Oleh Dheta Ari Sabilla
Santri mukim merupakan istilah untuk santri yang ngaji kepada Kyai dan
tinggal di pondok pesantren. Selain santri mukim, adapula santri kalong. Mengapa disebut kalong? karena di waktu sore hingga
malam dia pergi ngaji ke pondok pesantren, namun di waktu siang dia pulang ke
rumahnya seperti perilaku kalong atau
kampret. Santri kalong tentunya tidak
asing lagi di kalangan pondok pesantren. Istilah santri kalong identik dengan santri yang tidak tinggal di pondok
pesantren, namun tetap mengikuti kegiatan ngaji di pondok pesantren.
Banyak alasan yang menjadikan santri
tidak tinggal di pondok salah satunya jarak rumah santri dekat dengan lokasi
pondok pesantren, akhirnya santri hanya mengaji saja. Ada beberapa pondok
pesantren yang mewajibkan santrinya untuk tinggal di pondok, dan ada pondok
pesantren yang membolehkan santrinya untuk pulang.
Santri kalong banyak diminati oleh santri yang menginjak usia remaja
hingga dewasa dikarenakan sudah memiliki banyak rutinitas. Seperti halnya yang
pernah dialami oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin ketika masih menjadi
santri di Pondok Pesantren Darurrahman. “Saya
sempat mengenyam pendidikan di Darurrahman meskipun saat itu istilahnya santri kalong. Karena saya sekolah formalnya di
daerah Mayestik, tiap hari Senin sampai Jumat”, kenang Lukman (Jagakarsa,
11/03/2017). Rutinitas inilah yang menjadi sebab adanya santri kalong. Tuntutan pekerjaan, pendidikan,
dan lainnya.
Seiring bertambahnya usia, minat ngaji
para santri tentunya berubah selain karena tuntutan tadi. Ada juga yang
mendadak jadi santri kalong di usia
dewasa yang merasa perlu mempelajari ilmu agama lebih dalam. Menjadi santri kalong merupakan sebuah perjuangan yang
besar untuk usia remaja dan dewasa. Mengapa demikian? karena santri kalong dituntut untuk dapat membagi
waktu antara rutinitas seperti sekolah, kuliah, hingga bekerja dengan waktu
ngaji di pondok pesantren.
Hal tersebut pasti membutuhkan manajemen
waktu yang baik. Rata-rata minat ngaji santri kalong usia remaja sedikit menurun karena manajemen waktu yang
kurang baik serta menurunnya jumlah santri remaja yang membuat semangat ngaji
santri menurun. Mengapa demikian? pada usia remaja, seseorang cenderung akan
meniru perilaku yang sedang menonjol di lingkungannya. Seperti halnya santri
usia remaja yang meniru santri lain yang tidak mengaji dan ikut tidak mengaji.
Di usia remaja, tidak sama perilakunya
dengan orang di sekitar akan dianggap kuper,
tidak gaul, tidak kekinian dan sebagainya. Pada saat itulah, muncul rasa gengsi
dan tidak percaya diri saat berbeda dengan orang di sekitarnya. Hal ini juga
berlaku pada santri usia remaja yang lebih memilih membolos ngaji atau bahkan
berhenti ngaji karena lingkungan sekitar yang juga demikian. Selain pergaulan,
hal yang menjadikan minat ngaji menurun pada santri usia remaja yaitu tuntutan
kepentingan. Seperti sekolah, kuliah, kerja, dan lainnya yang menuntut untuk
mengesampingkan ngaji dan fokus kepada hal tersebut.
Beda halnya dengan usia dewasa, pada
usia ini seseorang akan lebih sadar dan peka akan lingkungan dan kebutuhan
serta bisa mengontrol ego dan emosi pada diri sendiri. Beda halnya dengan usia
remaja yang cenderung memberontak dan memetingkan ego dirinya sendiri. Santri
dewasa, memiliki semangat belajar yang tinggi akan ilmu agama. Karena merasa
perlu mempelajari illmu agama, maka banyak santri dewasa yang berlomba untuk
belajar ilmu di pondok pesantren.
Legitimasi Ilmu Pesantren
Mesikpun harus mengulang dari Iqro’ juz
1 semangat untuk mempelajari ilmu agama tidak surut. Namun kini, tidak jarang
dijumpai orang sekolah, kuliah, sampai bekerja yang diselingi dengan belajar
ngaji. Entah itu hanya kajian agama, belajar dari teman, dan tak jarang orang
mengakses ilmu agama lewat pengajian di Youtube. Namun, ilmu agama yang tidak
didasari oleh sanad yang jelas, keautentikan ilmunya pasti diragukan.
Hal seperti ini tentunya menjadi pacuan
untuk para santri usia remaja khususnya para santri kalong untuk lebih semangat ngaji di pondok pesantren tanpa takut
dianggap kuper, tidak gaul, tidak
kekinian dan sebagainya. Santri yang belajar di pondok pesantren tentu
mengalami pasang surut semangat ngaji. Hal ini cenderung dominan pada santri
kalong remaja. Bahasa santrinya “ angel
istiqomah”.
Maksudnya, santri yang tidak tinggal di
pondok pesantren atau santri kalong,
sulit untuk konsisten ngaji. Beda dengan santri kalong dewasa yang mencoba
untuk istiqomah meskipun sudah terbentur dengan berbagai kepentingan. Mereka
mencoba untuk terus belajar ngaji pada Kyai dengan membagi waktu yang tepat.
Namun, jika dilihat dari sisi keilmuannya, antara santri kalong dengan santri
yang tinggal di pondok pesantren tidak dapat kita nilai atau lihat dengan
indrawi. Tidak menjamin santri yang tinggal di pondok memiliki keahlian ilmu
agama yang tinggi dibandingkan dengan santri kalong.
Tak sedikit santri kalong yang berprestasi di bidang ilmu agama seperti halnya di
pondok pesantren di wilayah Lemka Sukabumi. Para santri kalong berprestasi di
bidang seni kaligrafi sampai kancah internasional. Hal ini membuktikan bahwa
keilmuan yang dimiliki santri kalong
tentu tidak dapat diukur dengan apapun asalkan santri tersebut istiqomah dan
mampu membagi waktu ngaji dengan waktu lainnya.
Di era globalisasi seperti sekarang ini,
peran pondok pesantren sangat dibutuhkan untuk menjadi benteng pertahanan dari
ideologi-iedologi yang tidak sesuai dengan Pancasila dan NKRI. Oleh karena itu,
para santri di era ini selain pandai di bidang agama haruslah pandai dalam
urusan dunia entah itu santri mukim ataupun kalong.
Karena perkembangan di era globalisasi saat ini begitu pesat, asal istiqomah
dalam belajar ilmu agama, pastilah santri di era ini dapat diakui eksistensinya
oleh dunia.
-Penulis adalah Alumni
PPHQ Uswatun Hasanah Sukorejo,
Kendal, Mahasiswi
STAINU Temanggung
Tambahkan Komentar