan Selatan, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten
Lumajang, Kota Surabaya, Kota Samarinda Kalimantan Timur, Kota Salatiga,
Kabupaten Lombok Tengah NTB, Bappeda Lampung Timur, Provinsi Jawa Barat,
Kabupaten Trenggalek, FKPI Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan, Kabupaten
Wonogiri, FKIP UNILA, Kota Mojokerto, Kota Batu, Kabupaten Trenggalek,
Kabupaten Lampung Selatan, SMA N 4 Palu, dan Lembaga Pendidikan Ma’arif PW NU Jawa
Tengah. (tb44/Hamidulloh Ibda).
Tambahkan Komentar