Ilustrasi |
Full day school atau sehari
sekolah penuh selama lima hari yang digagas Mendikbud, Muhadjir Effendy saat
ini dalam “status qou”. Sebab, gagasan Mendikbud tersebut ditolak berbagai
kalangan karena menilai gagasan tersebut tidak tepat diterapkan di pendidikan
dasar (SD dan SMP). Apalagi, Mendikbud juga menyatakan membatalkan gagasan
tersebut karena banyak yang tidak setuju.
Langkah
Mendikbud tersebut entah sekadar sensasi atau basa-basi belaka. Padahal, Wapres
Jusuf Kalla telah memberi “lampu hijau” gagasan tersebut. Sebab, Wapres menilai
sekolah lima hari menjadi bagian dari representasi program Nawacita. Lalu, apa
sebenarnya maksud Mendikbud atas gagasan tersebut?
Meskipun
belum resmi menjadi Peratuan Menteri (Permen) dan masih wacana, namun
kontroversi bermunculan dan Mendikbud masih mengkajinya. Alasan Mendikbud
menerapkan gagasan tersebut sebenarnya bagus untuk jangka panjang. Namun,
Mendikbud luput dan tidak memperhatikan aspek psikis peserta didik, kinerja dan
jam mengajar guru serta dampak pendidikan non formal yang ditempuh anak.
Mendikbud
juga berasalan, jika full day school
diterapkan, orang tua bisa berangkat bersama
anaknya, begitu pula ketika pulang pada sore bisa bersama anak-anak lagi. Lebih
dari itu, dengan libur 2 hari (Sabtu dan Minggu), anak dan orang tua memiliki
waktu berharga lebih panjang.
Status Quo
Adagium “ganti menteri
ganti kebijakan” ternyata benar. Dalam hal ini, Mendikbud memang tidak
mengganti kurikulum, namun ia justru membuat gagasan baru full day school yang menilai bahwa sekolah sehari penuh di
sekolah bisa membangun kualitas pelajar dan bisa meminimalkan kekerasan dan
kenalakan pelajar.
Akan tetapi, hal itu menjadi bumerang bagi
kelangsungan pembelajaran. Pertama, wacana tersebut jika diterapkan akan
mengacaukan psikis pelajar. Sebab, usia SD dan SMP tidak bisa terlepas dari
lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu,
full day school sangat paradoks terhadap perkembangan peserta didik.
Apalagi, kebutuhan dasar pelajar SD selain belajar, menurut Teguh Supriyanto
(2014) adalah bermain dan berimajinasi. Jika full day school diterapkan, maka
konsepnya tidak sekadar belajar seharian di dalam kelas, namun anak-anak harus
diberi ruang untuk bermain agar tidak stres.
Belum lagi, para guru juga pasti akan terseok-seok
dengan full day school. Sebab, secara
kinerja, gaji dan prinsip humanisme, guru akan menuntut gaji yang lebih jika
wacana tersebut diterapkan. Hal ini tentu berdampak pada APBN dan APBD karena
mereka harus diberi gaji tambahan. Apalagi bagi mereka yang statusnya belum
PNS, tentu akan keberatan dengan gagasan tersebut. Sebab, kebanyakan para guru
honorer setelah mengajar, mereka bekerja lagi untuk memenuhi kehidupan
sehari-hari. Jika gagasan ini diterapkan, bagaimana dengan nasib mereka?
Ketiga, sekolah lima hari yang digagas Mendikbud ini
sebenarnya kurang mendasar dan luput memperhatikan Tri Pusat Pendidikan, yaitu
pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Artinya, ilmu pengetahuan
justru tidak hanya didapat pelajar di sekolah formal saja, melainkan di dalam
keluarga dan masyarakat.
Keempat, tugas Mendikbud sebenarnya tidak perlu membuat
gagasan baru yang kontroversial. Lebih strategis lagi jika Mendikbud fokus pada
penuntasan masalah guru yang kualitasnya jauh dari harapan. Kemudian,
penuntasan Kurikulum 2013 juga perlu menjadi pekerjaan rumah yang masih belum
terselesaikan. Oleh karena itu, gagasan sekolah lima hari ini belum begitu
dibutuhkan jika “urusan dapur” Kemendikbud belum tuntas.
Mengkaji
Ulang
Secara pribadi, penulis sependapat dengan gagasan full day school. Sebab, prinsip belajar
memang tidak bisa setengah hati dan hanya formalitas belaka. Mendikbud juga
sudah menerapkan prinsip long life
education yang dimanifestasikan dalam gagasan tersebut. Akan tetapi
masalahnya, tidak semua kondisi dan karakter sekolah di Indonesia sama.
Ada beberapa solusi yang penulis tawarkan atas gagasan
tersebut. Pertama, sekolah lima hari harus dikaji ulang dan tidak bisa
asal-asalan. Bahkan, Mendikbud lama harus diundang untuk mengkaji gagasan
tersebut. Sebab, jabatan Mendikbud tidak sekadar jabatan politis, namun juga
jabatan akademik yang pertanggungjawabannya harus ilmiah, terukur dan tidak
berdasarkan kepentingan kelompok.
Kedua, perlu uji coba di sekolah-sekolah yang sudah siap
dengan melakukan riset terpadu. Mengapa? Jelas berbeda antara sekolah di Jakarta
dengan di Papua dan daerah tertinggal. Oleh karena itu, full day school tidak bisa diterapkan disemua sekolah. Akan tetapi,
setelah riset dan jika uji coba tersebut berjalan dengan mengambil sampel, maka
bisa diterapkan di semua sekolah.
Ketiga, perlu konsep yang jelas dan terukur agar full day school tidak merampas hak anak
untuk bermain dan tidak mengganggu kebutuhan dasar anak. Keempat, pemetaan jam
belajar di kelas. Sebab, di bangku SD terbagi atas dua kela, yaitu kelas rendah
(kelas 1, 2 dan 3) dan kelas tinggi (kelas 4, 5 dan 6). Apakah kelas rendah dan
tinggi kebutuhan dan gaya belajarnya sama? Jelas tidak. Oleh karena itu, full day school tidak boleh asal-asalan
diterapkan begitu saja.
Keempat, full day
school harus mempertimbangkan aspek kegiatan pelajar dalam konteks ranah
pendidikan. Sebab kalau belajar sehari penuh di sekolah hanya berorientasi pada
ranah kognitif saja, tanpa mengutamakan aspek afektif dan psikomotorik, maka
akan melahirkan generasi cerdas tapi kurang bermoral. Mereka pandai secara
intelektual, namun akan miskin spiritual dan emosional.
Kelima, perlu adanya sinergi antara sekolah formal dan non
formal. Sebab, logika dasar sekolah lima hari tampaknya hanya mengutamakan
aspek ilmu di sekolah formal saja. Padahal, prinsip belajar menurut Dandan
Supratman (2014) bukan meraup ilmu sebanyaknya dan gelar setinggi-tingginya,
namun prinsip belajar yang tepat adalah menata cara berpikir dan mengubah
perilaku.
Gagasan ini menjadi masalah serius yang harus dicari solusi
bersama. Mendikbud juga harus berpikir dan bisa membedakan, konsep full day school itu yang seperti apa dan
bagamana. Sebab, di negara-negara maju, jam mengajar memang tersusun rapi
dengan mengutamakan edukasi dari berbagai ranah disiplin pembelajaran di
sekolah dan lingkungan.
Pertanyaanya kemudian, penting mana full day school di sekolah formal dengan full day education dengan menyinergikan pendidikan keluarga,
sekolah dan masyarakat?
-Penulis adalah dosen dan Kaprodi PGMI STAINU Temanggung, Pengurus Bidang Diklat dan Litbang LP Ma'arif PWNU Jawa Tengah.
Tambahkan Komentar