Ilustrasi |
Oleh Sumardjan, SPd, M.MPd
Kepala SD Negeri 01 Tutup Kabupaten Blora
Kasus jual beli ijazah strata 1 (S1) tanpa kuliah yang merebak di Jawa
Tengah beberapa waktu lalu membuat
resah dunia pendidikan. Apalagi hal itu dilakukan oleh guru sebagai orang nomor
satu yang dijadikan pijakan dalam pendidikan. Selain memalukan, hal itu
membuktikan bahwa karakter guru sudah tidak bisa lagi “digugu” dan “ditiru”.
Maka wacana sistem ijazah online perlu didukung agar bisa meminimalkan
kecurangan dan kejahatan ilmiah dalam dunia pendidikan.
Gagasan sistem ijazah online menjadi alternatif untuk memutus mata
rantai pembelian ijazah palsu. Selama ini dunia pendidikan tercoreng dengan
adanya pembelian ijazah palsu yang dilakukan oleh oknum guru. Apakah pantas
guru membeli ijazah? Tentu tidak. Di Jateng sendiri, sebenarnya kasus ini sudah
lama terjadi, namun sampai detik ini jual beli ijazah palsu masih ada dan
bahkan dilakukan guru.
Guru menurut Moh. Nuh (2013) adalah pijakan kehidupan bagi semua orang. Tak
hanya di sekolah, namun guru menjadi landasan moral di sekolah dan masyarakat. Sangat
tidak logis jika banyak guru “membeli ijazah” demi mendapat gelar dan standar
akademik. Jika guru membeli ijazah, lalu apa pantas mereka ditiru siswanya?
Di Kabupaten Blora dan sekitarnya, khususnya karasidenan Pati, jual beli
ijazah sangat diminati masyarakat. Pasalnya, tanpa kuliah bertahun-tahun namun
mereka dengan mudah mendapat gelar sarjana dan ijazah. Apalagi, kesibukan
mengajar di sekolah dan mencari nafkah juga mendorong guru-guru membeli ijazah
palsu. Cepat, mudah, praktis dan murah. Itulah yang mendorong guru-guru membeli
ijazah abal-abal.
Ijazah Abal-abal
Ijazah asli tapi palsu (aspal), bajakan, abal-abal, bodong, memang sudah
merebak di semua institusi pendidikan, lembaga pemerintah maupun perusahaan. Banyak
orang harus rela dicopot dari jabatannya karena terbukti ijazahnya abal-abal.
Di internet, ketika Anda mengetik “ijazah palsu” juga akan keluar laman
organisasi atau lembaga jasa pembuatan ijazah, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA
hingga S-3. Di media sosial seperti facebook, twitter juga demikian, banyak
forum, iklan, dan penawaran jual-beli ijazah lengkap dengan gelarnya. Hal ini
sangat memprihatinkan.
Tak hanya itu, saat ini pamflet, brosur, baliho pembuatan ijazah juga mulai
beredar bebas di masyarakat. Jika dulu hanya sekadar penawaran olah data
skripsi atau tesis, namun kini penawaran pembuatan ijazah juga mulai
terang-terangan. Jual-beli ijazah atau piagam TOEFL, kejuaraan lomba, karya
tulis ilmiah seperti PTK, jurnal juga sudah merebak dan menjadi penyakit sosial
yang harus segera dihentikan.
Selain merendahkan martabat pembeli, hal itu juga menunjukkan bahwa moral
masyarakat terdidik di Indonesia saat ini sudah hancur. Bayangkan saja, guru
membeli ijazah palsu sangatlah tidak etis bahkan hal itu amoral dan kriminal. Setinggi
apapun ilmu guru tersebut, namun jika membeli ijazah, maka sama saja seperti
koruptor. Mengapa? Hal itu menipu diri sendiri, menipu murid dan juga menipu
masyarakat dan pemerintah. Apa artinya selembar ijazah jika hasil membeli?
Di
sebuah situs jual-beli ijazah, ada juga yang siap membantu masyarakat yang
ingin memperbaiki nilai IPK dari PTN maupun PTS ternama. Mereka juga siap
membantu pembuatan ijazah bagi masyarakat yang terkena drop
out (DO).
Di situs tersebut, mereka sudah
memiliki database
hampir semua perguruan tinggi, baik negeri
maupun swasta.
Ironisnya,
mereka juga mematok harga ijazah aspal untuk ijazah D-3 harganya dipatok Rp 20
juta, D-3 Kebidanan atau Keperawatan Rp 80 juta. Ijazah S-1 harganya Rp 37
juta, sedangkan S-2 Rp 50 juta. Sementara itu, ijazah S-3 harganya mencapai Rp
250 juta. Tarif paling mahal ijazah pindah jurusan dari
kebidanan ke kedokteran, yaitu Rp 275 juta. Tarif-tarif tersebut sudah termasuk
biaya pembuatan skripsi, tesis, transkrip nilai, legalisasi nilai induk
mahasiswa (NIM), dan nomor seri ijazah yang terdaftar di Kopertis atau
Kementerian Pendidikan dan universitasnya (Kompas, 7/2/2013).
Pesatnya globalisasi mendorong masyarakat berbuat instan. Tidak heran jika
masyarakat membeli ijazah aspal, karena jika kuliah program reguler juga
membuang banyak biaya, waktu, tenaga dan juga pikiran. Ironisnya, hal itu
justru dilakukan orang-orang besar dan juga guru yang seharusnya menjadi
anutan.
Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua
DPRD Kabupaten Pekalongan periode 2014-2019, Nur Balistik, dijatuhi hukuman 4
bulan penjara Pengadilan Negeri Pekalongan dalam sidang lanjutan 15 Oktober
2014 karena kasus ijazah palsu (SM, 20/10/2014).
Kepolisian
Daerah Jateng juga menetapkan mantan Bupati Sragen Untung Wiyono sebagai
tersangka kasus dugaan penggunaan ijazah palsu untuk Pilkada Sragen 2000 dan
2006 (Kompas, 11/8/2011). Dalam Pileg 2014 kemarin, banyak caleg di Jawa Tengah
yang diduga menggunakan ijazah palsu yang mencoreng nama dan partai mereka
sendiri.
Baru-baru ini, jual-beli ijazah S1 tanpa kuliah juga merebak di Blora,
Grobogan, Semarang dan Jateng. Mereka menyediakan jasa pembelian ijazah S1
keguruan dengan mematok harga antara Rp 7 juta hingga Rp 12,5 juta. Hanya butuh
waktu 1 sampai 2 bulan tanpa melewati proses kuliah. Pembeli langsung bisa
mengikuti wisuda di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (STAI) yang berada di
daerah Rawa Pondok Kopi Duren Sawit, Jakarta Timur.
Modus bisnis ijazah abal-abal itu diduga dilakukan dengan cara membuka
cabang kuliah di kabupaten/kota. Bahkan seorang dosen berperan mencari pembeli.
Sasarannya para guru yang belum memiliki ijazah S1. Di Kabupaten Blora sendiri,
mereka menyewa tempat di SMK Al Balad Jati Blora (Jawa Pos, 19/2/2015). Hal ini
tentu mencoreng dunia pendidikan di Jateng. Maka perlu terobosan baru untuk
memutus mata rantai penjualan ijazah palsu.
Sistem Ijazah Online
Wacana ijazah online yang digulirkan DPRD Jateng harus disambut
baik. Sebab, hal itu sangat pro terhadap perbaikan pendidikan di Indonesia,
khususnya di Jateng. Perlu dilakukan beberapa langkah strategis memutus
penjualan ijazah abal-abal. Pertama; pemerintah terutama Kemendikbud, Kemenristek
Dikti, Kemenag dan Dinas Pendidikan Jateng harus membuat sistem ijazah online
agar semua ijazah yang dikeluarkan sekolah dan perguruan tinggi mudah dicek
kevalidannya. Di berbagai negara maju, hal itu sudah dilakukan untuk memudahkan
mengetahui rekam jejak pendidikan seorang.
Kedua; sistem ijazah online juga perlu diterapkan bagi para pelajar
yang kuliah di luar negeri. Perlu program penyesuaian ijazah/gelar di luar
negeri dan di Indonesia agar mudah dicek kebenarannya. Jika ada guru atau dosen
melamar, akan sangat mudah dicek ijazahnya jika sudah sistem online.
Begitu pula dengan penerimaan CPNS atau pun karyawan di perusahaan.
Ketiga; pemerintah perlu mempertegas regulasi Surat Edaran Dirjen Dikti
nomor 2630/D/T/2000 tertanggal 22 September 2000 tentang Larangan Kampus
Menjalankan Kuliah Kelas Jauh. Pasalnya, sampai tahun 2015 ini, masih banyak
kampus-kampus yang bandel menyelenggarakan kelas jauh di Jateng.
Hal itu jelas penipuan. Mengapa? Kuliah jarak jauh jelas dilarang, tetapi
tetap saja dilakukan. Jika ada masyarakat yang tidak mengerti, terus kuliah di
kelas jauh ini, tentu sangat dirugikan. Sebab, ijazah mereka aspal karena tidak
diakui atau terdaftar di Kemendikbud atau Kemenristek Dikti.
Keempat; masyarakat juga harus cerdas dan tidak tergoda dengan tawaran
ijazah aspal. Sebab, untuk mendapatkan ijazah, masyarakat tak perlu
sekolah/kuliah dengan waktu relatif lama. Kelima; daripada membeli ijazah,
masyarakat lebih baik mengikuti program penyetaraan pendidikan, baik itu paket
A, B maupun C. Pemerintah juga harus medorong masyarakat yang belum berijazah minimal
SMA untuk terus sekolah. Keenam, bagi
guru atau dosen, saat kenaikan pangkat/golongan juga harus dicek lagi semua
berkas tersebut, terutama ijazahnya.
Harus ada
regulasi baru untuk menjadikan guru, dosen dan pegawai di negeri ini berbuat
jujur dan sesuai aturan main. Semua guru juga harus memegang teguh etika
profesi guru. Sebab, hal itu adalah
kunci sukses majunya pendidikan Indonesia. Jika guru membeli ijazah, maka sama
saja hal itu membeli tiket menuju kehancuran.
Tambahkan Komentar