Ilustrasi |
Oleh
Hamidulloh Ibda
Ketika bulan haji, jutaan orang Islam se dunia selalu melaksanakan ibadah haji. Namun,
bagaimana jika niat haji hanya sekadar untuk rekreasi? Tentu akan percuma, sia-sia,
bahkan berdosa. Pasalnya, haji harus dijalankan dengan tulus untuk mendapat rida Allah Swt. Haji merupakan salah satu dari rukun
Islam yang harus dikerjakan dengan baik dan benar. Haji bernilai wajib bagi
muslim yang mampu, baik itu dari segi finansial maupun segi kondisi dan ilmu.
Berbeda dengan umroh yang bernilai sunah. Mengingat urgensi haji
dan umroh, tentunya banyak sekali muslim yang mendambakan untuk datang ke Tanah
Suci. Hal itu terlihat dari beberapa tahun belakang, termasuk tahun ini di mana
jumlah jamaah datang berhaji dan umroh ke kota Makkah semakin meningkat.
Sepanjang tahun, kota Makkah dibanjiri jamaah dari berbagai Negara. Mungkin
hanya sekitar satu atau dua bulan saja kota Makkah terlihat lengang.
Memang sering kali kita melihat jamaah dari Indonesia, khususnya
wanita yang terlihat memakai “hiasan wajah” yang cukup tebal dan ada juga yang
memakai celana atau baju ketat. Sebagai umat Islam dan WNI, kita sangat sedih
juga melihat itu. Seharusnya, mereka tahu bahwa berpakaian ada aturannya, tak
sepantasnya mereka berpakaian seperti itu. Apalagi, di negara orang dan
melakukan ibadaha suci. Lain halnya jika mereka datang ke tempat lain dan tidak
untuk beribadah, tapi untuk rekreasi, hal itu mungkin dapat dimaklumi.
Setidaknya mereka harus menghargai Kota Suci, diri sendiri, dan saudara
sebangsa, dan seluruh jamaah haji.
Rekreasi atau Haji?
Diakui atau tidak, sepertinya berhaji saat ini hanya untuk
rekreasi, bertujuan politis, berdagang, sekalian mampir dan lain-lain.
Bagaimana tidak, banyak orang berhaji, namun keadaan saudara mereka sendiri
banyak hidup dalam kemelaratan?
Belum lagi dengan nasib para janda, anak-anak yatim, kaum miskin
dan mereka yang dililit hutang, mereka yang terbaring, sekarat tak mampu
membeli obat dan lain-lain. Memang kewajiban melaksanakan ibadah haji bukan
ditentukan dengan masih ada tidaknya kaum dhuafa, namun bila semata-mata untuk
mencari keridhaan Allah maka kepedulian terhadap mereka perlu dipertimbangkan.
Lebih-lebih bagi mereka yang telah lepas dari kewajiban, yaitu
mereka yang sudah pernah berhaji. Mereka yang berhaji dengan berbagai keniatan
ini, termasuk para tamu yang tidak diundang. Mereka akan minus dalam fadhilah, hikmah dan akan kembali hanya
dengan sebutan “Pak Haji/Bu Hajjah”. Kini sudah saatnya para tamu tak diundang
dan calon haji untuk
mengasah kepekaan mereka terhadap nasib saudara, tetangga, dan
lingkungan mereka sendiri. Yang perlu diingat kepedulian terhadap mereka,
termasuk salah satu barometer untuk menimbang keimanan seseorang.
Bukan
Sekadar Rekreasi
Haji merupakan ibadah penuh dengan
syarat pembelajaran moral. Sejarahnya ibadah haji merupakan perjalanan demi
pembebasan diri dari penjara dunia ini yang tidak kekal. Dan merupakan
pelengkap rukun islam serta penjara penjara nafsu menuju kesempurnaan
spiritualitas dan autentitas sebagai hamba yang bersyukur. Ibadah haji bukan
semata ritualitas fisik yang menguras tenaga tapi autentitas cinta ilahi yang
memancarkan kedalaman spiritual dan keluhuran moral sebagai pembebas dari
penjara dunia.
Namun, apa jadinya jika pelaksanaan ibadah haji ini hanya
dilakukan untuk sekedar menghabiskan uang atau “sekedar rekreasi” belaka tanpa
ada niatan ikhlas dan niatan utama yang sebenarnya adalah untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Hal ini harus dicermati dengan lebih intensif,
banyak jamaah yang melaksanakan ibadah ini hanya sekedar menggugurkan
kewajiban.
Lebih parah lagi, tak sedikit yang menjalankannya seolah
wisata religi bahkan dihiasi dengan wisata belanja, membeli oleh-oleh untuk
sanak keluarganya, serta hanya dijadikan tempat rekreasi, tempat untuk melepas
penat setelah sekian lama bekerja. Hal ini tidak patut untuk ditiru.
Hal ini pulalah yang harus dilakukan penegasan serta pemberitahuan secara ketat
bagaimana seharusnya ibadah haji dilaksanakan.
Betul ibadah haji memang merupakan
ibadah mahdhoh. Dalam pelaksanaannya, harus sangat kental dengan makna ruhaniyah
dan spiritual, tapi tentu saja tak boleh hanya menjadi sekedar ritual belaka.
Meski merupakan ibadah mahdhoh, namun bukan berarti tidak boleh dihiasi dengan
makna selain makna ruhiyah seperti makna politis, ideologis dan perjuangan.
Makna politis, ideologis dan perjuangan itu merupakan bagian dari apa yang
disebut dengan “Hikmah Haji”, yaitu manfaat-manfaat yang dapat dipersaksikan
oleh jamaah haji aat mereka menunaikan haji.
Karena itu, yang terpenting, bagi umat
Islam niatan untuk melakukan rekreasi hendaknya dibuang jauh-jauh. Pasalnya,
haji harus diniatkan untuk menjalankan perintah dan mencari ridho Allah, bukan
justru untuk rekreasi. Inilah yang keliru dan menjamur saat ini. Jika niat haji
itu suci dan semata-mata karena Allah, maka ibadah haji tersebut akan
berkualitas (mabrur). Semoga.
Tambahkan Komentar