Oleh
Hamidulloh Ibda
Apa
itu kurban? Kurban terambil dari bahasa Arab yaitu dari kata Qoruba, Yaqrobu, Qurbanan yang makna
asalnya adalah “mendekati.” Ibadah kurban merupakan salah satu cara untuk
mendekatkan diri kepada Sang Khalik, yang medianya adalah hewan sembelihan.
Praktik
kurban telah dikenal sejak lama. Ironisnya, manusia seringkali dijadikan kurban
untuk Tuhan atau Dewa yang mereka sembah. Di Mesir Kuno, gadis yang paling
cantik dipersembahkan kepada Dewi Sungai Nil. Di Irak, bayi-bayi disembelih
untuk Dewa Baal. Suku Aztex di Mexico, menyerahkan jantung dan darah manusia
kepada Dewa Matahari. Orang-orang Viking di Eropa Utara mengorbankan
tokoh-tokoh agama kepada Dewa Perang Odin.
Islam
datang masih memelihara tradisi berkurban dengan cara dan corak yang berbeda
dengan kepercayaan yang dianut sebelumnya. Syariat berkurban dalam Islam,
sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim AS dan
anaknya Nabi Ismail AS. Praktik kurban Nabi Ibrahim AS sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan.
Sejarah Perintah Kurban
Peristiwa
ini direkam Allah SWT dalam surat Alshaffat ayat-102-103 dan 107. Dalam ayat
itu, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim AS menyembelih anaknya Ismail melalui
mimpinya. Dengan perasaan ragu-ragu dan rasa sedih yang mendalam Ibrahim
melaksanakan perintah Allah untuk menyembelihnya. Lalu Allah menebusnya
(Ismail) dengan seekor binatang sembelihan besar.
Sebenarnya,
Allah melalui peristiwa ini ingin menyindir praktik berkurban umat manusia
terdahulu, di mana mereka mengorbankan manusia untuk kepentingan ritual kepada
Tuhan. Praktik berkurban seperti itu tak sejalan dengan semangat Islam yang menjunjung
tinggi nilai, harkat dan martabat manusia. Islam sangat “mengutuk”
prilaku-prilaku menindas, membunuh dan menganiaya manusia untuk kepentingan
duniawi maupun untuk kepentingan ibadah.
Praktik
“mengorbankan” manusia di zaman modern sekarang ini barangkali hadir dalam
bentuknya yang lain. Pengorbanan manusia itu tak dimaksudkan untuk kepentingan
ritual, tapi untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti untuk kepentingan politik
dan ekonomi dan sebagainya.
Melalui
syariat ibadah kurban, Islam ingin menamamkan nilai-nilai atau semangat
pengorbanan dalam diri setiap pribadi muslim. Karena kesediaan untuk berkurban
merupakan salah satu jalan untuk menuju ketaqwaan kepada Allah.
Harus Mengorbankan?
Hewan
sembelihan pada dasarnya merupakan simbol pengorbanan manusia, yang diinginkan
sebenarnya adalah bagaimana manusia harus mengorbankan. Pertama, sifat-sifat
buruk (tercela) yang ada dalam dirinya, seperti sifat kikir, tamak, ambisi
kekuasaan dan menindas orang lain. Sifat seperti itu harus dibunuh dan dikorbankan
demi untuk mencapai kedekatan kepada Allah. Itulah sebabnya Allah mengingatkan
bahwa korban yang dilakukan hambaNya tak akan memperoleh keridhaan Allah
kecuali melalui ketaqwaan (surat Alhaj ayat 37).
Kedua,
segala bentuk kesenangan, kenikmatan atau perbuatan yang akan membuat manusia
lalai untuk mengingat Allah SWT. Inilah merupakan bukti nyata seorang hamba
yang mengakui bahwa Allah sebagai Tuhannya. Adalah sebuah kebohongan besar bila
seseorang meyakini bahwa Allah sebagai Tuhan, sementara ia tidak bersedia
sedikitpun mengorbankan apa yang dimiliki untuk kepentingan Allah.
Orang
yang mau berkurban adalah orang yang kecintaannya kepada Allah melebihi kecintaannya
kepada selainnya. Salah satu bentuk pengurbanan manusia yang paling utama
adalah “menundukan hawa nafsu” untuk patuh pada perintah Allah dan menjauhi
larangannya.
Kepatuhan
Di
antara bentuk kepatuhan itu adalah selalu menyediakan waktu untuk beribadah
kepada sang pencipta. Allah menurunkan syariat ini adalah untuk menuntun hidup
manusia agar senantiasa berjalan menuju ke arah kebajikan dan kedamaian. Karena
itu, kebajikan dan kedamaian itu akan kita peroleh bila kita mau menjadikan
syariat sebagai acuan dalam berbuat.
Allah tak akan
merasa dirugikan apakah manusia itu mau beribadah kepadanya atau tidak, tapi
ketulusan kita beribadah akan melahirkan ketenangan dan keberkatan dalam hidup
ini, dan kedua hal itu merupakan kebutuhan manusia lainnya di samping kebutuhan
terhadap materi.
Dalam sebuah
riwayat Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik dikatakan; “Tidak beriman kamu sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai daripada
siapapun selain mereka.” Kemudian
dalam hadits yang lain dikatakan; “Tidak
beriman kamu sebelum aku (Rasulullah) lebih dicintai daripada keluargamu, hartamu,
dan seluruh umat manusia.”
Idul
Adha sebenarnya merupakan saat yang paling tepat untuk menegaskan kembali
komitmen keimanan dan keberagamaan kita. Dengan memasang tekad g kuat untuk
mengubah cara hidup kita dalam rangka menuju jalan ketaqwaan kepada Allah. Jalan
ketaqwaan itu akan diperoleh dengan cara bersedia mengurbankan segala yang kita
miliki, mengurbankan kecintaan kita kepada dunia dan segala isinya dan belajar
secara berangsur-angsur menumbuhkan kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Semoga bermanfaat buat kita semua. Wallah
a’lam
Tambahkan Komentar