Oleh
Farid Ahmadi, M.Kom., Ph.D
Dosen
Pascasarjana Unnes dan Alumnus S3 Central China Normal University (CCNU)
Kejahatan
pedofilia harus dihentikan. Sebab, kasus pedofilia ternyata belum tuntas
seratus persen. Penyakit kronis yang menyerang anak-anak ini ternyata tidak
hanya menyerang di dunia nyata, namun juga menghantui melalui media sosial
(medsos) terutama Facebook. Modusnya beragam, namun tujuan mereka tetaplah
menyerang anak-anak yang seharusnya diproteksi sejak dini. Pedofil bagaikan
penyakit menular dari generasi ke generasi. Mereka seperti terkena dampak
“sakau” yang sangat merugikan bagi orang lain, terutama anak-anak.
Baru-baru ini, Polres
Karanganyar menangkap warga Tegalgede, Karanganyar berinisial
“F” karena melakukan sodomi terhadap 16 anak-anak. Dari hasil pemeriksaan, pelaku yang berprofesi
sebagai pemulung mengaku semua korban merupakan anak-anak kampung di wilayah
tempat tinggalnya. Perbuatan bejat pelaku dilakukan sejak tahun 2003-2016 (Joglosemar, 21/3/2017).
Sementara itu, Polda Metro Jaya
beberapa hari ini juga membongkar pedofil sindikat
internasional lewat grup Facebook. Sindikat terkoneksi dengan sembilan negara,
termasuk Indonesia, dengan nama Official Loly Candyis
Group 18+. Mereka bertukar foto dan video. Angka kejahatan seksual terhadap
perempuan dan anak-anak yang
dicatat Komnas Perempuan dan KPAI memprihatinkan. Pada 2015 terdapat 6.499 kasus,
meningkat dari 3.860 kasus pada setahun sebelumnya (Suara Merdeka, 22/3/2017).
Berbagai modus
pedofilia tiap tahun ternyata berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Mereka
memanfaatkan teknologi dan sebagian masih konvensional melakukan aksi kejahatan
tersebut. Pedofilia adalah hantu bagi semua orang, terutama anak-anak usia SD
dan MI yang masih belia dan butuh perlindungan orang tua. Tidak hanya secara
lokal, namun ternyata kejahatan ini sudah mengglobal di tingkat internasional. Aksi
mereka sudah tertata, terstruktur, bahkan tersistem dengan menggunakan alat
modern yang canggih.
Hantu Pedofilia
Ibarat
hantu, pedofilia bukanlah mitos, namun sudah menjadi kenyataan yang harus
dihentikan perkembangannya melalui pendekatan logos. Mengapa demikian? Kondisi Indonesia memang mendorong orang untuk menjadi
“predator pedofil”. Ditambah lagi ketimpangan kondisi ekonomi, faktor
psikis pelaku, dan juga lingkungan serta pengaruh video porno berlebihan dan lemahnya iman dan takwa pelaku. Hal itu menjadi pendorong pedofil melakukan aksinya yang
menyerang anak-anak.
Hantu pedofilia
yang kini berkembang di medsos menjadi hantu menakutkan. Medsos yang kebanyakan
sekadar untuk mainan, menghabiskan waktu dan “iseng” belaka, kini juga tidak
nyaman lagi bagi anak. Apalagi jumlah pengguna medsos di Indonesia dari tahun ke
tahun makin bertambah. Pengguna
Facebook di Indonesia tahun 2014 mencapai 77
juta, sementara 2015 mencapai 82 dan sampai Oktober 2016 mencapai 88 juta
orang. Sedangkan pengguna layanan chatting WhatsApp sebanyak 1 miliar pengguna
dan Messenger sebanyak 1 miliar pengguna, serta Instagram sebanyak 500 juta pengguna
(Kompas, 20/10/2016).
Pengguna yang
jumlahnya besar itu tidak mengherankan jika penjahat pedofil menyerang melalui
medsos dan layanan chatting. Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan pada Selasa (14/3/2017),
menyatakan Subdit VI Cyber Crime Polda Metro Jaya telah
menangkap empat pengelola/admin dari grup Facebook bernama Official Candy’s
Group. Grup itu dijadikan sebagai wadah berbagi video dan
foto yang memuat konten pornografi anak.
Diperkirakan,
ada lebih dari 7.000 anggota aktif di dalam grup tersebut. Dalam aksinya, para admin bertugas menerima anggota
baru serta mengeluarkan anggota yang tidak aktif atau tidak ikut mengirimkan
gambar atau video pelecehan anak di bawah umur. Polisi mencatat
setidaknya ada 500 film dan 100 foto bermuatan pornografi anak dalam grup
Facebook Official Candy’s Groups.
Dalam aksinya, member tersebut ternyata juga aktif di grup
Whatsapp sindikat pedofil tak hanya menyebar video konten pornografi anak.
Mereka juga melakukan pelecehan seks tehadap korban yang ada di video tersebut. Temun polisi, ada sekitar 102 member yang
ada di grup Whatsapp lokal atau biasa disebut Candy diduga melakukan pelecehan
terhadap korban.
Jika dibiarkan,
bahaya laten ini akan semakin parah dan terus menghantui kita, anak-anak kita
dan juga semua elemen terutama guru. Hantu modern yang kini menyerang anak-anak
melalui pemanfaatan teknologi harus dihentikan secepatnya.
Memutus Mata Rantai
Ada beberapa hal
yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai dan embrio pedofilia. Pertama, Facebook harus memproteksi dan tegas.
Sebab, kasus pedofilia di Facebook sudah
banyak, bunuh diri online dan kasus kekerasan seksual sangat mudah diakses. Facebook harus menutup grup
dan konten terkait setelah aktivitas ilegal tersebut yang mengancam kehidupan anak-anak. Facebook juga harus melaporkan akun beserta individu terkait sesuai
deteksi menggunakan Photo DNA kami kepada National Center for Missing and
Exploited Children (NCMEC). Di sini,
kasusnya pasti tidak hanya di Jakarta saja, namun juga di Jawa Tengah dan DIY.
Dikarenakan belum paham apa itu pedofilia, maka warga susah dan tidak melapor
kepada yang berwajib.
Kedua, polisi harus
bersinergi dengan Biro Investigasi Federal AS
(FBI) untuk memburu member yang tergabung di 11 grup Whatsapp internasional. Sebab, diperkirakan ada ratusan member di grup
yang di dalamnya terdapat member lintas negara, seperti dari Argentina dan Peru
(Amerika Latin), juga Pakistan dan India. Selain grup
Whatsapp baik lokal maupun internasional, polisi juga harus mengusut tuntas
keterlibatan anggota di grup Facebook yang berjumlah 7.479 akun tersebut.
Ketiga, sinergi
dan komitmen memberantas pedofilia sampai ke akarnya. Mulai dari orang tua,
guru, dosen, pemerintah, polisi, TNI, lalu Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI), Kemenkominfo, FBI, dan juga Facebook. Mengapa? Indonesia tidak boleh memberikan
toleransi dalam hal eksploitasi anak-anak di Facebook. Perlu adanya kerjasama
dengan para ahli perlindungan anak serta badan penegakan hukum lokal, federal,
dan internasional untuk memerangi kejahatan
ini.
Keempat, pendidikan
seks sehat dari jenjang SD sampai perguruan tinggi harus dilakukan secara
maksimal. Pendidikan seks di sini bertujuan tidak sekadar pengetahuan dasar,
namun juga mengajarkan anak tentang cara melindungi diri agar tidak menjadi
korban seksual. Mulai dari pelecehana seksual, pemerkosaan sampai dengan
pedofilia.
Kelima,
pentingnya kesadaran
masyarakat, orang tua dan juga guru. Mereka perlu menerapkan pola komunikasi yang bagus. Kesadaran mereka pasti masih ampuh
menangkal konten negatif di medsos. Masyarakat harus aktif melapor, sebab pelaporan membantu Kemenkominfo untuk menutup penyebaran konten negatif.
Saat ini, Kemenkominfo
telah menyiapkan hotline untuk menampung segala laporan konten negatif medsos melalui pos elektronik aduan konten
@mail.kominfo.go.id atau melalui nomor 08119224545. Jadi sudah saatnya pedofilia diberantas sampai ke akarnya. Jangan
sampai embrio pedofilia tumbuh pesat!
Tambahkan Komentar