Ilustrasi |
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PBNU dan Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Seri tulisan merespon esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi)
RENUNGAN Denny JA melalui tulisan berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi” merupakan perdebatan lama yang oleh sebagian kalangan belum dianggap tuntas. Seruan Rizieq Shihab tentang NKRI bersyariah merupakan cermin dari sisa-sisa pertarungan ideologi masa lalu yang residunya masih menggumpal.
Apa itu NKRI bersyariah? Tidak pernah jelas! Penggagasnya juga tidak pernah dengan serius menawarkan konsepnya yang bisa diuji publik. Hal yang kita dengar hanya teriakan-teriakan dalam pidato atau dalam kerumunan demonstrasi. Jika Denny JA merasa perlu memberi tanggapan khusus tentang NKRI bersyariah, merupakan kemewahan luar biasa.
Jika diringkas, Denny JA ingin menegaskan, tidak terlalu penting label NKRI bersyariah. Hal yang jauh lebih penting adalah pentingnya memperjuangkan dan merawat ruang publik yang manusiawi. Denny JA seolah ingin menegaskan, jika ruang publik yang manusiawi bisa terwujud, maka dengan sendirinya nilai-nilai syariat Islam tegak.
Namun, teriak-teriak NKRI bersyariah tanpa visi penciptaan ruang publik yang manusiawi justru bisa menjebak orang pada otoritarianisme beragama. Jebakan itu menyimpan bara lain, berupa pemutlakan atas kebenarannya sendiri, yang dengan mudah akan menuduh orang lain yang berbeda pikiran sebagai anti-Syariah.
Di balik jargon NKRI bersyariah yang tidak jelas konsepsinya, kita bisa memperkirakan bahwa para penggagasnya hendak menyampaikan bahwa NKRI yang ada sekarang belum bersyariah. Di sini kita belum bisa memastikan, apakah belum syar’i-nya Indonesia terkait dengan dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945, ataukah hanya pada peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi.
Sisa Konflik Ideologi
Terlepas dari ketidakjelasan konseptual, satu hal yang bisa saya pastikan, teriakan NKRI berasyariah merupakan sisa-sisa konflik ideologi masa lalu, terutama pada masa-masa awal kemerdekaan.
NKRI bersyariah merupakan kelanjutan dari kekecewaan dihapusnya “Piagam Jakarta” dalam perdebatan dasar negara pada masa awal kemerdekaan.
Mereka masih meratapi pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dianggap sebagai “kelicikan sejarah” yang masih gelap.
Siapa sebenarnya orang-orang Indonesia Timur, yang mempersoalkan dan mengancam tidak mau bergabung dengan negara Indonesia jika “Piagam Jakarta” dipertahankan. Mereka seolah ingin mengatakan, pengaborsian Piagam Jakarta adalah penipuan sejarah. Seruan NKRI bersyariah merupakan bentuk lain dari keinginan untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Pencoretan Piagam Jakarta menjadikan negara Indonesia kurang, atau bahkan tidak syar’i.
Sidang Konstituante 1959 pernah hendak membuka kembali percakapan tentang ideologi negara, termasuk Piagam Jakarta. Kelompok “nasionalis Islam,” yang masih penasaran dengan ideologi negara tanpa ada kata “Islam” atau “syariat Islam,” berupaya untuk menebus “kekalahan” politik pada 1945.
Apa yang terjadi? Anggota konstituante terjebak pada polarisasi ideologis yang tajam sehingga gagal merumuskan UUD baru untuk mengganti UUDS 1950. Meskipun anggota konstituante sudah berhasil membicarakan batang tubuh UUD, namun mereka deadlock ketika hendak memutuskan soal ideologi negara. Akibatnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang salah satu isinya menyatakan pembubaran konstituante dan menyatakan pemberlakukan kembali UUD 1945.
Apakah semua umat Islam menyesali dan ingin mengihidupkan kembali Piagam Jakarta? Tentu saja tidak!
Paling tidak, NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang jangkar keislaman dan keindonesiaan terang-terangan pernah menolak agenda menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Hal ini terjadi pada masa awal reformasi tahun 2000, ketika muncul agenda melakukan amandemen UUD 1945 di mana tiga partai politik --Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan (sebelum berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera)—mendorong memasukkan pembahasan kembali tentang Piagam Jakarta dalam proses amandemen.
NU dan dan Muhammadiyah melalui Ketua Umumnya, KH. Hasyim Muzadi dan Buya Syafi’i Ma’arif membuat pernyataan bersama, yang pada intinya menolak gagasan tersebut. Bahkan, NU kemudian menegaskan sikapnya melalui Munas dan Konbes tahun 2001 di Jakarta dengan menyatakan, proses amandemen yang sedang dijalankan MPR tidak boleh menyentuh aspek dasar bernegara.
Karena penolakan dua organisasi tersebut, gagasan pembahasan Piagam Jakarta tidak dilanjutkan.
Mengapa NU dan Muhammadiyah menolak? Sebagai organisasi Islam yang memiliki andil besar dalam mendirikan negara RI, NU dan Muhammadiyah bukan saja sangat memahami apa resiko yang akan terjadi jika Piagam Jakarta dibicarakan kembali, tapi mereka juga memandang negara Indonesia sudah syar’i meski tanpa label “syariah.”
Umat Islam diberi jaminan untuk melaksanakan syariat agamanya dengan aman dan tenang. Umat Islam juga tidak dilarang untuk memperjuangkan peraturan perundang-undangan yang selaras dengan nilai-nilai syariat Islam.
Islam Tidak di Pinggir
Narasi NKRI bersyariah di dalamnya mengandung pengandaian bahwa meskipun umat Islam mayoritas dan pemegang saham terbesar, tapi terpinggirkan secara politik. Narasi demikian sebenarnya bukan hal baru.
Sejak Orde Lama dan Orde Baru, narasi Islam terpinggirkan begitu kuat. Pada masa-masa awal reformasi narasi ini mulai berkurang. Demikian juga pada masa pemerintahan SBY (2004-2014) sudah jauh berkurang, tapi lamat-lamat masih sering kita dengar dalam skala terbatas.
Pada masa Presiden Joko Widodo ini, suara tersebut semakin nyaring. Joko Widodo juga di-framing sebagai keturunan komunis yang anti-Islam, anti-ulama, bahkan melakukan kriminalisasi ulama. Framing ini mulai menguat melalui momentum Pilkada DKI 2017, yang meninggalkan jejak melalui demonstrasi 212, pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dijadikannya Rizieq Shihab sebagai tersangka sejumlah kasus yang --hingga saat artikel ini ditulis-- masih dalam pelarian di Arab Saudi, dan sebagainya.
Framing itu terus berlanjut hingga menjelang kontestasi Pilpres 2019. Istilah ada calon presiden hasil “ijtima’ ulama” di dalamnya mengandung narasi tersebut.
Pertanyaannya, benarkah Islam terpinggir sehingga perlu NKRI bersyariah?
Tidak sama sekali. Ada beberapa argumen untuk menjelaskan hal ini. Pertama, sejak awal berdirinya negara RI, persoalan agama sudah menjadi perdebatan. Tokoh-tokoh Islam masa itu terlibat serius. Argumen dan dalil-dalil keagamaan menjadi pertimbangan.
Pada akhirnya, tokoh-tokoh Islam menerima NKRI dengan Pancasila sebagai dasar, meski tidak ada label Islam atau syariat Islam. Intinya, Indonesia dipandang sebagai negara yang sah dan syar’i.
Atas dasar itu, ulama-ulama NU yang dipimpin Hadaratus Syaikh Hasyim Asy’ari mengeluarkan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945 untuk membela NKRI, ketika tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration) masuk ke Indonesia melalui Surabaya, yang baru dua bulan merdeka.
Salah satu butir penting isi Resolusi Jihad adalah kewajiban umat Islam untuk berjihad fi sabilillah mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Seruan jihad fi sabilillah ini yang menggerakkan perlawanan kaum santri dan masyarakat Surabaya, sehingga meletus pertempuran 10 November yang kita peringati sebagai Hari Pahlawan.
Keyakinan untuk melakukan jihad fi sabilillah menunjukkan, Indonesia adalah negara yang sah secara syar’i. Karena ke-syar’i-an itu pula, para ulama memberi gelar kepada Presiden Soekarno sebagai waliyyul amri ad-dharuri bi al-syakah pada 1954, ketika sejumlah kalangan melakukan pemberontakan yang dikenal sebagai pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo.
Karena itu pula, Muhammadiyah dalam Muktamar di Makassar pada 2015 memberikan status NKRI sebagai Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah (negara perjanjian dan kesaksian).
Kedua, meski tanpa label syariah, faktanya umat Islam diberi keleluasaan untuk menjalankan syariat Islam. Bahkan, banyak sekali peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan umat Islam, seperti: UU tentang Peradilan tentang Agama, UU Zakat, UU Wakaf, UU tentang Haji, UU Jaminan Produk Halal, UU tentang Pengelolaan Keuangan Haji, UU tentang Perbankan Syariah, dan sebagainya.
Hal itu belum termasuk sejumlah regulasi di berbagai daerah yang bernuansa agama. Umat Islam juga tidak dilarang untuk memperjuangkan aspirasi politiknya, asal sesuai dengan koridor demokrasi yang disepakati bangsa Indonesia.
Di luar UU yang secara langsung terkait dengan kepentingan umat Islam, banyak sekali UU yang di dalamnya termuat nilai-nilai syariat Islam.
Melihat fakta-fakta tersebut, tidak tepat jika dikatakan Islam terpinggirkan. Islam sudah benar-benar ke tengah. Bahkan sebagian kalangan menganggap akomodasi negara terhadap kepentingan umat Islam sudah luar biasa, terutama jika dikaitkan dengan masih adanya kenyataan sebagian warga negara, yang masih berpersoalan untuk mencantumkan agama dan keyakinannya dalam KTP.
Lantas bagaimana dengan hukum jinayah (pidana Islam) yang belum sepenuhnya diakomodasi oleh negara? Silakan saja diperjuangkan melalui mekanisme demokrasi, tapi Anda juga tidak boleh marah-marah jika banyak kalangan yang menolak dan terjadi perdebatan. Hal itu biasa dalam negara demokrasi, asalkan prinsip kebebasan berpendapat dihormati.
Sayangnya, pengalaman di berbagai negara, Islamisme yang terlalu jauh masuk dalam negara biasanya akan mempersempit ruang demokrasi. Hak kebebasan berpikir dan berpendapat akan dikekang, dan dengan mudah orang menuduh orang lain yang berbeda pendapat sebagai kafir, murtad, anti-Islam, bahkan memusuhi Islam. Otoritarianisme demikian menghinggapi hampir semua negara yang memaksakan Islamisme dengan label Syariah.
Gambaran tersebut cukup menjelaskan bahwa gagasan NKRI bersyariah tidak diperlukan. Di samping NKRI sudah syar’i, hal tersebut akan akan mempertajam pertentangan ideologis bangsa Indonesia. Bahkan, isu yang sengaja dilontarkan Rizieq Shihab merupakan permainan politik menjelang Pilpres 2019.
Apakah publik Indonesia tertarik dengan ide ini? Masih harus ditunggu hasil Pilpres 2019. Sayangnya, Capres dan Cawapres yang mereka dukung (Prabowo Subianto - Sandiaga Uno) sama sekali tidak mempunyai aroma pejuang Islam. Pasangan ini bahkan menjadi bulan-bulanan publik terkait beberapa persoalan keagamaan, seperti: ziarah kubur yang tak beretika, cara berwudhu Sandiaga Uno yang aneh, tantangan membaca al-Quran ketika berkunjung ke Aceh, dan sebagainya.
Semua itu merupakan buah dari permainan politik identitas keagamaan, yang sudah mereka mainkan sedari awal. Jadi tidak perlu buang-buang energi terlalu banyak, untuk menanggapi teriakan NKRI bersyariah. *
-000-
Tulisan Denny JA soal NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi dapat dibaca di https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1919263768169763/
Tulisan lain yang menanggapi tulisan Denny JA:
1. Nurul H Maarif: Islam Mementingkan Sasaran, Bukan Sarana, dapat dibaca di https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1945081572254649/
2. E. Fernando M Manulang: Ruang Publik Yang Manusiawi Bersama Pancasila: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1946368205459319/
3. Al Chaidar: Islam Simbolik dan Islam Substantif: Problema Nilai Islamisitas dan Politik Indonesia, link:
https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1947652021997604/
4. Airlangga Pribadi Kusman Ph.D: NKRI Bersyariah dan Ruang Publik Inklusif, Dalam Pusaran Kekuasaan Indonesia Pasca Otoritarianisme, https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1949155525180587/
5. Trisno S Susanto: Visi Ketuhanan dan Ruang Publik Yang Manusiawi:
https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1950601688369304/
Sumber tulisan Rumadi Ahmad di atas, dari https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1952200554876084/
Tambahkan Komentar